[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]
Dokumentasi kemeriahan dan kekhidmatan Iedul Fitri 1435H di salah satu sudut Kota Nanchang,Provinsi Jiangxi, Tiongkok.
“Karena dunia ini tidak sebesar jari kelingking”
Idul Fitri di Tiongkok, Pawai Takbir sebelum Sholat Ied di tengah Rindu akan Keluarga di Rumah
Gemuruh takbir memecah pagi yang masih sepi di sepanjang jalan Honggutan, Nanchang, tepatnya di jalan ke arah Masjid Besar Nanchang, kota Nanchang Provinsi Jiangxi, Tiongkok pada Selasa, (29/7) kemarin.
Ratusan jamaah berpawai dari lapangan Wanda Guangchang yang berjarak sekitar 500 meter dari masjid tersebut, seperti yang sudah-sudah, tradisi di masjid Nanchang tiap pagi jelang sholat Idul Adha dan Idul Fitri akan dimulai, terlebih dahulu diawali dengan pawai takbir sambil membawa puluhan bendera dengan tiang dari kayu bambu setinggi tiga sampai empat meter.
Bendera yang berbentuk segitiga berwarna hijau dan pinggirnya diberi kain semacam lipatan renda warna putih tersebut bertuliskan dua bahasa yakni Arab “Masjid Akbar Nanchang” dan Mandarin “Nanchang Da Qingzhensi”. Pawai dimulai sekitar jam 7.30 sampai jam 08.00 waktu setempat, setelah jamaah masuk masjid, sbelum sholat Id yang akan dimulai pukul 08.45, Ahong atau Imam Masjid Nanchang mengisi ceramah terlebih dahulu
Tradisi Sholat Jumat atau Sholat Ied di Tiongkok. Satu atau setengah jam sebelum sholat mulai biasanya akan diawali dengan ceramah, baru setelah itu Sholat dan khutbah akan dibacakan sekitar sepuluh menit dengan bahasa Arab.
Idul Fitri kali ini di sebagian besar di Tiongkok dilaksanakan pada Senin, 28 Juli, akan tetapi Sholat Ied dilaksanakan pada Selasa, 29 Juli, kemarin. Bagi kita sedikit aneh karena sholat Ied adalah pertanda dari dimulainya bulan Syawal dan berakhirnya Ramadan, bahkan teman-teman penulis dari India dan Negara-negara Timur Tengah di sini juga menanyakan hal yang sama.
Pada satu waktu kami menanyakan kepada Imam Masjid, Imam Musa. Beliau mengatakan, jadwa lsholat Ied dan puasa Ramadan dikeluarkan sebelum bulan Ramadan tiba dan dari jadwal itulah jamaah sejak jauh hari bersiap meluangkan waktu untuk sholat Ied yang sudah ditentukan, mulai dari ijin bekerja sampai perijinan penyelenggaraan sholat Ied, karena Tiongkok adalah Negara komunis (yang tidak meletakkan agama di urusan publik–sekuler) jadi sejak jauh hari perijinan tersebut harus diurus.
Ketika ada perubahan jadwal jatuhnya 1 Syawal hasil dari Rukyat Hilal, perubahan ini tidak akan mempengaruhi pelaksanaan Sholat Id tetapi hanya diumumkan di masjid bahwa hari Senin (28/7) sudah 1 Syawal dan dilarang berpuasa. Jadwal sholat Ied tidak diubah karena perubahan secara mendadak akan susah mengurus perijinan da njamaah yang sudah sejak lama menyiapkan waktu pada hari tersebut juga susah mendapat ijin dari tempatnya kerja, inilah yang menjadi salah satu alasannya.
Idul Fitri kali ini adalah kali kedua saya merayakannya di Tiongkok, tidak ada malam takbiran disini apalagi suara bedug. Ya, kami anggap wajar karena disini selain Negara komunis juga Islam adalah minoritas dari penduduknya. Sebagai penggantinya, di asrama kami mendengarkan takbiran dari salah satu saluran radio streaming di Indonesia dan rekaman takbiran hasil unduhan di internet sebelumnya untuk merasakan suasana Hari Kemenangan tiba.
Selain itu, ada yang sangat berbeda dengan perayaan Idul Fitri di Indonesia, di sini usai sholat Ied tidak ada tradisi kunjungan atau silaturahim, Halal bi Halal dan ucapan bermaaf-maafan, yang ada hanya bersalaman usai sholat Ied sambil mengucapkan kata “Ied Mubarak,” teman-teman muslim dari Negara lainnya juga sama, hanya ucapan tersebut yang ada. Sungguh Idul Fitri di Indonesia dengan tradisi berkumpul keluarga dan saling memohon maaf adalah tradisi yang luar biasa yang diwarisi dari para penyebar Islam di Indonesia.
Untuk mengobati rasa rindu berlebaran di rumah, saya dan enam teman Indonesia lainnya yang tidak pulang liburan summer sepakat merayakan bareng di asrama dengan masak menu khas lebaran. Dengan patungan berenam kami membeli sayur, buah dan daging dan mulai kami masak sejak malam takbiran.
Kami memasak Lontong Opor Ayam, Rawon Daging Sapi, Rendang, Cap Cay, Sup Buah dan membuat kue-kue khas lebaran lainnya. Walaupun suasana tidak sama dengan di Tanah Air paling tidak kami bisa merayakan kebersamaan Idul Fitri kali ini. Sebagian bumbu yang tidak ada disini seperti kluwak, kunyit, lengkuas dan sereh kami membawanya dari Indonesia. Sementara untuk daun pisangnya kami harus sedikit berjuang mencarinya di lokasi yang cukup jauh dari kampus karena memang disini jarang sekali ada pohon pisang seperti di Indonesia yang bertebaran dimana-mana, apalagi daun kelapa dijamin tidak ada sehingga tidak bisa membuat ketupat.
Dengan naik bus kota sekitar 30 menit kami berangkat ke masjid dan pulang juga naik bis jurusan yang sama, sehabis dari sholat Ied kami bersama makan-makan di asrama hasil dari masak bersama dan mengajak seorang teman mualaf muslimah Tiongkok yang bertemu di masjid sebelumnya.
Sambil makan bareng diselingi dengan candaan ringan kami bercerita tentang tradisi merayakan lebaran di kampung halaman masing-masing. Untuk melepas kangen dengan keluarga di Tanah Air kami cukup memakai media sosial seperti Skype, Whatsapp atau Facebook dan sesekali lewat telepon karena pulsanya cukup mahal.
Kebersamaan di Hari Kemenangan ini semoga selalu terjalin dan semoga tahun depan kita semua bisa berjumpa dengan Ramadan dan Idul Fitri lagi, Amin.
Dari Tiongkok kami mengucapkan Selamat Idul Fitri, Taqobbalallahu minna wa minkum Taqobbal ya Karim, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Penulis: Ahmad Syaifuddin Zuhri, Mahasiswa Master in International Relations Nanchang University, kota Nanchang, Provinsi Jiangxi, RRT. Dewan Pembina Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok 2014-2015.
11/8/14
11/8/14




