Debat Cawapres Maret 2019, Terus Kenapa?

Sebagai pengamat politik ugal-ugalan, berikut pendapat saya mengenai Debat Cawapres 17 Maret 2019 tadi malam.

Konteks yang dibahas dalam sesi debat kali ini adalah mengenai Pendidikan, Ketenagakerjaan, Kesehatan, dan Sosial-Budaya.

Kyai MA memulai pembukaan dengan menyebutkan kutipan-kutipan Al Quran maupun Hadits yang berhubungan dengan pemimpin dan kepemimpinan. Lalu beliau menyebutkan hal-hal yang bersinggungan dengan JKN dan PKH, beasiswa sampai kuliah, lalu menyebutkan kembali secara normatif hal-hal yang menggunakan term Laa Tahzan dan sebagainya. Lalu ditutup dengan memperlihatkan dummy kartu-kartu Kuliah, Sembako Murah, dan Pra Kerja.

Bang Sandi lalu menyambung giliran dengan pertama kali menyebutkan bahwa ia telah berkunjung ke 1500 titik kampanye. Ia mengungkapkan concern yang menjadi buah pikir dari orang-orang yang ia temukan selama kunjungan ke titik-titik tersebut. Di antara nya adalah mengenai ketersediaan lapangan kerja. Lalu ia menyebutkan mengenai wacana penghapusan UN dan menggantinya dengan penelusuran minat dan bakat, pendekatan link&match bagi pendidikan nasional, menutup defisit BPJS, program 22 menit per hari untuk olahraga, membuka 2 juta lapangan kerja, menyebutkan mengenai program kampanye nya dengan Rumah Anak Muda Siap Kerja, dan terakhir ditutup dengan deskripsi singkat soal industri kreatif.

Dengan menyebutkan 1500 titik kampanye ini, Bang Sandi berusaha untuk menyajikan fakta bahwa ia telah melakukan sesuatu, yang mana Kyai MA mungkin kelupaan untuk menyebut berapa titik kampanye yang telah beliau kunjungi selama masa kampanye ini.

Namun, IMHO, mengeluarkan terma-terma Al Quran dan Hadits pada suatu ajang debat nasional seperti ini tidak akan membawa dampak yang signifikan, karena konteks audiens nya adalah umum, dan umum sekali. Sehingga mungkin ada orang yang justru akan mengesankan bahwa Kyai MA ‘kelewat syariah’ karena secara gamblang menyebutkan terma dan definisi-definisi tadi. Menurut hemat saya belum pernah ada baik itu Capres atau Cawapres di Indonesia yang menggunakan kutipan ayat atau Hadits seperti ini sebelumnya.

Lalu, sebagai gimmick, Kyai MA mengeluarkan 3 kartu yang tentu saja menjadi instrumen yang cukup bisa terlihat ketika ingin menunjukkan ‘ini lho barangnya’. Namun, pada akhirnya di Penutupan nantinya dibalas cukup telak oleh Bang Sandi dengan ‘E-KTP Sakti’. Your move, Kyai.

Masuk ke Pertanyaan Panel 1, mengenai bahwa Indonesia digadang-gadang akan masuk ke peringkat 5 besar dunia di tahun 2045, dan hubungannya dengan peningkatan riset nasional.

Bang Sandi kembali menyebutkan mengenai konteks link&match, serta keterhubungan dengan industri (Triple Helix). Ia juga menyebutkan bahwa dari angka saat ini untuk riset masih rendah, dan akan ia tingkatkan nantinya. Ia pun menyebutkan bahwa dibutuhkannya pengalokasian sinergis mengenai dana riset R&D di Indonesia. Ia juga mengaku pernah mengelola R&D. Terakhir ia menutup dengan menyebutkan bahwasanya perlu untuk melakukan riset mengenai pupuk organik di Indonesia.

Sementara itu Kyai MA menyebutkan mengenai langkah untuk mengkoordinasikan semua alokasi dana untuk riset. Dengan menyebutkan bahwa akan adanya Badan Riset Nasional, Dana Abadi Riset, Dana Abadi Pendidikan, dan Dana Abadi Kebudayaan. Lalu beliau menutup dengan sebutan #10yearschallenge

Sesi Pertanyaan Panel 1 ini cukup menarik, karena terlihat bahwasanya Bang Sandi ingin menunjukkan bahwa dirinya capable dan layak untuk dipilih dalam konteks pengelolaan kekuasaan pemerintah Eksekutif apabila dirinya terpilih. Dengan menyebutkan poin-poin kerja yang akan dilakukannya, Bang Sandi berusaha untuk meyakinkan pemirsa untuk dapat mendukung apa yang menjadi buah pemikirannya mengenai Bangsa ini kedepan.

Namun, perlu diingat, selama ini posisi seorang Wapres IMHO jarang sekali diperhitungkan di ranah publik, terutama di keputusan-keputusan Eksekutif. Seakan-akan seorang Wapres itu fungsi nya hanya cameo saja. Bang Sandi mungkin perlu mengukur kewajaran dari performa dia, jangan sampai muncul Matahari Kembar, kalau nanti dia menduduki posisi sebagai Wapres.

Di sisi lain, Kyai MA menyebutkan mengenai keinginan membentuk Badan Riset Nasional. Apakah ini akan bersifat ad-hoc saja atau kah permanen? Karena kalau permanen, perlu keribetan birokrasi seperti apa lagi yang perlu dihadapi oleh para insan peneliti di Indonesia?

Artikel dari Tirto ini cukup gamblang mengulas mengenai kasus riil rumitnya birokrasi (bahkan hanya) untuk mengadakan penelitian di Indonesia. https://tirto.id/runyamnya-birokrasi-kemendagri-bikin-sulit-peneliti-cFuk

Untuk anggaran riset, sebenarnya ini sempat mengemuka ketika sebelum Debat Capres di Februari lalu. Apakah problem nya di sini adalah anggarannya, alokasi nya, atau birokrasi nya? Apakah dengan mencanangkan Dana-dana Abadi akan menjamin adanya kemajuan aspek riset dalam dunia akademis dan pendidikan di Indonesia? Kenapa tidak coba untuk menerapkan pola-pola kolaborasi endowment fund yang sudah mafhum diterapkan di negara-negara maju?

Beberapa artikel legit pernah membahas soal itu sebenarnya. Dengan begitu mungkin dari sudut pandang birokrasi pemerintah, sudah selayaknya justru perampingan dan kemudahan birokrasi untuk sektor riset ini dilakukan secara revolusioner.

https://indonesiainside.id/anggaran-riset-minim-benarkah-demikian/, https://news.detik.com/kolom/d-4360613/dana-penelitian-2019-sebuah-asa-baru, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/14/110000326/sri-mulyani-alokasi-dana-abadi-penelitian-rp-1-triliun-pada-2019

Entah apa juga yang mendasari bahwa Kyai MA perlu untuk menyebutkan hal mengenai #10yearschallenge. Apakah hanya biar dipikir beliau “masih muda”, masih aware mengenai trend di generasi milenial maupun generasi Z? Namun begitu, rasanya Bang Sandi sudah men-skak Kyai MA dengan memberikan ucapan selamat ulang tahun ke 76 di awal pembukaan debat. I see what you are doing there, Sandi.

Ketika tektokan masih pada sesi Pertanyaan Panel 1, Bang Sandi lagi-lagi menekankan mengenai kolaborasi yang perlu dilakukan antarlembaga negara dan hal-hal yang berkaitan dengan hasil riset yang tepat guna.

Sedangkan Kyai MA mencoba untuk menjelaskan bahwa beliau dan Pak Jokowi tidak berniat untuk mendirikan lembaga negara baru, tetapi berkeinginan untuk meleburkan lembaga-lembaga riset yang ada. Dengan kemudian ditutup dengan akronim DUDI—Dunia Usaha dan Dunia Industri, serta kembali menyebutkan slogan #10yearschallenge.

 

Sesi Pertanyaan Panel 2 masuk kepada isu kesehatan. Di mana pertanyaan diarahkan kepada kehadiran negara bagi pelayanan kesehatan masyarakat yang tinggi, namun di satu sisi pendanaannya rendah. Bagaimana para kandidat Cawapres bisa menyikapi hal tersebut.

Kyai MA mendapatkan giliran pertama untuk menjawab. Dengan mengemukakan bahwa 215 juta orang sudah menjadi peserta BPJS, beliau merasa cukup bangga dengan pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi mengenai hal tersebut. Beliau juga mengutarakan penggunaan istilah-istilah Bahasa Inggris seperti maximized utility (dalam konteks BPJS), dan kemudian disambung dengan istilah-istilah Fiqh kepemimpinan dalam Islam.

Bang Sandi mencoba untuk menanggapi secara lebih santai. Terlihat juga beberapa kali dalam sesi debat ini ia memberikan instruksi kepada para pendukungnya yang hadir di studio debat untuk tidak menyoraki Kyai MA ketika beliau selesai menyampaikan sesuatu.

Sandi lalu mencoba menyambungkan dengan Kisah Ibu Lis yang ia coba angkat untuk menjadi kasus riil yang menimpa seorang warga masyarakat terkait BPJS. Lalu ia mencoba menyampaikan bahwasanya ketika nanti ia terpilih menjadi Wapres, maka program BPJS dan JKN akan disempurnakan. Pernyataan Sandi ditutup dengan tawaran solusi alternatif dengan keinginannya menyelesaikan masalah (kalkulasi) defisit BPJS dalam 200 hari ketika menjabat.

Dalam tektokan lanjutan, Kyai MA menyebutkan bahwa pendekatan kebijakan kesehatan ini tidak hanya bersifat kuratif (mengobati). Namun kurang jelas juga langkah apa yang akan beliau ambil kedepannya. Sandi mencoba untuk menimpali kembali dengan isu yang berbeda yaitu mengenai pola rujukan pasien secara umum yang sering mempersulit proses pengobatan dan membuat bengkak biaya kesehatan yang harus ditanggung https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/7c6f09ad0f0c398a171ac4a6678a8f06.pdf, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/17/115426226/bpjs-kembangkan-rujukan-berbasis-online-ini-penjelasan-lengkapnya. Statement Sandi selanjutnya ditutup dengan menyebutkan bahwa fenomena stunting dapat diatasi dengan suplemen gizi.

Kisah Ibu Lis asal Sragen sendiri mungkin sudah mengemuka beberapa waktu ketika berita ini naik sebelum Debat Cawapres ini dilaksanakan. Namun, nampaknya hal tersebut juga sudah diatasi, walaupun hanya berkaitan dengan administrasi keobatan dalam BPJS. https://news.detik.com/berita/d-4471616/di-panggung-debat-sandiaga-ungkap-kisah-bu-lis-yang-tak-di-cover-bpjs, https://www.viva.co.id/berita/viva-fakta/1131080-cek-fakta-sandiaga-ungkap-kisah-ibu-lis-soal-bpjs-disetop.

Tapi secara umum, memang kedua kandidat Cawapres tidak membahas isu yang lebih #greget dalam hal kesehatan ini. Misalnya mengenai angka produksi obat dalam negeri. Padahal kalau Indonesia bisa menggenjot produksi dalam negeri, dengan menyempurnakan industri obat-obatan lokal, tentu ini akan mengurangi tingkat ketergantungan impor produk obat generik. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4261767/bahan-baku-obat-obatan-indonesia-masih-bergantung-pada-impor-luar-negri.

Ataupun mengenai persoalan yang terkait dengan industri herbal nasional. Mungkin hingga saat ini obat-obat herbal masih dipandang sebelah mata dan cenderung dijadikan alternatif ketika misalkan pasien ‘sudah tidak percaya’ atau ‘sudah tidak tahu lagi mau dikasih obat apa’. Padahal sebelum masyarakat Indonesia masuk kepada pengobatan-pengobatan Barat, kearifan budaya Indonesia melihat kesehatan dan elixir nya bisa didapat dari sumber-sumber herbal yang tumbuh dari tanah sendiri.

Hal ini sangat relevan untuk dijadikan pembahasan nasional. Terutama apabila melihat hal yang dilakukan oleh Tiongkok di mana TCM (Traditional Chinese Medicine) https://www.tcmworld.org/what-is-tcm/ dapat benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat di Tiongkok, dan masyarakat Tionghoa di seluruh dunia. Tidak hanya dimanfaatkan, namun juga dilakukan modernisasi, proses higienis, dan hal-hal lain yang berhubungan pada ilmu-ilmu kedokteran modern. Hal ini sangat baik dilakukan, mengingat dengan begitu akan bisa menekan harga obat-obat generik yang masuk, dengan adanya perimbangan demand yang berusaha ditutup juga oleh obat-obatan yang berasal dari TCM.

Indonesia mungkin bisa membuat TIM (Traditional Indonesian Medicine) pada skala yang lebih baik mencontoh baik itu Tiongkok maupun negara-negara lain yang memiliki akar budaya relevan terhadap pengobatan tradisional ini. Karena sejatinya masyarakat Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sudah turun-temurun digunakan sebagai elixir atau produk kesehatan. http://marketeers.com/meramu-industri-obat-tradisional-bergaya-modern/, http://teknopreneur.com/2017/11/21/2025-industri-farmasi-herbal-diprediksi-masuki-tren-positif/, https://doktersehat.com/ini-alasan-mengapa-orang-indonesia-lebih-suka-minum-obat-herbal-saat-masuk-angin/, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180417184633-255-291506/jamu-dan-obat-herbal-masih-diminati-masyarakat, https://www.alodokter.com/45-masyarakat-indonesia-masih-lebih-percaya-obat-herbal-dibanding-obat-modern.

Satu lagi hal yang sama sekali tidak disinggung (karena main aman?) adalah mengenai rokok. Padahal, bisa dilihat relevansi rokok, kesehatan masyarakat, dan penanggungan biaya BPJS bisa dianalisis lebih lanjut bermuara pada rokok. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160531043412-255-134602/penyakit-akibat-rokok-disebut-rugikan-negara-us-45-triliun, https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kesehatan-intim/1073362-25-persen-klaim-penyakit-di-bpjs-kesehatan-akibat-rokok, https://tirto.id/alasan-mereka-yang-menghendaki-harga-rokok-naik-cvsd, https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/08/160823_trensosial_harga_rokok. Rokok perlu dilihat sebagai beban nasional, bukan sebagai penyebab penyakit yang lantas ditanggung beban nya oleh urunan asuransi secara nasional. Apabila di asuransi-asuransi swasta, banyak yang tidak menerima penyakit atau hal-hal yang berkaitan dengan kejadian kesehatan akibat hobi atau kesukaan, kenapa malah di BPJS seakan-akan rokok menjadi sesuatu yang ‘tertanggung’. Padahal misalnya, kecelakaan karena hobi misalkan bersepeda gunung, panjat tebing, menyelam, lari marathon dll tidak merugikan siapa-siapa, ini kenapa merokok yang merugikan banyak orang, lantas diberikan ‘priviledge’ untuk ditanggung oleh semua orang yang melakukan iuran rutin BPJS.

Apalagi sudah ada artikel yang mengatakan mengenai hubungan antara stunting dengan rokok. https://www.beritasatu.com/nasional/498193/ini-kaitan-antara-rokok-dengan-anak-stunting, https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4087416/peneliti-universitas-indonesia-buktikan-anak-perokok-berisiko-alami-stunting. Apakah perilaku abai ini sudah mengakar kuat menjadi budaya di negara kita? Keluarga yang memiliki perokok aktif, apalagi ketika itu adalah kepala keluarga yang memberikan nafkah dan asupan gizi kepada keluarga dan anak-anaknya, tentu saja dapat diberikan sanksi tegas ketika kepala keluarga lebih memilih untuk mengalokasikan sebagian besar pendapatan nya untuk membeli rokok, ketimbang membelikan susu, sayuran sehat, dan makanan-makanan sehat lainnya. Sudah begitu, malah anaknya yang disuruh untuk membelikan rokok untuk orang tuanya! Kan gilak.

Pertanyaan Panel 3 membahas mengenai persoalan ketenagakerjaan. Di mana bahasan diawali dengan deskripsi industri secara global yang sudah memasuki era 4.0. Bagaimana kah pendapat kedua calon Cawapres ini terkait dengan hal tersebut sehingga SDM Indonesia bisa dikelola secara humanis dan mumpuni.

Tapi tunggu dulu, ini kita lagi mau bicara 4.0 versi beneran atau ‘versi Indonesia’ nya? Kenapa? Karena it’s actually a total BS kalau kita mau membicarakan industry 4.0 tanpa tahu benar akibatnya terhadap peningkatan pengangguran. Jangankan sampai pada outcome nya. Pertanyaan yang lebih besar apakah Indonesia sudah memiliki roadmap yang ajeg, baik itu dicanangkan di RPJM atau Perda-perda yang berkaitan, sehingga definisi ‘4.0 yang beneran’ bisa menjadi sesuatu yang bisa dinikmati, bukan malah menyelakai diri sendiri.

Kalau dari persoalan definisi-definisi, banyak artikel yang sudah membahas dengan baik mengenai Industry 4.0. Sehingga, dengan demikian kita sebagai khalayak jangan juga langsung menaruh hati pada apapun yang keluar dari mulut pemerintah sebelum mereka tahu benar bahwa konsekuensi trend 4.0 adalah hal-hal yang justru disinyalir membawa sedikit faedah kepada Bangsa Indonesia, khususnya pada aspek ketenagakerjaan. https://id.wikipedia.org/wiki/Industri_4.0, https://finance.detik.com/industri/d-3952668/apa-itu-revolusi-industri-40, https://id.beritasatu.com/home/revolusi-industri-40/145390, https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/03/17521731/milenial-siap-siap-sambut-revolusi-industri-40.

Karena sejatinya, Industry 4.0 itu bukan hanya mengenai ketersediaan device yang canggih dan keterhubungan jaringan internet dengan kesemua device tersebut. Tetapi lebih kepada pola-pola mindset yang dimiliki oleh segenap SDM yang pada intinya membuka ruang seluas-luasnya untuk belajar. Namun, seperti yang kita ketahui sendiri, berapa persen sih sebenarnya masyarakat Indonesia yang memiliki pemikiran kritis dan tetap mau belajar? Coba lihat di sekeliling kita, di keluarga kita, di pertemanan kita, di kampus kita, di lingkungan kerja kita, lingkungan tinggal, dan sebagainya. Bagaimana ceritanya insan Indonesia akan mampu menguasai ataupun menyiasati perkembangan zaman (teknologi) yang begitu cepat tanpa diiringi oleh mindset yang sepadan. Ngimpi!

Kembali ke notulensi Debat Cawapres.

Kyai MA berusaha untuk menjawab dengan menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan peningkatan pelatihan vokasi, fasilitasi kegiatan-kegiatan pelatihan kerja. Melakukan rescaling dan upscaling dalam hal tenaga kerja lokal, termasuk tenaga kerja Indonesia yang akan ke luar negeri. Lalu kembali berusaha ditutup dengan menyebutkan istilah-istilah Islam mengenai kepemimpinan. Kyai MA juga menyebutkan mengenai prosentase pengangguran di Indonesia yang bertengger di angka 5,30%.

Di saat, Sandi mencoba untuk mengungkapkan kembali apa yang sudah diucapkan di sesi pembuka, mengenai 61% angkatan kerja adalah anak muda, dan keinginan dia untuk bisa menghadirkan 2 juta lapangan pekerjaan ketika menjabat nanti. Ia juga kembali menyebutkan perihal mengenai Rumah Siap Kerja di tektokan berikutnya.

Namun, apabila dicermati, apa yang Kyai MA katakan itu cukup ironis. Dalam artian, saat ini faktanya misalkan Indonesia kekurangan tenaga-tenaga kerja berkualitas untuk memfasilitasi kebutuhan dalam negeri, lantas mengapa balai-balai latihan kerja yang melatih tenaga kerja yang nantinya akan dikirim ke Jepang atau Korea tidak ditegur? Padahal hal ini bisa dibilang cukup konyol ketika sekumpulan orang, ribuan jumlahnya, dimasukkan ke dalam program pelatihan kerja selama beberapa tahun, lalu alih-alih didistribusikan di kantong-kantong industri yang membutuhkan tenaga kerja kompeten, malah dilempar ke luar. Kalau begitu, apakah bukan dinamakan drain out tenaga kerja terampil namanya? https://www.antaranews.com/berita/776636/2000-peserta-magang-dikirim-ke-jepang-setiap-tahun.

Sesungguhnya yang menjadi penyebab para BMI kita melancong ke luar negeri apakah bukannya itu karena lapangan pekerjaan dalam negeri tidak banyak tersedia? Apakah itu juga berarti bahwa ada jalur-jalur gelap yang memfasilitasi perpindahan para BMI dari Indonesia ke luar negeri, baik itu yang legal maupun berpotensi untuk menjadi agensi human trafficking? Apakah dengan begitu justru faktor pendorong lah yang perlu diatasi, bukan faktor penarik seseorang menjadi BMI? Maksudnya, karena kan tidak mungkin seseorang yang mungkin dia putus sekolah, tiba-tiba sudah berada di luar negeri menjadi pekerja domestik, tanpa ada tahapan-tahapan sebelumnya yang memungkinkan dia berpindah tempat ke negara manapun ia berada sekarang. https://buruhmigran.or.id/2014/06/05/banyak-remaja-menjadi-buruh-migran-karena-dorongan-orang-tua/, https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/09/18/pf87yw423-faktor-ekonomi-penyebab-utama-warga-jadi-tki.

Lalu, bila urusan BMI yang mencakup tidak hanya mengenai skill, tapi juga kesejahteraan, perlindungan hukum, dan sebagainya masih memiliki banyak celah untuk improvisasi, apakah lantas kita akan loncat langsung ke mengadopsi Industry 4.0 dengan kondisi seperti ini? Wow.

Satu hal lain yang menjadi concern dalam bahasan di sesi ini adalah ketika Sandi mengungkapkan bahwa ia akan membuat Rumah Siap Kerja untuk skala nasional ketika mungkin dirinya nanti menjabat sebagai Wapres. Namun, poin kritisnya adalah pada urgensi melakukan hal yang terlalu teknis ke tataran pemerintahan Eksekutif. Kenapa tidak mengatakan bahwa nantinya program-program pengentasan pengangguran akan bekerja sama dengan lembaga atau perusahaan-perusahaan head hunting yang baik itu sudah eksis di Indonesia, maupun dari luar negeri. Sehingga dengan demikian, beban operasional dari katakanlah mengadakan konseling pekerjaan, event mengenai job fair, dan sebagainya tidak bertumpu pada pemerintah.

Namun untungnya Bang Sandi sebelumnya banyak menyebutkan hal-hal yang berkenaan dengan link&match, ketidaksesuaian pekerjaan dengan latar belakang pendidikan, dan lain sebagainya. Tapi, di satu sisi ini bisa menjadi masukan yang sangat produktif bagi Jokowi-MA ketika pasangan ini diamanatkan untuk memimpin Indonesia di 2019-2024.

Sesi Panel 4 berikutnya membahas mengenai concern terhadap kebudayaan yang belum menjadi haluan pembangunan nasional.

Bang Sandi menyebutkan mengenai pertemuan Presiden Soekarno dengan Menteri Pertahanan AS pada tahun 1961 mengenai kebanggaan Soekarno terhadap keragaman budaya Indonesia yang tidak kalah dengan kekuatan persenjataan fisik yang dimiliki oleh AS. Lalu ia juga mengatakan hal mengenai keberpihakan pemerintah terhadap budaya serta pembangunan budaya yang holistik. Walaupun pada akhirnya Sandi tidak menyebutkan aplikasi dari pembangunan budaya holistik itu yang seperti apa.

Kyai MA mengutarakan pendapatnya mengenai kebudayaan. Dengan mengangkat bahwa perlu melakukan kontemplasi budaya, niscaya budaya Indonesia bukan hanya bisa menjadi kuat di dalam negeri sendiri, namun juga bisa menjadi sesuatu yang mengglobal, ditandai dengan globalisasi budaya Indonesia itu sendiri. Lalu beliau menyambung dengan akan adanya Dana Abadi Kebudayaan, serta menyebutkan agar Indonesia memiliki infrastruktur kebudayaan seperti Opera Sidney.

Pada saat tektokan, terlihat jelas kedua Cawapres ini cukup main aman saja. Sandi secara normatif mengungkapkan mengenai pentingnya pelibatan semua elemen (pemerintah), untuk dengan itu tercapainya kolaborasi yang baik dalam hal sosial-budaya ini.

Di satu sisi Kyai MA mengangkat hal mengenai kearifan lokal dan lagi-lagi soal ekspansi (ekspor) budaya Indonesia ke luar.

Namun, sebenarnya bentuk budaya apa yang sedang dibicarakan di sini? Apakah hanya terbatas pada tari-tarian, nyanyian, prosa, puisi, pentas, musik, dan sebagainya yang itu adalah hanya sebagian kecil dari bentuk ‘budaya’ itu sendiri.

Agak kurang greget misalnya para Cawapres ini tidak membawa ‘kebudayaan’ sebagai sesuatu yang esensial. Misalkan pentingnya membumikan budaya sopan santun terhadap orang tua, hormat kepada guru, kasih sayang terhadap sesama, ramah terhadap tetangga, atau kebajikan-kebajikan lain yang secara luhur Bangsa Indonesia telah memiliki nya sejak lama. Kenapa harus berbelit-belit ingin melakukan ekspansi budaya Indonesia ke luar? Apakah kita akan berbangga kalau ternyata orang bule atau orang asing mengetahui sebenarnya ‘budaya’ orang Indonesia itu:

  1. Ngaret kalau janjian
  2. Suka nyontek kalau ujian, ketika nilai bagus, bangga hasil contekan
  3. Sudah lulus, ijazah nya pun ternyata pesanan dan polesan
  4. Buang sampah sembarangan, tulisan himbauan RT RW tidak diindahkan
  5. Tidak cinta lingkungan, dan bahkan menganggap tanah di sekitar tempat tinggal nya itu milik sendiri, sehingga engga apa-apa kalau dikotorin sendiri
  6. Sering mengeluh dan tidak suka tantangan
  7. Tidak bisa menemukan motivasi dari dalam diri sendiri, harus ada ancaman dari luar, baru lah berbenah
  8. Etos kerja yang baik artinya adalah supervisor yang harus seliweran mengontrol pekerjaan
  9. Lebih fokus kepada gimmick dibandingkan dengan hal-hal esensi
  10. Sirik ketika melihat orang lain sukses, yang dengan gampangnya bilang ‘ah itu mah hoki doang’
  11. Sering kali ‘menggunting dalam lipatan’ kalau ada kesempatan
  12. Menghakimi orang lain yang tidak melakukan hal yang diisukan
  13. Suka membagikan kabar bohong dibanding melakukan kroscek dan perbandingan
  14. Kebiasaan membaca dan berkarya rendah, namun lebih senang pada menghasilkan cacian
  15. Ada kabar miring sedikit, mau nya baku hantam
  16. Orang lain memiliki independensi pilihan, kita nya yang naik pitam
  17. Dipakaikan rompi KPK malah senyam-senyum
  18. Bikin sensasi di media massa dijadikan gacoan
  19. Banyak followers karena kekonyolan dibilang kerja keras
  20. Giliran dikritik, orang dibilang baper..julid

Apakah “budaya-budaya” seperti itu yang ingin “diekspor” ke luar negeri. Paling-paling orang bule kalau tahu benar budaya orang Indonesia, dan dia ditawarkan “produk” itu, langsung akan bilang ‘thank you, next..thank you, next’.

Jadi, apa sebenarnya makna kebudayaan itu? Boleh lah banyak orang yang pandai menari, pandai menyanyi, pandai melukis, dan melakukan hal-hal bentuk kebudayaan lain. Tapi kalau masih terjadi kekerasan terhadap guru, sikap yang kurang ajar terhadap guru (yang itu pun honorer), lantas apa yang bisa dibanggakan dari budaya itu sendiri?

 

Satu sesi terakhir sebelum Penutup adalah Debat antarcalon Cawapres.

Namun, seperti yang sudah diduga, agak kurang gereget ya.

Sandi tidak mau menyia-nyiakan waktu, ia langsung mengarahkan jab ke Kyai MA mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA). Lalu disambung dengan isu pengemudi online yang kesejahteraannya kurang baik, serta strategi-strategi yang akan dilakukan oleh pasangan Jokowi-MA kedepannya bila terpilih menjadi pemenang Pemilu 2019.

Kyai MA menjawab dengan bahwasanya TKA yang ada di Indonesia di bawah angka 0.01%, yang itu juga merupakan angka paling rendah se dunia terkait keberadaan TKA di suatu negara. Lalu beliau menyambung dengan mengatakan bahwa pemerintah selama ini telah melakukan hal-hal yang berkenaan dengan KUR untuk masyarakat dan bentuk-bentuk bantuan kredit usaha lainnya. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190317220553-4-61171/maruf-amin-tenaga-kerja-asing-di-indonesia-001, https://progresnews.info/2015/08/28/jumlah-tka-kurang-dari-01-persen-penduduk-indonesia/.

Sandi lalu menimpali dengan menekankan kepada sektor UMKM yang menjadi 97% tempat di mana tenaga kerja Indonesia bermuara. Dalam hal ini juga berhubungan dengan kemandirian ekonomi. Ia mengatakan UMKM bisa menjadi solusi yang nyata, namun memang perlu ada payung hukum yang lebih jelas dan paripurna terkait hal ini.

Sandi juga kembali mengangkat isu mengenai rasio TKA dengan tenaga kerja lokal. Sembari mengatakan bahwa industri-industri pengolahan akan dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah—yang mungkin terkena dampak dari masuknya banyak TKA.

Namun, Kyai MA berusaha menutup perdebatan gelombang pertama ini dengan mengatakan bahwa akan adanya Transfer of Technology yang tentunya perlu dikaji secara regulasi agar jelas perkara ToT ini. Hal yang tidak kalah penting juga terkait dengan kolaborasi dan aplikasi ToT.

Apabila yang menjadi dispute di sini adalah apakah menyiapkan lapangan pekerjaan dengan prioritas tenaga sendiri, atau dari asing. Janganlah kita melihat perdebatan ini dari semenjak Jokowi berkuasa saja. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3991652/perbandingan-jumlah-tka-di-indonesia-dengan-negara-lain. Hal yang tidak kalah penting adalah jangan melihat fenomena ini sempit dalam artian identitas yang mewakili “invader” yang kebetulan bermata sipit-sipit. Apa kabar kalau begitu dengan para ekspatriat yang sudah sejak jaman dahulu Soekarno menjadi Presiden hingga sekarang tetap bercokol mengambil posisi-posisi kerja yang kerah putih, gaji selangit, fasilitas mewah, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan favorability terhadap mereka yang dianggap bukan ‘buruh mata sipit’.

Persoalan ini juga harusnya dapat dijawab dengan mengedepankan objektivikasi bahwasanya tidak ada lagi wilayah di dunia ini yang tidak bisa dijangkau oleh orang apakah untuk bekerja, studi, pindah kewarganegaraan, dan sebagainya. Manusia-manusia Indonesia dulu nya dikenal sebagai pelaut dan pedagang global yang tangguh. Namun karena akibat modernisasi dan percaturan geopolitis, seakan-akan menjadikan individu Indonesia hanyalah sekumpulan orang yang bangga akan kampung nya sendiri, dan tidak mengerti bagaimana menjadi ‘masyarakat dunia’ yang sesungguhnya.

Karena kalau kita sama-sama lihat, di negara lain seperti Singapura, Malaysia, Amerika, Jepang, Korea Selatan, dll kita akan dengan sangat mudahnya menemukan banyak sekali ‘pekerja asing’ yang juga sedang bekerja di negara-negara tersebut. Hanya saja persoalannya adalah keberpihakan pemerintah dan kepastian hukum/status mengenai lama tinggal ekspatriat asing tersebut, di masing-masing yurisdiksi pemerintahan negara itu. Lha kalau begitu berarti pertanyaannya langsung bisa diajukan kepada lembaga negara terkait pengawasan orang asing yang kita miliki.

Tentu saja jawaban lain adalah dengan penyiapan yang komprehensif sehingga SDM Indonesia tidak hanya bisa berkompetisi di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Sehingga, apabila tiba masa nya bahwa perpindahan pekerja dari seluruh dunia sudah semakin tanpa batas, individu Indonesia bisa juga merasakan faedah dari dinamika tersebut.

Apalagi yang berhubungan dengan transfer teknologi. Ini bukanlah merupakan hal yang sederhana dan dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat. Butuh persuasi-persuasi yang sering kali berjalan alot terhadap pemerintah/perusahaan di negara lain untuk “dengan ikhlas” memberitahukan know-how yang dimiliki nya dan dibagikan ke kita. Namun, balik lagi, apakah transfer teknologi ini adalah hanya sebatas simbol yang digoreng, atau memang industri dalam negeri kita sudah siap dengan “limpahan teknologi” yang nantinya datang ketika transfer teknologi itu beneran terjadi.

Sesi Debat Gelombang Kedua

Pada Gelombang Kedua ini tidak terjadi persinggungan bahasan yang terlalu berarti. Malahan, Kyai MA yang diberikan kesempatan untuk bertanya ke Sandi, melihat catatan tertulis, dan menanyakan ke Sandi mengenai instrumen pengawasan alokasi dana ke daerah. Namun, ironisnya, ternyata beliau sudah mengetahui jawabannya, dan poin tersebut digunakan untuk seakan-akan mendegradasi ketidaktahuan Sandi akan jawaban tersebut. Apakah itu etis dilakukan oleh seorang Cawapres terhadap Cawapres lainnya?

Kalau lah memang Kyai sudah memiliki jawabannya, dan secara yakin akan menggunakan ‘instrumen’ tersebut untuk kepentingan administratif pemerintahan, harusnya justru poin tersebut diarahkan kepada Pak Jokowi, karena saat Debat Cawapres ini dilaksanakan, Pak Jokowi masih menjabat, bukan? Lalu apa esensi nya menanyakan sesuatu kepada orang lain yang tidak tahu (jawaban pastinya), dengan harapan bahwa beliau akan dibilang lebih tahu. Wadowww. Ribet Pak!

Mari kita skip Gelombang Kedua yang tendensius ini.

Sesi Gelombang Ketiga lebih membahas mengenai aspek kesehatan ibu hamil maupun ibu menyusui. Kyai MA membahas mengenai Sedekah Putih dan hubungannya dengan pemenuhan gizi anak, khususnya bayi dan balita. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4472350/sandiaga-uno-singgung-sedekah-putih-ini-komentar-asosiasi-ibu-menyusui, https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4471833/pro-kontra-sedekah-putih-sandiaga-uno-vs-pentingnya-asi, https://news.detik.com/berita/d-4471786/maruf-amin-serang-program-sedekah-putih-sandiaga.

Namun, Sandi berkilah bahwa program tersebut dapat dilakukan dengan skema partisipatif-kolaboratif.

Kyai MA menimpali dengan 1000 hari pertama kelahiran harus disusui oleh ibu sendiri, sebagaimana yang Islam juga ajarkan mengenai kewajiban seorang Ibu untuk menyusui anaknya dalam waktu 2 tahun penuh. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/15/06/08/nplpht-anjuran-alquran-bagi-muslimah-yang-menyusui.

Sandi lalu juga menimpali dengan fakta-fakta bahwa banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu tidak lagi bisa menyusui anaknya, sehingga perlu ada upaya-upaya pemenuhan gizi kepada anak, daripada sekedar memperdebatkan mengenai landasan-landasan anjuran terkait dengan menyusui baik dalam konteks keislaman ataupun kedokteran umum.

Kyai lalu menutup tektokan terakhir dengan menyatakan bahwa pemerintah sudah banyak menurunkan bansos untuk kalangan ibu hamil. https://www.cnbcindonesia.com/news/20181211171536-4-45898/lewat-pkh-ibu-hamil-dapat-bantuan-tambahan-rp1-juta, https://kumparan.com/@kumparanbisnis/dana-bansos-pkh-2019-naik-dua-kali-lipat-ibu-hamil-dapat-rp-1-juta-1544529188190357013, https://news.okezone.com/read/2018/05/12/337/1897370/mensos-tahun-2019-ibu-hamil-dapat-bantuan-pkh.

Tidak banyak hal yang terbahas pada Gelombang Keempat dari perdebatan antarcalon Cawapres ini.

Sandi berusaha untuk mengangkat mengenai pengangguran usia muda, namun tidak terlalu telak mengenai sisi Kyai MA. Beliau malah menyebutkan kembali terkait dengan DUDI tadi. Bahwasanya kerja sama DUDI dapat memberikan insentif kepada pihak industri yang bersedia untuk terlibat aktif terhadap program tersebut. Juga revitalisasi SMK menjadi jawaban dari apa yang terjadi di konteks ketenagakerjaan Indonesia saat ini.

Namun, pertanyaannya. Apakah ‘menyimpan jawaban yang nantinya akan dikeluarkan pada saat dibutuhkan’ adalah bagian dari budaya kita? Kenapa tidak, sebagai Petahana, Pak Jokowi melakukan terlebih dahulu usulan-usulan atau ide-ide yang Kyai MA dari awal acara Debat Cawapres sampai selesai sempat sebutkan. Kenapa harus menunggu bahwa informasi-informasi tersebut akan dilaksanakan ketika nanti beliau terpilih lagi. Lha, kan ini ybs sedang menjabat, ya tinggal dilaksanakan saja tho?

Dalam hal ketenagakerjaan tidak perlu dipungkiri lagi, Sandi memiliki keunggulan dibandingkan dengan Kyai MA. Sandi pernah mempekerjakan orang dengan total 30.000 pegawai. Sedangkan Kyai MA memang tidak memiliki latar belakang industri padat karya atau korporasi, sehingga tidak bisa menyampaikan sanggahan atau perbandingan data yang dimilikinya. Sandi tahu betul pengelolaan lapangan kerja itu bukan hanya sekedar masalah rekrutmen. Banyak dari pengusaha-pengusaha di Indonesia lainnya yang juga mungkin merasakan bahwa kepastian hukum, regulasi, proteksi tenaga kerja, ketersediaan BPJS Kesehatan Pekerja, Sunset Policy, dan lain sebagainya masih memiliki celah untuk diimprovisasi.

Sesi Closing Statement memberikan kesempatan pertama untuk Sandi menyampaikan pesan terakhirnya. Tidak ingin menyia-nyiakan momen tersebut, Sandi mengajak seluruh hadirin dan pemirsa untuk mengambil dompet masing-masing, dan mengeluarkan KTP dan mengatakan bahwa E-KTP nantinya akan bisa digunakan untuk banyak hal, tidak perlu kartu-kartu yang banyak. E-KTP sakti ini akan menjadi single identification untuk berbagai macam pelayanan, baik itu kesehatan, pekerjaan, pendidikan, pemenuhan gizi, dan lain sebagainya. Boom!

Kalau dipikir-pikir iya juga. Dengan banyak nya kartu-kartu yang berbeda begitu, apakah itu bukan cuma akan menguntungkan rekanan pencetak kartu saja? Apa untungnya bagi masyarakat membawa kartu yang banyak yang justru itu akan digunakan untuk melayani masyarakat dengan lebih baik. Itu pun kalau yang bersangkutan tidak salah bawa kartu. Kalau salah bawa kartu, pengurusan yang birokratis, lama nya waktu pengurusan, dsb, bayangkan betapa rumitnya hidup menjadi orang Indonesia. Lagi-lagi, apakah itu “budaya” yang ingin kita ekspor ke luar? Thank you, next!

Pada kesempatan closingnya, entah kenapa Kyai MA lagi-lagi malah menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan Fiqh. Disadari atau tidak, penonton acara Debat Cawapres itu tidak semuanya muslim. Apakah beliau tidak merasa bahwa dari ucapan-ucapan materi Fiqh yang disampaikan, itu bukan merupakan concern kawan-kawan yang non-muslim yang kebetulan juga sedang menonton acara tersebut?

Dari awal, Sandi tampil cukup konsisten dengan sedikit sekali mengucapkan kata-kata yang menggunakan Bahasa Inggris. Harapannya tidak lain dan bukan adalah agar semua penyampaian yang dilakukan dapat dimengerti oleh semua kalangan di Indonesia. Namun, walau begitu, Sandi mengeluarkan Jurus Bangau nya yang terakhir ketika closing dengan menutup jatahnya dengan mengucapkan kalimat penutup khas masyarakat NU dan Muhammadiyah.