
[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]
Dua Nenek yang Rela Tempuh Perjalanan Puluhan Kilometer Tiap Hari ke Masjid
Ramadan ini, untuk pertama kalinya merasakan puasa di negeri Tiongkok sebulan penuh, selama ini saya selalu menghabiskan puasa di Aceh tempat asal saya.
Saya beruntung, disini saya bertemu dengan kedua ayi-ayi (panggilan sopan untuk perempuan lanjut usia) dalam bahasa Mandarin, mereka berdua asli Nanchang yakni Ayi Mu Ai Li dan Ayi Salimah. Kali pertama bertemu mereka saat shalat Jumat 2011 silam, mereka adalah jamaah tetap Masjid Nanchang. Sewaktu Jumat saya ke masjid, mereka pasti ada dan dengan senyum menyambut saya, disertai sapaan Assalamualaikum. Ya, di Tiongkok yang menganut Mazhab Hanafi, jamaah perempuan juga melaksanakan shalat Jumat di masjid seperti jamaah laki-laki.
Ayi Mu AiLi yang berusia 70 tahun sudah bersahabat dengan Ayi Salimah (75 Tahun) sejak lama, jadi mereka selalu bersama-sama kalau ke masjid. Meski daerah tempat tinggal mereka tidak berdekatan akan tetapi selama Ramadan ini mereka sepakat pergi dan pulang ke masjid bersama-sama. Rumah mereka sekitar 10 km jaraknya dari Masjid Nanchang, tiap hari mereka menempuh perjalanan dengan naik bus kota. Jika Ayi Mu Ai Li dari rumah naik bus kota nomor 8 lalu menunggu Ayi Salimah disuatu tempat.
Sedang Ayi Salimah naik bus kota jalur 232 dari rumah, setelah itu mereka bertemu lalu sama-sama melanjutkan perjalanan menuju masjid dengan menaiki bus jalur 224. Usai shalat tarawih dan witir selesai pukul 21.40, mereka berdua langsung bergegas pulang menuju halte bus terdekat dengan berjalan kaki kira-kira satu kilometer dari masjid dan naik bus yang sama sebanyak dua kali.
Jika mereka terlambat, bakal tidak akan mendapat bus, karena jadwal bus rute tersebut hanya hingga pukul 22.00, saya tidak melihat keluarga yang mengantar mereka. Mereka tidak ingin direpotkan, usia uzur tapi semangat istiqomahnya tinggi.
Namun berkah setelah menempuh perjalanan bus, maka mereka bisa berbuka puasa gratis di Masjid Nanchang selama sebulan penuh.
Saya bersyukur masih ada sepeda yang bisa dikayuh dari kampus ke masjid, jadi tiap hari ke masjid tidak naik bus karena kalau naik bus ketika pulang tarawih sudah tidak ada lagi.
Tidak ada kata lelah di wajah mereka, buktinya Ramadan kali ini juga, mereka rutin pergi ke masjid. Siang sebelum ashar, mereka sudah di masjid, karena ba’da ashar mereka ingin mengikuti ceramah dan pengajian yang di masjid.
Bahkan pernah saya dapati mereka datang sebelum zhuhur di hari Jumat, jadi mereka ikut shalat Jumat, lalu tidur siang di masjid, hingga menunggu waktu berbuka. Saya melihat mereka sangat rajin shalat fardhu dan shalat Jumat rutin, meski shalat sunat Jumat (di masjid) tidak wajib bagi perempuan.
Sungguh sangat berbeda dengan generasi muda muslim kebanyakan yang saya lihat di sini, mereka banyak yang tidak terlalu peduli dengan kewajiban beragamanya.
Sisi lain, komitmen Pemerintah kota Nanchang sebagai wujud kepedulian bagi penduduknya yang berusia lanjut memberikan fasilitas kartu laoren ka atau kartu tiket transportasi umum bagi orang tua dan usia lanjut dengan gratis, tanpa bayar cukup tap ke mesin yang di bus ketika akan masuk.
Kata Ayi Salimah, ia dan Mu Ai Li karena sudah berusia 70 tahun berhak mendapat kartu transportasi tersebut, mereka bisa naik bus kota sebanyak 100 kali selama sebulan tanpa bayar.
Meski pemerintah Tiongkok sebagai negera sosial-komunis yang mayoritas menganut paham Atheis (agnostik), namun ada beberapa kebijakan yang menurut saya, disamping bisa membantu orang yang berusia lanjut yang didalamnya ada orang muslim juga. Jika ditelaahmenurut Islam, pemerintah akan mendapat pahala yang terus mengalir, karenakartu tersebut tidak hanya berlaku selama bulan ramadhan saja. Berkah ramadhanbagi ayi Salimah dan Mu Ai Li, karena dalam keadaan berpuasa bisa dapat transportasi gratis.
Warga Tiongkok yang usia lansia sangat banyak, makanya pemerintah memberlakukan jika sudah berusia 70 tahun, maka para lansia itu akan mendapat kartu laoren ka, dengan kesempatan naik bus sebanyak 100 kali (per bulan).
Jika sudah berusia 100 tahun, maka gratis naik bus hanya 60 kali, karena pemerintah memprediksikan jika makin panjang umur pastinya naik bus akan berkurang diakibatkan sudah uzur. Kebijakan yang terus mengalir kebaikan di negeri yang banyak orang tak percaya Tuhan (tidak tersentuh dakwah secara masif) tersebut.
Ada hal unik ketika mengunakan kartu itu, jika Ayi Salimah dan Mu Ai Li menempelkan ke mesin tap nya yang terdapat dalam bus, maka mesin tap itu akan berbunyi ”laorenka”, maka orang muda yang mendengar dan duduk di kursi khusus orang tua, pasti mempersilahkan mereka untuk duduk, sedang sang pemuda tersebut memilih berdiri.
Ada lagi kebaikan pemerintah setempat, terkait fasilitas air minum (mesin jerang air dan dispenser air) gratis yang bisa didapat di bandara baik domestik dan internasional, stasiun kereta api dan di dalam gerbong kereta api. Bisa di bayangkan jika ada muslim yang melakukan perjalanan jauh dan di musim panas Ramadhan ini. Maka fasilitas air minum bisa untuk berbuka di dalam kereta. Lagi-lagi pemerintah memberi kebijakan yang menguntungkan secara umum sekaligus bagi ayi-ayi dan muslim Tiongkok lainnya.
Ketika saya bertanya kepada kedua Ayi tersebut tentang fasilitas yang diberikan bagi yang usia lanjut apakah juga ada yang lainnya? Mereka menjawab, selain gratis naik bus, ada fasilitas berobat cuma-cuma di rumah sakit milik pemerintah (RSUD setempat).
Yang tidak gratis yang saya tahu adalah rumah yang statusnya sewa, jika sudah 70 tahun disewa maka kedua Ayi itu harus meminta perpanjangan dengan bantuan anak atau cucunya agar bisa dapat perpanjangan kepada pemerintah untuk membayar.
Untuk seusia mereka, pemerintah setempat tidak menelantarkan mereka, para lansia diberikan pekerjaan seperti tukang sapu jalan, penghias tanaman, satpam atau pekerjaan sejenis, tak kecuali pekerjaan bangunan bagi fisiknya masih kuat.
Kebiasaan berjalan jauh membuat mereka meski di usia uzur masih sanggup menempuh perjalanan dengan berjalan kaki ketimbang memilih naik kendaraan sudah tertanam sejak masa mudanya dulu.
Kembali lagi ke Masjid Nanchang. Masjid Nanchang di bulan Ramadan ini memiliki aktivitas tilawatil Quran setelah shalat Ashar, kedua ayi-ayi itu rutin mengikutinya, karena mereka masih belum bisa membaca Al-Quran, hanya bisa menghafal surat-surat pendek dalam shalat dan doa setelah shalat yang diajarkan sang Imam masjid di sini.
Inilah sekilas yang bisa saya pelajari selama bulan Ramadan di kota Nanchang, mari berpikir untuk satu kebaikan yang pahalanya terus mengalir pasca Ramadan seperti tercontoh dari kebijakan Pemerintah Tiongkok lewat salah satu kebijakannya dengan fasilitas laoren ka dan gratis air minum tadi.
Penulis: Nelly, mahasiswa S2 Applied Mathematics, Nanchang University, Nanchang, Propinsi Jiangxi, RRT
11/8/14