Ramadan di Tiongkok, Ngabuburit sambil Menulis Kaligrafi

[Seri konten lawas migrasi dari blog silat-tiongkok.tumblr.com]

Biasanya kalau berbicara ngabuburit di Indonesia kira-kira pukul 5 sore sudah biasa untuk mencari takjil maupun penganan berat khas Bulan Ramadan. Aroma-aroma takjil dan penganan tersebut sudah bisa tercium di jalan-jalan dekat kompleks perumahan. Suasana tersebut sungguh terasa khidmat dan khas ketika Ramadan tiba. Hal seperti ini yang tidak dapat saya dan teman-teman muslim lainnya temukan di Tiongkok.

Dengan kondisi terbiasa untuk ngabuburit ketika berada di Indonesia, kami hanya bisa tertegun ketika melihat waktu yang menunjukkan pukul 5 sore, masih sekitar 2 jam 50 menit lagi baru kami bisa berbuka puasa. Banyak hal yang melatarbelakangi kami mahasiswa muslim Indonesia yang sedang berkuliah di Tiongkok untuk tidak pulang ke Indonesia ketika momen Ramadan sampai lebaran nanti. Mulai dari perkuliahan yang biasanya banyak mengikuti program semester pendek di musim panas, ataupun menjalani kegiatan magang seperti yang saya pribadi sedang jalani sekarang.

Saya sedang menjalani magang di perusahaan lokal yang bernama PT Tianjin Hoidi Offshore Engineering. Kendati saya sedang berkuliah S2 di Beijing, Kota Tianjin bukanlah daerah yang asing bagi saya karena jarak keduanya sangat dekat, seperti Jakarta dan Bandung. Dari Beijing menuju Tianjin distrik Tanggu tempat saya menjalani magang bisa ditempuh dalam waktu 60 menit menggunakan kereta cepat ‘Gaotie’ Tiongkok. Lokasi distrik ini merupakan lokasi seperti Kawasan Berikat, yang bernama Tianjin Economic Development Area (TEDA). Banyak kawasan-kawasan seperti ini di Tiongkok, tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.

Masalah kawasan pengembangan ekonomi tidaklah berbeda, rasa menikmati ngabuburit yang saya dan teman-teman rasa sangat berbeda. Kalau pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya saya tidak menjalani aktivitas magang, biasanya pihak KBRI akan mengundang warga Indonesia yang berada di Beijing dan sekitarnya untuk menikmati buka puasa dan aktivitas ibadah lainnya bersama-sama selama Ramadan. Namun pada Ramadan tahun ini saya tidak bisa menikmati penganan takjil di KBRI karena sedang menjalani magang di luar Beijing.

Menulis Kaligrafi

Kalau menurut sumber Wikipedia, kaligrafi di Tiongkok sudah eksis bahkan sejak tahun 4000 sebelum masehi. Dalam masa modern sekarang ini kaligrafi sudah menjadi napas keseharian masyarakat Tiongkok. Hal ini menunjukkan betapa penjagaan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Tiongkok. Sebenarnya, kaligrafi Tiongkok ini bukan hanya “milik” masyarakat Tiongkok, tapi juga sudah dikenal keberadaan dan praktek-praktek kesenian kaligrafi ini di Vietnam, Korea Selatan, dan Jepang. Ini juga menunjukkan bahwa singgungan-singgungan kebudayaan Tiongkok dan 3 negara tersebut juga sudah terjalin sejak lama.

Menulis kaligrafi khas Tiongkok sebenarnya rumit, sangat rumit. Pertama, kaligrafi Tiongkok tidak memiliki standar baku, hanya saja memang ada beragam jenis tipe kaligrafi yang sangat hieroglifik sampai pada regular script, atau tipe teks baku Bahasa Mandarin kalau kita menulis di komputer. Hal ini ditambah dengan tipe penguasaan dan gaya penulisan kaligrafi itu bergantung kepada siapa seseorang belajar atau merujuk pada buku karya siapa seseorang belajar menulis kaligrafi. Kaligrafi Tiongkok, apalagi bila gaya penulisannya sangat ‘cursive script’ menurut orang awam atau orang asing tidak akan bermakna apapun, hanya seperti corat-coret iseng saja. Namun, ini kembali lagi kepada budaya Tiongkok yang mana lebih menjunjung kecenderungan ‘high-context’. Dimana dalam hal ini berlaku banyak hal yang dirasa tidak perlu diucapkan, tetapi komunikan dituntut untuk mengerti konteks pembicaraan maupun interaksi yang sedang terjadi.

Dalam hal ini, kaligrafi Tiongkok juga memiliki keterkaitan rasa implisit tersebut. Seperti yang tadi sempat saya utarakan, bahwa kalau ada lembaran-lembaran tulisan kaligrafi Tiongkok, pertama, bila si penikmat tidak mengerti Bahasa Mandarin, maka sia-sia lah karya indah tersebut. Kedua, belum tentu pula yang mengerti Bahasa Mandarin bisa memahami keindahan makna dibalik goresan-goresan tersebut. Dalam konteks ini, sifat Bahasa Mandarin yang sangat ‘high-context’ memiliki cita rasa yang amat mendalam. Sang penikmat harus bisa mengerti dahulu filosofi-filosofi yang digunakan dalam Bahasa Mandarin, barulah bisa mengetahui makna indah apa yang terkandung dalam goresan-goresan tersebut.

Banyak hal yang bisa diutarakan dalam goresan kaligrafi Tiongkok. Hal-hal tersebut biasanya adalah kumpulan kesusasteraan (analects) dari Konfusius, kisah-kisah yang meningspirasi, maupun ungkapan-ungkapan peribahasa yang memiliki arti tersendiri. Ukuran dan jumlah kata dalam kaligrafi Tiongkok pun bermacam-macam, tidak ada batasan atau standarnya, tergantung apa yang hendak ditulis oleh penulis kaligrafi. Jumlah suku kata yang tersingkat bekisar antara 4-7 suku kata, dengan setiap suku kata mewakili satu ‘radikal’ Mandarin. Tidak ada batasan untuk tulisan kaligrafi, namun biasanya bila terlalu banyak akan menghilangkan atau mengurangi makna yang tersirat pada karya kaligrafi yang bersangkutan.

Tidak terlalu banyak yang diperlukan dalam artian peralatan yang harus disediakan untuk menulis kaligrafi Tiongkok. Toh pada umumnya, kaligrafi-kaligrafi Barat maupun Arab juga tidak menggunakan peralatan yang rumit. Namun bedanya, kaligrafi Tiongkok ini menggunakan kuas dan tidak menggunakan pena. Gagang kuas biasanya terbuat dari bambu dan mata kuas biasanya merupakan rambut/bulu yang didapatkan dari hewan-hewan semisal sapi, kuda, atau kelinci. Banyak juga mata kuas yang terbuat dari bahan sintesis, yang biasanya digunakan oleh para siswa di sekolah dasar karena harganya yang murah.

Selain kuas tersebut, kaligrafi Tiongkok memerlukan tinta. Tinta ini ada dua macam: pertama merupakan tinta botolan biasa yang hanya memerlukan tambahan air dan wadah mangkuk kecil untuk mencelup kuas. Kedua adalah tinta stik/batang yang biasanya membutuhkan air dan wadah untuk menggerus batang tinta tersebut menjadi cairan tinta. Untuk tinta batang ini biasanya digunakan oleh para profesional seniman kaligrafi, dimana sang seniman harus juga memastikan kekentalan dan kandungan pasir tinta hasil gerusan batang tinta tersebut. Hal-hal demikian itu akan memengaruhi hasil karya kaligrafi dan dapat dilihat perbedaannya antara karya dengan tinta botolan dan tinta batang.

Tinta yang digunakan untuk menulis kaligrafi ini hanya bisa ditemukan dalam warna hitam. Tidak ada warna lain yang digunakan untuk menulis kaligrafi Tiongkok. Hal ini kemungkinan karena memang sudah tradisi saja, tidak ada hal yang spesifik. Selain itu, warna hitam apabila digunakan untuk menulis akan menyatakan arti yang jelas dari apa yang sedang dituliskan. Warna-warna lain hanya akan digunakan dalam lukisan-lukisan pelengkap kaligrafi.

Terakhir tentu saja untuk menggoreskan kaligrafi tersebut membutuhkan kertas. Menurut saya ada ribuan jenis kertas kaligrafi Tiongkok yang bisa kita dapatkan di pasaran. Ada kertas yang sangat tipis seperti kertas kalkir, ada pula yang tebal seperti karton pada umumnya. Tekstur dari masing-masing kertas pun berbeda, kalau ibarat kertas amplas, kira-kira seperti itu ada tingkat kekasaran yang berbeda-beda pula. Tingkat ketebalan dan tekstur yang berbeda tersebut akan menjadi faktor lain yang menentukan keindahan dari hasil kaligrafi yang ditulis. Tipis dan halus biasanya digunakan oleh para pemula seperti saya, agak tebal dan kasar biasanya digunakan oleh para maestro kaligrafi yang akan menghasilkan karya-karya yang aduhai. Setelah kaligrafi selesai ditulis, biasanya penulis akan membubuhkan cap berwarna merah, terbuat dari batu yang diukir, dan menunjukkan nama penulis.

Menariknya, ada medium lain untuk menggoreskan kaligrafi Tiongok dan memiliki tujuan berbeda. Yaitu menggoreskan kaligrafi tersebut dengan menggunakan kuas seukuran satu meter diatas batu. Ya, menggoreskan kaligrafi diatas batu ini biasa ditemukan di tempat-tempat wisata maupun taman-taman umum. Bebatuan yang dimaksud bukanlah bongkahan bebatuan besar, melainkan permukaan bidang-bidang yang biasa ditutupi dengan lempengan batu-batu alam. Bahan yang digunakan untuk menulis, selain kuas raksasa adalah air. Setelah tulisan-tulisan kaligrafi itu dibuat, biasanya akan menguap tidak terlalu lama. Menariknya, tujuan dari para warga yang antusias menulis kaligrafi diatas batu ini adalah untuk melatih raga. Bidang batu yang biasa digunakan untuk alas menulis berkisar 3×2 meter, bergantung kepada penulis dan keramaian pengunjung taman atau tempat wisata tersebut. Bila terlalu banyak pengunjung, biasanya tidak ada yang memaksakan untuk menulis.

Menulis kaligrafi Tiongkok bagi pemula membutuhkan kesabaran ekstra tinggi. Dengan menggunakan bantuan buku-buku referensi, tidak terasa sudah berpuluh lembar kertas kaligrafi yang saya tulis. Tidak terasa waktu pun sudah menunjukkan sekitar pukul setengah delapan, sedikit lagi waktunya berbuka puasa.

Bagi saya pribadi, menulis kaligrafi merupakan wujud dari kekaguman saya akan citra budaya Tiongkok yang dipertahankan sejak dahulu. Selain dengan menulis kaligrafi, saya bisa lebih memahami dan melatih kemampuan saya dalam berbahasa Mandarin. Saya pribadi juga menganggap berlatih kaligrafi ini sebagai hobi dan selingan, namun tidak menutup kemungkinan saya akan mendalami kesenian Tiongkok ini pada masa yang akan datang.

Begitulah kira-kira bayangan ngabuburit yang saya lakukan pada Ramadan tahun ini. Dengan menggores kuas sambil membayangkan betapa nikmatnya ngabuburit di kampung halaman dan juga membayangkan betapa nikmatnya kudapan yang disediakan di KBRI selama momen berbuka puasa. Terlepas dari momen ngabuburit yang tidak bisa saya dapatkan, saya sangat bersyukur bisa bertemu dengan Ramadan tahun ini dan bisa mendapatkan pengalaman magang yang sangat berharga. Alhamdulillah.

Penulis: Fathan Asadudin Sembiring

8/8/14

Leave a comment