Coronavirus dan Kemunduran Bangsa Indonesia

Prihatin dan mengenaskan. Itu adalah 2 kata yang saya dapat katakan bukan kepada para korban yang terjangkit virus yang berasal dari kota Wuhan, Cina. Tapi 2 kata itu saya tujukan kepada mereka-mereka yang berkomentar negatif, mencela, mencaci, bahkan bersyukur ketika wabah coronavirus ini hadir di Cina. Banyak yang melontarkan kata-kata dan kalimat-kalimat yang sama sekali tidak patut, apalagi mebawa-bawa dalil yang seakan-akan mereka mengerti dan memiliki kuasa untuk menimpakan dalil atas suatu kaum. Saya sebagai muslim dan sebagai orang Indonesia, merasa jijik dan malu terhadap manusia-manusia yang dengan mudahnya menuliskan kata-kata dan bersembunyi di balik rimba media sosial. Seakan kata-kata itu mudah sekali untuk dilontarkan tanpa berpikir apa konsekuensinya kedepan.

Padahal, mungkin kalau dilihat dari beberapa bencana alam yang melanda Indonesia, seperti banjir Jabodetabek di bulan Januari 2020, longsor di Bogor dan Lebak, kebakaran hutan di Kalimantan dan sebagian Sumatera, gempa besar di Lombok, dan sebagainya, saya perhatikan tidak ada khalayak Cina yang bergembira atas apa yang terjadi di Indonesia. Pemberitaan di media Cina soal bencana-bencana tersebut ada, hanya saja mereka tidak membawa fenomena bencana menjadi sesuatu yang patut disyukuri.

Jangan-jangan bencana-bencana kemarin itu adalah adzab buat diri kita sendiri. Adzab atas kekacauan berpikir yang justru itu lebih susah untuk disembuhkan ketimbang virus yang menjangkiti fisik manusia. Permasalahan soal melihat bencana ini juga ditambah dengan kengacoan berpikir dan politisasi bencana Tanah Air menjadi isu 2 kutub pendukung Jokowi dan bukan pendukung Jokowi. Ini sangat memprihatinkan dan sangat mengenaskan.

Media sosial yang seharusnya bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih berfaedah, memiliki fungsi hiburan, pendidikan, dan lain-lain yang bermutu, nampaknya menjadi musabab bagi kemunduran berpikir sebagian besar masyarakat Indonesia (paling tidak itu yang saya lihat di komentar-komentar netizen perihal virus corona ini, mudah-mudahan saya salah).

Ya, memang betul virus corona ini adalah konsekuensi dari misalnya kebiasaan masyarakat Cina dalam mengonsumsi hewan-hewan yang tidak dalam kategori lumrah untuk dikonsumsi. Bahkan hewan-hewan tersebut terkategori haram. Hanya saja, untuk mengutuk dan mengucapkan kata bernada ‘mampus’ kepada orang-orang Cina yang sebagian kecil dari mereka masih mengonsumsi hewan-hewan tersebut, adalah suatu tindakan yang mencederai akal sehat dan kemanusiaan. Apakah mereka tidak tahu kalau ada sebagian kecil juga masyarakat Indonesia yang masih mengonsumsi hewan-hewan yang disinyalir merupakan asal dari penyebaran virus corona ini? Apa jadinya kalau wabah virus sesuatu (mudah-mudahan tidak terjadi) muncul dari daerah tempat hewan-hewan tersebut dikonsumsi di Indonesia? Apakah komentar-komentar para individu yang tidak bertanggung jawab dan pengecut itu akan bernada sama? Bagaimana kalau kemudian saudara-saudari kerabat mereka yang sedang bekerja di lokasi itu tertular virus tersebut? Apakah kalimat-kalimat ‘mampus’ itu masih berani mereka ketik dari jari-jemari mereka yang liar? Mampus kau.

Di Wuhan sendiri banyak masyarakat lokal yang juga beragama Islam, di Cina juga. Apakah kemudian mereka tidak berpikir bahwa virus tidak mengenal agama. Banyak orang Indonesia juga yang mengenyam pendidikan di Cina, bekerja di Cina, berwisata ke Cina, dan melakukan hal-hal lain di sana. Lantas ketika orang-orang Indonesia dan muslim Indonesia di Cina itu berpotensi terekspos virus corona ini, apa tidak ada empati yang terpikirkan dari orang-orang yang dengan mudah melontarkan dalil-dalil tersebut?

Belum lagi tulisan-tulisan media bodrex maupun media non-bodrex yang membuat semua kondisi seakan-akan sudah kiamat. Liar. Tak terarah. Semua demi jumlah klik yang bisa mereka raup semata. Sudah tahu masyarakat kita hanya hobi membaca headline, tidak hobi membaca konten. Ada headline yang cocok sedikit, dikasih komentar yang bernada kegilaan di luar nalar kemanusiaan. Ini mau sampai kapan?

Ini sederhana. Masalah nilai-nilai kemanusiaan yang sudah hilang dari komentar-komentar tak berguna.

Lantas, apa masa depan yang tersisa untuk Indonesia? Apa hubungannya dengan menjadikan Indonesia sebagai Bangsa yang maju atau tidak? Jelas ada. Semua dimulai dari cara berpikir individu.

Cara berpikir para individu di suatu negara akan berkumpul menjadi cara berpikir kolektif. Cara berpikir kolektif akan mengarah kepada tindakan-tindakan yang kolektif. Tapi, tindakan-tindakan tersebut tidak akan membawa faedah apa-apa kalau dari awal cara berpikir individu nya saja sudah ngaco. Output apa yang akan dihasilkan apabila cara berpikir ngaco tersebut mendominasi sirkulasi informasi dan opini? Yang ada adalah pikiran-pikiran ngaco tersebut menjangkiti para individu yang belum memiliki stand-point, sehingga tambah ngaco lah pikiran kolektif yang ada.

Syarat menjadi Bangsa yang besar itu engga susah-susah amat kok! Berawal dari cara berpikir, cara menyelesaikan masalah, baru lanjut ke perkara-perkara pendidikan, ekonomi, industri, kesejahteraan, kebijakan sosial, kebijakan publik, kesehatan, hukum dan perundang-undangan, keamanan, stabilitas dalam negeri, diplomasi, menjadi pemain yang diperhitungkan di dunia internasional, ga sulit. Yang sulit itu di isi kepalanya.

Indonesia tidak akan kemana-mana walaupun prediksi-prediksi OECD, World Bank, IMF, dll konsultan-konsultan itu mengelu-elu kan posisi Indonesia akan menjadi 4 teratas di dunia. Dunia mana? Dunia Dalam Berita? Mampus kau. Mustahil!

Omong kosong pencapaian ekonomi, industri, investasi, tapi kalau manusianya kosong-melompong tong kosong nyaring bunyi nya, industri tumbuh 2-5 tahun, ambruk lagi. Lantas industri-industri yang disokong investasi itu akan pergi, meninggalkan Indonesia dengan segala kebodohan manusianya di belakang dan siap menyokong Bangsa-bangsa lain yang lebih progresif, adaptif, dan benar-benar berpikir ke depan. Kita harus jujur.

Sampai 2000 tahun lagi Indonesia tidak akan menjadi Bangsa yang besar apabila manusia-manusia pengisi ruang-ruang geografisnya tidak berubah dari hari ini. Indonesia akan terus menjadi Bangsa Kuli, Bangsa yang mudah diadu domba, Bangsa yang buta aksara, Bangsa yang buta hati, Bangsa yang tidak bisa merangkul orang lain. Bicara Bangsa sejatinya jauh melampaui retorika soal suatu Negara, lebih penting.

Apalagi kalau penjabaran ini mau dibawa kepada apakah pola-pola dan sikap di luar nalar kemanusiaan ini adalah jati diri Bangsa Indonesia? Jati diri Bangsa Melayu? Jati diri Bangsa Jawa? Jati diri Bangsa Bugis? Jati diri Bangsa Maluku? Jati diri Bangsa Papua? Ini jati diri Bangsa yang mana? Seakan-akan mudahnya mengakses media sosial mematikan keluruhan berpikir dan bersikap yang sejatinya ada pada diri setiap individu Indonesia.

Alih-alih mengamati, menganalisis dari perspektif keilmuan, berdiskusi dengan para pemuka agama atas bencana dan wabah corona ini, apa hikmah yang bisa diambil, langkah-langkah apa yang mungkin bisa diterapkan di negara sendiri. Tapi tidak, kita lebih disibukkan dengan kalimat-kalimat ‘mampus’ yang seakan-akan memiliki nilai kepuasan tersendiri ketika sudah mengucapkannya.

Tapi ya saya mengerti juga, orang-orang dengan kualitas pemikiran, ucapan (tulisan di sosmed) yang seperti itu selamanya juga tidak akan masuk ke ranah pemutusan kebijakan. Eh? Masa iya? Di sistem demokrasi pemilihan itu dimungkinkan lho. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari memiliki pemimpin-pemimpin yang berkadar rendah, memiliki jiwa dan sikap kemanusiaan yang pada titik nadir, dan cenderung menyalahkan ketimbang mencari solusi bersama.

Paling tidak mengenai virus corona ini sebarkanlah cara penanggulangannya, coba baca referensi-referensi yang mencerahkan, bagikan referensi-referensi tersebut, stop hoax dan berita-berita bohong soal wabah yang sama-sama tidak ada satupun yang menginginkannya terjadi. Begitu aja sulit banget ya sepertinya?

Leave a comment