
[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]
Tok toktokkk…Pintu asrama kami berbunyi saat kami siap-siap istirahat siang. Batin saya,siapa gerangan siang-siang panas liburan begini ada yang mengetuk pintu. Dengansegera kami buka pintu dan ada lelaki yang kami kenal dekat sambil membawa bingkisan besar berdiri di depan pintu.
Tanpa basa-basi ia lalu menyodorkan barang bawaannya. “Ini untuk kalian masak buka puasa.” Belum hilang rasa penasaran dan kaget kami ia meneruskan ucapannya “ini ada ayam dua ekor dan sayur, tapi maaf ayamnya belum sempat aku cuci karena dari pasar aku langsung kesini, jangan lupa kau cuci dulu ya”.
Setelah selesai menerima bingkisan tersebut tak lupa aku mengucapkan banyak terimakasih kepadanya dan menanyakan apakah nanti sore bisa ikut buka bersama di asrama kami? “Nanti lihat waktu dulu, kalau bisa aku akan datang,” balasnya.
Selama Ramadhan ini, ini kali keduanya ia memberi daging ayam dan bahan masakan.
Sehari sebelumnya ia datang ditemani Boihaki mahasiswa asal Aceh untuk berbuka puasa dan sholat tarawih di asrama kami, tepatnya di balkon kamar lantai 16 bersama enam mahasiswa Indonesia lainnya yang tidak pulang selama liburan Musim Panas ini.
Nama muslimnya Abdullah, sedangkan nama mandarinnya Ma Zhen Qian, tapi kami sering memanggilnya dengan Abdullah. Lelaki paruh baya yang berusia 75 tahun ini berasal dari Provinsi Gansu –salah satu provinsi di Tiongkok Barat Laut yang menjadi asal suku muslim Hui Tiongkok–adalah pemilik salah satu kantin Muslim di kampus Nanchang University, kampus dimana saya menuntut ilmu.
Selain dikampus kami, Ia juga memiliki empat kantin muslim lainnya yang tersebar di empat kampus berbeda di kota Nanchang. Di Tiongkok, setiap kampus besar biasanya ada kantin muslim yang dimiliki oleh muslim suku Hui atau suku Uighur Xinjiang.
Dikampus kami ada sepuluh komplek kantin yang tersebar dan terdapat empat kantin muslim di antara komplek tersebut. Setiap komplek kantin terdiri dari satu bangunan besar tiga lantai yang mampu menampung sampai seribuan pengunjung.
Kantin Bapak Abdullah ini terletak di komplek kantin 1 dan kantin Muslim terbesar di kampus kami yang mampu menampung sampai ratusan orang, walaupun nama resmi kantinnya adalah Kantin 1 Muslim atau Di yi Musilin Shitang tapi kami biasa menyebutnya Kantin Abdullah sesuai dengan nama pemiliknya.
Kantin 1 Bapak Abdullah ini selalu dipadati pengunjung setiap jam makan tiba. Menu yang dihidangkan cukup bervariasi dan dapat dipilih sesuai selera. Pelanggannya tidak hanya terbatas pada mahasiswa Muslim saja, malah kebanyakan adalah mahasiswa lokal yang non Muslim (rasa masakan tidak bisa bohong mungkin yaa).
Bapak Abdullah adalah sosok yang ramah dan bersahaja. Tak jarang dia sering menyapa para pelanggan yang datang di kantinnya. Terkadang dia juga menyempatkan duduk diantara mereka untuk menanyakan tentang masakan yang sedang mereka santap. Dia adalah pelaku bisnis yang sangat mengutamakan kepuasan pelanggan.
Persahabatan kami berawal ketika kami sering datang ke kantinnya untuk makan siang. Lokasi kelas kami yang tak jauh dari kantinnya, membuat kami senantiasa tidak bosan untuk melangkahkan kaki kesana. Karena sering melihat kami berkunjung, Bapak Abdullah pada suatu kesempatan menyapa kami dan duduk satu meja menemani kami makan siang.
Saat itu kami adalah mahasiswa baru yang belum lancar berbahasa Mandarin. Bapak Abdullah dengan tutur katanya yang halus mencoba berkomunikasi dengan kami, kadang dengan menggerakkan tubuhnya mengisyaratkan sesuatu yang ingin dikatakannya. Kami pun mencoba membalasnya dengan semampu kami. Dan dari percakapan itupun, beliau mulai tahu bahwa kami berasal dari Indonesia.
Bagi Bapak Abdullah. Indonesia bukanlah negara yang asing di telinganya. Dia tahu bahwa penduduk Indonesia mayoritas adalah Muslim. Dan bahkan dia pun tahu nama-nama Presiden Indonesia, dari Presiden pertama hingga Presiden terakhir yaitu Susilo Bambang Yudhoyono.
Kami pun terkadang heran bagaimana Bapak Abdullah bisa menghafal nama-nama Presiden Indonesia yang ejaan namanya tidak mudah diingat, apalagi untuk ukuran orang Tiongkok. Karena dalam bahasa Mandarin tidak mengenal alfabet (seperti yang kita kenal). Namun setelah sekian lama kami berinteraksi, kami akhirnya tahu bahwa dia adalah sosok yang berpengetahuan luas.
Di kantin ini pula kami dapati poster larangan merokok yang ditulis dalam bahasa Arab. Artinya beliau bukanlah orang biasa, karena sangat jarang orang Tiongkok mengerti bahasa Arab. Sepengetahuan kami selama disini hanya Ahong (Imam Masjid) yang bisa berbahasa Arab dengan baik.
Hari demi hari persahabatan kami semakin akrab. Ketika kami makan di kantinnya, Dia sering ikut bergabung dengan kami, bahkan tak jarang memberi bonus tambahan sepiring lauk bagi kami. Apalagi ketika ada menu baru yang ingin dia tawarkan.
Saatmomen bersantap siang inilah kami sering bertukar pikiran dengannya tentang Islam di Indonesia ataupun Islam di Tiongkok. Ia bercerita mulai dari dia pernah naik Haji sampai kehidupan muslim Tiongkok.
Ia pun mengaku Islamnya kurang sempurna salah satunya karena dia tidak bisa membaca Al-Quran dengan tajwidnya dan Dia sering bertanya banyak hal pada kami tentang Islam.
Seperti tentang Puasa, Haji, Tradisi orang meninggal, dan bahkan tentang mazhab yang dianut Muslim di Indonesia atau tentang kelompok-kelompok Islam yang ada di Indonesia. Jika terkadang kami tidak faham dengan bahasanya, dia mencoba menjelaskan kembali dengan bahasa yang lebih sederhana atau bahkan diikuti dengan gerakan badan dan tangan agar kami menjadi paham.
Kami juga pernah menanyakan, mayoritas penduduk Tiongkok adalah tidak beragama dan banyak anggota partai komunis, bagaimana dengan dia yang muslim? Ternyata jawabannya malah membuat kami kaget, Ia muslim dan juga anggota partai, cukup banyak muslim Tiongkok yang menjadi anggota partai komunis tetapi tetap hati dan imannya kuat. Saat ini anggota partai komunis bebas, boleh beragama atau tidak dan sama-sama dihormati. Berbeda dengan masa dulu ketika awal Tiongkok berdiri.
Setiapkali memperingati Iedul Adha, Bapak Abdullah selalu mengundang seluruh mahasiswa Muslim baik lokal maupun asing untuk makan bersama di kantinnya. Menu yang disajikan pun cukup spesial karena terdiri dari daging kambing dan daging sapi.
Tahun kedua saat kami ikut merayakan Idul Adha bersamanya, dia mempersiapkan acaranya lebih spesial dari tahun sebelumnya. Dia turut mengundang perwakilan pimpinan dari kampus dan beberapa mahasiswa non Muslim. Dalam rentetan acara peringatan Iedul Adha tersebut, beliau juga mengundang Qori’ lokal untuk membacakan ayat suci Al-Quran sebelum acara dimulai. Sungguh luar biasa peran beliau dalam memperkenalkan Islam di bumi komunis ini.
Beliau selalu menjadi orang pertama yang membantu kami dalam segala hal. Termasuk ketika kami menyelenggarakan kegiatan Indonesian Food Festival yang lokasinya tak jauh dari kantinnya pada November 2013 lalu. Beliau membantu kami dalam banyak hal seperti penyediaan listrik dan peralatan lainnya seperti meja dan kursi.
Pada momen Ramadan tahun ini, tak lupa beliau memberi kepada kami yang tidak pulang kampung. Beliau mengundang kami untuk berbuka puasa bersama dan sholat tarawih di kantinnya.
Walaupun akhirnya buka bersama dan tarawih di kantinnya hanya bisa kami lakukan sekali karena bertepatan dengan momen liburan, namun beliau mengirimkan bahan makanan berupa beras, minyak goreng, ayam, bebek, dan sayuran yang cukup banyak bagi ukuran kami untuk bekal selama Ramadan. Bapak Abdullah dengan kesahajaannya selalu menjadi teladan bagi kami.
Bagi kami beliau bukanlah orang asing. Tidak ada jarak suku dan bangsa dalam persahabatankami. Bagi kami yang tidak mudik, memiliki Abdullah disini menjadi penggantikeluarga yang berada jauh di Indonesia.
Kisahkami dengan Bapak Abdullah adalah salah satu cerita persahabatan kami dengan saudaramuslim Tiongkok yang ada di kota Nanchang ini, sungguh indah persahabatan ituseperti apa yang di sunnahkan Rasul SAW bahwa Setiap Muslim itu adalah Saudara yang tak kenal sekat suku dan bangsa.
Penulis: Hilyatu Millati Rusydiyah, mahasiswa Master in Entreprise Management Nanchang University, Kota Nanchang, Provinsi Jiangxi, RRT.
11/8/14