Di Tiongkok sendiri sepengalamanku mereka tidak mengidentifikasi agama sebagai sesuatu yang penting dan merupakan bagian dari kehidupan mereka secara umum. Dengan tidak adanya data mengenai status pemeluk agama-agama, aku pribadi juga hanya dapat mengira-ngira berapa banyak populasi pemeluk agama yang ada di Tiongkok. Ketika kita berbicara data dan populasi pemeluk agama, kita akan mendapatkan data yang berbeda-beda, sehingga tergantung dari preferensi masing-masing menginterpretasikan data-data yang ada tadi.
Umumnya di Tiongkok, agama atau kepercayaan merupakan sesuatu yang melekat kepada individu yang memainkan peranan yang lebih besar dalam cakupan keluarga atau kesukuan/etnisitas. Sehingga misalnya kita berbicara agama Islam—karena aku muslim, maka kebanyakan khalayak umum akan merujuk pada ajaran-ajaran Islam merupakan nilai-nilai atau tradisi yang diwariskan oleh beberapa suku seperti suku Hui atau suku Uighur. Walaupun pada kenyataannya banyak pemeluk Islam di Tiongkok yang juga merupakan bagian dari suku Han—yang merupakan etnis dengan persentase terbesar—namun mereka tidak akan melekatkan nilai-nilai atau tradisi Islam kepada suku Han.
Secara tradisional, orang-orang Tiongkok menganut agama Buddha. Dengan nilai-nilai yang sudah diwariskan sejak dahulu, agama Buddha masih menjadi jawaban utama bila kita menanyakan kepada seseorang mengenai status agama yang mereka anut. Para pemeluk kristiani dan katolik juga tidak sedikit dapat kita temukan dengan identitas-identitas tertentu (mengenakan kalung salib, menghadiri rangkaian-rangkaian ibadah di gereja, dan sebagainya).
Pada dasarnya, masyarakat Tiongkok memahami kehidupan mereka dari nilai-nilai yang berkembang dan diwariskan sejak generasi-generasi sebelum mereka. Porsi besar dari nilai-nilai yang diwariskan tersebut adalah nilai-nilai konfusianisme. Seperti yang telah aku coba deskripsikan pada bagian Pengantar Umum, nilai-nilai konfusianisme itu lebih dekat dengan pemahaman-pemahaman universal mengenai keharmonisan, berlaku baik terhadap sesama, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
Secara sederhana pula, masyarakat Tiongkok tidak akan mengambil pusing dengan agama/kepercayaan yang orang lain anut. Sehingga kejadian-kejadian yang sering kita temukan di media pada negara-negara Barat mengenai fobia terhadap agama-agama atau kepercayaan tertentu, tidak terjadi di Tiongkok. Namun memang kenyataan bahwa pemerintah sebagai penengah yang tidak mengakui agama sebagai bagian dari elemen administrasi publik mereka, menjadikan sarana-sarana/hal-hal yang menyangkut kepentingan publik tidak dapat memiliki irisan nilai-nilai agama di dalamnya.
Namun aku pribadi sebagai penganut Islam sama sekali tidak pernah mengalami kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan terkait dengan agama yang aku anut. Aku bisa jamin tidak akan ada orang-orang yang berusaha untuk memaki, menghina, atau memvonis di depan umum ketika kita sedang mengenakan atribut-atribut atau identitas yang berhubungan dengan agama yang kita anut.
Tempat-tempat ibadah di kota-kota besar di Tiongkok tidak sulit untuk ditemukan. Untuk negara dengan besaran wilayah yang cukup signifikan, hal yang menjadi persoalan adalah jarak tempuh dari tempat kita berangkat menuju tempat-tempat ibadah. Memang pada kenyataannya tidak dapat kita temukan rumah-rumah ibadah sebanyak di Tanah Air maupun negara-negara yang lebih leluasa dalam hal realitas beragama masyarakatnya. Namun aku pribadi merasa untuk menemukan masjid, tempat makan halal bukanlah hal yang sangat sulit untuk ditemui.
Untuk tempat-tempat ibadah sendiri, sepengetahuan aku selama berada di Tiongkok memang tidak ada semacam pembangunan rumah-rumah ibadah baru. Kebanyakan rumah-rumah ibadah sudah eksis sejak ratusan tahun yang lalu dan masih dipertahankan keberadaannya sampai sekarang. Bahkan misalnya untuk bangunan-bangunan masjid banyak yang sudah eksis sejak 300-500 tahun yang lalu di Tiongkok. Kebanyakan dari bangunan-bangunan masjid yang sudah berusia sangat tua itu juga memiliki kategori bangunan-bangunan warisan cagar budaya yang keberadaannya dirawat dan dilestarikan dengan baik. Semisal bangunan masjid biasanya mereka memiliki prasasti-prasasti—biasanya terbuat dari marmer—yang digunakan untuk menjelaskan asal-usul pendirian dan beberapa deskripsi penting mengenai bangunan masjid tersebut. Sehingga para pengunjung dapat memahami sedikit banyak sejarah yang dimiliki oleh masjid maupun rumah-rumah ibadah lainnya.
Dalam hal ini, satu hal yang juga memiliki keterkaitan adalah mengenai perayaan-perayaan hari-hari raya maupun festival-festival. Ketika aku pertama kali tiba di Tiongkok aku cukup terkejut soal meriahnya perayaan Natal di Tiongkok. Kemeriahan biasanya sudah terjadi sejak pertengahan bulan November sampai akhir Desember setiap tahunnya. Walaupun mungkin mereka yang merayakan Natal bukanlah penganut kristiani/katolik, namun bisa dipastikan perayaan Natal di Tiongkok begitu meriah. Dekorasi-dekorasi Natal juga akan tampak di pusat-pusat perbelanjaan, sudut-sudut jalan, dan tempat-tempat perkantoran. Hal ini menurutku cukup menjadi sesuatu yang unik. Menurutku perayaan Natal ini umum bagi kalangan muda yang lebih cepat mengadopsi nilai-nilai Barat. Untuk kalangan senior, aku pikir mereka tidak terlalu merayakan Natal atau larut dalam festival-festival yang berhubungan dengannya. Namun, sayangnya perayaan Natal ini tidak dilanjutkan dengan perayaan Tahun Baru Masehi, karena mereka hanya merayakan satu tahun baru, yaitu Imlek.
#nfglobalhub
#nurulfikri
#studyabroad
#studytochina
#learnmandarin
#chineselanguage
#thinkglobal
#improveskill
#dayatawarkompetensi
#traveltochina
#wisatakecina
#tiongkokcinasamasaja
#amazingchina
#explorechina
#wisatayangbeda
#halaltripcina
#seeingisbelieveing