Peluang dan Tantangan Lulusan Tiongkok

Sebenarnya bahasan ini akan sangat nyambung dengan postingan tulisan sebelumnya, yaitu https://fathansembiring.wordpress.com/2019/03/14/bagaimana-memetakan-masa-depan/. Karena bagaimana pun juga, pertanyaan mengenai ‘peluang dan tantangan’ itu adalah bagian dari buah pemikiran bagaimana kita memetakan masa depan untuk diri sendiri. Baik itu lulusan dari Tiongkok, dari Eropa, Amerika, maupun dari negara-negara lain tentu memiliki fase-fase di mana mereka perlu mempertimbangkan secara baik apa yang akan menjadi langkah selanjutnya setelah lulus.

Paling mudah memang membayangkan peluang lulusan luar negeri, khususnya Tiongkok adalah dalam konteks penyerapan bursa kerja di Indonesia. Khususnya penyerapan kepada perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang memiliki operasi bisnis di Tanah Air kita. Biasanya, faktor yang paling memengaruhi hal tersebut adalah iklim dan fakta investasi yang masuk ke Indonesia. Untuk referensi terbaru saat ini, bisa merujuk pada https://www.bkpm.go.id/images/uploads/file_siaran_pers/Paparan_Bahasa_Inggris_Press_Release_TW_IV_2018.pdf yang merupakan dokumen paparan Badan Koordinasi Penanaman Modal mengenai investasi masuk (FDI) atau investasi keluar (DDI) Indonesia.

Mengetahui kondisi perekonomian secara makro memang bagus. Misalkan pertumbuhan ekonomi, tingkat daya beli masyarakat, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, dsb. Namun, secara personal, hal tersebut tidak akan membawa terlalu banyak dampak di kehidupan sehari-hari. Dalam artian, justru sebagai individu kita perlu untuk memastikan bahwa informasi yang kita akses adalah sesuatu yang memiliki faedah, dengan begitu kita bisa melakukan follow-up untuk masa depan kita sendiri.

Informasi-informasi ekonomi makro akan menjadi sangat relevan tentu nya kalau kita memutuskan untuk bekerja di lembaga-lembaga konsultan, INDEF, Kementerian terkait, dan lain sebagainya. Namun, mengingat bahwasanya saat ini (2010 – 2025) peluang besar lulusan Tiongkok untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, sangat terbuka lebar.

Misalnya, dari link paparan BKPM di atas, terlihat bahwa investasi terbesar ke Indonesia (FDI) itu masih berasal dari Singapura (33,7%), Jepang (16,2%), Malaysia (8%), Tiongkok (7,4%), Hong Kong (5,1% ), dan Lainnya (29,6%). Namun, sesungguhnya, melihat angka FDI ini tidak boleh terkecoh. Dalam artian, walaupun secara data asal FDI paling banyak adalah dari Singapura, namun, disinyalir itu adalah perusahaan-perusahaan yang juga berasal dari Tiongkok, yang mungkin memiliki cabang (subsidiaries) di Singapura atau negara-negara lain. Begitu pula dengan FDI yang masuk dari Hong Kong. Kenapa mereka memutuskan begitu? Sebenarnya itu adalah praktek yang lumrah di dalam bisnis internasional. Banyak pertimbangan-pertimbangan perusahaan, apalagi yang multi-nationals memutuskan untuk melemparkan investasi mereka tidak dari perusahaan induk, tapi dari subsidiaries mereka yang tersebar di seluruh dunia. Namun, kita tidak akan membahas banyak soal FDI di tulisan ini.

Relevansinya di mana? Berarti lulusan Tiongkok akan semakin dibutuhkan di Indonesia. Kalau bisa dapat lebih bagus lagi misalnya di negara-negara Asia Tenggara yang membutuhkan banyak SDM kompeten yang merupakan lulusan Tiongkok. Untuk ulasan spesifik mengenai investasi keluar yang dilakukan oleh Tiongkok (OFDI) dapat di simak di link berikut ini http://english.mofcom.gov.cn/article/newsrelease/policyreleasing/201808/20180802778766.shtml.

Tapi, kalau boleh mengidentifikasi, sebenarnya banyak bidang-bidang pekerjaan yang sederhana nya membutuhkan translator saja, terutama di perusahaan-perusahaan Tiongkok yang sedang beroperasi di Indonesia. Kenapa begitu? Karena pada level-level manajerial, otomatis untuk kita yang baru lulus, akan sulit untuk menembus level pekerjaan karena kita masih belum mencukupi dari segi pengalaman. Biasanya perusahaan-perusahaan tersebut untuk posisi kepala-kepala manajerial membutuhkan SDM dengan latar belakang karir 10 tahun atau 15 tahun. Sedangkan pada bidang teknis, ada percampuran tenaga kerja baik dari Tiongkok langsung maupun dalam negeri, yang tentu perusahaan tidak mencari orang lulusan S1 atau S2 asal Tiongkok untuk mengerjakan hal-hal teknis.

Peluang nya adalah lulusan Tiongkok bisa menjadi translator both ways. Pertama untuk orang Tiongkok yang mungkin laoban-laoban besarnya, ataupun kepala posisi manajemen teknis, yang tidak bisa Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia. Yang kedua otomatis untuk membantu para jajaran manajerial lokal yang tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa Mandarin. Penyerapannya begitu besar di saat-saat sekarang.

Selain menjadi translator di korporasi-korporasi besar, lulusan Tiongkok bisa berkiprah di dunia Pendidikan. Baik itu menjadi laoshi, menjadi dosen, atau menjadi staf manajemen di sekolah atau kampus-kampus. Posisi tersebut bisa menjadi hal yang sangat baik bagi institusi pendidikan yang ada di Indonesia, terutama karena kita telah pernah melihat dan melakukan observasi yang banyak selama berada di Tiongkok. Hasil observasi tersebut tentu ada hal-hal yang dapat diaplikasikan di dunia pendidikan di Indonesia.

Peluang di bidang pendidikan makin besar, mengingat jumlah sekolah internasional yang cukup banyak yaitu 198 sekolah menurut artikel https://parenting.dream.co.id/diy/jumlah-sekolah-internasional-di-indonesia-terus-bertambah-180813l.html. Silabus pengajaran di sekolah internasional tentunya menjadi peluang bagi tenaga-tenaga ajar lulusan Tiongkok, khususnya 师范 untuk menerapkan apa yang sudah didapatkan ketika berkuliah di sana.

Dalam sektor pariwisata lulusan Tiongkok juga dapat mengambil peran sebagai tour leader atau tour management. Jumlah wisatawan Tiongkok yang berplesir ke luar negeri per tahunnya ada 100 juta orang. Indonesia baru bisa meng-grab market tersebut di angka 2 – 3 juta orang per tahun. Hal ini juga dapat disebabkan karena masih kurangnya penawaran akan jasa pariwisata khusus Tiongkok di Indonesia. Dengan demand yang begitu besar, otomatis mereka sebagai wisatawan akan mencari opsi yang paling mudah untuk mereka berplesir.

Wilayah-wilayah wisata yang prima untuk wisman asal Tiongkok saat ini adalah Manado, Lombok, dan sekitar Bali. Untuk Bali sendiri, sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi, namun kalau konteksnya adalah pencari kerja, maka kita harus bisa membaca peluang. Bali merupakan destinasi wisata yang merupakan favorit siapapun dari negara manapun. Sehingga, iklim kompetisi di sana juga sudah semakin rumit. Ada baiknya mungkin kita melihat peluang di tempat-tempat wisata lain yang saat ini sedang naik trend nya, atau di beberapa tahun yang akan datang. Informasi lengkap mengenai data kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia dapat disimak di link yang dimiliki oleh BPS. https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/10/01/1476/jumlah-kunjungan-wisman-ke-indonesia-agustus-2018-mencapai-1-51-juta-kunjungan-.html.

Bottom-line nya adalah, Indonesia memiliki luasan wilayah yang tak akan habis untuk dieksplorasi sebagai tempat-tempat wisata. Banyak titik-titik wisata non-mainstream yang dapat kita tawarkan dengan niche market yang spesifik, sehingga hal tersebut juga menjadi peluang kita untuk berdaya saing.

Ingat juga, dengan bisa berbahasa Mandarin, sebenarnya kita bukan mengarahkan kemampuan hanya ke wisman Tiongkok, tapi wisman lain pada umumnya yang bisa berbahasa Mandarin, bukan? Seperti asal Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Malaysia, ataupun misalkan chinese overseas dari negara-negara lain yang melihat Indonesia sebagai lokasi alternatif berwisata mereka.

Untuk sektor pemerintahan, sebenarnya variabel yang menentukan bukan perkara kita lulusan Tiongkok, tapi lebih ke scoring CPNS, sehingga variabel apakah kita lulusan Tiongkok atau bukan, tidak masuk hitungan. Sehingga, untuk mereka yang memang ingin berkontribusi di Sektor Publik, dapat mengikuti ujian CPNS berikutnya di kebidangan yang sesuai.

Bekerja menjadi seorang PNS atau ASN memang merupakan hal yang cukup secure untuk sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia, terutama perempuan. Karena rentang kerja seorang ASN sejatinya hingga pensiun. Walaupun kalau dibandingkan dengan rekan-rekan lain yang misalnya bekerja di sektor yang penghasilannya lebih tinggi, renumerasi seorang ASN bisa dikatakan sangat pas-pasan.

Sektor Publik, atau menjadi ASN akan sangat cocok untuk kita yang tidak bermasalah dalam hal menghadapi pekerjaan yang monoton, di belakang meja, dan sangat kental urusannya dengan birokrasi. Namun, itu akan sangat menjengkelkan ketika kita memiliki jiwa entrepreneurship, tidak suka duduk di belakang meja, dan lebih menyukai hal-hal pekerjaan yang dinamis.

Bagaimana dengan start-up? Sebenarnya bisa saja start-up dijadikan batu loncatan untuk meniti karir. Namun, belum tentu kita memiliki peluang besar sebagai lulusan Tiongkok. Kenapa? Karena sampai saat ini bisa dikatakan mayoritas start-up founders maupun eksekutif nya merupakan orang-orang yang dulunya mengenyam pendidikan di Amerika, UK, Eropa, dan Australia. Untuk saat ini masih jarang bisa ditemukan lulusan Tiongkok yang sudah masuk kepada level eksekutif atau upper management di sektor start-up di Indonesia.

Dengan iming-iming gaji yang cukup oke di perusahaan start-up, tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk para lulusan yang baru selesai kuliah. Namun, peluang itu juga akan menjadi lebih besar ketika kita juga bisa memperlihatkan kualitas individu kita di mata head hunters. Kenapa? Karena kebanyakan referensi yang dipakai masih merupakan referensi-referensi MBA yang berasal dari versi Barat. Sehingga preferensi untuk mencari lulusan Barat masih menjadi preferensi utama untuk rekrutmen manajerial khususnya di digital start-up.

Opsi lainnya adalah dengan berwirausaha, entrepreneurship. Hal ini mungkin yang agak sulit untuk dilakukan setelah lulus. Kalau memang berani mencoba, tidak ada salahnya, namun kalau masih ragu, dan merasa memiliki kekurangan dalam pengalaman, ada baiknya ditahan dulu sampai nanti kita mendapatkan momentum yang cocok untuk berwirausaha.

Salah satu faktor yang mungkin memengaruhi keinginan berwirausaha ini ada pada culture-lag yang biasa muncul ketika kita kembali ke suasana masyarakat yang kita anggap “berbeda”. Hal ini juga tentu sama kita pernah merasakan ketika pertama kali menjejakkan kaki ke Tiongkok. Salah satunya misalkan mengenai etos kerja. Membandingkan etos kerja masyarakat Tiongkok dan Indonesia seperti nya agak susah untuk berharap. Di saat di Tiongkok mereka menerapkan sistem kerja yang lebih mirip robot, di Indonesia pada umumnya (apalagi konteks berwirausaha), semuanya menjadi serba selow. Akibatnya mungkin hal tersebut akan menjadi pertimbangan kita kalau lah memang memutuskan untuk berkecimpung di bidang kewirausahaan.

Atau biasanya banyak lulusan luar negeri yang ketika baru lulus dan kembali ke Indonesia, mereka memutuskan untuk menjadi staf Tenaga Ahli Anggota DPR-RI. Menjadi seorang TA gampang-gampang susah, otomatis kita memerlukan channel untuk mengakses informasi apakah ada dari 500 Anggota DPR-RI di Senayan yang sedang membutuhkan TA. Biasanya informasi ini bisa didapatkan dari pergaulan sesama lulusan luar negeri (Alumni PPI Dunia), atau sudah sejak lama mengenal Anggota Dewan yang bersangkutan, misalkan ketika sedang berkunjung ke Beijing, Shanghai, atau Guangzhou, dan kita berkesempatan untuk menjadi tour guide, dan pada akhirnya mendapatkan kontak Anggota Dewan tersebut. Dengan begitu, ketika kita sudah lulus, kita tinggal mencoba untuk mengontak kembali Bapak/Ibu yang sebelumnya sudah kita kenal.

Pekerjaan menjadi seorang TA juga bergantung pada tipikal Anggota Dewan. Ada yang memang memiliki tanggung jawab besar, seperti Aleg (Anggota Dewan, Anggota Legislatif) yang juga memiliki posisi lain di struktur partai politik di mana beliau bernaung. Atau misalkan Aleg tersebut memang sedang masuk ke banyak Pokja, sehingga banyak pekerjaan menumpuk yang dibebankan kepada TA. Namun biasanya TA dari seorang Aleg tidak cuma 1, tapi bisa beberapa bergantung pada individu Aleg tersebut.

Posisi menjadi TA merupakan batu loncatan yang cukup baik untuk kelanjutan karir selanjutnya, yang tentu saja tidak jauh-jauh dari bidang pelayanan publik atau politik praktis. Namun, yang perlu dicatat adalah, menjadi TA seorang Aleg biasanya membutuhkan latar belakang pendidikan S2. Untuk S1 nampaknya sangat jarang dan persaingan dari lulusan S1 dalam negeri yang juga ingin menjadi TA Aleg juga tidak sedikit.

Namun, memang, kalau di Indonesia yang harus menjadi perhatian adalah, sebagai lulusan segar (fresh graduate), kita juga mesti paham bahwa kebijakan renumerasi (penghasilan dan gaji) di Indonesia itu tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Pada umumnya alokasi renumerasi baik itu di perusahaan maupun Sektor Publik, nominal nya tidak besar. Hal ini dapat kita temui perbedaannya misalkan kita menanyakan rekan kita yang merupakan asal Singapura, Malaysia, Brunei, atau Thailand. Kebijakan renumerasi di 4 negara tetangga sana sangat baik, dan merupakan angin segar bagi para lulusan yang baru saja kembali ke Tanah Air.

Lantas begitu, kenapa tidak memanfaatkan website-website head hunting online untuk mencari alternatif pekerjaan selain di Indonesia. Dengan kita yang merupakan lulusan Tiongkok, sebenarnya kita sudah memiliki kemampuan 3 bahasa yang cukup baik, bukan? Hal itu mungkin tidak akan menjadi landasan untuk ‘dibayar tinggi’ di dalam negeri sendiri, namun akan menjadi cukup berharga di luar negeri.

Untuk artikel-artikel lain yang berkaitan dengan bekerja di Tiongkok, bisa disimak pada Kategori Pekerjaan di blog ini https://fathansembiring.wordpress.com/category/karir-dan-pekerjaan/. Di dalam link tersebut juga ada ulasan-ulasan yang berkaitan dengan bekerja di Tiongkok.

Bekerja di Tiongkok sendiri merupakan satu channel karir yang menjanjikan. Namun, seiring dengan ketatnya persaingan dan regulasi domestik, kita harus berusaha ekstra dan benar-benar dapat memperlihatkan bahwasanya kita layak untuk diterima bekerja di salah satu perusahaan lokal sana.

Selanjutnya, sebagai gambaran kasar acuan renumerasi tadi. Mungkin sederhananya seperti ini:

  1. Untuk ASN (Aparatur Sipil Negara), range yang ditawarkan sesuai dengan standar adalah 2 – 3 juta Rupiah per bulan. Silahkan lihat referensi-referensi baku mengenai renumerasi ASN ini.
  2. Menjadi translator di korporasi biasanya dihargai 8 – 10 juta Rupiah per bulan. Ini pun juga bergantung pada kelancaran Bahasa Mandarin kita dan bagaimana nanti negosiasinya ketika interview.
  3. Sektor start-up mungkin masih berada pada tingkatan renumerasi yang cukup baik untuk fresh graduate, yaitu 5 – 8 juta Rupiah per bulan.
  4. Untuk sektor-sektor ritel umum lain, renumerasi bisa start di angka 4 juta Rupiah per bulannya.
  5. Untuk dosen, dengan latar belakang lulusan PhD (karena saat ini sudah diwajibkan dosen-dosen memiliki gelar Doktor atau PhD), memiliki range renumerasi dimulai dari 4 juta Rupiah per bulan. Hal ini juga bergantung pada kampus atau institusi pendidikannya. Makin bonafide institusinya, makin besar juga angka renumerasi yang diberikan.
  6. Banyak lulusan luar negeri juga yang mengabdikan diri untuk menjadi Staf Ahli Anggota Dewan DPR-RI. Ekspektasi gaji bisa berada di angka 6 – 10 juta Rupiah per bulannya.

Itu tadi kalau misalkan kita membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Peluang. Lalu, apa Tantangannya?

Tantangan di sini tentunya dibagi menjadi Tantangan Internal dan Tantangan Eksternal. Lantas, apakah Tantangan di sini bisa diartikan sebagai Threat, sebagai mana terma yang dipakai di analisis SWOT? Bisa iya bisa tidak, bergantung bagaimana kita melihatnya. Threat atau Ancaman adalah definisi yang digunakan oleh seseorang ketika melihat bahaya atau sesuatu yang mengancam posisinya sekarang. Namun, kalau kita putar sedikit, melihat definisi tersebut sebagai sebuah Tantangan, niscaya sudut pandang akan berubah dan menjadi sedikit lebih positif dari sebelumnya.

Tantangan Internal di sini berarti terjadi secara horizontal atau sesuatu yang memiliki kategorisasi sama dengan kita. Contoh, dari data mahasiswa Indonesia di Tiongkok terakhir tahun 2018 ada sekitar 14 ribu mahasiswa (bulatkanlah segitu, misalnya). Otomatis sekali gelombang kelulusan, mungkin bisa ada 2 atau 3 ribu mahasiswa Indonesia yang juga posisi nya sedang mencari pekerjaan seperti kita. Barang tentu dengan demikian fenomena tersebut dapat kita sebut sebagai Tantangan Internal.

Namun, bukan berarti sesama lulusan Tiongkok lantas kita harus bergesekan untuk mendapatkan slot di bursa kerja yang ada. Justru karena kita memiliki latar belakang yang sama secara asal pendidikan, mengapa tidak berkolaborasi untuk membuat hal-hal baru atau melakukan improvisasi di berbagai macam sektor, sehingga kerja sama lebih dikedepankan, dibandingkan persaingan tadi.

Tantangan Eksternal dapat berupa kondisi-kondisi lain yang tidak bisa kita kontrol. Seperti ekonomi makro, bencana alam, perubahan cuaca, konflik di seluruh dunia, penyebaran penyakit berbahaya, dan sebagainya. Tantangan Eksternal ini tidak hanya dialami oleh kita para pencari kerja, otomatis banyak hambatan yang ditemui oleh perusahaan-perusahaan besar itu juga salah satunya dari fenomena-fenomena Tantangan Eksternal.

Cara yang baik untuk menghadapi Tantangan Eksternal adalah bersiap dengan sebaik mungkin. Dalam artian, kemampuan Bahasa Mandarin kita harus prudent, harus paling tidak sama bagusnya dengan kemampuan berbahasa Inggris kita. Lakukanlah persiapan-persiapan ketika sebelum lulus hal-hal yang berkenaan dengan negara Tiongkok dan pengaruhnya di dunia. Tentukan lah rencana masa depan sebaik dan serelevan mungkin. Dengan begitu, mungkin bila suatu hari kita bertemu dengan Tantangan Eksternal ini, kita sudah 50% siap untuk menghadapinya.

Leave a comment