Persepsi Orang Tiongkok Mengenai Cinta dan Asmara

Menyangkut hal yang satu ini akan coba aku deskripsikan sesuai dengan apa yang aku ketahui. Banyaknya ragam jenis manusia yang memiliki latar belakang suku, pendidikan, keyakinan, dan pengalaman-pengalaman lain membuat orang-orang Tiongkok tidak memiliki “standar” yang sama untuk urusan cinta dan asmara. Namun memang ada beberapa hal dasar yang sudah turun temurun diwariskan oleh masyarakat Tiongkok mengenai konteks ini.

Di Tiongkok sendiri menjalin sebuah hubungan percintaan/asmara tidak dapat dilalui secara nekat. Pada dasarnya mereka juga sangat menghindari resiko-resiko dalam hidupnya, ini pun juga masuk ke dalam urusan menjalin cinta antarindividu. Persyaratan yang cukup banyak biasanya datang dari pihak wanita. Walaupun memang persyaratan-persyaratan ini bukanlah sesuatu yang tertulis, namun hal-hal seperti kejelasan masa depan (terhadap pihak pria), kepemilikan harta, status keluarga, kepemilikan properti, dan sebagainya menjadi sebuah “keharusan” yang sudah menjadi budaya. Walaupun pada kondisi riilnya tekaan tersebut sangatlah tidak mudah, namun biasanya pihak laki-laki menanggung tekanan yang lebih berat ketimbang pihak wanita.

Dari yang aku ketahui selama berinteraksi dengan orang-orang Tiongkok, urusan yang satu ini memang sangat rumit untuk dijelaskan dan dipraktekkan. Intervensi-intervensi yang datang dari kedua pihak keluarga menambah kompleksitas urusan percintaan sepasang manusia. Oleh karena itu, sederhananya, perjalinan hubungan sepasang kekasih juga merupakan hubungan antara 2 keluarga yang terwakili.

Dari yang aku ketahui pula, bisa dikatakan bahwa pra-pernikahan beban untuk persiapan hal-hal yang berkenaan dengan materi bertumpuk pada pihak pria. Namun ketika paska-menikah, beban tanggung jawab mengurus rumah tangga, dan tekanan yang datang dari pihak pria menumpuk pada sang istri.

Seperti misalnya Ibu dari pihak pria biasanya akan menjadi sangat selektif dan tidak jarang mengkritik pihak wanita yang akan maupun telah menikah dengan anak laki-lakinya. Pihak istri juga harus menerima semua kritik tersebut seakan-akan dia telah membuat ibu mertua kehilangan anak sematawayang nya.

Dengan demikian, seperti yang aku ketahui, jalinan cinta/asmara orang-orang Tiongkok biasanya berlangsung ketika sudah lulus dari perkuliahan maupun sudah  memiliki suatu pekerjaan yang tetap. Ketika kita bergaul dengan remaja yang notabenenya masih berkuliah maupun lebih muda untuk membahas sesuatu mengenai cinta/asmara. Dengan tekanan dan kritik kuat yang pasti akan diterima, pihak wanita biasanya dengan begitu berusaha untuk mencari laki-laki yang memiliki kemampuan material maupun finansial yang lebih—untuk menjadi pendamping hidup.

Sehingga tidak ada istilahnya hubungan percintaan yang memiliki kesan berbunga-bunga atau berisikan letupan-letupan rasa yang berujung pada jalinan hubungan yang ujung-ujungnya adalah: jalani saja dahulu. Mengetahui hal ini, aku pribadi cukup dapat memahami bahwa masyarakat Tiongkok telah terbiasa hidup dengan hal-hal yang mesti terukur secara baik, rasional, dan happy ending. Ujung dari “kekhasan” kebiasaan dan budaya masyarakat Tiongkok terhadap melihat hal ini juga akan menjadi dasar bagi kehidupan (keluarga) mereka selanjutnya.

Demi menjamin keselarasan dan bertemunya kemauan semua pihak yang berurusan dengan hal ini, dalam hal percintaan dan pernikahan umumnya merupakan urusan pihak orang tua dari sang anak. Selain karena takut tidak memenuhi keinginan yang mereka mau, kebanyakan muda-mudi yang berada dalam kategori angkatan kerja produktif menghabiskan waktu mereka untuk menekuni karir, praktis akan memiliki waktu yang lebih sedikit atau menjadi tidak tertarik untuk memulai satu urusan percintaan di masa-masa produktif mereka.

Soal urusan preferensi pribadi, orang-orang Tiongkok (khususnya wanita) menyukai orang-orang asing yang berasal dari Barat; yang pada umumnya berasal dari ras Kaukasian—kulit putih. Preferensi-preferensi fisik lain—terhadap pria—termasuk tidak (maaf) memiliki kecacatan pada tubuh, memiliki tinggi badan yang paling tidak lebih dari 170 cm, dan sebagainya; yang aku sendiri berpikir mereka bukan sedang mencari pasangan hidup, namun karakter-karakter fiksi pangeran-pangeran tampan nan rupawan seperti yang ada di cerita-cerita klasik. Semisal orang-orang yang berasal dari ras Asia lain non-Tiongkok, tidak menjadi pilihan bagi kalangan wanita di Tiongkok—alias tidak akan dilirik. Begitu pula dengan orang-orang kulit hitam atau yang berasal dari negara-negara Afrika, agaknya sangat susah untuk mendapatkan pasangan hidup orang Tiongkok lokal.

Namun, terlepas dari preferensi-preferensi fisik, ketika kita memang berniat untuk mencoba peruntungan percintaan dan asmara dengan orang Tiongkok, kita paling tidak harus sudah memiliki kejelasan dalam rencana-rencana hidup ke depan. Tidak hanya dari pihak kita sendiri, namun juga harus dapat memastikan rencana-rencana hidup si dia kedepannya. Sehingga perpaduan perencanaan yang matang dan dampak dari paradigma yang mengedepankan rasio dapat selaras.

Untuk detil-detil berikutnya aku pribadi pun tidak terlalu mengetahui karena tidak sedang dalam posisi menjalani atau sebagai subjek dari konteks yang satu ini.

#nfglobalhub

#nurulfikri

#studyabroad

#studytochina

#learnmandarin

#chineselanguage

#thinkglobal

#improveskill

#dayatawarkompetensi

#traveltochina

#wisatakecina

#tiongkokcinasamasaja

#amazingchina

#explorechina

#wisatayangbeda

#halaltripcina

#seeingisbelieveing

Leave a comment