Mitos Seputar Studi ke Tiongkok

Mungkin kamu sekarang masih membayangkan bahwa kalau pergi studi ke luar negeri, banyak hal yang selama ini didengar, tanpa pernah merasakan. Bayaknya berita di media, terkadang membuat kita tidak dapat menyaring informasi dengan baik, apakah informasi tersebut berguna atau tidak untuk kita. Sehingga tidak pelak, informasi yang tidak benar membuat kita kebingungan, bahkan ragu untuk lanjut studi ke suatu negara. Dalam hal ini, konteks informasi beredar yang cukup mengkhawatirkan adalah mengenai studi ke Tiongkok/Cina.

Pertama, mengenai kalau studi ke Cina haruslah orang keturunan Tionghoa. Hal ini dapat kita temukan di pertanyaan-pertanyaan orang yang ragu mengenai untuk apa kalau bukan keturunan Tionghoa, studi ke Cina. Padahal, hal tersebut tidak ada hubungannya. Tujuan studi sama sekali tidak ada hubungan dengan keterkaitan dengan keturunan atau darah. Tujuan seseorang untuk lanjut studi ke luar negeri adalah semata-mata untuk meningkatkan kapasitas diri sehingga bermanfaat di kemudian hari.

Persepsi ini merupakan persepsi yang cukup mengganggu, karena toh rekan-rekan keturunan Tionghoa juga tidak 100% melanjutkan studi mereka ke Cina. Ada yang ke Singapura, AS, Australia, Eropa, Hong Kong, dll. Sehingga, jangan sampai persepsi mengenai kesukuan ini menghambat kita untuk tidak melanjukan studi ke Cina.

Lantas, dengan begitu sejatinya orang-orang Indonesia (non-Tionghoa) hanya “berhak” dan “wajar” kalau berstudi ke Malaysia dan Suriname (mungkin ke Yaman juga). Karena hanya di negara-negara tersebut lah orang-orang Indonesia memiliki “hubungan darah asal”, sehingga negara-negara tersebut layak untuk dijadikan tempat studi. Konyol.

Kedua, di Cina jorok. Sebenarnya hal ini banyak juga ditemukan apabila kita ingin bepergian ke Cina. Entah siapa yang mempelopori informasi mengenai hal tersebut. Karena kalau kita lihat, di Indonesia sendiri banyak lokasi yang juga bisa dibilang jorok. Laut, sungai, jalanan, terminal bus, pemukiman padat, dsb. Berarti, pengenaan label bahwa Cina adalah suatu tempat yang jorok, niscaya kejorokan-kejorokan tersebut juga masih kita temui di tempat tinggal kita dan sekitarnya, bukan?

Orang Cina memang bukan masyarakat yang paling higienis se-dunia. Namun itu bukan berarti menjadikan kita tidak bersikap adil terhadap fakta-fakta yang ada di sana. Kejorokan dan kondisi yang tidak bersih otomatis akan kita temui di beberapa lokasi, seperti tempat-tempat dengan keramaian atau tempat-tempat yang memang masih belum tersentuh modernisasi (seperti desa-desa pelosok nun jauh dari peradaban).

Terutama tempat-tempat ramai seperti stasiun MRT, stasiun bus, bandara, kereta cepat, dll. Bisa dibayangkan bahwa padatnya penduduk di Cina lah penyumbang terbesar kondisi yang seperti nya kurang bersih. Namun, bukan berarti tidak ada petugas kebersihan yang bekerja di situ, bukan? Karena saking banyak nya yang menggunakan toilet umum, jauh lebih banyak dari jumlah pengguna toilet umum di Indonesia (mungkin, silahkan dihitung statistiknya), maka toilet atau tempat umum yang tadinya bersih, kembali harus dibersihkan. Begitu aja terus sampai Thanos selesai gosok batu-batu gauntlet nya!

Justru hal ini adalah salah satu yang dapat kita ambil hikmahnya untuk kehidupan sehari-hari. Sebagai muslim, kita ditekankan untuk terus bersuci, menjaukan diri kita dari najis. Justru dengan nilai kebersihan dan kebiasaan yang kita miliki, kita dapat melihat bentuk nyata dari apabila nilai-nilai tersebut tidak diterapkan.

Namun, urusan antara kebersihan dan studi ke Cina, tidak terlalu kerasa (tidak terlalu berhubungan). Karena kondisi di dalam kampus, bisa dibilang bersih, karena merupakan suatu kawasan yang tidak dapat diakses orang umum, juga karena banyak petugas kebersihan kampus yang senantiasa menjaga lingkungan tetap bersih. Justru pertanyaannya adalah, memangnya seberapa higienis diri kita untuk menjaga lingkungan yang nantinya kita akan hadapi? Sampai-sampai kita menuntut untuk berada pada kondisi yang higienis sekali itu?

Ketiga, beragama sulit di Cina. Iya, sulit, karena Cina adalah negara sekuler. Sehingga, kita tidak bisa dibayangkan praktek atau nilai-nilai agama yang kita sudah terbiasa di Indonesia, untuk dilakukan di negara lain. Di banyak negara lain juga bisa dibilang sulit untuk beragama dalam pengertian kebiasaan dan kewajaran yang kita temui di Indonesia. Hal tersebut bisa dibilang kurang fair ketika kita membandingkan kenyamanan beribadah di negara sendiri dengan di negara orang.

Cina merupakan negara sekuler, tapi bukan berarti pemerintah dan masyarakat Cina itu adalah anti-Islam. Untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan ibadah personal sama sekali tidak menemui kendala. Apalagi ketika kita studi di Cina, kita nanti akan bertempat tinggal di asrama dalam kampus (untuk program beasiswa). Untuk yang tinggal di apartemen sewa juga tidak masalah untuk melakukan shalat, pengajian, tadarusan, dll. Pun di kota-kota besar di Cina, banyak masjid bisa kita temukan, dan berada pada lokasi-lokasi yang mudah dijangkau oleh transportasi umum.

Pelaksanan puasa juga bukan menjadi larangan di Cina. Untuk berita yang menunjukkan adanya pelarangan puasa di Xinjiang, hal itu ada baiknya tidak dicampur ke dalam urusan perencanaan studi lanjut. Kenapa? Karena perihal Xinjiang, itu adalah isu sensitif yang rumit, dan merupakan prerogatif pemerintah RRT untuk mengatur wilayah sesuai dengan konstitusi nya yang berlaku.

Namun, untuk pelaksanaan shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha tentu saja ada di masjid-masjid yang tersebar di penjuru kota-kota. Bahkan jangan kaget kalau nanti ketika kita di sana, pengamanan pelaksanaan shalat Ied terasa lebih ketat, itu bukan karena mereka ingin membatasi atau melihat bahwa jama’ah shalat Ied adalah ancaman, namun justru ingin mencegah orang-orang yang berpotensi berbuat onar (teroris atau ekstrimis) untuk mengganggu pelaksanaan 2 shalat paling penting bagi ummat Islam. Untuk shalat Jumat sendiri tidak ada pengamanan ketat dari pihak kepolisian setempat.

Di Cina sendiri tidak ada namanya Islamophobia, atau ketakutan dan ekspresi kelewatan terhadap semua hal yang berbau Islam dan muslim. Di Cina sendiri, urusan kepercayaan dan agama, masuk ke dalam urusan individu, bukan urusan administrasi kepemerintahan. Sehingga, secara kultural pun, masyarakat Cina memandang Islam bukan sebagai agama yang “luar biasa”, tetapi merupakan bagian dari apa yang dimiliki oleh masing-masing individu, di mana tidak perlu saling mengganggu demi kemaslahatan bersama. Mengenai Islamophobia ini, bisa dibandingkan dengan negara-negara Amerika dan Eropa dengan kenyataan yang cukup menyedihkan mengenai Islamophobia dan rasisme.

Artikel mengenai hal tersebut dapat disimak via tulisan-tulisan lain yang terkait di link ini https://fathansembiring.wordpress.com/category/islam-dan-tiongkok/.

Keempat, negara Cina masih kurang kemajuan teknologi. Cina memang bukan negara pelopor kemajuan teknologi, namun, kegigihan para ilmuwan, peneliti, dan para pelaku industri untuk penelitian lanjutan di berbagai macam bidang, sangat dinamis dan berkembang maju. Salah satu nya hal ini ditunjukkan dengan kepemilikan supercomputer di Cina yang memiliki berbagai macam fungsi aplikasi.

Negara Cina juga sudah bisa mengembangkan sendiri kereta cepat (Gaotie) yang merupakan perkembangan dari teknologi kereta cepat yang sudah dikembangkan atas kerja sama dengan negara-negara seperti Jerman, Jepang, Kanada, dll sejak tahun 1970an. Sehingga, kita sudah bisa melihat dan merasakan kemampuan teknologi di Cina yang tidak kalah dengan negara-negara maju.

Belum lagi soal mobil-mobil listrik yang diproduksi 100% dengan kemampuan dalam negeri mereka, jembatan terpanjang yang menghubungkan Hong Kong – Zhuhai – Macau, bendungan air Tiger Leaping Gorges yang sangat besar, teleskop raksasa (FAST dish) yang dibuat di tengah hutan di Guizhou, pesawat penumpang seri C yang akan dibuat untuk menyaingi hegemoni Boeing dan Airbus, roket yang bisa dipakai berulang-ulang (untuk menyaingi SpaceX), penggunaan Wechat Pay dan Alipay (semacam Gopay kita; Gopay pun terinspirasi Wechat Pay) yang sudah menjadikan semua pembayaran, bahkan untuk beli sayur-mayur di pasar, cukup dengan handphone.

Masih banyak lagi penemuan-penemuan atau inovasi kemajuan teknologi tepat guna yang sedang dikembangkan baik oleh pemerintah, akademik, maupun swasta. Cina juga mulai merangkak naik sebagai negara dengan porsi APBN yang paling besar untuk dialokasikan bagi R&D (penelitian dan pengembangan).

Kelima, kuliah ke Cina cuma untuk kuliah bisnis. Pada umumnya sih iya. Hanya saja, hal tersebut bisa dipahami kalau kita kurang rajin membaca silabus atau major kuliah yang ditawarkan di kampus-kampus di Cina. Apabila kita melihat jurusan atau prodi yang ditawarkan, niscaya memang berkuliah di Cina layaknya berkuliah di negara-negara lain.

Justru, dalam banyak kasus, apalagi kalau itu adalah kampus-kampus dengan peringkat 1-5 terbaik seantero Cina, maka yang ada adalah persyaratan untuk masuk ke kampus tersebut, walaupun itu adalah jurusan bisnis dan perdagangan, juga tidak semudah itu untuk bisa lolos. Artinya di Cina sendiri jurusan yang ditawarkan sangatlah bervariasi dan bergantung pada masing-masing individu dari keminatan studinya. Hanya saja, perbedaan yang mencolok adalah banyak dari kampus-kampus dengan kualitas tinggi hanya menawarkan jurusan tertentu dalam Bahasa Mandarin (Chinese-taught). Sehingga, kalau begitu, itu adalah merupakan kondisi persyaratan, bukan dari jurusan yang tersedia.

Keenam, kalau kita studi ke Cina, maka kita akan menjadi orang kuminis (samaran kata dari ideologi yang satu itu tuh). Ini adalah mitos yang sangat membahayakan dan menyesatkan. Membahayakan dalam artian dugaan yang menuduh seseorang memiliki ideologi terlarang di Indonesia tanpa pembuktian apa-apa, hanya karena yang bersangkutan pernah bersekolah di negara tersebut. Menyesatkan dalam arti, untuk negara RRT sendiri, ideologi negara yang kuminis hanya ada pada batasan-batasan adminitratif pemerintahan saja. Namun, kalau kita berkunjung ke Cina, maka kita akan melihat bahwa negara tersebut bukanlah negara sosialis, apalagi kuminis!

Di Cina banyak hotel-hotel megah, mewah, toko-toko barang ratusan juta per produk banyak bisa ditemui. Mobil-mobil Lamborgini, Mer-C, BMW merupakan mobil-mobil yang biasa kita lihat di sana. Orang-orang berpelesiran ke luar negeri seperti tidak berseri uangnya, bisa kita temukan setiap saat. Produk iPhone versi terbaru pasti laris bak kacang goreng di Cina. Semua orang berlomba-lomba untuk mengejar status dengan barang-barang mewah tersebut. Orang-orang lokal berpikiran kapitalis ketika berurusan dengan hubungan dagang dan bisnis lainnya. Di mana sosialisnya? Tidak ada!

Sehingga, akan sangat menyesatkan kalau memandang sesiapa yang berkuliah dan lulus dari Cina, maka akan didera pemikiran kuminis, lha, wong di Cina nya sendiri sudah tidak ada lagi yang menerapkan nilai-nilai tersebut pada keseharian. Kalaupun ada, lagi-lagi, itu hanya tertera menjadi “judul dan merek” dari konstitusi dan pemerintahan RRT.

Dalam konteks sumber-sumber ilmu (referensi buku cetak) yang dipakai pada perkuliahan, pun banyak mengambil dari pustaka-pustaka kampus Amerika Serikat dan Eropa. Sehingga, akan sangat salah kaprah kalau membayangkan mulai dari proses pengajaran, materi yang digunakan, sampai pada urusan-urusan teknis lain, semuanya berbau ideologi kuminis tadi.

Banyak mungkin dari mitos-mitos atau kabar kasak-kusuk (alias gosip tetangga) yang mendiskreditkan atau menjadikan negara RRT sebagai negara haram jadah untuk dijadikan destinasi studi. Padahal kalau kita merujuk pada Al Quran surat Al Jumuah ayat 10, bahwa untuk muslim, diharuskan (kalau tidak diwajibkan) untuk bertebaran di muka bumi, bukan spesifik bertebaran di salah satu atau hanya beberapa negara saja. Apalagi sampai melarang-larang untuk bepergian atau studi ke Cina, tidak ada ayat bunyinya seperti itu, bukan?

Kesimpulannya, melanjutkan studi ke luar negeri adalah sebuah proses logis untuk mencari hal-hal yang bersifat objektif, bukan subjektif. Untuk itu, perlu diperhatikan bahwa proses pemutusan tujuan studi, juga harus beriringan dengan upaya-upaya logis dan empiris, bukan hanya sekedar ‘katanya..katanya..’.

Sehingga, harapannya, ketika kita memiliki kesempatan studi ke mana pun itu, dan kembali ke Tanah Air, dapat membawa nilai-nilai dan pengetahuan yang positif, dengan tidak membawa hal-hal yang kurang baik. Amiin.

Leave a comment