Nadiem Makarim, orang banyak melihat beliau (pembahasaan nya jadi berat karena beliau sudah didapuk menjadi seorang Menteri Kabinet Jokowi Jilid II) sebelum diangkat menjadi Mendikbud Dikti sebagai seorang pribadi yang kalem, tidak banyak show ke media, dan tidak berusaha menjadi banci panggung. Dengan ketenaran dan kemonceran bisnis Gojek Group, sebenarnya mudah saja bagi Nadiem untuk bisa menjadi selebriti jadi-jadian dengan semua sumber daya yang dia miliki, tapi tidak, dia memilih untuk fokus menjalankan kegiatan utamanya sebagai seorang entrepreneur.
Tapi sebelum dilanjutkan. Izinkan saya menyimpang bahasan sedikit.
Dengan latar belakang keluarga penulis yang Bapak juga pernah diamanahkan sebagai seorang Menkominfo (tau lah ya siapa ituu), izinkan saya mengulas beberapa hal terlebih dahulu mengenai posisi menjadi seorang Menteri itu seperti apa.
Seorang Menteri adalah orang yang diamanatkan oleh Presiden Republik Indonesia untuk membantu beliau pada urusan-urusan yang sangat spesifik. Di Indonesia sendiri, total jumlah Menteri (jajaran Eksekutif) di Kabinet saat ini ada sebanyak 38 orang. Oleh karena itu, maka sebanyak orang itu lah yang dipikir oleh sang Presiden dapat membantu beliau melaksanakan segenap tugas-tugas ketika masa kepresidenannya berlangsung.
Posisi seorang Menteri ini bukanlah suatu posisi yang bisa dibilang wah. Mungkin untuk sebagian kalangan menjadi Menteri itu adalah suatu pencapaian yang paripurna (selangkah lagi untuk men-Capres, misalnya). Hal tersebut tidak salah, karena memang demikian adanya. Tapi kalau kita lihat dinamika politik di Indonesia, antara kepentingan elit dengan rakyat, antara polarisasi suara paska-Pemilu, posisi Menteri tidak lah dapat dijadikan sebagai acuan yang dominan untuk misalnya melanjutkan “karir” menjadi seorang calon Presiden maupun calon Wakil Presiden. Dengan rumitnya dan kompleksnya kenyataan perpolitikan praktis di Indonesia, saya pribadi sih melihatnya menjabat sebagai orang Menteri lebih sebagai beban berat, bukan nya justru malah menjadi suatu yang melenakan.
Ya iya lah suatu beban berat dan tidak terlena, masa jadi terlena. Bukan, maksudnya bukan itu.
Begini, ketika seseorang menjadi Menteri, maka, disadari atau tidak, posisi tersebut adalah posisi yang cukup “rawan”, kenapa? Karena sekali atau dua kali atau tiga kali ada kinerja yang menurut sang Presiden tidak dapat memuaskan beliau, maka Presiden dengan kekuasaan tertinggi nya dapat sekonyong-konyong memberhentikan si Fulan/Fulanah ini begitu saja, sama seperti ketika beliau mengangkatnya ke posisi Menteri yang sekarang diduduki ini, bukan?
Hal ini cukup lucu, karena kalau saban kita mungkin diskusi kecil-kecilan dengan teman-teman sendiri, bahwasanya banyak dari teman-teman kita, atau kita juga, untuk bermimpi menjadi seorang Menteri. Well, itu tidak pintar banget sih untuk berpikir seperti itu? (bahasa gue udah kayak Guruku Mr.D belom?) Kenapa? Ya karena tadi. Coba dipikirkan. Kita memimpikan sesuatu yang keputusannya bukan ada di kita. Itu mah namanya bukan mimpi, itu namanya halu. Jadi mohon STOP bermimpi jadi Menteri yah.
Sik, biar tak ulangi lagi. Menteri itu merupakan sebuah posisi yang vulnerable alias rawan, pake banget. Karena kekuasaannya besar, Indonesia juga merupakan negara yang besar, maka sudah memang takdirnya seorang Menteri itu memiliki tanggung jawab yang berat, thus, banyak sekali faktor yang menyebabkan seseorang tidak perform menjadi Menteri. Pak Jokowi sendiri pada tahun 2014-2019 sudah melakukan reshuffle Kabinet nya sebanyak 4 kali (https://nasional.kompas.com/read/2018/08/15/19104911/melihat-4-reshuffle-kabinet-pemerintahan-jokowijk?page=all). Artinya ya memang seperti itu. Malah menurut hemat saya, kalau mau mencita-citakan diri ya menjadi Eselon tinggi di Kementerian, yang kemungkinan besar untuk stay lebih lamanya, lebih besar kemungkinannya daripada posisi sang Menteri itu sendiri, bukan? Iya dong.
Nah, kalau memang banyak dari kita atau teman-teman kita yang sangat haqqul yaqin bahwa bermimpi menjadi seorang Menteri itu adalah “jalan yang lurus” dan merupakan sebuah ke-paripurna-an dalam hidup, monggo saja, tapi asal harus ingat itu tadi. Sedekat apakah kita dengan calon Presiden (ini aja sudah merupakan simalakama untuk memimpikan siapa yang bakal menjadi Presiden, lalu gimana kita mengkuantifikasinya? Gimana kita ngitungnya?). Tapi mudah-mudahan bercita-cita menjadi seorang Menteri itu adalah cita-cita untuk membuat kontribusi yang spesifik dan tematik untuk Bangsa Indonesia.
Kalau menurut hemat saya, daripada berpikir menjadi Menteri, lebih baik menjadi seorang ASN yang berkompetensi, berkarakter, dan memiliki impian luhur untuk berkontribusi tadi. Tsah.
Belum lagi hal-hal lain yang menyangkut teknis soal kewenangan, penggunaan anggaran, dll. Banyak sekali tantangannya, terutama karena ketika sebuah Lembaga Negara menyeleweng, banyak sekali yang mengawasi. Ya mau itu Ombudsman, KPK, LSM, DPR, dan lain-lain. Sehingga kapasitas personal untuk menjadikan seseorang menjadi seorang Menteri itu benar-benar tidak bisa dianggap remeh. Banyak kasus-kasus mulai dari yang lucu sampai yang serius mendera Menteri-menteri di Eksekutif selama ini. Silahkan cek berita-berita terkait.
Intinya apa sih? Intinya, menjadi seorang Menteri itu adalah ‘pure luck’, titik.
Balik lagi ke soal Bang Nadiem, agak-agak gimana gitu rasanya kalau manggil dia Menteri. Kalau dari biodata yang terpampang di Wikipedia, memang Bang Nadiem ini siapapun akan sepakat bahwa dia punya segudang kompetensi yang bisa dibilang klop dengan amanah barunya saat ini. https://id.wikipedia.org/wiki/Nadiem_Makarim#Pendidikan. Universitas Brown dan Universitas Harvard merupakan 2 kampus di AS yang termasuk ke dalam The Ivy League, sebuah kelompok kampus elit di AS yang siapapun mendengar 8 nama nya akan merasa merinding karena track record dan nama-nama besar di balik kampus-kampus tersebut.
Dari wawancaranya dengan Kompas TV, https://www.youtube.com/watch?v=rUgqRJy8PAQ, paling tidak sudah bisa menyiratkan mengenai apa yang akan dia lakukan efektif ketika beliau menjabat. Kapabilitas dan kesejahteraan guru akan menjadi agenda yang penting untuk diselesaikan, ditingkatkan, dan digenjot sesuai dengan kenyataan zaman. Pendidikan berbasis kompetensi dan karakter juga disebut sebagai elemen lain yang penting untuk ditanamkan kepada para pelajar di Indonesia. Ini penting, dan Bang Nadiem telah merasakan itu sejak kecil karena dia lahir di Singapura dan mengenyam pendidikan di 2 kampus yang paling bergengsi se-antero jagad raya alam semesta sampai negara Api menyerang.
Kenyataan bahwa Bang Nadiem ini juga baru berusia 35 tahun, ini juga menjadi sinyalemen ‘adu rayu’, bukan, ‘adu pacu’ kepada negara tetangga yang juga memiliki Menteri 2 Menteri Muda. Peningkatan pendidikan riil memang membutuhkan jiwa-jiwa muda milenial yang dapat menyesuaikan diri dengan zaman. Bukan hanya anteng dengan birokrasi dan menyuruh-nyuruh bawahannya untuk sim salabim semua masalah pendidikan teratasi. Butuh sosok muda yang mengerti perubahan zaman, medium-medium belajar tidak lagi terbatas di ruang kelas, kompetensi sekarang sudah seperti apa, persaingan global, belum lagi mengenai permasalahan-permasalahan lain yang juga banyak umumnya mengenai karakter ketimbang kurikulum atau infrastruktur itu sendiri. Sehingga saya pikir sosok Bang Nadiem sudah lah tepat mengisi posisi tersebut.
Dalam wawancara nya juga, Bang Nadiem menyampaikan bahwa beliau lebih mengerti apa yang akan terjadi kedepannya. Siapapun pasti setuju dengan ini. Karena ya tadi, kalau sudah berbicara konteks kontemporer dan global sekarang, kita tidak lagi bisa melihat pendidikan hanya dibatasi oleh ruang-ruang kotak yang bernama kelas. Penilaian kemampuan seorang siswa tidak lagi hanya bisa dihakimi dari kekurangan dia pada satu matpel, kenapa tidak menggunakan instrumen-instrumen mutakhir yang tentu saja sudah digunakan oleh negara-negara maju lainnya sebelum Indonesia. Memiliki bisnis Go-Jek yang bergerak di bidang sharing economy adalah sesuatu yang tadinya orang lain kurang paham, namun, setelah terasa manfaatnya (perspektif konsumen tentunya), barulah ramai-ramai kita mengerti “ooh itu toh sharing economy”.
Terobosan-terobosan di bidang pendidikan di Indonesia sangat diharapkan selayaknya Bang Nadiem menumpahkan segenap kompetensinya ketika menjadi Co-Founder dan CEO di Go-Jek Group. Tinggal bagaimana dia bisa bersabar terhadap birokrasi pemerintahan yang sangat berkebalikan dengan apa yang pernah dia temui di dunia korporat. Dari wawancara-wawancara nya juga, Bang Nadiem juga perlu untuk belajar banyak bagaimana berkomunikasi dengan wartawan, karena menurut hemat saya pola komunikasi antara korporat – wartawan dan birokrat – wartawan itu cukup berbeda di banyak sisi.
Proficiat Bang Nadiem! Semoga bisa menjadi kuda hitam di 2024, mewakili generasi Milenial, saya bangga!