Ada baiknya kita juga harus mengetahui karakteristik dari etos kerja dan kebiasaan-kebiasan masyarakat Tiongkok di lingkungan pekerjaan. Hal pertama yang perlu diketahui adalah mengenai cara pandang (mindset) hubungan antara atasan dengan bawahan. Di Tiongkok sendiri (terutama untuk perusahaan-perusahaan lokal) mereka terbiasa dengan menganggap bahwa jarak antara atasan dengan bawahan tidak perlu terlalu dekat. Seperti yang telah coba dianalisis oleh Hofstede, jarak antara pemilik otoritas dengan pegawai/bawahan bisa dikatakan jauh. Hal ini cukup berbeda dengan budaya pekerjaan di perusahaan-perusahaan Barat dimana jarak antara pemiliki otoritas dengan pegawai/bawahan cenderung dekat dan memiliki karakteristik cukup “horizontal”.
Budaya pekerjaan dalam artian hubungan antara atasan dengan bawahan sangatlah penting untuk kita ketahui agar tidak terjadi salah paham terhadap bagaimana kita berkomunikasi di lingkungan pekerjaan yang berbeda. Di Tiongkok sendiri mereka bukannya tidak mencoba untuk bisa agar lebih egaliter (bersikap setara), namun ketika suatu kebiasaan sudah menjadi cara pandang dan turun-temurun hingga puluhan generasi, agaknya ini sudah tidak bisa lagi dirubah. Namun memang budaya pekerjaan ini aku pribadi asumsikan tidak berbanding lurus dengan performa atau kinerja perusahaan. Banyak sekali perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang bisa bertahan dan memiliki pencapaian-pencapaian yang baik di lingkungan bisnis global. Hal-hal yang terkait dengan budaya di lingkungan pekerjaan ini merupakan lebih kepada sesuatu yang akan memengaruhi kenyamanan kita dalam menjalani rutinitas pekerjaan.
Kita sebagai orang asing yang bekerja di Tiongkok tidak memiliki pilihan lain kecuali menghormati dan berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti alur pekerjaan dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka miliki. Ketika kita bekerja di Tiongkok dengan kenyataan jarak otoritas yang cukup jauh, mungkin kita akan berpikir untuk segera menggantinya, namun pemikiran itu tidak sepenuhnya tepat. Di Tiongkok, terutama perusahaan dengan dominasi pimpinan yang merupakan orang lokal, mereka hanya akan menganggap pendapat dan opini yang baik itu berasal dari pimpinan tertinggi (bisa satu orang atau lebih). Mereka menganggap bahwa orang-orang di pucuk kekuasaan dalam perusahaan itulah yang lebih berjasa dan memiliki hak-hak komprehensif dalam menentukan arah dan keberlangsungan suatu perusahaan. Jadi, ketika kita tidak dalam posisi demikan, ada baiknya kita tidak perlu berkomentar mengenai realitas budaya pekerjaan yang kita hadapi.
Selain memiliki jarak otoritas yang cukup tinggi, perusahaan-perusahaan dengan pimpinan yang didominasi orang lokal kebanyakan memandang staf atau pegawai sebagai liabilitas, bukan aset. Ini merupakan contoh kasus riil yang sangat signifikan bila membandingkan dengan perusahaan-perusahaan Barat atau perusahaan-perusahaan yang notabenenya mengaplikasikan konsep-konsep manajemen Best Practices—teori-teori MBA yang umum digunakan, merujuk dari budaya manajemen perusahaan-perusahaan Barat. Sehingga dengan demikian, pada pengaplikasiannya akan kita rasakan kurang efektif dan sangat berbeda, terlebih bila kita sudah berpengalaman untuk bekerja di Tanah Air atau negara lain sebelumnya.
Dalam hal yang berkenaan dengan jarak yang jauh antara pimpinan perusahaan dengan staf hanya terjadi di perusahaan-perusahaan lokal yang menerapkan sistem manajemen lokal. Untuk perusahaan-perusahaan yang banyak kita dengar sebelumnya—yang terutama datang dari Barat—tentu menggunakan teori-teori dan pengaplikasian jarak yang cukup dekat antara pimpinan dengan para stafnya.
Dalam aspek manajemen SDM, biasanya dapat dijumpai bahwa alur keluar-masuk karyawan/staf/pegawai sangatlah cepat dan banyak. Umumnya perusahaan akan menerapkan sistem kontrak untuk mereka yang baru masuk bekerja, dengan begitu perusahaan akan memiliki jumlah SDM dan arah pengalokasian SDM yang lebih tepat guna mengukur dari total validitas kontrak para pegawai yang ada. Namun, di Tiongkok hal ini sangat jarang ditemukan. Kebanyakan perusahaan walaupun menerapkan sistem kontrak, mereka tidak menerapkan sistem pengelolaan SDM yang “wajar”, bahkan sepengalamanku, tidak ada standar yang baku mengenai pengelolaan SDM di perusahaan. Sehingga hal-hal yang terjadi mengenai manajemen SDM di suatu perusahaan barang kali akan sangat berbeda dengan apa yang dapat kita temukan di perusahaan lainnya. Ketika seorang staf atau pegawai mengundurkan diri lebih cepat dari tempo kontrak yang telah disepakati, tidak ada denda apapun yang akan dihadapi oleh individu tersebut. Hal ini umum ditemui dan dapat dikatakan menjadi suatu hambatan yang signifikan bagi manajemen internal suatu perusahaan di Tiongkok. Bahkan untuk orang-orang dengan posisi setingkat manajer pun dapat keluar dari suatu perusahan tanpa perlu basa-basi. Hal ini terjadi serta-merta karena cara pandang mereka mengenai staf/pegawai yang dianggap hanyalah sebagai liabilitas, lawan kata dari aset.
Mengenai etos kerja orang lokal Tiongkok, bisa dikatakan memiliki persistensi dan kecekatan yang tinggi. Seseorang dikatakan persisten apabila ia dapat melakukan suatu pekerjaan/hal sesuai dengan kriteria yang diminta, konsisten, dan memiliki hasil yang stabil. Kecekatan yang tinggi bisa diartikan sebagai fokus untuk melakukan pekerjaan dengan tidak terlalu banyak memiliki embel-embel yang tidak perlu, khususnya hal-hal yang tidak berkenaan dengan fokus pekerjaannya. Memang hal ini akan nampak bertolak belakang dengan budaya di lingkungan pekerjaan, namun etos kerja adalah mengenai performa individu, dan budaya merupakan wujud dari kebiasaan kolektif. Pada umumnya etos kerja mereka dapat terlihat dari sikap-sikap bekerja yang tidak membuang-buang waktu, gosip dan bercengkrama secara berlebihan, dan hal-hal lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan utama. Barangkali hal ini juga yang menjadi kunci kesuksesan performa perusahaan-perusahaan Tiongkok di dalam negeri dan di persaingan global.
Paduan antara budaya pekerjaan dan etos kerja adalah sikap patuh dan pencapaian-pencapaian target kinerja yang telah ditentukan sebelumnya. Para pimpinan perusahaan berkewajiban untuk bertanggung jawab menentukan arah dan target-target yang positif. Untuk individu-individu yang tidak termasuk kedalam kategori pimpinan hanya memiliki hak untuk mengikuti perintah tanpa banyak teralih ke hal-hal yang tidak menjadi fokus pekerjaan mereka.
Terkait dengan hal ini, pengarahan dan instruksi dari para pimpinan perusahaan terkadang kita temukan tidak memiliki kejelasan yang gamblang. Sehingga pada umumnya ketika kita sedang dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat koordinatif dengan para pimpinan perusahaan, paling tidak kita perlu untuk menanyakan secara jelas maksud dari setiap arahan yang disampaikan. Selain itu ketika kita tidak mengerti dari arahan-arahan yang diberikan, ada baiknya menanyakan detil di lain waktu setelah kita juga berkoordinasi dengan tim maupun gugus tugas yang kita termasuk di dalamnya.
Hal-hal teknis lain terkait dengan mekanisme internal di perusahan-perusahaan lokal Tiongkok dapat kita temukan berbeda dan memiliki keragaman satu dengan yang lain.
#nfglobalhub
#nurulfikri
#studyabroad
#studytochina
#learnmandarin
#chineselanguage
#thinkglobal
#improveskill
#dayatawarkompetensi
#workinchina
#expatindonesia
#pengalamankerjaluarnegeri
#workabroad
#wholenewlevelchallenge