TikTok dan Karakteristik Penggunaan Media Sosial di Indonesia

Sedikit analisis lain, yaitu yang terjadi pada TikTok. App yang satu ini sempat ramai dan di-ban oleh pihak Kemenkominfo RI selama beberapa hari. Alasannya lebih banyak karena tuntutan dari dua lembaga tinggi negara, yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Juli 2018. Namun, terlepas dari kontroversinya, TikTok memiliki kemenarikan dari segi features yang dimiliki, karena para pengguna bisa melakukan video capture dan video editing dalam satu App. Bukan hanya itu, banyak pilihan fitur seperti pemberian filter, pemberian latar belakang, video play effects, dan lain sebagainya.

Namun, App yang baru dirilis pada akhir tahun 2016 ini, sudah memikirkan dengan matang akan aktivitas dan kebutuhan para pengguna nya. Kenapa? Karena video capture dan editor sudah banyak App lain yang bisa melakukan itu. Pihak ByteDance sebagai parent company dari Tiktok—atau DouYin—dalam versi Mandarin, telah memikirkan wayout terkait hal ini.

ByteDance memang merancang DouYin sebagai App yang dipakai pertama kali di Tiongkok (China Mainland). Di mana pengguna internet bisa mencapai 800 juta orang (Forbes, 2018). Pada artikelnya, TechCrunch mengulas begitu panjang soal TikTok https://techcrunch.com/2019/01/29/its-time-to-pay-serious-attention-to-tiktok/?fbclid=IwAR3VWf1sA2CDX1oylfgoMbWnFyfNsUsyqUVjX-LW2CL422j0nai7HJ8aNlU. Terlihat memang pada awalnya TikTok merupakan App yang dipandang sebelah mata. Namun, justru karena awal penyebaran di pasar, pasar pengguna di Tiongkok yang banyak cukup membantu TikTok untuk berbenah setiap harinya. Sehingga mereka berada pada kesimpulan bahwa TikTok disempurnakan menjadi App yang pengguna tidak hanya bisa merekam dan mengedit video, namun memiliki kategori social media.

Dengan menyempurnakan App mereka ke dalam kategori social media, maka karya-karya video-editing yang sudah dikreasikan oleh para Users, menjadi sangat berfaedah dalam artian, tidak perlu lagi melakukan sharing ke platform yang lainnya, tapi cukup di App yang sama, sehingga karya mereka langsung bisa mem-boost minat dan viewers yang terpikat akan banyak karena UI/UX yang dimiliki oleh TikTok.

Jadi, tidak heran, kalau misalkan melihat App sejenis yang hanya berupa video editor, traction yang dimiliki dari segi Users’ Acquisition nya, tidak ada yang bisa menyamai atau melebihi TikTok. Hal ini juga ditambah dengan ekstensivikasi bisnis yang dilakukan oleh ByteDance sebagai parent company yang memutuskan untuk membeli Musical.ly yang dulu mungkin TikTok terinspirasi juga dari App ini untuk menciptakan ‘rival App’. Namun, karena ByteDance (mungkin) memiliki landasan filosofis ‘tidak boleh ada Matahari Kembar’, maka mereka memutuskan untuk menutup App Musical.ly. Musical.ly merupakan App yang booming dipakai oleh para Users yang umumnya berada di Amerika dan Eropa. Dengan mengakuisisi—dan kemudian menutupnya, TikTok sekarang bisa menikmati skema ekstensivikasi bisnis yang sudah mereka rencanakan dengan baik.

Sesungguhnya, dalam pandangan pribadi, apa yang terjadi pada pelarangan operasi (ban) TikTok di seluruh teritori maya Indonesia, kurang masuk akal. Kenapa? Karena kalau memang hal yang menjadi sorotan adalah TikTok digunakan untuk hal-hal yang berbau sensualitas, kekerasan, bullying, dan hal-hal lain yang negatif secara akhlaq, apakah itu tidak bisa kita temukan di App atau corong media sosial lain? Bisa kan?

Tapi, apa lajur, TikTok keburu disemprit oleh 2 Lembaga Tinggi Negara, dan yang pada akhirnya menjadikan itu sebagai tekanan kepada pihak Kominfo untuk melakukan ban kepada TikTok selama beberapa hari. Hal ini sebenarnya agak dirasa miris, karena toh bullying secara verbal misalnya, banyak ditemukan di Twitter (technically speaking itu bukan verbal, tapi tulisan yang merepresentasikan komunikasi secara oral). Atau misalkan gambar-gambar yang sensual di Facebook atau Instagram yang dapat sangat mudah siapapun temukan, ketika tahu keywords apa yang harus ditulis. IMHO langkah ban TikTok di Indonesia itu terlalu prematur, dan tanpa proses yang teliti.

Kenapa? Karena hal yang sudah disebutkan tadi di atas. TikTok yang nama lainnya adalah DouYin memang sejatinya merupakan App yang digunakan untuk melakukan share hal-hal yang mungkin menurut orang dewasa (khususnya generasi Baby Boomers) adalah hal yang sangat tidak berfaedah, jadi pantas untuk ditutup. Padahal, kalau disimak baik-baik, semua digital App itu adalah layaknya benda-benda lain seperti pisau, gelas, garpu, sendok, sumpit, pulpen, pensil, benda-benda yang seperti itu. Kalau kita tidak tahu cara memakai benda-benda di atas, berarti yang menjadi poin adalah sisi edukasi dari penggunaan benda tersebut, bukan? Berarti memang yang menjadi problematika mendasar ada pada literasi digital kita yang rendah. Baik itu kepada para Users (yang kebetulan bocah-bocah tanggung di TikTok) atau justru kepada pihak orang tua yang merasa ga perlu belajar lagi, pendapatnya selalu benar, tanpa melihat realita-realita New Thinking baru yang memang muncul akibat dari dinamisnya perkembangan dunia digital saat ini.

Hanya saja yang menjadi pembeda adalah frekuensi akses dan penggunaan nya saja yang memang lebih banyak dilakukan oleh generasi milenial dan generasi Z, dan selanjutnya. Ketamakan akan ego untuk tidak lagi mempelajari hal-hal yang baru memang secara umum membuat manusia tutup mata atas fakta-fakta baru yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Padahal, dari kasus TikTok ini, di Indonesia sendiri tidak ada pihak atau perusahaan developer yang bisa menyamai ByteDance yang telah memproduksi beragam App, dan tidak hanya TikTok.

Lantas, ketika pihak yang notabenenya lebih dewasa, menjadi pihak yang memiliki resitensi yang lebih terhadap perubahan, alih-alih memanfaatkan komparasi dinamika industri digital (dengan Tiongkok) mendorong para generasi muda untuk lebih produktif dan bisa secara aktif menyalurkan bakat dan ketertarikan mereka di bidang-bidang yang berkaitan dengan IT, dengan baik. Namun, tidak, malah yang dikedepankan adalah urgensi dari usulan untuk menutup suatu App, tanpa ada follow-up apa-apa setelahnya.

Menariknya, di negara asal App ini, segmentasi pengguna umumnya datang dari kalangan usia 16 – 24 tahun. Cukup berbeda dibandingkan dengan di Indonesia yang pengguna nya bisa datang dari kalangan 10 – 15 tahun, sangat muda. Kenapa di Tiongkok bisa begitu? Padahal ini kan hal yang kontras kalau kita lihat fitur dan fungsi App yang dimiliki oleh TikTok? Kembali lagi ke premis awal: tergantung pengguna nya dong, bukan tergantung App nya.

Namun, hal ini sangat logis. Di Tiongkok sendiri, umumnya anak-anak usia 10 – 15 tahun tidak sibuk dengan gadget, namun dengan beban sekolah yang sangat banyak. Kalaupun ada yang menggunakan gadget, itu pun dalam pengawasan orang tua yang sangat ketat. Masyarakat Tiongkok secara sosiologis merupakan masyarakat yang sangat patuh terhadap orang tua mereka, terutama orang tua kandung. Di sekolah pun, anak-anak sama sekali tidak diperkenankan untuk membawa HP. Hal yang sangat kontras bukan terjadi di negara kita?

Anak-anak di Tiongkok umumnya memiliki beban akademis yang berat, karena orang tua mereka sangat mewanti-wanti bahwa uang dan materi yang dikeluarkan untuk mereka adalah hasil jerih payah orang tua. Si anak otomatis tidak punya argumentasi apa-apa untuk melawannya. Penjadwalan kegiatan sehari-hari pun sangat dipantau dengan bantuan kakek-nenek. Sehingga, Si anak praktis tidak punya ruang gerak untuk membuang-buang waktu.

Apa kabar di Indonesia? Anak rewel tidak mau masuk sekolah, malah dibelikan HP. Anak rewel karena teman-teman sekelasnya sudah punya HP, dia belum, lalu diberikan HP sama orang tuanya. Tidak ada proses pendewasaan yang juga datang dari rumah. Anak-anak pada umumnya hanya dipenuhi kemauan tanpa diberi tahu konsekuensi dari pilihan yang dipilih oleh anak dan orang tua tersebut. Usia anak-anak khususnya pra-SMA tidak ada pendekatan dialog yang mengedepankan logika. Sehingga kedua belah pihak baik itu anak dan orang tua sama-sama menjadi irasional dalam memberikan keputusan. Terutama terkait dengan penggunaan gadget ini.

Bagaimana bisa menanamkan literasi digital yang baik kepada anak-anak kalau di rumah saja untuk keputusan-keputusan yang berbau materi, tidak ada semacam transfer logika yang menyertainya. Peran orang tua juga sangat besar, di mana mereka juga harusnya bisa tahu apakah mereka bisa mengejar ketertinggalan pemahaman soal digitalisasi media dan perangkatnya atau tidak. Karena sumber utama dari transfer pengetahuan, ilmu, kebisaan, bakat, dan sebagainya, itu utamanya dilakukan di lingkungan keluarga, karena paling dekat dan memiliki intensitas pertemuan yang paling sering dengan anak. Wah, jadi melebar kemana-mana ini.

Aplikasi TikTok mulai diizinkan kembali untuk beroperasi setelah pihak mereka datang dan tinggal beberapa hari di Jakarta, untuk menyodorkan kegiatan-kegiatan yang positif melalui App mereka. Pada waktu itu momentumnya adalah Asian Games 2018 yang dilaksanakan di Jakarta-Palembang, namun tim TikTok mengerahkan sumber daya manusia mereka untuk melakukan semacam advertisement untuk hal-hal yang berhubungan dengan Asian Games 2018 dan pariwisata Kota Palembang? Lha, apa hubungannya?

Inilah yang disebutkan di atas, bahwasanya dari pihak Kominfo sendiri tidak ada telaah lebih dalam mengenai pemutusan TikTok sehingga yang terjadi adalah penutupan App secara sembrono. Padahal, di Tiongkok sendiri, DouYin juga bekerja sama dengan pihak swasta dan pemerintah untuk menjadikan 2 pihak tersebut memiliki corong media sosial yang menarik, dan memiliki segmentasi audiens yang jelas: generasi milenial dan yang lebih muda. Daripada puluhan Pemda di Indonesia mengalokasikan sendiri dana APBD untuk sekedar membuat website (yang itu pun dirasa kurang atraktif), atau mencoba-coba meng-hire para developer untuk membuatkan App yang bisa mendorong promosi wisata mereka. Lha, kenapa engga pake corong App yang sudah ada? Karena membuat App itu bukan hanya persoalan pembuatan, tetapi juga operasional, maintenance, users’ acquisition, dan sebagainya. Alhasil, bukannya memiliki suatu corong digital yang baik dan dapat dinikmati kalangan luas, yang terjadi adalah kesia-siaan.

Bentuk-bentuk kerja sama dengan pihak swasta maupun pemerintah di Tiongkok juga memiliki istilah tersendiri. Yaitu Profesional Generated Content (PGC; bukan, bukan Pusat Grosir Cililitan woy) untuk kerja sama dengan pihak swasta, dan Government Generated Content (GGC) untuk pemerintah. Konten yang dibuat oleh Users, istilah yang digunakan adalah User Generated Content. Lalu, apa guna nya definisi itu? Ya intinya adalah memberikan kejelasan dan pembedaan saja. Karena misalkan konten yang dikelola dengan skema UGC adalah konten yang benar-benar gratis, karena para pengguna adalah penikmat utama dan pasar utama nya adalah para pengguna individu. Namun, untuk skema PGC, tentu ini seperti media sosial atau media digital lainnya, ada ongkos yang harus dibayarkan oleh para perusahaan untuk mendapatkan ‘slot’ iklan yang nanti akan pop-up di App mereka. Untuk skema GGC, hal ini akan bergantung pada kesepakatan antara ByteDance dengan institusi atau lembaga pemerintah. Bisa saja gratis, atau berbayar. Namun, dilihat dari porsi nya, mungkin pihak ByteDance akan lebih cenderung untuk menggratiskan kerja sama dengan skema GGC ini. Hal ini serta-merta karena TikTok sebagai sebuah App memerlukan exposure yang lebih, dengan melakukan klaim bahwa mereka telah “membantu” pemerintah (bukan hanya Tiongkok) yang membuat konten-konten GGC tadi, dalam mempromosikan hal-hal yang ingin diangkat.

TikTok juga merupakan aplikasi yang sesungguhnya memiliki kecanggihan teknologi yang mungkin belum dimiliki oleh App lain. ByteDance banyak melakukan investasi di bidang riset untuk Artificial Intelligence (AI) yang dapat digunakan oleh App mereka. Dengan kecanggihan AI, tidak hanya algoritma, akan dapat sangat membantu TikTok untuk melakukan terobosan-terobosan fitur dalam App mereka dibanding yang lain. Sebagai contoh, App mereka dapat membaca dan memprediksi gestur pengguna yang kemudian dipadukan dengan segudang fitur filter yang dimiliki, sehingga gestur-gestur yang dilakukan oleh para user akan sangat menarik.

Ditambah lagi ketika mereka melakukan #challenge, membuat para User sangat engaged dengan App yang tidak hanya memungkinkan mereka untuk berkreasi, tetapi juga menjaga flow penggunaan App itu sendiri.

Fungsi AI yang canggih dimiliki oleh para developer TikTok membuat kerja sama dengan skema GGC sangat menarik, misalnya membantu pihak museum untuk menjadikan objek-objek museum seperti patung, lukisan, dan sebagainya hidup dan bergerak. Dengan membaca objek yang tadinya berwujud 2D, dapat dikonversi oleh teknologi AI yang dimiliki, sehingga menjadi 3D, dan dipindahkan ke dalam ‘realm’ App mereka, dan dimodifikasi lagi-lagi dengan segudang fitur yang dimiliki. Entah itu diberikan efek cahaya, zoom-in zoom-out, fade-in fade-out, latar belakang musik, latar belakang gambar, dan sebagainya.

Intinya adalah, TikTok atau App lain media sosial itu dapat dijadikan sebagai medium-medium yang sebenarnya sudah sangat membantu banyak pihak untuk memudahkan urusan-urusannya. Jadi, tidak serta-merta disikapi bahwa satu App atau program diputuskan untuk ditutup atau dibuka begitu saja.

Leave a comment