[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]
“Merantaulah…Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan.”
(Imam Syafi’i)
Merantau untuk menuntut ilmu merupakan suatu pilihan. Pilihan untuk meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta serta sahabat dan teman. Imam Syafi’i telah memberikan jaminan dalam pesannya bahwa para perantau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang mereka tinggalkan.
Sejak tahun 2011, saya memulai perantauan saya di Negeri Tiongkok. Di sebuah kota kecil –untuk ukuran Tiongkok-, Tiongkok bagian tengah, tepatnya kota Nanchang provinsi Jiangxi. Merantau mengajarkan saya banyak pengalaman. Salah satunya adalah memegang teguh agama yang kami yakini. Dikarenakan negara ini komunis dan penduduknya mayoritas atheis, banyak pertanyaan yang muncul ketika mereka melihat kami melaksanakan ibadah seperti sholat dan puasa.
Ketiadaan fasilitas ibadah di berbagai tempat disini, membuat kami harus kreatif jika harus melaksanakan sholat lima waktu. Tak jarang disela ketika kami sedang kuliah atau dalam perjalanan, kami melaksanakan sholat di bawah tangga atau di pinggir danau atau bahkan di taman kota. Kami berkeyakinan bumi Allah suci, tidak perduli banyak mata memandang kegiatan sholat kami. Kami terbiasa dengan pandangan aneh mereka terutama dengan kerudung yang senantiasa saya pakai walaupun di musim panas yang rata-rata 35 derajat celcius sekalipun.
Kesulitan-kesulitan yang kami rasakan tentunya tidak pernah kami jumpai sebelumnya di Indonesia. Namun dengan segala keterbatasan dalam melaksanakan ibadah disini, membuat kami merasakan betapa nikmatnya menjadi seorang Muslim.
Ramadhan tahun ini, kami lebih banyak berinteraksi dengan Muslim lokal di masjid. Jika tahun lalu kami hanya menjalankan Ramadhan di asrama dengan kawan-kawan Indonesia lainnya dikarenakan kendala cuaca panas yang ekstrem dan juga jarak Masjid Nanchang Lama –saat ini untuk sementara tidak difungsikan- yang jauh, tahun ini kami menyempatkan sesering mungkin untuk berbuka dan sholat tarawih di Masjid Besar Nanchang yang diresmikan pada Idul Adha 2012 lalu.
Dan Alhamdulillah masjid yang baru ini relatif lebih dekat daripada masjid sebelumnya. Untuk mencapai masjid ini, kami biasa menggunakan bus umum ataupun dengan mengayuh sepeda, namun pilihan kedua yang lebih sering kami lakukan. Karena sholat tarawih baru selesai pukul 21.40 sedangkan bus umum terakhir beroperasi pukul 21.00. Walaupun terkadang salah satu jamaah menawarkan tumpangan untuk pulang, namun kami tidak ingin merepotkan mereka. Jadilah sepeda yang selalu menemani kami menuju masjid.
Jarak antara kampus menuju masjid sebenarnya cukup jauh, kurang lebih 5 km. Itu artinya kami harus menempuh jarak 10 km untuk round trip. Biasanya kami berangkat menuju masjid pukul 18.00, dan perjalanan ke masjid akan memakan waktu sekitar 45 menit. Sesampainya disana kami masih mempunyai waktu 30 menit untuk istirahat sambil mendengarkan kultum yang terkadang disampaikan Imam masjid sebelum waktu berbuka puasa tiba.
Tidak banyak jamaah yang kami temui disini. Setiap hari hanya sekitar 20 orang yang mengikuti buka puasa bersama dan sholat tarawih di masjid ini. Kebanyakan di antara mereka adalah orang tua. Mereka adalah orang-orang yang sama yang kami temui di setiap harinya.
Beruntung bagi perantau seperti kami, karena masjid disini tidak hanya menyediakan ta’jil untuk berbuka puasa akan tetapi juga makanan berat seperti nasi atau mantou -semacam bakpau tanpa isi- beserta lauk-pauknya. Buka puasa di masjid ini merupakan sumbangan dari restauran-restauran muslim setempat yang telah didaftar sejak awal Ramadhan. Jadi menu yang disajikan setiap harinya tidak jauh berbeda.
Ketika waktu berbuka tiba, Imam masjid akan berdiri di antara para jamaah yang telah menempati tempat duduk masing-masing untuk membaca doa. Setelah doa selesai dibacakan, barulah kami memulai berbuka puasa dengan teh, buah semangka ataupun kurma yang telah disediakan. Setelah selesai dengan ta’jil, Muadzin akan mengumandangkan adzan Maghrib dan sholat jamaah Maghrib segera ditunaikan.
Selepas sholat maghrib berjamaah, kami kembali lagi ke meja kami masing-masing untuk menyantap menu utama buka puasa, yang biasanya terdiri dari mantou, ayam atau bebek rebus, tumis bunga kol, tumis bihun, dan sup daging kambing. Menu utama biasanya disajikan dalam porsi besar. Sehingga terkadang kami membawanya pulang sebagian untuk sahur.
Selesai berbuka puasa, sambil menunggu sholat isya’ yang dimulai jam 21.00 kami biasanya menghabiskan waktu untuk membaca Al-Quran atau terkadang bercakap-cakap dengan jamaah lokal. Mereka sering bertanya dimana bisa membeli mukena seperti yang kami kenakan. Karena disini mereka sholat hanya menggunakan baju biasa dan kerudung.
Walaupun jamaah di masjid ini kebanyakan adalah orang tua, tapi mereka cukup sigap melaksanakan sholat tarawih 20 rakaat dan witir 3 rakaat walaupun dalam tempo yang cepat. Belum lagi mereka harus menempuh perjalanan yang lebih jauh dari kami untuk mencapai masjid. Namun tidak menyurutkan semangat mereka untuk pergi ke masjid setiap hari. Kami terkadang merasa malu pada mereka, karena kami tidak setiap hari pergi ke masjid untuk sholat tarawih bersama.
Pada momen Nuzulul Quran lalu, Imam masjid menyampaikan ceramah setelah menunaikan sholat tarawih. Dalam ceramahnya Imam Masjid berpesan agar para jamaah belajar membaca Al-Qur’an. Karena memang tidak banyak dari mereka yang bisa membaca Al-Qur’an. Selain itu Imam masjid juga berpesan agar para jamaah membawa serta keluarganya ke masjid untuk melaksanakan ibadah. Memakmurkan masjid tentunya kewajiban seluruh Muslim, tidak terkecuali bagi kami para perantau di Luar Negeri. Imam masjid juga berpesan ke jamaah akan kewajiban mengeluarkan zakat.
Tidak ada kultum setiap usai tarawih dilaksanakan. tetapi berzikir tasbih, takbir dan tahmid serta membaca surat al ikhlas tiga kali dan ada yang unik yakni imam mengucapkan bait-bait syair yang berisi tentang pelajaran ketauhidan yang ditirukan oleh jamaah sekitar 10 menit. Mengingatkan akan bait-bait syair yang pernah penulis pelajari dalam kitab Aqidatul Awam karangan Syech Marzuki Al Maliki sewaktu masih di sebuah pesantren di Jawa Timur dulu.
Ramadhan tinggal menghitung hari. Belum banyak amalan yang telah kami tunaikan. Saatnya untuk berlomba-lomba menuju kebaikan sebelum Ramadhan berlalu.
Penulis: Hilyatu Millati Rusydiyah, Mahasiswa S2 Entreprise Management Nanchang University, Kota Nanchang, Provinsi Jiangxi, RRT
10/8/14