Hal-hal yang aku akan coba deskripsikan di bagian ini tidak termasuk didalamnya hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan dan karir. Aku juga sudah coba untuk menuliskan deskripsi mengenai pekerjaan dan karir di segmen lain.
Dalam penjelasan yang aku coba deskripsikan dalam bagian ini memang agak sulit karena hal-hal yang akan aku sampaikan sepenuhnya bersifat subjektif. Ketika kita berinteraksi dengan orang-orang yang notabene nya memiliki perbedaan kebiasaan, norma, dan adat-istiadat yang baru maka aku dapat pahami bahwa kesan yang akan dimiliki oleh setiap orang juga akan berbeda-beda.
Namun, selain dari hal-hal yang sudah aku utarakan di bagian-bagian awal, tetap ada beberapa hal yang aku rasa perlu untuk disampaikan. Salah satunya juga mengenai bagaimana mengelola konflik atau ketika dalam kondisi berselisih dengan orang lokal.
Hal yang perlu dipahami dalam berinteraksi dengan masyarakat Tiongkok adalah untuk tidak terlalu banyak menggunakan perasaan atau menaruh hati kepada aksi dan reaksi yang kita mungkin akan temui pada interaksi keseharian kita di Tiongkok. Penggunaan perasaan atau menjadi sensitif terhadap segala sesuatu di Tiongkok akan menjadikan kita justru merasakan lelah karena mengerahkan energi yang cukup banyak untuk memproses apa-apa yang telah, sedang, dan akan terjadi kepada kita. Untuk itu, baiknya aku pribadi melihat bahwa penggunaan reaksi tidak perlu untuk menggunakan standar kebiasaan yang mungkin biasa kita gunakan selama kita berada di Tanah Air maupun di negara-negara lain yang pernah kita kunjungi.
Umumnya ketika kita berinteraksi dengan orang-orang Tiongkok lokal, perlu juga dapat kita ketahui bahwa mereka berinteraksi dengan kondisi yang “transaksional”. Hal ini bisa aku artikan bahwa setiap perbuatan baik yang kita terima maupun kita lakukan akan mendapatkan balasan atau mengharuskan kita untuk membalas kebaikan yang kita terima sebelumnya. Semisal ketika rekan maupun kolega lokal kita membantu kita dengan suatu pertolongan tertentu, maka suatu saat nanti kita harus juga bisa membantu orang atau kelompok tertentu dalam tingkatan pertolongan yang sama. Memang hal ini juga tidak terlalu mudah untuk dijelaskan karena menurutku orang Tiongkok tidak mengenal yang namanya ‘ikhlas’. Namun memang sikap saling tolong-menolong, membantu terhadap sesama juga merupakan suatu nilai universal yang juga berlaku di seluruh dunia.
Oleh karena itu, agaknya perlu kita pahami bahwa kebanyakan orang-orang di Tiongkok akan menolak bantuan maupun pertolongan-pertolongan dalam berbagai bentuk yang datang kepadanya. Hal ini serta-merta karena mereka mungkin merasa kita orang asing dan tidak terlalu memahami bagaimana “transaksi” tolong-menolong yang baik terhadap orang yang notabene nya memiliki sedikit banyak perbedaan mengenai nilai dan norma. Mungkin kita akan merasa bahwa orang tersebut mungkin merasa tidak enak dan memiliki rasa segan seperti yang kita kenal, namun aku pribadi pikir hal tersebut masih berbeda.
Namun, tentu saja dalam konteks berinteraksi sesama manusia yang menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan, berbuat baik terhadap sesama merupakan suatu keharusan. Hal-hal semacam memberikan hadiah ketika sedang ada kunjungan resmi, mentraktir makan ketika berulang tahun, memberikan ucapan-ucapan selamat ketika hari-hari penting maupun suasana lain yang sesuai, dapat kita lakukan.
Secara sederhana aku pikir masyarakat Tiongkok telah sangat terbiasa terhadap setiap kebiasaan yang mereka warisi dari generasi ke generasi. Dengan begitu aku pikir masyarakat Tiongkok dirasa kurang memiliki rasa penasaran atau keinginan-keinginan untuk mencoba hal-hal yang baru. Sebut saja mengenai makanan, tren berpakaian, pergi wisata ke luar negeri, umumnya hanya beberapa “barang luar” yang dapat diterima oleh masyarakat lokal. Namun memang, kalau kita berbicara mengenai realitas sosial budaya masyarakat dan bisnis, tergantung bagaimana hal-hal yang terkait dengan teknis dipersiapkan guna, misalnya, berhasil memasuki pasar konsumen di Tiongkok.
Dengan demikian, aku pikir terhadap hal-hal yang menurut kita “bagus” dan baik untuk diperkenalkan, ada baiknya tidak perlu terlalu agresif dalam bertindak/melakukan persuasi. Hal-hal semacam pemberian wawasan awal mengenai detail produk atau hal-hal baru lain sangat penting untuk dilakukan demi menimbulkan rasa penasaran dan melakukan upaya-upaya persuasi lainnya. Ketika mereka telah memilki rasa penasaran yang timbul, maka pendekatan terhadap upaya-upaya persuasi selanjutnya dapat kita lakukan.
Namun, memang ada hal lain yang perlu diperhatikan ketika kita berurusan dengan masyarakat Tiongkok. Salah satunya adalah terkait dengan lokasi dan tempat urusan/hal tersebut terjadi. Menjamu seseorang dari luar untuk datang ke lokasi/kediaman/kampung halaman, dll merupakan suatu kehormatan bagi masyarakat Tiongkok. Untuk sebagian orang yang berasal dari beberapa etnis yang berasal dari lokasi-lokasi yang masih menjaga tradisi leluhur mereka, banyak dari mereka yang akan memberikan tamu-tamu berupa preferensi-preferensi tertentu. Pada umumnya preferensi-preferensi ini merupakan sesuatu yang dapat kita makan atau minum. Terutama mengenai kentalnya budaya minum minuman beralkohol di beberapa lokasi di Tiongkok membuat hal ini layak menjadi perhatian. Selain mengenai minuman-minuman beralkohol, hal-hal yang terkait dengan makanan/penganan khas yang biasanya juga akan menjadi suguhan dalam rangka menghormati tamu-tamu yang datang. Untuk itu, aku pikir ada baiknya ketika kita sedang menerima undangan kunjungan-kunjungan tertentu dapat langsung berkomunikasi dengan pihak yang mengundang terkait dengan makanan-minuman yang mungkin kita memiliki pantangan atau tidak ingin mengonsumsi barang-barang tertentu. Alasan-alasan yang dapat diberikan ketika sedang melakukan penolakan dapat berupa alasan kesehatan (alergi, pantangan karena usia, saran dokter, dll) maupun karena kepercayaan yang kita anut melarang kita untuk mengonsumsi hal-hal tertentu. Berkomunikasi langsung kepada pihak pengundang dalam hal ini justru dapat mencegah kesalahpahaman yang mungkin akan muncul di kemudian hari.
Secara sederhana pula bisa dikatakan bahwa masyarakat Tiongkok berinteraksi secara literal—makna yang tersirat/sesungguhnya. Dapat aku katakan bahwa terutama ketika berkomunikasi yang memerlukan tanggapan dua arah, 99 persen dari jenis komunikasi yang mereka lakukan disampaikan dan bermakna secara literal. Misalkan saja, ketika kita pertama kali berkenalan dengan orang Tiongkok, ada baiknya kita menyampaikan langsung hal-hal yang berhubungan dengan usia, latar belakang pendidikan, status pekerjaan sebelumnya, status pernikahan (bagi yang telah menikah), kepercayaan yang kita anut, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan detil yang kita pikir tidak masalah untuk disebutkan di awal. Terutama pada kondisi perkenalan, hal-hal yang kita rasa perlu untuk dipersiapkan atau disediakan oleh rekan/kenalan lokal Tiongkok, baiknya kita juga menyampaikannya di awal.
Untuk mewakili segenap sifat dan karakteristik mereka, orang-orang Tiongkok dapat dibilang sebagai orang yang: pragmatis, menjauhi resiko, literal, implisit, dan persisten.
#nfglobalhub
#nurulfikri
#studyabroad
#studytochina
#learnmandarin
#chineselanguage
#thinkglobal
#improveskill
#dayatawarkompetensi
#traveltochina
#wisatakecina
#tiongkokcinasamasaja
#amazingchina
#explorechina
#wisatayangbeda
#halaltripcina
#seeingisbelieveing