Belt and Road Initiative dan Rumusan Permasalahannya

Sejak diwacanakan pada Oktober dan September tahun 2013 di Kazakhstan dan Indonesia oleh Presiden Xi Jinping[1], Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan (BRI—Belt and Road Initiative), banyak hal yang telah terlaksana guna merevitalisasi kedigdayaan Tiongkok dalam hal hegemoni negara tersebut di dunia melalui skema jalur dagang[2]. Awalnya BRI diinisiasi dengan kondisi di mana Tiongkok sedang pada fase ekonomi negara dengan kondisi terjadinya shifting dari ekonomi yang bergantung kepada industri manufaktur, menjadi ekonomi yang bergantung kepada jasa[3]. Proses shifting ini tentu saja memakan waktu, usaha, dan dana yang tidak sedikit. Salah satu indikasi kuat perpindahan ‘tulang belakang’ perekonomian yang tadinya industrial-based kepada service-based adalah dengan meningkatnya angka riset di Tiongkok.

Mengapa begitu? Karena salah satu determinan dari suatu negara maju adalah negara yang memiliki angka R&D nya yang besar. Saat ini jumlah dana R&D Tiongkok sudah mencapai 410 milyar Dollar AS (OECD) yang bila dibandingkan tahun 1991 di kisaran angka 13 milyar Dollar AS mengalami peningkatan yang sangat signifikan (30 kali lipat)[4]. Artinya, bahwa Tiongkok sedang mengikuti negara-negara maju lainnya seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa lainnya. Dengan signifikansi di bidang riset ini lah yang mau tidak mau harus terjadi penyesuaian yang cukup banyak di berbagai macam lini, terutama bisnis dan ekonomi.

Lalu, apa dampaknya bagi Tiongkok itu sendiri? Tentu saja perlambatan growth PDB negara Tiongkok yang semula lebih dari 10.6% di tahun 2010 menjadi kisaran 6,6% pada tahun 2018 (real growth)[5] yang mengindikasikan pula stabilitas (kalau tidak mau dibilang stagnansi) dinamika PDB mereka. Tentu saja, ini dapat disikapi dengan 2 pandangan. Yaitu pandangan yang menganggap bahwa stagnansi PDB RRT ini adalah sesuatu yang negatif, maupun merupakan sinyalemen positif. Pandangan negatif tentunya datang dari luar negeri Tiongkok, di mana perlambatan salah satunya ekspor batu bara Indonesia adalah  dikarenakan adanya permintaan yang menurun di Tiongkok untuk keperluan bahan bakar industri[6]. Selain itu, terjadinya ekses berlebih dari produksi bahan-bahan seperti stainless steel, aluminium siap guna, dan bahan-bahan material pembangunan lainnya membuat para pelaku industri di Tiongkok harus tetap memutar otak agar barang-barang tersebut tidak mangkrak dan menjadi usang di gudang-gudang pabrik mereka. Tiongkok dalam hal ini perlu untuk menstimulasi para pelaku industri mereka untuk lebih agresif melakukan ekspor ekses produk mereka[7].

Di lain sisi, pandangan positif datang dari dalam domestik Tiongkok. Di mana mereka dengan segera (dengan linimasa relatif) menikmati status sebagai negara maju. Masyarakat Tiongkok diperkirakan akan menjadi salah satu masyarakat dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia selain negara-negara, sebut saja Norwegia, Luxembourg, Denmark, Swiss, Perancis, Amerika Serikat, dan lainnya[8]. Dengan begitu, dapat dibilang bahwa efek dari economic shifting tadi akan berpengaruh besar terhadap kemampuan daya beli dan “gengsi” masyarakat mereka. Selain itu, perpindahan menjadi service-based economy akan membawa angin segar (bermakna harfiah) bagi banyak kota di Tiongkok di mana mereka saat ini sering menghadapi polusi di berbagai macam daerah[9]. Penggunaan batu bara dan industrialisasi di sana-sini tentu saja memiliki polutan yang tidak main-main. Menurut data WHO, Tiongkok merupakan negara dengan tingkat polusi yang sangat tinggi dan hal ini merupakan kontribusi dari industrialisasi[10] [11]. Hal itu tentunya merupakan sesuatu yang ingin diselesaikan oleh Pemerintah Tiongkok sejak dulu. Negara-negara seperti AS, Inggris, dan Jepang dulunya juga mengalami tingkat polusi yang tinggi ketika masa Revolusi Industri[12]. Dengan economic shifting ini masyarakat Tiongkok sangat berharap bahwa kualitas (terutama) udara mereka akan semakin baik, dan memperbaiki kehidupan kesehatan mereka kedepannya.

Internasionalisasi Renminbi (nama formal dari mata uang Yuan) juga menjadi agenda dari ekspansi ekonomi Tiongkok di kancah global[13]. Pada Oktober 2016, Renminbi telah menjadi salah satu bagian dari SDR (Special Drawing Rights[14]) IMF bersama-sama dengan USD, GBP, EUR, dan JPY[15]. Dengan begitu hal ini menjadi kontribusi perspektif positif untuk masyarakat Tiongkok yang dapat menikmati mata uang mereka semakin diperhitungkan di pentas pembayaran internasional. Tiongkok saat ini juga sudah memiliki UnionPay, yang secara masif juga menjadi katalisator kemudahan pembayaran internasional, atau bisa dibilang VISA/Mastercard versi Tiongkok[16].

Namun, pandangan positif ini juga menjadi sesuatu yang datang dari luar Tiongkok. Seperti misalnya banyak dari perusahaan-perusahaan multinasional yang mulai memindahkan pabrik-pabrik mereka di negara-negara Asia Selatan seperti India, Bangladesh dan Pakistan, ataupun negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Vietnam[17]. Hal ini menandakan bahwa dari perspektif kualitas SDM (buruh) Tiongkok, mereka sudah pada taraf yang tidak lagi ‘murahan’ karena sudah sangat skilled. Sehingga dengan demikian, banyak perusahaan multinasional yang menganggap bahwa labor cost yang harus mereka alokasikan di Tiongkok sudah tidak semurah dulu[18]. Namun, hal ini tidak terjadi untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dan gawai yang sebetulnya menikmati peningkatan skilled-labor RRT.

Tiongkok pun bisa dibilang merupakan negara yang sedang memperkokoh pengaruhnya di Benua Afrika. Proyek pertama kali yang dikembangkan oleh Tiongkok di Afrika adalah proyek Tazara Railway yang mulai dilaksanakan pada tahun 1970-an atas kerja sama Tiongkok di mana proyek tersebut dapat menghubungkan Zambia dan Tanzania. Dengan adanya proyek-proyek baik itu bersifat aid (bantuan) ataupun kerja sama lainnya, kehadiran Tiongkok di Afrika menarik perhatian negara-negara seperti Algeria, Mesir, Guinea, dan Maroko untuk mengajukan proposal pendanaan pembangunan kepada Tiongkok[19]. Namun, Tiongkok melihat peluang yang lebih besar dari sekedar hanya membangun satu-dua proyek. Paralel dengan berdirinya AIIB (Asian Infrastructure and Investment Bank) dan BRI, RRT sekarang dapat lebih mengokohkan kehadirannya di Afrika secara keseluruhan. Total pinjaman yang dilakukan oleh negara-negara Afrika menggunakan uang Tiongkok ada sekitar 29 Dollar AS[20]. Proyek-proyek tersebut mencakup jaringan jalan raya, jaringan jalur kereta (dan kereta nya), bandara, pelabuhan, stadion olahraga, sekolah, rumah sakit, sampai pada R&D Centers[21]. Proyek-proyek tersebut pada akhirnya mendatangkan lapangan pekerjaan bagi mayoritas masyarakat di Afrika. Tercatat sejumlah 10.000 entitas bisnis asal Tiongkok yang sedang beroperasi di Afrika[22]. Implikasi positif yaitu lapangan pekerjaan dapat dilihat dari skala tersebut, khususnya untuk masyarakat di negara-negara Afrika.

Proyek-proyek ini tidak berarti adem-ayem saja, namun juga membawa kontroversi terutama di linimasa media sosial dan media-media berita. Kenyataan bahwa Tiongkok juga membawa para pekerja mereka tidak membuat semua pihak happy dengan hal tersebut. Namun, bila dilihat dari skala, penguasaan teknologi, efisiensi dan efektifitas, skilled-labor Tiongkok bisa dibilang masih jauh di atas rata-rata dari angka existing di Afrika. Tiongkok memiliki pandangan yang sangat pragmatis terhadap pelaksanaan proyek-proyek yang notabenenya memang didanai oleh kocek mereka (maupun para shareholders lain).

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat dengan Marshall Plan nya membantu negara-negara Eropa yang luluh-lantak akibat perang. Dana pinjaman tersebut digunakan untuk membangun kembali infrastruktur-infrastruktur dasar di negara-negara Eropa. Konsekuensi dari “keikutsertaan” Marshall Plan ini adalah negara-negara Eropa tersebut harus berhutang kepada AS, yang difasilitasi oleh IMF dan World Bank pasca Perang Dingin. Kurang lebih, angka yang digelontorkan melalui skema Marshall Plan adalah sebanyak 12 milyar Dollar AS, jumlah itu hampir setara dengan 100 milyar Dollar AS nilai tahun 2018[23]. Untuk saat ini, data para debitur Marshall Plan Perang Dunia II memang sudah tidak ada lagi, namun, IMF dan World Bank memiliki landasan portofolio[24] [25] yang cukup untuk menjual pengaruhnya kepada negara-negara yang sedang bangkit (emerging powers). Di antara negara-negara tersebut, Indonesia termasuk sebagai salah satu debitur nya.

Lalu, apa hubungannya dengan skema BRI Tiongkok? Tentu ada dalam konteks refleksi. Kalau kita simak bahwasanya kontroversi mulai mencuat ketika ada negara-negara yang mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa membayarkan hutang kepada Tiongkok atas skema kerja sama BRI. Negara-negara tersebut seperti Sri Lanka, Pakistan, Maladewa, Tajikistan, dan negara-negara lainnya memperlihatkan bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh skema BRI sangatlah fatal dan negara-negara lain yang tidak ingin berimbas sama, harus berpikir ratusan kali untuk mengambil skema BRI untuk negaranya[26] [27]. Tentu saja hal ini menarik apabila diangkat sebagai isu yang ditelaah dari perspektif yang sama ketika IMF dan World Bank melakukan kampanye pendanaan pembangunan negara-negara yang sekarang tengah menjadi debitur mereka.

Hutang tetaplah merupakan hutang, hal yang menjadi tolak ukur semestinya adalah kesanggupan debitur untuk melakukan kredit, bukan pada kreditur yang memiliki kemampuan mendanai ‘klien’.

Rumusan Permasalahan

Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan diprakarsai oleh Tiongkok membentang dari Timur Jauh melalui jalur darat (21st Century Silk Road) melewati negara-negara Asia Tengah, tembus ke Eropa dan berakhir di Portugal. Sedangkan via laut (21st Century Maritime Silk Road) bisa dibilang semakin memperkuat jalur perdagangan laut modern yang dibumbui oleh nostalgia jalur perdagangan laut kuno. Hal ini memberikan dampak signifikan terhadap banyaknya negara yang “dilewati” oleh BRI baik dari darat maupun laut.

Namun, apakah BRI ini akan membawa lebih banyak kemaslahatan atau kerugian bagi Indonesia? Pertanyaan ini cukup wajar untuk diajukan kepada ‘punggawa’ proyek BRI. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, membutuhkan asupan investasi yang cukup banyak untuk pembangunan infrastruktur. Saat ini, nilai investasi yang berasal dari skema BRI untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah sejumlah 71 triliun Rupiah (2018). Indonesia melalui Menko Kemaritiman mengatakan akan mengajukan proposal pinjaman kepada Tiongkok melalui skema BRI sebanyak 91 milyar Dollar AS[28]. Eksponensial angka investasi skema BRI diharapkan untuk meningkat seiring dengan berhasil nya pembangunan infrastruktur dan meningkatnya penyerapan lapangan pekerjaan dari kehadiran proyek-proyek tersebut.

Di satu sisi ada hal-hal yang juga Indonesia sebagai negara perlu perhatikan terkait dengan keikutsertaan skema BRI ini. Antara lain adalah soal isu kedaulatan ekonomi, kedaulatan wilayah, kedaulatan geopolitik, dan kedaulatan identitas. Berbagai macam isu kedaulatan ini merupakan hal yang penting untuk diambil langkah prevensi sebelum keikutsertaan kepada skema BRI semakin jauh. Pada tahun 2017 sempat berkembang isu bahwa Tiongkok sedang ingin membangun pangkalan militer Angkatan Laut PLA (People’s Liberation Army) di Djibouti[29]. Pihak Tiongkok mengklaim bahwasanya rencana itu bukanlah untuk keperluan militeristik, namun lebih merupakan bertujuan efisiensi logistik. Isu kedaulatan wilayah lain yang sampai saat ini naik adalah mengenai Laut Cina Selatan, namun apakah kasus LCS ini ada hubungan langsung dengan skema BRI?

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana selama ini Pemerintah Indonesia mengelola hutang yang datang dari luar negeri (FDI). Bagaimana distribusinya, apakah berpusat di Jawa atau sudah menjadi tren pemerataan sampai kepada daerah-daerah lain?

Terakhir, Indonesia adalah negara yang sedang berkembang, niscaya membutuhkan tandem pembangunan dari negara yang sudah sukses (dengan indikator-indikator tertentu). Lantas apakah skema BRI ini akan dapat membantu Indonesia dalam memfasilitasi tandem pembangunan tadi? Sektor-sektor penggunaan dana skema BRI pun juga dapat ditelaah apakah digunakan untuk sektor-sektor yang berorientasi masa depan atau konvensional?

[1] https://en.m.wikipedia.org/wiki/Belt_and_Road_Initiative

[2] https://www.ebrd.com/what-we-do/belt-and-road/overview.html

[3] https://www.worldfinance.com/markets/chinas-transitioning-economy

[4] https://chinapower.csis.org/china-research-and-development-rnd/

[5] https://en.m.wikipedia.org/wiki/Historical_GDP_of_China

[6] https://www.cnbcindonesia.com/market/20190401114845-17-64023/ekspor-batu-bara-ri-bisa-anjlok-15-ini-kata-asosiasi

[7] https://chinapower.csis.org/china-belt-and-road-initiative/

[8] https://www.weforum.org/agenda/2016/06/8-facts-about-chinas-economy/

[9] https://www.worldfinance.com/markets/chinas-transitioning-economy

[10] https://en.m.wikipedia.org/wiki/Pollution_in_China

[11] https://www.who.int/bulletin/volumes/96/4/17-195560/en/

[12] https://www.history.com/topics/natural-disasters-and-environment/water-and-air-pollution

[13] http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jhi4cc023f952full.pdf&ved=2ahUKEwiagKuoyvfhAhUxmeYKHTOeAsQQFjADegQIARAB&usg=AOvVaw39SNhJdQKKyWMc2ZhefKji&cshid=1556619203600

[14] https://www.imf.org/en/About/Factsheets/Sheets/2016/08/01/14/51/Special-Drawing-Right-SDR

[15] http://www.chinadaily.com.cn/a/201901/02/WS5c2c2a45a310d912140520d8.html

[16] https://www.postwesternworld.com/2017/05/13/union-challenge-mastercard/

[17] https://www.bloomberg.com/news/articles/2019-02-06/how-bad-is-china-s-economic-slowdown-it-depends-what-you-sell

[18] https://www.handelsblatt.com/today/companies/not-so-cheap-german-firms-face-staffing-woes-as-chinese-labor-costs-skyrocket/23583006.html?ticket=ST-2948863-onb0AxKc6coMeL7V5x3Q-ap5

[19] https://en.m.wikipedia.org/wiki/Africa–China_relations

[20] https://africacenter.org/spotlight/implications-for-africa-china-one-belt-one-road-strategy/

[21] https://www.businessinsider.co.za/here-are-150-million-rand-projects-in-africa-funded-by-china-2018-9

[22] https://www.ozy.com/fast-forward/the-chinese-entrepreneurs-quietly-reshaping-africa/93519

[23] https://en.m.wikipedia.org/wiki/Marshall_Plan

[24] https://www.un.org/development/desa/dpad/publication/policy-brief-52-the-marshall-plan-imf-and-first-un-development-decade-in-the-golden-age-of-capitalism-lessons-for-our-time/

[25] https://www.americanforeignrelations.com/E-N/International-Monetary-Fund-and-World-Bank-A-rough-start-for-bretton-woods-and-the-imf.html

[26] https://en.m.wikipedia.org/wiki/Debt-trap_diplomacy

[27] https://qz.com/1223768/china-debt-trap-these-eight-countries-are-in-danger-of-debt-overloads-from-chinas-belt-and-road-plans/

[28] https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesia-to-propose-projects-worth-us91-bilion-for-chinas-belt-and-road

[29] https://www.scmp.com/news/china/diplomacy/article/3007924/how-tiny-african-nation-djibouti-became-linchpin-chinas-belt

Leave a comment