Sampai di Usia 30, Gimana Rasanya??

Sebenarnya ini pertanyaan yang cukup klise ya, menanyakan umur dari perspektif pribadi, tapi ditulis untuk konsumsi umum. Hmmmm. Ga akan ada yang tau kecuali kita sendiri gimana rasanya, kan? Namun, untuk alasan penulisan konten blog, maka saya akan coba bikin kalimat-kalimat yang panjang, memutar, dan biar terlihat intelek.

Saya saat tulisan ini naik alhamdulillah menuju ke usia 30 kurang 5 bulanan. Kenapa judul blog nya ini mengenai usia 30? Karena saya pikir biar terlihat dewasa begitu, sudah mau mencapai usia 30. Well, pertama-tama saya merasakan banyak perubahan tentunya. Di mana usia 30 bukanlah usia 20 saya sebagai pribadi. Perbedaan kondisi baik itu fisik dan mental di usia 20 dan 30 ini juga jauh berbeda. Di usia 20 mungkin kita tidak dibebankan terlalu banyak tanggung jawab. Secara umum usia 20 adalah usia di mana kita menemukan jati diri, sibuk dengan urusan perkuliahan, dan memiliki tanggung jawab yang sedikit dalam hal perekonomian.

Di umur 20 mungkin kita di Indonesia secara umum (walaupun banyak sekali yang memiliki kondisi yang berbeda) remaja di Indonesia tidak dituntut untuk melakukan hal yang lebih. Cukup menjalankan ritme perkuliahan, lulus dengan baik, dan harapannya mendapatkan pekerjaan yang layak setelah perkuliahan itu selesai. Namun, dampak yang bisa dirasakan adalah membuat sebagian besar dari generasi remaja, apalagi saat ini kondisi Indonesia baik-baik saja (dengan catatan tentunya), kemudahan yang ditunjang teknologi, dan sebagainya membuat generasi remaja mengambil segala sesuatu nya ‘take it for granted’ atau ‘apa adanya’. Kondisi ‘take it for granted’ ini menurut saya kontras dan tidak ditemui di luar Indonesia. Karena di luar sana, apalagi di negara-negara Barat, ketika para remaja sudah mencapai umur 18 tahun, adalah merupakan suatu aib bagi mereka apabila masih tinggal dengan orang tua. Namun, dengan kegigihan dan mentalitas yang mereka miliki, tidak heran kalau para kreator dan inovator datang dari negara-negara Barat.

Saya sendiri agak menyesal, karena merasa dulu ketika usia 20 saya seperti ‘eh’, berlalu begitu saja. Kurang ada semacam refleksi dan kontemplasi yang bisa saya bilang merupakan hasil yang notabene nya saya rasakan saat ini 10 tahun kemudian. Usia 20 sebagai remaja laki-laki atau perempuan di Indonesia belum merupakan usia yang dipandang sebagai patokan untuk setiap individu memiliki titik balik dalam kehidupannya. Apalagi mungkin untuk perempuan, usia-usia remaja merupakan usia yang membuat kontrol orang tua terhadapnya sangatlah kental. Sehingga, pemikiran-pemikiran untuk melakukan hal-hal yang di luar nalar orang tua misalkan mengenai dunia akademik, passion, dll belum bisa dihargai.

Karena kemudian, perkara ini tentu nya mengarah kepada, apakah sebenarnya ada yang salah dalam pola pendidikan karakter di Indonesia? Di saat anak usia 20 merupakan usia cukup dewasa di dunia Barat (bisa dibandingkan, betapa jauhnya kualitas usia 20 kita dengan negara-negara Barat) di saat di Indonesia sendiri, di usia 20, individu belum diperbolehkan untuk berpikir kritis, bebas, dan mengikuti apa kata hati untuk mempersiapkan diri terhadap apapun bentuk masa depan yang akan dihadapinya.

Namun, tentu saja, konsekuensi itu sangatlah besar. Apabila kita melihat figur semacam Gary Vee yang terkenal dengan ide-ide nyeleneh, quotes, dan memprovokasi remaja untuk keluar dari pendidikan (bila memang tidak mau kuliah) dengan mempromosikan untuk menjadi seorang wirausaha sedini mungkin. Hal tersebut lantas agaknya cukup banyak yang mengikuti di Indonesia dengan belum tentu mengetahui konsekuensi-konsekuensi yang ada. Tidak hanya Gary Vee yang melakukan hal sedemikian mengingat kencangnya arus sosial media yang sudah bisa diakses siapapun.

Lagi-lagi, para remaja di dunia Barat sudah bisa memutuskan segala sesuatu nya sendiri, karena hal tersebut merupakan budaya yang sudah mengakar di keseharian masyarakatnya. Budaya untuk mengeksplorasi minat dan bakat, budaya untuk menerima kegagalan demi kegagalan, budaya untuk bisa bertahan dengan kritik, dan lain sebagainya. Alih-alih demikian, di Indonesia sendiri dapat kita simak bersama-sama bahwa dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, justru malah menjadi buah simalakama tidak hanya bagi generasi muda, juga generasi old.

Justru banyak juga Ibu, Bapak, Kakek, Nenek, Paman, Tante yang menjadi berubah secara pemikiran, mudah dihasut, dan senang dengan “fasilitas” anonim yang ditawarkan oleh media sosial, sehingga mereka kurang bijak juga untuk menggunakan media sosial sehari-harinya. Saya pribadi yakin para kreator konten, founder startup media sosial ini itu, menciptakan Apps tersebut hanya bertujuan bisnis semata. Namun, di Indonesia penggunaan sosmed begitu dalam sehingga sosmed menjadi sesuatu yang personal, sampai-sampai bisa memutus tali silaturahim, dan lain sebagainya.

Untuk rekan-rekan yang mungkin masih berada di usia remaja, dan “terinspirasi” dari perkataan-perkataan para figur-figur yang notabenenya kita nikmati informasinya via sosmed, saya pribadi berharap jangan menelan bulat-bulat perkataan-perkataan mereka. Unsur budaya merupakan salah satu unsur definitif yang membuat kondisi realitas di Indonesia tidak fit-in dengan apa-apa yang terjadi di Barat. Dan ingat, secara sosiologis, masyarakat Barat memang sudah banyak trial-and-error nya sehingga dengan demikian mereka berhasil mengkristalisasi pokok dari budaya mereka yaitu kebebasan hakiki individu. Yang sebenarnya hal tersebut agak susah untuk diaplikasikan di budaya Indonesia yang juga serba kompleks, memiliki konteks kekinian dan ke-di-sini-an.

Hal-hal yang terjadi pada masa sekarang menurut saya adalah cerminan dari apa yang terjadi (dan yang tidak terjadi) pada masa lampau. Oleh karena itu, dengan tulisan ini, saya mencoba untuk menelaah ketika dulu usia saya 20 tahun, dengan kondisi beberapa bulan menuju 30, hal apa yang saya telah alami sebagai individu, sehingga harapannya saya tidak terjebak pada sikap-sikap yang kurang bijaksana sebagai mana contoh dari para generasi old yang terpengaruh dengan media sosial, atau generasi muda yang belakangan terlalu menggandrungi game online.

Dari banyak hal yang mulai saya sadari saat ini, bahwa di usia nyaris 30 ini sudah tidak lagi banyak “eksperimen” yang saya bisa lakukan. Tidak seperti dulu ketika usia 20. Usia yang tidak lagi muda membawa spesifik segenap tanggung jawab dan tantangan-tantangan yang tentunya tidak pernah saya hadapi di usia 20. Namun, hal lain yang terjadi juga adalah rasa syukur bahwa masih diberikan usia hingga sejauh ini, namun itu juga berarti adalah hitung mundur dari masing-masing jatah usia yang kita miliki.

Katakanlah rata-rata usia lulusan kuliah S-1 di Indonesia di umur 21 atau 22 dengan asumsi perjalanan perkuliahan normal. Di mana setelah lulus tersebut, pemahaman mengenai dunia paska-kampus ini yang saya pribadi pikir kurang banyak ditanamkan pada pemuda/i di Indonesia. Mengejar karir setelah lulus, menjalani karir, berinteraksi dengan rekan-rekan sekantor dan lain sebagainya. Menikah, untuk yang sudah bekerja dan berpenghasilan tetap, dan lain sebagainya. Sehingga, kalau dipikir-pikir lagi perjalanan antara usia 20 ke 30 dalam sisi kehidupan seseorang saya pikir cukup signifikan untuk menentukan arah hidup di usia setelah 30, bukan?

Tidak hanya mengenai pekerjaan, alhamdulillah saya dikaruniai aktivitas yang layak untuk memulai bisnis kecil-kecilan saat ini. Banyak hal yang bisa saya syukuri, terutama karena ini adalah bulan Ramadhan, ketimbang saya menyesali apa-apa yang tidak saya bisa capai.

Kalau boleh berpesan, untuk pembaca yang mungkin usianya masih berada di angka 20an awal, ataupun belum sampai 20, coba lah untuk memberikan secara betul arah kehidupan untuk diri sendiri seperti apa kedepannya. Karena kalau tidak, usia kita tidak terasa sudah sekonyong-konyong menginjak 30, dan kita belum clear betul apa yang akan dilakukan dengan sisa usia kedepannya.

Secara garis besar, ketika perjalanan hidup saya di usia 20 sampai saat ini, yang paling saya dapat syukuri adalah kenekatan-kenekatan saya untuk bisa membawa soft skills dari sumber-sumber luar ke diri saya sendiri. Hal tersebut tidak lain dan bukan utama nya ditunjang karena kegiatan-kegiatan berorganisasi selama berkuliah S-1 (Kesejahteraan Sosial) dulu, dan ketika melanjutkan pendidikan D-2 (Bahasa Mandarin) dan S-2 (Bisnis Internasional) di Tiongkok. Karena, kalau dipikir-pikir, perkataan bahwa apa yang kita dapat di kelas (pendidikan formal) hanya merupakan ilmu 20% dari yang bisa kita gunakan untuk menghadapi masa depan, itu saya rasakan sendiri.

Penguasaan soft skills memang menjadi salah satu penunjang bagi kesuksesan seseorang. Namun, tentu saja untuk bisa memiliki kemantapan hard skills (ilmu-ilmu kebidangan) itu juga sesuatu yang harus dimiliki oleh para generasi muda Indonesia.

Saya juga merasa bahwa untuk menunjang kebutuhan sewaktu menjalani karir atau mencoba untuk memulai bisnis, kemampuan untuk menggunakan jaringan yang kita miliki lebih penting dibandingkan misalnya pemahaman soal Macroeconomics atau Microeconomics yang notabenenya merupakan 2 mata kuliah yang diajarkan di tingkat S-2 dulu. Justru yang menjadi bahan telak untuk pemikiran bersama adalah, bagaimana sebenarnya kita bisa mengoptimalkan berbagai macam sumber daya, terutama jaringan, untuk merealisasikan apapun itu ide-ide yang kita miliki. Ya, di dalam budaya Tiongkok sendiri 关系 guanxi yang berarti jaringan (sosial, bukan sinyal) itu lebih penting daripada apapun.

Kalau boleh mengambil kesimpulan, saya pribadi tidak menyesali dengan apa-apa yang saya pribadi jalani selama umur 20-30 ini. Syukur alhamdulillah, Allah SWT masih memberikan arahan-arahan dan rezeki yang sangat menunjang untuk paling tidak melakukan apa-apa yang saya inginkan selama ini. Bisa melanjutkan studi S-2 ke luar negeri, bisa memiliki banyak teman dari seluruh dunia, punya kesempatan untuk berkunjung ke negara-negara lain, dan sebagainya. Nikmat mana lagi yang bisa saya dustakan?

Namun tentu banyak dari perjalanan hidup saya sebagai pribadi yang tidak semuanya flawless. Saya orangnya baperan soal yang satu ini, walaupun tidak pernah saya tunjukkan ke publik. Hanya beberapa orang saja yang sudah kenal lama yang saya pikir worth it untuk sharing hal-hal yang kurang mengenakkan. Namun, apapun itu namanya, hidup harus tetap terus berjalan, bukan? Hikmah besarnya adalah di usia yang tidak lagi muda ini, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran, sehingga kedepannya saya sebagai pribadi tidak masuk kepada kesalahan-kesalahan yang sama. Amin.

Terakhir, saya cuma bisa bilang kepada diri sendiri: lu udah masuk kepala 3 bro! Wkwkwk.

Leave a comment