[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]
Linxia, Kota dengan Puluhan Masjid Serasa di Kampung Halaman
Sudah lama sekali tidak mendengar suara adzan langsung dari masjid. Dua tahun ini, kecuali sedang berada didalam masjid Xiamen, saya hampir tidak pernah mendengar suara adzan lain dari masjid. Biasanya hanya suara aplikasi adzan dari handphone atau laptop ketika jam tiba waktu sholat. Meski keduanya sama-sama alunan panggilan untuk menghadap Sang Kuasa, namun beda saja rasanya mendengar yang asli dengan mendengar suara rekaman yang begitu-begitu saja. Kurang hidup.
Begitupun dengan masjid. Di daerah seluas Xiamen, sampai sejauh ini hanya ada satu masjid yang pernah saya kunjungi. Tidak seperti masjid di Indonesia yang pada umumnya mempunyai satu bangunan sendiri dengan arsitektur khas masjid yang sedemikian rupa, masjid di Xiamen terletak ditengah ruko. Kecuali tulisan Arab “al-masjid” diatas dan tulisan Mandarin “qing zhen si” disamping pintu depan masjid, daridepan sama sekali tak ada dekorasi khas masjid lain di masjid Xiamen ini. Sekilas tak terlihat seperti sebuah bangunan tempat peribadatan muslim.
Libur musim panas kali ini, saya mendapat kesempatan untuk menjadi guru relawan ke Propinsi Gansu, tepatnya di daerah Linxia, Jishishan. Mekah Kecil, begitu mereka memberi sebutan untuk Linxia. Pertama kali mendengar sebutan “Mekah Kecil” dari seorang teman yang notabene berasal dari Linxia, hal pertama yang ada dibenak saya adalah banyak pria memakai peci putih (kebiasaan berpakaian muslim di Tiongkok), banyak wanita memakai hijab, dan banyak makanan halal dijual di pinggir-pinggir jalana. Dibayangan saya, Mekah Kecil yang mereka maksud tidak lebih dari sebuah daerah di Tiongkok di mana muslim bukan lagi kelompok minoritas di dalamnya.
Saya dan sekelompok teman-teman sukarelawan dari Universitas Huaqiao berangkat dari Fuzhou menuju Lanzhou dengan menaiki kereta. Lanzhou adalah ibukota propinsi Gansu, terkenal sebagai salah satu daerah dengan penduduk muslim suku Hui cukup banyak di Tiongkok. Dari Lanzhou, kamidiantar menuju Jishishan dengan sebuah bus pariwisata. Selama perjalanan kuperhatikan kota Lanzhou dari jendela bus, tak jauh berbeda dengan kota-kota lain di Tiongkok, suasana daerah muslim tidak begitu terasa disana.
Karena sedang dalam keadaan berpuasa, saya sesekali melirik jam, tak sadar menghitung berapa lama lagi sampai waktu berbuka. Pukul sudah pukul 19.30 waktu setempat, langit biru terang dengan awan putihnya seolah sedang memberitahu apakah jam tangan ku sedang rusak. Kulirik juga jam di hape, setengah delapan malam. Betul, tidak salah tapi saya lupa sedang berada di Gansu. Di musim panas seperti sekarang, matahari di daerah Barat Laut Tiongkok baru turun sekitar pukul 20.30, durasi berpuasa disini kurang lebih 17 jam.
Waktu berbuka puasa, kebetulan kami makan disebuah restoran muslim di pinggiran kota Linxia. Kedua kali menghirup udara Barat Laut Tiongkok setelah yang pertama kali di stasiun Lanzhou beberapa jam sebelumnya. Setelah turun dari bus, saya seketika merasakan suasana yang berbeda. Sangat berbeda dari suasana kota di Lanzhou atau Xiamen.
Dugaanku benar, muslim adalah penduduk mayoritas di daerah ini. Suasana islami terasa sangat kental. Saya yang memakai hijab, untuk kali pertamanya di Tiongkok merasakan perasaan “kembali kerumah”, banyak ukhti-ukhti yang (meski tak sepenuhnya sama) berpakaian sama seperti ku. Pemandangan yang jarang sekali ditemukan di daerah lain di Tiongkok.
Setelah makan malam kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Jishishan. Masih harus ditempuh kurang lebih dua jam dari Linxia. Meski badan sudah terasa sangat lelah, tapi semangat untuk melihat pemandangan kota Linxia dari jendela bus terasa masih berapi-api.
Kurang lebih 15 menit perjalanan, kami mulai melewati kota Linxia. Teman-teman di dalam bus seketika ramai ketika melewati kota ini. Berbagai pujian dan ucapan takjub terlontar dari mereka. Benar saja, pemandangan malam kota ini benar-benar berbeda dari kota-kota lain di Tiongkok. Memang tak semewah Hongkong atau Shanghai, tapi merupakan satu pemandangan baru bagi mereka yang tak pernah datang ke daerah dimana Islam berkembang maju. Sepanjang jalan kulihat banyak sekali bertebaran masjid berarsitektur Arab atau Tiongkok, bangunan dan toko-toko dipinggir jalan juga syarat dengan nuansa islami.
Akhirnya, setelah menempuh dua hari dua malam perjalanan, sampailah kami ke Jishishan.Tempat yang akan kami tinggali selama satu bulan kedepan. Tidak seperti kota Linxia, karena Jishishan hanya merupakan salah satu distrik kecil di Linxia, saya tidak melihat pemandangan bangunan-bangunan gemerlap bernuasa islami di jalanan.
Namun karena tujuan kami adalah ditempat ini, Jishishan-lah yang membuatku benar-benar merasakan perasaan “pulang”. Kumandang adzan dari masjid terdengar setiap masuk waktu sholat lima waktu, panggilan sahur juga terdengar setiap sebelum waktu subuh. Suasana yang sudah lama sekali tidak saya rasakan diTiongkok. Ketika berbelanja pun, saya tidak perlu lagi mengerutkan dahi mencari label halal atau membaca komposisi yang tertera di setiap bungkus makanan, semuanya halal.
Tentu saja karena pengaruh kebiasaan, budaya dan geografis, ada beberapa tata cara dan kebiasaan beribadah di daerah ini yang berbeda dengan Indonesia. Misalnya cara bersuci, pakaian ketika sholat, perayaan hari-hari besar Islam, dll.
Namun demikian, seluruh umat Islam diseluruh dunia selalu “sama”. Perbedaan-perbedaan kecil (khilafiyah) yang ada hanya sebagai warna, hanya sebagai salah satu dari bungkusan refleksi manusia yang diciptakan oleh Allah dengan segala ciri dankelebihannya.
Penulis: Mega Indah, mahasiswi Jurusan Bahasa Mandarin Huaqiao University, Xiamen, RRT
11/8/14