Mudik di Tiongkok, Migrasi Terbesar yang Aman

[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]

Saya merupakan mahasiswa S2 jurusan Bisnis Internasional di University of International Business and Economics, Beijing, Tiongkok. Saat ini saya sudah melewati tahun pertama perkuliahan, yang berarti masih ada efektif 1 tahun lagi masa tempuh studi S2 saya. Saya sebenarnya sudah menempuh perkuliahan di Tiongkok sejak tahun 2011, dimana 2 tahun pertama saya menempuh studi yang setara Diploma 2 untuk program Bahasa Mandarin di Universitas Peking, Beijing. Alhamdulillah seluruh biaya dan tanggungan akomodasi tinggal selama saya menjalani perkuliahan tercakup dalam beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Tiongkok (China Scholarship Council). Banyak kisah yang saya alami selama menjalani perkuliahan dan kehidupan di Tiongkok, terutama kisah kehidupan sebagai muslim ketika bulan Ramadhan tiba. Ramadhan tahun ini saya juga sedang menjalani aktivitas magang di perusahaan lokal di Kota Tianjin. Ya, ini merupakan Ramadhan ke 4 yang akan saya lewati di Tiongkok.

Hal yang menarik untuk dibahas pada waktu menjelang lebaran kali ini tidak lain adalah mengenai mudik. Tradisi mudik ini bukan hanya dapat ditemukan di Indonesia, mudik juga bisa ditemui di negara-negara lain yang memiliki fenomena migrasi penduduk dari desa ke kota. Dengan memanfaatkan momen-momen liburan yang ada, mudik merupakan suatu kebutuhan dan menjadi budaya. Salah satu negara dengan budaya mudik terbesar adalah Tiongkok, dimana dalam salah satu rubriknya National Geographic juga menyebutkan bahwa mudik di Tiongkok ‘migrasi manusia terbesar’[1].

Mudik di Indonesia

Lebaran di Indonesia selain merupakan ajang relijius merayakan 1 Syawal, juga merupakan sebagai ajang sosial dimana mengunjungi dan berkumpul kembali dengan kerabat jauh yang sudah lama tidak bertemu sebelumnya. Setiap momen lebaran perasaan yang akan didapat sangatlah berbeda dengan momen lebaran di luar negeri. Rasa kesyahduan dan kekhusyukan berlebaran merupakan suatu rasa yang tidak ada duanya. Kesyahduan, kegembiraan, dan suka cita semua berkumpul jadi satu ketika hari berlebaran dan beberapa hari setelahnya.

Tradisi mudik di Indonesia memang masih didominasi oleh pergerakan massa yang berasal dari DKI Jakarta ke kota-kota baik di Pulau Jawa maupun di daerah kepulauan lain. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan Tiongkok yang akan dibahas kemudian. Namun yang sangat di sayangkan tradisi mudik di Indonesia pada setiap tahunnya selalu memakan korban yang menurut hemat saya jumlahnya tidak sedikit. Untuk tahun 2013 saja jumlah meninggal mencapai angka 686 jiwa, dan pada tahun 2012 sebanyak 757 jiwa[2]. Lantas saya berpikir bagaimana Tiongkok bisa mengendalikan dan menjamin keamanan para pemudik di Tiongkok yang jumlah massa nya bisa mencapai 300an juta orang setiap tahun.

Ketika sebelum berangkat ke Tiongkok hampir setiap Lebaran saya bersama keluarga merupakan pelaku mudik. Tujuan mudik keluarga kami adalah ke Bukittinggi, Sumatera Barat yang merupakan kampung halaman Bapak saya. Kami biasa menggunakan mobil pribadi untuk melaksanakan mudik karena dapat menampung jumlah anggota keluarga kami yang berjumlah 8 orang. Selain itu, mudik dengan menggunakan mobil memiliki keasyikan tersendiri untuk sembari singgah di tempat-tempat yang menarik untuk disinggahi sebelum tiba di Bukittinggi. Alhamdulillah pada ajang mudik yang pernah saya dan keluarga alami tidak ada kecelakaan yang sampai menimpa kami sekeluarga.

Faktor keamanan dalam menjalankan mudik ini merupakan faktor penting. Momen relijius yang penuh kesyahduan akan berubah 180 derajat ketika ada kerabat yang mendapati anggota keluarga mereka menjadi korban selama perjalanan ketika berangkat maupun kembali dari mudik, tentu tidak bisa dibayangkan betapa hancur dan pilunya perasaan para anggota keluarga korban mudik tersebut. Jumlah keluarga yang ditinggalkan pun bukanlah satu atau dua, namun ratusan, dan hal ini terjadi setiap tahun, masya Allah.

Segala sesuatu yang baik maupun buruk merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, namun bukan berarti upaya-upaya untuk merubah keadaan menjadi baik tidak bisa dilakukan, terutama dalam hal manajemen mudik ini. Banyak hal yang perlu diperhatikan mulai dari regulasi yang sangat tegas, fasilitas selama momen mudik, penjaminan keamanan, dan sebagainya. Coba kita lihat sedikit bagaimana Tiongkok mengelola pergerakan manusia tersbesar sejagat setiap tahunnya. Dengan begitu perbaikan-perbaikan

Mudik di Tiongkok

Tiongkok dikenal dengan negara dengan predikat ‘paling’ pada banyak sektor seperti populasi, tinggi bangunan, kebudayaan, sampai pada polusi udara. Dengan populasi Tiongkok yang berkisar lebih dari 1,3 miliar jiwa menjadikan Tiongkok perlu benar-benar beradaptasi dengan manajemen massa sedemikian banyak di segala bidang, terutama yang terkait kebutuhan kehidupan sehari-hari dan transportasi.

Tiongkok saat ini masih merupakan negara yang masih bertumbuh, oleh karena itu fenomena konsentrasi penduduk juga ditemukan di Tiongkok, terutama di kota-kota besar pesisir seperti Beijing, Shanghai, Chongqing, dan Guangzhou. Namun lambat-laun pertumbuhan sudah mulai bergeser dari pesisir menuju wilayah Barat Tiongkok. Konsekuensi yang timbul dari konsentrasi penduduk tersebut adalah migrasi penduduk dari kota-kota kecil menuju kota-kota yang dirasa lebih maju. Sudah banyak langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok dalam hal mengantisipasi perpindahan dan pergerakan penduduk dari kota-kota kecil ke kota-kota besar. Empat kota besar yang tersebut di atas tadi memiliki populasi lebih dari 20 juta jiwa. Namun pada kesempatan ini saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai populasi Tiongkok.

“Lebaran” di Tiongkok biasanya terjadi di masa Festival Musim Semi/Chun Jie, atau yang tidak lain disebut imlek. Pada momen imlek di Tiongkok biasanya merupakan hari libur selama 7 hari, waktu yang cukup panjang itu bisa digunakan oleh pemudik di Tiongkok untuk mengunjungi kampung halaman mereka. Makna yang ada pada imlek tidak jauh beda dengan lebaran, mengunjungi orang tua yang tinggal jauh dari kota, melepas penat hiruk-pikuk kota besar, dan melakukan ziarah-ziarah. Begitu kentalnya budaya masyarakat Tiongkok menjadikan tradisi mudik di Tiongkok merupakan tanggung jawab bagi pemerintah untuk menjamin setiap keamanan dan kenyamanan selama para pemudik melakukan perjalanan.

Peran Moda Transportasi

Tiongkok memang jago nya mengelola hal-hal yang bersifat kolosal, terutama aspek transportasi massal yang tertata rapih. Di setiap kota-kota dengan penduduk diatas 10 juta bisa ditemukan baik itu subway maupun MRT. Selain berbasis kereta, sarana transportasi publik di dalam kota juga termasuk bus-bus umum yang ongkosnya cukup murah, hanya Rp. 2.000-4.000. Moda transportasi dalam kota semuanya terhubung dengan baik.

Berbicara kebutuhan pergerakan manusia yang besar dalam rangka imlek, pemerintah Tiongkok sudah mengoprasikan kereta berkecepatan tinggi atau dalam Bahasa Mandarinnya disebut Gaotie sejak tahun 2007[3]. Kereta Gaotie ini cukup mutakhir semenjak memiliki teknologi kecepatan maksimal 300 kilometer per jam, sehingga bisa menjadi salah satu alternatif para pemudik yang akan kembali ke kampung halaman mereka masing-masing. Gaotie bukan hanya unggul dari aspek kecepatan lajunya, aspek kebersihan, kenyamanan dan keamanan yang terjamin. Saya sendiri sudah berkali-kali menjajal Gaotie ini bila hendak pergi ke kota-kota lain.

Gaotie merupakan contoh dari keberhasilan pemerintah Tiongkok untuk menunjang kebutuhan penduduknya dalam hal transportasi massal. Banyak moda transportasi lain yang digunakan oleh para pemudik di Tiongkok seperti mobil pribadi, bus antarkota, pesawat, atau kereta biasa. Hal yang perlu diperhatikan bahwa untuk menekan angka kecelakaan pemerintah Tiongkok melarang penggunaan sepeda motor untuk pemudik. Bahkan sepeda motor pun sejatinya sangat dibatasi penggunaannya di TIongkok. Kasus ekstrem bisa ditemukan di Kota Guangzhou yang sama sekali tidak memperbolehkan kendaraan sepeda motor bahan bakar bensin untuk digunakan. Di Beijing sendiri keberadaan sepeda motor juga sangat sedikit, kebanyakan transportasi jarak pendek menggunakan semacam sepeda listrik yang hanya memiliki kecepatan maksimal 30 kilometer per jam.

Selain mengenai pembatasan dan pelarangan penggunaan sepeda motor, aspek yang sangat menonjol adalah keamanan transportasi berbasis kereta. Setiap memasuki stasiun baik itu kereta api, Gaotie, subway, atau MRT diwajibkan untuk dipindai agar memastikan tidak ada barang-barang yang berbahaya masuk ke dalam sarana publik. Bahkan ekstremnya, di Beijing dan beberapa kota besar lainnya apabila kita membawa sebotol air putih, ketika pengecekan keamanan, petugas menyuruh kita untuk meminum air yang kita bawa. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada upaya-upaya rekayasa bahan-bahan berbahaya yang disamarkan dan lolos pengawasan petugas. Setiap stasiun kereta/subway/MRT juga dijaga ketat oleh aparat keamanan dan kamera cctv yang tersebar di setiap sudut.

Bentuk kepedulian pemerintah Tiongkok terhadap kebutuhan rakyatnya sangatlah nyata dalam hal transportasi massal. Terkait dengan budaya mudik di Tiongkok, contoh luar biasa dari catatan media setempat mengenai penyelenggaraan manajemen mudik yang baik di Tiongkok adalah catatan korban jiwa 10 orang[4] di tahun 2014. Bisa dibayangkan dari ratusan juta pemudik di Tiongkok angka kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa bisa ditekan sampai sedemikian rendahnya.

Poin yang bisa diakui dari kesan manajemen transportasi Indonesia dengan Tiongkok adalah ciri wilayahnya yang sangat berbeda. Indonesia merupakan negara kepulauan, sedangkan Tiongkok lebih banyak keuntungan wilayah daratan yang luas. Mengelola transportasi massal akan jauh lebih mudah dengan kondisi negara yang non-kepulauan. Selain itu kondisi alam yang secara geologis memiliki sedikit potensi gempa yang menjadikan sarana dan prasarana yang dibangun oleh Tiongkok dirasa lebih berusia pakai lama.

Menurut saya Indonesia dalam hal pengelolaan transportasi massal harus belajar kepada Tiongkok. Kualitas sarana dan sarana transportasi, manajemen transportasi, serta aspek lain yang terkait dengan transportasi bisa banyak meniru dari kesuksesan Tiongkok.

Peran Teknologi Praktis

Selain sistem transportasi massal, hal lain yang merupakan penunjang dari kebutuhan pemudik di Tiongkok adalah teknologi informasi yang praktis dan mudah dijangkau oleh banyak orang: ponsel pintar. Penggunaan ponsel pintar di Tiongkok lambat laun makin bertambah, seiring banyaknya merek-merek ponsel lokal yang membandrol ponsel-ponsel pintar tersebut di harga yang cukup murah. Penggunaan ponsel pintar itu menunjang kebutuhan informasi-informasi yang bisa didapatkan dari aplikasi-aplikasi ponsel yang juga dibuat oleh para pengembang aplikasi Tiongkok. Salah satu aplikasi yang paling banyak digunakan untuk kemudahan pemudik adalah peta Baidu[5].

Baidu sejatinya mesin pencari seperti Google yang juga memiliki pelayanan informasi peta dan jenis informasi lainnya. Penggunaan Baidu sebagai referensi pencarian lokasi dan informasi sangat memudahkan para pemudik dalam mencari alternatif jalan bagi pemudik dengan menggunakan mobil pribadi. Selain itu banyak bentuk kemudahan-kemudahan lain yang mengintegrasikan informasi yang sangat dibutuhkan oleh para pemudik dengan hanya melalui ponsel pintar.

Beruntunglah bagi para pemudik Tiongkok yang sudah lebih tenang untuk melakukan mudik tahunan mencakup keamanan, kenyamanan, dan kemudahan teknologi. Kira-kira kapan ya Indonesia memiliki prestasi yang sama dengan Tiongkok dalam hal manajemen mudik lebaran?

[1] http://news.nationalgeographic.com/news/2014/01/140131-lunar-new-year-china-migration-baidu-map/

[2] Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2013/08/16/0724327/Mudik.2013.686.Orang.Tewas.dalam.3.061.Kecelakaan

[3] Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/High-speed_rail_in_China

[4] Sumber: http://www.globaltimes.cn/content/841171.shtml

[5] Sumber: http://news.nationalgeographic.com/news/2014/01/140131-lunar-new-year-china-migration-baidu-map/

Penulis: Fathan Asadudin Sembiring

8/8/14

Leave a comment