[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]
Di dunia ini tidaklah banyak negeri yang berhaluan komunis. Salah satunya adalah Tiongkok. Negeri dengan sejarah panjang para Kaisarnya yang hingga kini pemerintahnya masih konsisten menganut sistem komunis. Dengan populasi penduduk terpadat di dunia sekira 1.3 miliar, tidaklah banyak orang Muslim bisa dijumpai di Negeri ini. Hanya sekira 20 juta atau 1 persen dari penduduknya yang menganut agama Islam dan tersebar di seluruh kota di daratan Tiongkok.
Walaupun begitu, penulis sangat bersyukur karena di kota tempat tinggal penulis, Nanchang, terdapat dua masjid, restoran-restoran kecil halal dan juga beberapa kantin halal di kampus yang dimiliki oleh warga muslim asli Tiongkok dari suku Hui ataupun Uighur.
Ramadhan di Tiongkok tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Tidak ada acara penyambutan dan kemeriahan di setiap malam-malamnya. Hanya segelintir warga Muslim yang menjalankan ibadah puasa. Itupun sudah termasuk warga Muslim asing yang ikut menetap disana.
Penulis sedang menempuh studi di Nanchang University, Kota Nanchang, Propinsi Jiangxi, Tiongkok bagian tengah sejak 2011 lalu dan ramadhan tahun ini adalah ramadhan kali kedua bagi penulis menjalankannya disini. Bagi masyarakat Indonesia, kota ini mungkin tidak populer karena bukanlah kota tujuan wisata utama di Tiongkok.
Di kota ini, terdapat sekitar 4000 warga Muslim. Mayoritas adalah perantau dari Wilayah Otonomi Xinjiang, Provinsi Gansu, Provinsi Qinghai dan Wilayah Otonomi Ningxia Hui, empat propinsi di Tiongkok dengan mayoritas muslimnya. Ketika Ramadhan tiba, para perantau ini akan mudik ke daerah asalnya masing-masing karena bertepatan dengan libur musim panas, otomatis hanya tinggal sedikit orang yang melaksanakan ibadah puasa di kota ini.
Di Nanchang ada dua masjid yakni Masjid Nanchang Lama dan Masjid Besar Nanchang. Saat ini yang difungsikan hanya Masjid Besar Nanchang, yang diresmikan sejak Idul Adha 2012 lalu. Sementara masjid yang lama sudah tidak mencukupi untuk menampung jamaah karena kecil seperti ruko dua lantai dan wilayah di sekitarnya sedang di bangun untuk stasiun kereta bawah tanah.
Mulai tahun ini tarawih dan buka bersama untuk pertama kalinya akan dilaksanakan tiap hari di Masjid Besar Nanchang atau Nanchang Da Qingzhensi. Tarawih disini dilaksanakan 20 rakaat dan setiap habis membaca surat al fatihah dilanjutkan dengan surat-surat pendek seperti kebanyakan Tarawih di Indonesia.
Muslim Tiongkok sebagian besar menganut paham Madzab Hanafi. Berbeda dengan Indonesia yang mayoritas penduduk muslimnya menganut Madzab Imam Syafi’i.
Pada tahun ini Ramadhan di Tiongkok jatuh pada hari Ahad, 29 Juni 2014. Sebagai pendatang, kami pun mengikuti keputusan Ulama setempat untuk memulai ibadah puasa pada hari tersebut yang diumumkan melalui masjid-masjid di seantero Tiongkok sejak seminggu sebelum dimulainya puasa dan dibagikan pula jadwal imsakiyah sesuai kota masing-masing oleh asosiasi-asosiasi muslim di tiap kota atau propinsi dibawah kordinasi China Islam Association (CIA) atau Zhongguo Yisilan Jiao Xie Hui.
Kami menanyakan ke Ahong (sebutan Imam atau Ulama dalam bahasa Mandarin) Masjid Besar Nanchang, Imam Musa, yang juga ketua asosiasi islam propinsi Jiangxi mengenai penetapan awal Ramadhan dan Syawal, beliau mengatakan, bahwa kaum muslim di Tiongkok menggunakan metode Istikmal yakni menggunakan Rukyah dan Hisab.
Berpuasa di luar negeri tidaklah semudah berpuasa di negeri sendiri. Banyak tantangan yang harus kita hadapi. Diantaranya adalah cuaca. Negeri dengan 4 musim biasanya mempunyai cuaca yang cenderung ekstrem. Puasa akan lebih singkat bila dilaksanakan di musim dingin. Dan sebaliknya akan menjadi lebih panjang bila dilaksanakan di musim panas.
Ramadhan di Tiongkok jatuh pada musim panas. Dengan cuaca rata-rata di atas 30 derajat, bisa dibayangkan berpuasa di Tiongkok akan terasa lebih berat. Apalagi waktu puasa pun menjadi lebih panjang.
Bila di Indonesia, kita melaksanakan puasa selama kurang lebih 12 jam. Di Tiongkok, ketika musim panas, kita akan melaksanakan puasa lebih dari 16 jam. Di Nanchang waktu sahur jatuh pada pukul 03.00, subuh 3.45 dan waktu buka puasa sekira pada pukul 19.30.
Itupun bisa berbeda kondisi jika berada di daerah Tiongkok bagian utara yang bisa satu atau dua jam lebih lama. Karena kebetulan kami tinggal di daerah Tiongkok tengah, jadi puasa kami “hanya” membutuhkan waktu sekitar 16 jam.
Selain itu, waktu siang yang lebih panjang juga menjadi tantangan lain yang harus dihadapi, yakni metabolism kondisi tubuh. Kondisi ini tentunya akan mengganggu metabolisme waktu tidur. Bila biasanya di Indonesia siang dan malam terbagi dengan adil sebanyak 12 jam. Di Tiongkok, bila musim panas tiba maka waktu malam akan lebih pendek daripada siangnya. Langit baru akan gelap pada pukul 19.00an lebih dan akan terang kembali pada pukul 04.30.
Dengan begitu, pada bulan Ramadhan kita hanya mempunyai waktu tidur malam sekitar 3-4 jam sehari. Karena waktu isya jatuh sekitar pukul 20.40an dan sholat tarawih baru selesai ditunaikan sekitar pukul 22.15. Paling cepat, kita bisa tidur pukul 23.00 kemudian bangun kembali pada pukul 02.45 untuk persiapan sahur.
Beruntung bagi saya karena tidak menjalankan puasa di Tiongkok seorang diri. Akan tetapi bersama dengan suami dan beberapa teman Indonesia lain di kampus yang sama dan juga beberapa teman dari negara lain. Sehingga kami bisa saling bahu-membahu untuk menyiapkan hidangan buka dan sahur serta melaksanakan sholat tarawih berjamaah di asrama.
Kami melaksanakan jamaah sholat tarawih di asrama. Alhamdulillah kami mendapatkan asrama yang cukup memadai dan cukup luas, sehingga dapat digunakan untuk melaksanakan sholat tarawih berjamaah untuk 8 orang. Setiap malam, para jamaah lelaki bergilir menjadi imam dan bilal.
Untuk masalah menu, kami selalu menyajikan masakan bercita rasa Indonesia. Menu takjil kami disini tidaklah jauh berbeda dengan Indonesia. Kolak masih menjadi andalan bagi kami. Bedanya kolak di sini tidak bisa bervariatif seperti di Indonesia, karena bahan-bahannya terbatas.
Tidak ada kolang-kaling yang ada hanya labu dan kacang hijau yang bisa kami masak menjadi kolak. Karena pisang di sini tidak cocok untuk dimasak apalagi dijadikan kolak. Sementara untuk santannya walaupun susah diperoleh, berupa santan bubuk kelapa yang bagi orang sini biasanya dibuat minuman hangat.
Sedangkan Muslim setempat biasanya mereka memulai berbuka puasa dengan semangka atau roti Arab ditemani segelas air putih. Dibandingkan dengan Indonesia, menu buka puasa di sini sangatlah sederhana. Tidak ada teh manis, kolak, ataupun gorengan.
Satu hal yang selalu membuat saya rindu akan Ramadhan di Indonesia adalah kemeriahan di setiap malam-malamnya. Semua orang berbondong-bondong memenuhi masjid-masjid dan mushola untuk melaksanakan sholat tarawih. Dan setelahnya suara tadarus Quran senantiasa terdengar bersautan bahkan hingga tengah malam. Suasana inilah yang tidak saya temui ketika melaksanakan Ramadhan di negeri Tiongkok.
Bagi orang Tiongkok, ibadah puasa yang mengharuskan seorang Muslim untuk tidak makan dan minum adalah hal yang aneh. Apalagi di musim panas seperti ini. Mereka sering bertanya-tanya kepada kami apakah kami tidak lapar dan haus? terkadang mereka akan mengkhawatirkan kondisi kesehatan kami.
Karena musim panas yang ekstrem sangat mudah membuat seseorang terserang dehidrasi. Namun bila kami menjelaskan pada mereka bahwa puasa adalah keyakinan kami, maka mereka pun akan memahami dan memberikan toleransi pada kami.
Ramadhan tahun ini adalah kali kedua yang saya laksanakan di luar negeri. Pengalaman-pengalaman yang saya rasakan saat ini menambah pemahaman saya akan keragaman budaya Islam di Negara lain. Dan tentunya menjalankan puasa di Indonesia bagi saya adalah yang paling ideal. Tidak banyak kesulitan yang kita hadapi. Dan syiarnya pun terasa hingga seantero negeri.
Hilyatu Millati Rusydiyah, Mahasiswa Master in Entreprise Management, Nanchang University, Kota Nanchang, Propinsi Jiangxi, Tiongkok.
10/8/14