Aku bukanlah ahli tata negara, ahli makro-ekonomi, maupun ahli administrasi publik. Namun ketika kita tinggal di suatu tempat dalam waktu yang cukup lama, kita tentu akan banyak mendapatkan input mengenai apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Terlepas dari ideologi dan sistem pemerintahan yang dianut, aku akan coba memberikan pandangan mengenai bagaimana orang Tiongkok memandang keluarga mereka dan kaitannya dengan negara.
Sepengetahuanku, pada jaman dahulu kala orang-orang Tiongkok tidak tinggal di tempat-tempat tinggal vertikal seperti ada sekarang. Mereka tinggal di rumah-rumah yang berdiri di atas tanah seperti yang kita kenal. Umumnya mereka tinggal di rumah-rumah yang dari luar cukup tertutup, namun ketika sudah di dalam kompleks atau setelah memasuki gerbang rumah kita akan melihat bahwa konstruksi tempat tinggal yang dibangun sangat nyaman untuk sesiapa yang tinggal di dalamnya. Bentuk-bentuk bangunan rumah juga biasanya mengadopsi bentuk persegi empat yang memiliki ruang terbuka pada bagian tengahnya. Biasanya selain kamar-kamar, dapur, dan fasilitas fungsional lain, ruang terbuka memang diperuntukkan agar ada sinar matahari yang cukup untuk masuk dan penghuni rumah dapat menggunakan ruang terbuka tersebut untuk menanam tanaman hias dan sebagainya.
Aku tidak sedang membicarakan mengenai feng-shui yang biasa dikenal ketika kita mendengar kata rumah tinggal dan kebudayaan Tiongkok. Aku pun mengetahui ini dari sudut-sudut kota yang masih memiliki sisa-sisa rumah warisan generasi lampau yang dibangun di atas tanah, bukan gedung apartemen vertikal pada umumnya. Walaupun memang rumah-rumah seperti ini sudah sangat jarang, namun masih bisa kita temukan di beberapa sudut kota-kota.
Dengan mengetahui kondisi seperti itu, kita akan memahami bahwa secara tradisional masyarakat Tiongkok terbiasa hidup dengan “dinding” yang menghalangi “orang luar” melihat apa yang terjadi di dalam rumah mereka, namun ketika sudah berada di dalam rumah, kita akan mengetahui bahwasanya segenap fasilitas dan penunjang kebutuhan keseharian ada di dalam bangunan rumah tadi.
Masyarakat Tiongkok juga memiliki pandangan tersendiri mengenai pengelolaan keluarga di dalam rumah tangga. Kultur masyarakat yang masih didominasi pandangan-pandangan patrialineal, membuat laki-laki secara tradisional memiliki “posisi” yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Namun memang pada kenyataannya ada beberapa hal yang menarik untuk disimak terkait dengan “status dan posisi” gender di Tiongkok.
Misalkan saja di Tiongkok sendiri, dengan fakta bahwa mereka hanya diperbolehkan untuk memiliki 1 anak, membuat posisi wanita harus dapat bisa berkompetisi sepandai laki-laki. Kebijakan mengenai memiliki 2 anak baru diteken pada akhir tahun 2015 atau awal tahun 2016. Hal ini sangat terasa terutama dalam hal pendidikan. Baik laki-laki maupun wanita sama-sama berkompetisi dan memiliki karakteristik yang cukup sama dalam hal mencapai prestasi tertinggi. Hal ini otomatis juga terbawa ke dalam dunia pekerjaan setelah mereka selesai dari bangku sekolah maupun perkuliahan.
Seperti yang sudah aku sempat utarakan di bagian-bagian awal, ketika kita tinggal di daerah urban di kota-kota di Tiongkok kita akan mendapati bahwa hampir setiap orang bekerja. Baik laki-laki maupun wanita sama hebatnya dan memiliki karir dan pekerjaan yang ditekuni masing-masing. Dengan kenyataan seperti ini, maka merupakan tugas dan tanggung jawab para senior untuk menjaga cucu-cucu dari anak-anak mereka. Kebanyakan dari anak-anak usia sekolah hidup dan dibimbing oleh kakek-nenek mereka di rumah. Mulai dari mengantar ke sekolah, menjemput pulang sekolah, menemani mereka ke temat-tempat kursus, mengajak bermain bersama, dan lain-lain hampir semua menjadi tugas dan tanggung jawab para senior.
Usia senior bukanlah merupakan hambatan bagi orang-orang Tiongkok untuk tetap beraktivitas, terutama ketika harus menjaga anak-anak usia dini yang terkadang sangat enerjik dan lincah. Di usia senior, masyarakat Tiongkok juga terbiasa untuk melakukan aktivitas-aktivitas lain yang bertujuan untuk menjaga kesehatan. Salah satu aktivitas yang biasa mereka lakukan adalah berolahraga tradisional. Olahraga-olahraga tradisional di Tiongkok juga memiliki kekhasannya tersendiri. Mulai dari tai-chi, senam estetik, menari, dan lain-lain kesemuanya masih dapat dilakukan oleh orang-orang dengan usia senior.
Namun memang terkadang ada beberapa hal yang perlu dicermati dari bagaimana generasi senior yang kurang dapat memahami perkembangan jaman yang sangat cepat berubah dan sama sekali berbeda ketika masa-masa mereka kecil dahulu. Selain masalah paradigma kebersihan yang sudah aku sempat sebutkan di bagian awal, hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan ataupun norma-norma yang berkembang pada masa kini tidak serta-merta dapat dipahami oleh para generasi senior. Hal ini tentu saja termasuk ke dalam teknologi yang sangat berkembang pesat; mereka tidak memiliki waktu maupun kemampuan lagi untuk mempelajari banyaknya hal-hal baru yang berkembang. Pengajaran mengenai hal-hal yang bernilai kekinian dilakukan oleh pihak orang tua, dan bukan orang-orang usia senior.
Untuk masyarakat kalangan rural atau perdesaan, dari beberapa sumber pemberitaan dan sumber-sumber lain agaknya kondisi riil masyarakat tidak jauh berbeda dari yang mungkin kita temukan di Tanah Air. Ketika urbanisasi tidak bisa dibendung, masyarakat yang tadinya merupakan bagian dari komunitas perdesaan harus pindah ke kawasan urban untuk bekerja. Hal ini merupakan realitas sosial dan potensi masalah sosial bagi masyarakat Tiongkok dalam menghadapi urbanisasi. Permasalahan terletak salah satu nya pada anak-anak usia sekolah yang terlantar atau ditinggal oleh orang tua mereka yang sedang mengadu nasib di kota sebelah maupun di kota-kota metropolitan yang jauh dari domisili asli. Untuk para anak yang masih memiliki kakek-nenek yang dapat menjaga mereka hal ini masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Pesatnya kemajuan ekonomi Tiongkok membawa sisi-sisi lain terhadap realitas budaya dan masyarakat mereka.
Selain masalah urbanisasi, Tiongkok juga dihadapkan pada pengelolaan demografi yang sangat masif. Ada beberapa hal salah satunya sistem yang mereka terapkan guna mengontrol urbanisasi dan pembebanan demografi bagi kota-kota yang lebih dahulu maju. Sistem tersebut dikenal dengan nama hukou. Sepengetahuanku, sistem hukou ini memiliki dampak-dampak positif dan negatifnya tersendiri. Secara sederhana sistem ini membatasi penetrasi orang-orang dari luar daerah untuk memasuki atau mendapatkan akses terhadap sarana dan prasarana publik di kota yang lain. Sistem hukou ini memiliki keabsahan dari dokumen-dokumen registrasi domisili kependudukan yang setiap individu maupun keluarga miliki. Misalkan saja ada seorang individu yang tinggal di Kota Baoding, yaitu kota kecil—yang tidak terlalu pesat perkembangannya—di bagian Selatan Kota Beijing. Dengan penerapan sistem hukou ini orang tersebut tidak bisa mengakses sarana dan prasarana publik yang ada di Kota Beijing. Sarana dan prasarana seperti sekolah, universitas, rumah sakit, dan lain-lain tidak dapat semudah itu diakses. Misalkan saja ada orang tua yang menginginkan anak-anak mereka kuliah di kampus nomor 1 di Tiongkok—Universitas Peking, maka keluarga tersebut harus sudah paling tidak pindah ke Beijing sebelum anak mereka menginjak usia Sekolah Menengah Atas. Dengan begitu maka sang anak akan mendapatkan kesempatan—apabila lolos ujian masuk—untuk berkuliah di universitas yang memiliki prestise paling tinggi seantero Tiongkok.
Namun, sistem hukou ini diterapkan bukan tanpa alasan. Kita sama-sama mengetahui bahwa beban kota-kota besar di Tanah Air sangatlah banyak untuk menampung populasi masyarakat kota itu sendiri dan para pendatang. Sehingga ketika pemerintah, misalnya, DKI Jakarta sedang ingin melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur kota, maka salah satu variabel kendala ada pada populasi akibat urbanisasi yang melipat ganda. Dengan pembatasan-pembatasan yang ada sesungguhnya juga dapat memberikan kesempatan ruang-ruang publik yang dapat lebih tertata tanpa perlu terlalu banyak mengkhawatirkan menjamurnya permukiman-permukiman yang tidak termasuk ke dalam rancangan tata kota.
Sebelumnya, pemerintah Tiongkok sendiri melakukan rekayasa pertumbuhan ekonomi mereka dengan mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang bergerak dari Pesisir Timur ke bagian Barat wilayah Tiongkok. Sehingga dengan demikian arah pertumbuhan dan jumlah wilayah yang menjadi kantong-kantong ekonomi baru dapat muncul dan menjadi pemerata distribusi pendapatan masyarakat Tiongkok secara keseluruhan.
Perpaduan antara pergerakan pertumbuhan ekonomi dan sistem hukou ini lebih dapat menjamin kepastian pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat secara luas. Sehingga menurut hemat aku pribadi, hal-hal yang berkenaan dengan ketahanan pangan daerah, pembangunan infrastuktur dan fasilitas-fasilitas publik, aspek keamanan, pemerataan kualitas pendidikan, dan sebagainya dapat direalisasikan dengan tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat anggaran.
Kembali lagi ke isu mengenai keluarga dan negara, aku pikir pemerintah Tiongkok mendesain negara mereka sedemikian rupa sehingga mirip dengan kondisi tempat tinggal tradisional masyarakat Tiongkok. Banyak masyarakat luar Tiongkok yang kurang begitu memahami apa-apa yang sesungguhnya terjadi di Tiongkok. Namun ketika masuk ke dalam, pengetahuan dan kepemahaman terhadap kabar-kabar yang telah diakses sebelumnya mendapatkan croscek riil di lapangan.
#nfglobalhub
#nurulfikri
#studyabroad
#studytochina
#learnmandarin
#chineselanguage
#thinkglobal
#improveskill
#dayatawarkompetensi
#traveltochina
#wisatakecina
#tiongkokcinasamasaja
#amazingchina
#explorechina
#wisatayangbeda
#halaltripcina
#seeingisbelieveing