Sebetulnya tidak ada yang perlu dirisaukan soal yang satu ini. Karena setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan S1 pasti awalnya merasa gusar, gelisah, dan berpikir yang aneh-aneh tentang masa depan yang entah seperti apa bentuknya. Mungkin, kalau diadakan survey, 90% masyarakat Indonesia kurang ‘firm’ terhadap jurusan yang dulunya dia pelajari di S1. Tapi semua itu otomatis berubah ketika kita sudah masuk ke dunia perkuliahan, menyusun skripsi, lulus, dan mengambil kegiatan paska-kampus yang sesuai dengan jurusan tersebut.
Banyak juga buku-buku pengembangan diri ataupun blog-blog lain yang sudah membahas mengenai bagaimana sebaiknya memilih jurusan untuk S1 nanti. Well, di sekolah juga sudah banyak dilakukan asesmen dengan guru BP atau guru apalah itu namanya, untuk mengetahui minat dan bakat kita sehingga bisa sesuai dengan apa yang kita akan ambil kedepannya.
Tapi, saya bisa cerita sedikit mengenai perjalanan pemilihan jurusan S1 saya dulu, yang mungkin ini sebagian besar masih terjadi di keluarga-keluarga di Indonesia. Ya, faktor orang tua.
Orang tua, terutama Bapak saya adalah tipikal orang yang tidak mengerti dunia. Dia hanya mengerti dunia nya sendiri. Walaupun sejatinya ilmu adalah sesuatu yang luas dan bervariasi, tetapi di mata dia ilmu itu hanya sesuatu yang berkenaan dengan urusan-urusan tehnik, eksak, dan bukan sosial/humaniora. Bisa coba kita bayangkan apa jadinya suatu Negara kalau hanya berisi orang-orang tehnik? Manusia, keluarga, masyarakat, dan negara itu semua adalah satu kumpulan kompleks yang membutuhkan berbagai macam disiplin ilmu dan ahli yang bervariasi. Aspek multidimensional ini lah yang Bapak saya tidak mengerti. Kasihan.
Kalau pada waktu itu, Ibu saya di satu sisi, karena beliau juga lebih rajin membaca dan menulis buku ketimbang Bapak saya, maka wawasan beliau bisa dibilang cukup luas. Dengan kondisi saya yang waktu itu tidak diperbolehkan (oleh Bapak saya) untuk:
- Mengambil jurusan Ilmu Hukum, karena 2 dari 3 hakim akan masuk neraka. Ini alasan yang paling konyol sedunia. Semakin saya pikirkan kata-kata dia waktu itu, semakin saya merasa Bapak saya ini manusia yang teramat konyol. Mengambil studi bidang Ilmu Hukum, tidak serta merta ketika lulus akan menjadi Hakim, bukan? Panjang sekali proses yang seseorang harus lalui sampai dia bisa menjadi seorang Hakim. Pernah lihat Hakim usia di bawah 30 tahun? Engga pernah kan? Konyol memang. Padahal semakin juga kita melihat perkembangan dewasa ini mengenai aspek realita sosial-masyarakat, kehadiran hukum yang memasyarakat dirasa kurang dan tumpul ke atas. Banyak sekali kasus-kasus yang berhubungan dengan korupsi, perusakan lingkungan, KDRT, LGBT, perselisihan sosial, penyimpangan agama, sampai pada kasus kerajaan abal-abal semuanya harus berbicara berdasarkan koridor hukum positif yang berlaku. Apalagi waktu itu saya sejak SMA berminat untuk mengambil jurusan Ilmu Hukum di UI, tapi harapan saya pupus karena kekonyolan pemikiran dia tadi.
- Mengambil jurusan Ilmu Politik. Saya memang lulusan IPS ketika SMA, oleh karena itu pilihan-pilihan yang ada di benak saya sudah barang tentu semuanya dalam koridor Ilmu Pengetahuan Sosial. Lagi-lagi dengan kekonyolan argumennya, Bapak saya mengatakan bahwa ‘politik itu engga perlu dipelajari’. Ini adalah anasir kedua yang paling konyol setelah poin nomor 1 di atas tadi. Padahal banyak sekali https://www.zenius.net/blog/21190/kuliah-jurusan-ilmu-politik yang menurut link ini kita bisa pelajari di jurusan Ilmu Politik. Dia pikir memasuki jurusan Ilmu Politik akan cuma membahas politik praktis (politik yang nampak di panggung perpolitikan) saja? Padahal banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan filosofi, perbandingan ideologi, pengaplikasian, dll. Ilmu Politik akan semakin lama dibutuhkan keahliannya di Indonesia. Melihat dari perkembangan politik praktis di Indonesia yang semakin menggelikan, butuh lebih banyak ahli-ahli studi politik yang dapat menerjemahkan apa yang terjadi, manfaat dan keburukan, serta arah perpolitikan Indonesia kedepannya. Ini adalah salah satu dari aspek multidimensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara tadi, bukan?
- DKV, Desain Komunikasi Visual. Dia mungkin berpikir kalau anaknya berkuliah di jurusan DKV, bakal cuma jadi tukang desain kayak di rental-rental komputer perempatan gitu ya. Asem. Padahal, melihat perkembangan DKV sekarang dalam ranah aplikasi di dunia kerja dan industri, dengan kenyataan bahwa developer game lokal Indonesia sudah mulai kembali menggeliat, dengan kenyataan bahwa industri film nasional sudah mulai menggunakan elemen-elemen CGI, ini semua menunjukkan bahwa kemampuan yang berbasis ilmu DKV semakin lama semakin dibutuhkan keahliannya. Apalagi dengan tren e-Sports, maka sudah barang tentu kedepannya ahli-ahli grafis, baik itu 2D, 3D, dll akan sangat dibutuhkan. Pengaplikasian kemampuan DKV pada artificial intelligence juga bukan barang sederhana. Banyak sekali kemutakhiran-kemutakhiran yang berujung pada kesejahteraan bagi orang-orang yang mengerti ilmu DKV belakangan ini. Sayang seribu sayang saya tidak mempelajari ilmu ini dulu.
- Ilmu Hubungan Internasional. Dia bilang bahwa ‘Indonesia sudah banyak diplomat, tapi masih begini-begini aja’, what the.., saya langsung speechless mendengarnya. Apa hubungannya kemajuan ekonomi dan kesejahteraan suatu Negara dengan ada atau tidaknya diplomat? Kelihatannya memang sedikit, tapi itu adalah sesuatu yang salah kaprah. Dilihat dari keilmuannya sendiri, jurusan HI juga tidak serta-merta akan menjadikan seseorang itu otomatis adalah diplomat negara. Banyak proses yang harus dilalui, banyak seleksi yang harus dilalui, banyak tantangan yang tidak mudah sehingga pihak Kemenlu dapat menerima kita sebagai diplomat Indonesia. Sudah barang tentu bahwa diplomasi dirasa tidak penting bagi orang-orang yang tidak memahami atau jarang bergaul dengan pihak-pihak yang sehari-harinya berkutat dengan diplomasi. Padahal, menjadi seorang diplomat, dalam hal ini Duta Besar Indonesia, adalah gerbang utama bagi para investor atau pihak-pihak lain yang ingin berinvestasi atau mengadakan kerja-kerja sama di teritori Indonesia. Tanpa jajaran diplomat, mana mungkin negara-negara lain berminat untuk bekerja sama dengan Indonesia. Pemahaman-pemahaman akan ilmu Hubungan Internasional sudah barang tentu menjadi kunci nya. Tapi, untuk jurusan HI ini, larangan itu datang justru ketika saya sudah di Cina dan mendapatkan beasiswa untuk S2, tapi masih dilarang dia. Duh.
Mungkin banyak sekali hal yang terjadi kurang lebih seperti kisah saya di atas. Entah kenapa para orang tua (generasi Baby Boomers) di Indonesia hobi nya adalah melarang tanpa pernah memberikan penjelasan akan alternatif. Apalagi ini terkait dengan ilmu. Penggunaan wawasan-wawasan mereka yang terbatas, perspektif ‘katanya’, dan argumen-argumen pseudo-science yang ga make sense, sampai cerita-cerita mengenai momok (termasuk misalkan kalau studi ke Cina, sudah pernah saya bahas) tujuan studi seakan-akan menjadi nafas abadi yang entah kapan bisa berakhir.
Pada akhirnya, setelah berdebat dan berdiskusi lama, akhirnya waktu itu saya mengambil jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Padjadjaran. Awalnya saya ga paham apa sih Kesejahteraan Sosial itu? Dari nama jurusannya saja, itu sudah seperti sebuah ‘Kata Sifat’, keadaan masyarakat yang sejahtera. Well, itu memang saduran di Bahasa Indonesia nya, tapi kalau dalam Bahasa Inggris, Ilmu Kesejahteraan Sosial itu adalah Social Work (Pekerjaan Sosial). Wah, ilmu apalagi ini?
Mungkin nanti saya akan bahas spesifik soal pengalaman mengambil jurusan ini di tulisan lain, tapi untuk deskripsi formal bisa dilihat di http://www.unpad.ac.id/fakultas/ilmu-sosial-ilmu-politik/kesejahteraan-sosial/, kira-kira seperti itu. Banyak hal yang tadinya saya buta sama sekali terhadap jurusan ini, akhirnya menjadikan saya merasa sangat bersyukur ketika telah lulus. Kalau Bapak saya waktu itu berpikirnya, jurusan ini nanti kerja nya hanya akan berada di LSM atau lembaga-lembaga sosial yang cuan (penghasilannya) tidak seberapa. Tapi, apakah itu buruk? Dasar Bapak kolot.
Banyak dimensi dan persoalan sosial-kemasyarakatan yang tidak hanya akan selesai karena persoalan perut yang kenyang. Persoalan perekonomian memang menjadi agenda utama dalam upaya peningkatan kesejahteraan. Tapi belum tentu orang yang berpenghasilan tinggi, memiliki pemaknaan hidup sejahtera yang sesungguhnya. Dalam peristilahan Kesejahteraan Sosial, ada yang disebut dengan ‘disfungsi sosial’, yaitu kondisi di mana seorang individu tidak dapat menjalani peran-peran sosialnya secara baik. Disfungsi sosial ini memang sesuatu yang sangat teoritis dan membuat orang bilang “apaan sih itu?”, exactly, karena ilmu-ilmu sosial pada ranah pengaplikasian di masyarakat masih dipandang sebelah mata. Dipandang sebelah mata nya dari mana? Ya mulai saja dari kenyataan bahwa masih banyak orang tua yang hanya memandang bahwa jurusan kuliah yang baik itu yang nantinya akan membawa gaji yang baik, padahal apa urusannya?
Lalu bagaimana?
Instrumen yang dapat kita gunakan untuk memilih jurusan sesuai yang mungkin kita sangat inginkan, adalah juga dengan menggunakan pendekatan 5W 1H. Ya, Why, What, Who, Where, When, dan How, coba gunakan pendekatan ini, siapa tau kita lebih clear kedepannya dalam mengambil jurusan perkuliahan, yang bukan hanya S1, tapi juga bisa misalnya D3, D4, S2, bahkan S3. Hanya saja umumnya untuk rekan-rekan paska-sarjana, memilih jurusan di S2 atau S3 mungkin tidak sesulit ketika peralihan dari SMA menuju jenjang S1, ya.
Why? Pertanyaan KENAPA ini haruslah menjadi bekalan utama, terutama dalam urusan pendidikan. Dengan ‘kenapa’, akan banyak muncul jawaban-jawaban yang nantinya bisa dielaborasi secara teknis sehingga akan lebih mudah buat kita untuk menjalani nya. Kenapa kita S1? Kenapa ga D3 aja? Misalnya. Karena D3 penyerapan di lapangan pekerjaan lebih banyak dibandingkan S1. Kenapa harus gengsi kalau hanya merupakan lulusan D3? Lagian lama-kelamaan nilai ijazah S1 terkadang juga engga ada harganya lagi.
Bidang-bidang yang dipelajari di S1 itu akan sangat umum dan sangat luas, terutama dengan pendekatan kurikulum perkuliahan di Indonesia yang rasio teori-prakteknya belum semuanya seimbang. Pemahaman teoritis akan banyak hal, tentu akan dikalahkan oleh orang-orang yang pemahaman teoritis hanya sedikit, namun pengalaman lapangan nya lebih banyak. Dilematisme ini juga ditambah dengan kemajuan teknologi. Dengan online courses (bukan S1 lho ya) sesuai dengan subjects yang kita inginkan, kita bisa membayar sesuai dengan kemampuan atau pemahaman teoritis apa yang kita ingin dapatkan.
Menterengnya ijazah S1 niscaya tidak perlu diglorifikasi, alias tidak perlu disombongkan. Karena itu lah, penting untuk bertanya ‘kenapa’ terlebih dahulu kepada diri sendiri untuk hal yang satu ini.
Di saat kita terlalu terpana dengan mentereng nya ijazah S1, banyak kampus-kampus beken yang umumnya dari luar negeri menawarkan short courses yang bisa diambil dengan jangka waktu “perkuliahan” yang cukup pendek, semisal 2 minggu, 1 bulan, 3 bulan, atau 6 bulan. Untuk bidang-bidang vokasi, akuntansi, kuliner, dll akan lebih berfaedah untuk mengambil short courses ketimbang kuliah 4 tahun terlalu lama.
What? Apa. Jurusan apa yang akan diambil? Apa manfaatnya kedepan? Apakah kompetisinya ketat? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditemukan, ketika kita sedang browsing-browsing ancer-ancer tujuan kuliah S1 kita. Tapi, selaiknya di mana-mana, ketika Why sudah ketemu, niscaya jawaban untuk What ini akan dirasa lebih mudah.
Dalam memilih jurusan, pertimbangkan betul kualitas jurusan atau prodi di kampus yang dituju. Karena di masing-masing kampus/universitas memiliki keunggulan masing-masing sesuai dengan penjurusan atau prodi yang dimiliki. Tentu pastikan juga bahwa jurusan atau prodi yang kita ingin jalani itu paling tidak sesuai dengan passion kita.
Dalam memilih kampus/universitas, instrumen yang paling mudah adalah membaginya ke dalam kampus negeri dan swasta. Tapi jangan salah, saat ini sudah banyak kampus-kampus swasta yang berkualitas baik, itu kalau arahnya adalah sekedar mendapatkan pekerjaan ketika lulus. Kampus-kampus negeri umumnya, karena sudah berusia puluhan tahun, memiliki keuntungan pada jaringan alumni dan keaktivan nya. Sesuatu yang justru akan lebih berguna dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang didapatkan di perkuliahan itu sendiri.
Who? Hal ini juga bisa dikatakan sebagai sumber dari argumentasi yang cukup penting untuk diperhatikan. Siapa yang akan kuliah? Kita atau orang tua kita? Atau jati diri lain yang kita miliki, padahal kita engga pengen untuk kuliah di tujuan spesifik perkuliahan itu? Ini penting.
Perkuliahan bukanlah tempat yang bisa sesenang ketika SMA dulu. Perkuliahan memiliki konsekuensi di mana secara tradisional, ketika kita sudah menyelesaikan perkuliahan, maka banyak beban-beban hidup riil selanjutnya untuk kita pikirkan dan cari jalan keluarnya: pekerjaan dan menikah. Jadi, untuk mencari siapa yang sebenarnya akan menjalani perkuliahan ini penting.
Pihak orang tua sudah tidak zaman nya lagi untuk mencampuri lebih dalam perihal perkuliahan anak-anaknya. Zaman sudah begitu cepat, berubah sedemikian banyak, tapi bukti mengatakan bahwa generasi muda lah yang lebih bisa beradaptasi dengan perubahan zaman, terutama teknologi. Orang tua cukup hanya sebagai penjaga koridor dan perantara izin Tuhan YME untuk kelancaran kehidupan anak-anaknya. Orang tua yang masih berpikiran untuk menyalurkan keinginan mereka untuk mengambil perkuliahan yang tidak sempat dijalani dulu lewat anaknya, saya pikir adalah orang tua yang sudah tidak bisa memposisikan diri sesuai zamannya.
Cukup saya dan rekan-rekan seumuran saya saja yang menjadi korban dari kediktatoran orang tua atas keilmuan yang akan dimiliki oleh anak-anaknya.
Where? Di mana. Dalam konteks dalam negeri, lokasi perkuliahan otomatis pertimbangannya adalah: dekat rumah atau jauh dari rumah. Dari kedua pilihan ini masing-masing memiliki manfaat dan kerugian. Kuliah dengan lokasi yang tidak dekat dengan orang tua/pengasuh, membuat kita akan lebih menjadi pribadi yang mandiri. Ingat, tantangan paska-kampus akan sangat menohok apabila kita tidak menyiapkan diri kita sebagai pribadi yang mandiri selepas dari seragam putih abu abu. Kita harus memikirkan, orang tua, paman, kerabat, mereka berusia lebih tua dari kita. Secara teori umur mereka tersisa lebih sedikit dibanding dengan kita. Apakah kita hanya akan menjadi pribadi yang selalu bergantung dengan mereka? Banyak peluang yang bisa kita explore, ketimbang hanya berpangku tangan.
Dalam konteks luar negeri, mungkin akan sedikit rumit ya. Karena banyak sekali hal-hal yang harus kita perhatikan ketika ingin menjalani perkuliahan S1 di luar negeri. Terutama karena faktor orang tua. Apalagi kalau untuk anak perempuan, biasanya “dijaga” bak permata yang tidak boleh kotor kena debu sedikit pun. Tapi hal ini juga bisa dilakukan, karena sudah banyak agency atau website kampus-kampus yang menyediakan banyak informasi mengenai studi ke luar negeri untuk jenjang S1.
Hanya saja, kalau ingin melanjutkan studi S1 ke luar negeri, artinya kita harus mempersiapkan semua dokumen, sertifikat bahasa, paling tidak sudah sejak kelas XI. Karena kalau sudah kelas XII, belum nanti mengurusi UN dan sebagainya, maka niscaya kita akan terlampau ribet. Kecuali untuk yang mau ada gap year (tahun jeda) misalnya 1 tahun untuk memang fokus mengikuti misalnya bimbel-bimbel ke luar negeri, itu ga jadi soal, asal jelas.
Urusan usia juga menjadi pertimbangan. Karena di negara-negara lain, kebijakan mengenai usia “anak” (di bawah 18 tahun) mewajibkan untuk menyertakan Guardian Letter. Untuk mengurusi Guardian Letter ini lah biasanya dibutuhkan agency yang bisa membantu kelancaran prosedur yang mungkin tidak semua orang bisa sabar melaluinya.
When? Kapan. Kapan di sini bisa berarti kapan kita akan mengumpulkan niat mencari informasi S1? Kapan kita akan move-on dari pikiran-pikiran lama? Kapan kita akan memikirkan masa depan paska-kampus? Kapan hidup kita akan berakhir? Bisa saja kan? Ya, ketika hidup kita sudah berakhir, maka pupus sudah semua angan dan cita-cita, bukan?
Dalam konteks ini, secara realitas, manusia diberikan waktu sama, yaitu 24 jam sehari. Namun yang membedakan orang-orang dengan prestasi lebih dibandingkan kita adalah bagaimana memanfaatkan waktu yang hanya 24 jam sehari itu, bukan? Mungkin kita akan mengedepankan alasan-alasan untuk menunda-nunda, atau mencari-cari “kesibukan” yang jauh dari faedah dan dalam konteks ini, mencapai cita-cita untuk mengenyam pendidikan S1 secara optimal.
Jadi, dalam konteks ini juga perlu dilihat bagaimana kita mengelola waktu. Karena di dunia SMA, hal ini mungkin jarang ditekankan, karena semuanya masih bisa terkontrol oleh guru atau orang tua, masih ada yang mengingatkan, masih ada yang kasih support. Tapi, kalau di dunia perkuliahan tidak ada istilahnya dosen yang akan sabar untuk mengingatkan kita mengerjakan tugas-tugas kuliah, ga akan. Karena perbedaan dunia ini lah yang menjadi hambatan bagi banyak anak SMA di Indonesia yang kurang siap menghadapi dunia perkuliahan.
Dengan membiasakan diri untuk mengelola waktu, harapannya ketika nanti kita sudah berkuliah di prodi, kampus, lokasi (atau negara) yang kita inginkan, maka semuanya akan berjalan mengalir, tanpa perlu memaksa diri sendiri dan lain-lain.
How? Bagaimana. Dalam hal ini, banyak yang bisa menjadi elaborasi pertanyaan. Tapi, karena asumsi bahwa peralihan dari SMA ke perkuliahan, semua masih ditanggung orang tua, maka pertanyaan ‘how much’ bisa kita simpan dulu sementara. Tapi, untuk rekan-rekan yang memang sudah terbiasa mandiri semenjak kecil, ‘how much’ ini terkadang menjadi pertimbangan untuk lanjutnya studi perkuliahan atau tidak. Tapi, jangan khawatir, karena banyak beasiswa S1 bertebaran di mana-mana. Mulai dari jalur prestasi, jalur olah raga, jalur rekomendasi, dan lain-lain.
Pertanyaan How ini juga bisa direpresentasikan sebagai Bagaimana Kuliah S1 dapat Menjawab Semua Persoalan Hidup Kita? Atau Bagaimana Kuliah S1 dapat Mengentaskan Korupsi di Indonesia? Atau Bagaimana Persepsi Kuliah S1 Dalam Konteks Kekinian, Apakah Penting? Hehe.
Semakin kita terbiasa dan terasah untuk menanyakan banyak hal, maka di situ lah pikiran kita akan semakin terbiasa dan harapannya kita bisa menjalani babak-babak kehidupan selanjutnya dengan serius tapi santuy. Peace.