Ingin Belajar Bahasa ke Tiga? Bagusnya Bahasa Apa?

Kadang kala kita merasa bahwa diri kita sudah cukup mampu untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada di dunia ini. Terutama dalam urusan paska-kampus terutama karir, dan aktivits lainnya. Bangsa Indonesia dianugerahi dengan sedemikian banyak rezeki oleh Allah SWT atas Sumber Daya Alam, keindahan alam, dan melimpahnya Sumber Daya Manusia kita. Namun, hal-hal tersebut akan memiliki dampak yang kurang baik karena akan menimbulkan comfort zone. Betapa tidak? Negara kita tidak memiliki 4 musim, artinya secara alamiah iklim dan tantangan fisik sehari-hari kita tidak se-menantang di negara-negara 4 musim. Padi, singkong, umbi-umbian, dll bisa tumbuh dan dipanen sepanjang tahun, praktis tidak ada satu saat di mana tanaman tidak bisa tumbuh dan tidak bisa menghasilkan makanan, seperti yang terjadi di negara 4 musim.

Namun, hal tersebut memiliki efek yang kurang baik karena akan menciptakan comfort zone. Hal ini lah yang perlu kita waspadai sebagai individu yang haus akan peningkatan kualitas diri. Bukan sesuatu yang luar biasa mencengangkan, apabila kita beranjak ke luar negeri, minimal di negara-negara Asean, kita akan melihat orang-orang dengan kemampuan yang berada di atas rata-rata. Hal tersebut bisa dibilang bahwa faktor comfort zone yang ada di negara mereka lebih sedikit dari apa yang kita temui di Indonesia.

Apabila kita pergi ke luar negeri dan memiliki teman-teman yang berasal dari negara yang berbeda, merupakan sesuatu yang cukup wajar apabila kita sedang bercengkrama di suatu momen, maka rekan-rekan kita yang berasal dari negara yang berbeda, langsung shift bahasa menggunakan bahasa lain. Nah, dari kondisi tadinya kita cukup nyambung untuk ngobrol dengan mereka, jadi roaming. Tentu hal tersebut tidak akan terjadi apabila kita mengalokasikan sebagian waktu, tenaga, dan biaya yang kita miliki untuk mempelajari bahasa ke 3, atau ke 4, kenapa tidak?

Kemungkinan kita akan bisa berinteraksi dengan lebih banyak orang dari berbagai macam kalangan juga merupakan indikasi bahwa dunia ini sudah semakin borderless. Dengan kenyataan media sosial, kecanggihan teknologi, kepraktisan komunikasi antarindividu yang berjarak ribuan kilometer bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan?

Apalagi kalau kita melihat perkembangan karir yang sudah semakin luar biasa. Bayangkan kita bisa bekerja di perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai macam negara. Kita tahu bahwa kantor pusat perusahaan itu ada di London, misalnya. Namun telah juga memiliki cabang di Amsterdam, Cape Town, Marrakech, Qatar, Shanghai, dan Hanoi. Bisa dibayangkan betapa kompleksnya koordinasi dan komunikasi yang harus dibangun secara baik dengan tim global yang berada di berbagai macam negara untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah menjadi tupoksi dan misi dari perusahaan tempat kita bekerja. Karena dalam pekerjaan, tidak mungkin hal yang kita komunikasikan kepada para kolega kita hanyalah mengenai pekerjaan, tentu saja ada hal-hal yang bersifat intermezzo, seperti guyonan, wawasan umum, skor pertandingan bola, jenis makanan khas, destinasi wisata unik, dan lain sebagainya. Salah satu faktor yang dapat memperlancar komunikasi antarbudaya seperti itu adalah tentunya penguasaan bahasa asing yang cukup banyak.

Dalam mempelajari bahasa asing, sudah seharusnya kita juga mempelajari budaya mereka. Dalam artian, ada banyak hal menarik lain yang dapat kita eksplorasi sesuai dengan bahasa yang kita pelajari. Dengan begitu, ketika kita dihadapkan pada kondisi komunikasi antarbudaya, kita sudah memiliki bekal kompetensi dan mental yang cukup untuk menghadapinya.

Hal yang terjadi pada peluang bukanlah pada ada atau tidaknya peluang itu. Peluang pasti suatu saat datang kepada kita, tapi, apakah kita akan siap? #mindblowing ga?

Lalu, apa yang harus dilakukan? Tentu mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Tulisan ini berfokus untuk membahas mengenai bahasa ketiga apa kah yang cocok untuk kita pelajari. Kenapa bahasa ketiga? Karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama, English should be the second, tinggal cari bahasa ketiga yang kira-kira akan menjadi sesuatu yang mendukung untuk kemajuan diri kita.

Kalau pengalamanku sendiri, mempelajari Bahasa Mandarin merupakan sesuatu yang menjawab banyak tantangan dan kebutuhan saat ini (2019). Kenapa? Karena Bahasa Mandarin memiliki penutur yang sangat banyak. Populasi Tiongkok ada sekitar 1,4 milyar jiwa, namun ingat, overseas Chinese di seluruh dunia ada ratusan juta juga jumlahnya. Katakan lah penutur Bahasa Mandarin ada sekitar 1,8 milyar manusia. Itu merupakan angka yang sangat bagus untuk bisa dikatakan sebagai modal pertama alasan mempelajari bahasa asing. Itu tadi kalau dari hal jumlah penutur.

Nah, modal kedua alasan yang bisa dicari-cari adalah, kegunaan bahasa tersebut. Kita harus sadar bahwa perubahan “penguasa” dunia ini sudah bergeser dari Barat (kembali) ke Timur. Dengan yang dimaksud Timur adalah kawasan yang dipimpin oleh Tiongkok, karena jumlah mereka yang sangat besar. India sendiri merupakan negara Asia yang cukup besar dan signifikan. Namun, kita tidak perlu repot-repot mempelajari Bahasa Hindi, hal ini dikarenakan 99% orang India bisa berbahasa Inggris yang baik. India memiliki kenyataan seperti itu karena dulunya mereka sempat di jajah oleh Britania Raya selama 200 tahun.

Kita ambil contoh juga misalkan Bahasa Arab. Bahasa Arab oke untuk dipakai ketika kita memiliki kegiatan, aktivitas, karir atau apapun itu yang secara sempit melibatkan orang-orang yang berasal dari Timur Tengah. Namun, ingat, tidak semua orang Timur Tengah itu orang Arab, misalkan Iran, atau Turki (kalau Turki dalam hal ini termasuk). Aku tidak sedang memperdebatkan Bahasa Arab merupakan bahasa “wajib” yang harus dipelajari oleh setiap muslim. Tapi coba bayangkan sedari kecil kita sudah bisa membaca dan menghapal Al Quran, membaca hadits, dan lainnya. Tapi, apakah itu berarti kita bisa berbahasa Arab? Oh, tentu beda.

Mempelajari Bahasa Arab sebagai suatu bahasa yang memiliki orientasi “duniawiyah” merupakan sesuatu yang sangat baik. Tapi, kalau kita mau beranjak ke kota-kota seperti Dubai, Qatar, Mesir, Algeria, Maroko, Libya, dan negara-negara Teluk lain, mungkin justru kita akan menemui bahwa sebagian besar masyarakatnya lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris dan Perancis ketimbang Bahasa Arab. Lagi pula, misalnya kita sedang ke Mekkah, Madinah, atau Jeddah, bukan sesuatu yang mengherankan lagi kalau kita berbelanja di pasar atau toko, penjualnya bisa berbahasa Indonesia, atau bahkan asisten toko nya ternyata adalah orang Indonesia!

Apalagi kalau kita tau bahwa karir kita kedepannya akan banyak secara geografis berada di Asia atau Asia Tenggara. Memang tidak mustahil apabila kita bisa berstudi ke luar negeri, misalnya ke Eropa, lalu kita bisa menguasai Bahasa Jerman atau Perancis, lalu kita memutuskan untuk melanjutkan karir di sana, maka penguasaan bahasa yang secara geografis akan sering dipakai menjadi telak untuk dipelajari. Di Asia sendiri bisa dibilang penggunaan Bahasa Inggris masih merupakan hegemoni. Namun, sepengalaman ku memiliki teman-teman yang berasal dari Jepang dan Korea, banyak dari mereka yang juga belajar Bahasa Mandarin sejak bangku sekolah dulu.

Di PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) sendiri terdapat 6 bahasa yang digunakan di lingkungan kerja mereka. Bahasa Inggris, Mandarin, Arab, Rusia, Jerman, dan Perancis merupakan 6 bahasa yang para diplomat PBB paling tidak harus menguasai 3 dari 6 bahasa tersebut untuk layak menjadi diplomat unggul dan berpengaruh di PBB. Ini adalah modal ke tiga. Kita bisa melihat bahasa apa yang penting untuk digunakan, melalui parameter dari super-body (lembaga internasional) seperti PBB ini.

Memang, kalau kita hidup di negara Eropa, jika dibandingkan dengan di Indonesia, maka mungkin kita sudah bisa dikategorikan sebagai polyglot (penutur 2 atau lebih bahasa asing). Bayangkan dari orang tua kita, kita sudah bisa menutur dalam 2 bahasa daerah, plus 1 Bahasa Indonesia. Namun, sayangnya bahasa daerah tadi tidak masuk ke dalam “hitungan”. Kalau di Eropa, ketika kita hidup di Perancis, namun bisa berbahasa Jerman dan Spanyol, karena lokasi yang berdekatan, kalau dianalogikan di Indonesia ya masih semacam “bahasa daerah” ga sih?

Namun, bottom line nya adalah bahwa mempelajari bahasa ketiga itu menurutku harus sesuai dengan kebutuhan masa depan. Jangan hanya karena film drama tertentu lagi hits, baru kita gandrung dan mau mempelajari bahasa tersebut. Memang betul, instrumen mempelajari bahasa asing itu banyak, selain kita mengambil kursus. Misalkan film, drama, musik, buku, karya sastra, dan lainnya menjadi instrumen belajar yang menyenangkan. Namun, jadikanlah instrumen tetap instrumen, bukan motivasi. Kenapa? Berarti kamu perlu baca artikel ini lagi dari atas.

Leave a comment