Titik Temu Indonesia dan Tiongkok

Jutaan orang bahkan tidak menyadari bahwasanya kebencian berdasarkan rasial terhadap Cina dan Tionghoa di Indonesia merupakan sesuatu yang dianggap biasa. Padahal kalau dilihat kembali alasan-alasan kebencian itu umumnya berdasarkan dari postingan atau komentar-komentar miring yang kejelasan objektivikasi nya juga patut dipertanyakan. Kelihaian sebagian besar masyarakat untuk mengamini tanpa memproses informasi yang didapatkan telah menjadi akar permasalahan baik itu xenophobia secara umum maupun hal-hal lain yang terkait dengan isu.

Apalagi permasalahan Cina atau Tiongkok ini masih dipandang sebagai sesuatu yang menjadi momok tersendiri atas kerendahan objektivikasi masyarakat yang sudah merajalela. Paradigma-paradigma tua yang bertahan masih menggunakan pemahaman jaman Perang Dingin yang melihat Tiongkok sebagai musuh. Apalagi ketika semasa Soeharto berkuasa, friksi horisontal berdasarkan rasisme ini makin diperkuat, terlebih karena Soeharto menerapkan strategi adu domba di kalangan masyarakat agar kekuasaannya tidak terganggu.

Padahal, banyak sekali sumber bacaan yang bisa kita akses online maupun dalam bentuk buku mengenai sejarah Tiongkok, Tionghoa, dan kaitannya mengenai peradaban Indonesia. Dengan sudah lama nya interaksi antara Dinasti-dinasti Tiongkok dengan Kerajaan-kerajaan di Indonesia. Banyak sekali referensi-referensi yang terang benderang menjabarkan bahwasanya keterikatan antara Indonesia dengan Tiongkok itu merupakan keterikatan interaksi antarbangsa yang sudah tidak lagi terbantahkan.

Misalnya saja tautan https://bentangpustaka.com/benarkah-sebagian-walisongo-keturunan-tionghoa/ yang menerangkan mengenai buku Berislam Ala Tionghoa yang menuliskan betul paling tidak ada 4 Wali dalam Wali Songo yang merupakan keturunan Tionghoa. https://elsaonline.com/menghidupkan-kembali-mbah-pringis-jawa-islam-dan-tionghoa/ Mbah Pringis dengan tembang Dulur Tuwa nya, seakan-akan contoh 2 fenomena ini dilupakan atau terlupakan begitu saja di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang mungkin masih mencari jati diri nya yang hilang. Ulasan seperti yang ada di https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/06/27/510/1001420/indonesia-dan-tiongkok-punya-banyak-kesamaan-apa-saja seperti ini saja juga dapat dengan mudahnya bisa kita temukan asal kita memiliki hati yang bersih untuk memahami dan menerima perbedaan ketimbang menghakiminya.

Saya hanya mencoba untuk mengemukakan argumentasi mengenai titik-titik temu yang bisa menjadi bahasan untuk menebarkan hal-hal positif yang berkaitan dengan Indonesia dan Tiongkok. 5 tahun berada di Tiongkok membuat saya dan rekan-rekan yang pernah mengenyam pendidikan di sana melihat secara langsung secara objektif bahwasanya kebudayaan-kebudayaan Tiongkok tidaklah aseng bagi kita.

Sebagai referensi tambahan, membaca online dengan gratis dan tanpa beban membawa buku mengenai hal-hal yang berkenaan dengan sejarah Tiongkok juga bisa disimak via website Majalah Historia https://historia.id/search/result?keyword=cina&current=topic&page=1. Dengan kemajuan teknologi, alih-alih memperkaya wawasan terhadap sesuatu yang runut, objektif, dan bisa dipertanggungjawabkan, yang ada adalah ajang share video-video dengan cocoklogi yang berdasarkan pada kebencian ras. Kemalasan untuk membaca ini cukup merupakan suatu fenomena kebodohan yang “wajar”, karena sudah sekian lama masyarakat Indonesia hidup dari folklore dan cerita turun-temurun lebih banyak ditemui pada awal prasejarah Bangsa Indonesia ketimbang bukti-bukti artefak yang berupa tulisan.

Titik temu yang dimaksudkan di sini bukanlah hal-hal yang terjadi dan dipukul secara rata, mengingat perjalanan sejarah dan kebudayaan Indonesia dan Tiongkok memiliki lini masa yang tidaklah sama. Namun, paling tidak titik-titik temu ini lah yang bisa menjadi poin pembicaraan alternatif untuk melawan kesewenangan pemikiran subjektif yang sudah kadung di-share sedemikian banyaknya.

  1. Jangan lupa, kita dan mereka masih manusia. Manusia yang memiliki wujud fisik yang berbeda tapi itu hanya di detil saja. Umumnya masih sama punya 2 mata, 2 telinga, 2 tangan, 2 kaki, dan lainnya. Sering kali kalau mencari persamaan kita mungkin cenderung terlalu muluk dan lupa akan kenyataan bahwa kita hidup di planet Bumi yang sama, menghirup oksigen yang sama, memiliki 24 jam waktu dalam sehari, makan juga dari jenis tanah yang sama, dan lainnya. Melihat orang Tiongkok sebagai manusia terkadang luput dari sanubari orang-orang yang sudah kepalang halu dan sibuk mencari-cari kesalahan saja. Apabila kita melihat Tiongkok, kebanyakan langsung menuju kepada ideologi yang mereka anut, padahal ideologi tersebut juga merupakan sesuatu yang debatable, mengingat Tiongkok modern seperti saat ini tidak seperti cerita-cerita lama mengenai ideologi tersebut. Kelupaan akan melihat pihak lain sebagai manusia ini lah yang sedari awal sudah menutupi diri kita sendiri akan kemungkinan-kemungkinan untuk menyelesaikan permasalahan, persengketaan, perselisihan, apapun itu namanya, dengan cara-cara yang manusiawi, wajar, dan proporsional. Kecewa.
  2. Warisan kuliner. Hal ini merupakan sesuatu yang mau tidak mau kita semua bisa sepakat mengenai titik temu antara Indonesia dan Tiongkok. Banyak sekali penganan Chinese Food yang bisa ditemui di sekitar lingkungan kita. Disadari atau tidak, nama-nama dari penganan yang sering dimakan juga merupakan nama-nama yang memiliki unsur serapan dari bahasa-bahasa Tiongkok. Apakah itu dari Bahasa Mandarin, Hokkien, Kanton, Kek, dan lain sebagainya. Di Tiongkok sendiri pun saya merasakan hal yang tidak lagi aseng karena kebanyakan cita rasa Chinese food sama dengan apa yang bisa kami temui di Tiongkok langsung. Hanya saja ada sedikit perbedaan yaitu pada kekuatan rasa/banyak sedikitnya penggunaan bumbu yang ada. Aslinya, masakan-masakan di Tiongkok memiliki rasa yang tidak se-kuat Chinese food yang biasa ditemui di Indonesia. Hal itupun dilakukan sedemikian rupa agar bisa memenuhi ekspektasi kebiasaan kuliner masyarakat kita.
  3. Soekarno, Soeharto, dan Cheng Ho (Zheng He). Paling tidak 3 tokoh ini lah yang pada awal-awal saya tiba di Beijing, bila kita ngobrol dengan supir taksi, atau laoshi, atau teman-teman asli Tiongkok mereka akan nyambung. Nama Soekarno sangat dikenal di Cina, selain karena sebagai Bapak Pendiri Indonesia bersama Hatta dkk, karisma Soekarno dengan kunjungan-kunjungan kenegaraannya yang juga sempat bertemu dengan Mao Zedong dkk, secara turun-temurun menjadi kisah yang dicatat dan diingat sepanjang waktu oleh masyarakat Tiongkok itu sendiri. Soeharto di lain sisi, kita ketahui bersama, dikarenakan kebijakannya yang mengarah pada persinggungan etnis, maka orang-orang Tiongkok mafhum dengan nama Soeharto asal Indonesia adalah karena peristiwa-peristiwa diskriminasi etnis yang memilukan dengan puncak kejadiannya di tahun 1998 dulu. Sedangkan nama Cheng Ho (Zheng He) juga dipandang sebagai tokoh dalam sejarah Indonesia-Tiongkok yang diamini kebesarannya oleh masyarakat Tiongkok itu sendiri. Kebanggaan mereka atas Cheng Ho otomatis bukan dilihat dari agama yang dianutnya, melainkan kemampuannya untuk menjadi pemimpin besar dalam suatu delegasi resmi yang sewaktu itu dikirim oleh Kaisar Yongle dari Dinasti Ming. Familiaritas terhadap 3 tokoh ini paling tidak menunjukkan bahwa ada tautan-tautan ingatan dan memori baik itu suka maupun duka antara masyarakat Indonesia dan Tiongkok.
  4. Keragaman Etnis. Di Tiongkok sendiri terdapat 56 suku Bangsa https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_ethnic_groups_in_China yang diakui oleh pemerintah mereka dan hidup berdampingan. Walaupun suku Han merupakan suku yang paling dominan, tetapi itu tidak menjadikan kita bisa memukul rata fenomena-fenomena sosial yang terjadi di Tiongkok sebagai fenomena suku Han. Di Indonesia pun begitu, ratusan suku Bangsa yang ada tersebar dari Sabang hingga Merauke menjadikan Indonesia dan Tiongkok memiliki kisah-kisahnya tersendiri dalam melihat keragaman etnis secara kultural sebagai sesuatu yang menjadi pemersatu dan bukan pemecah-belah. Tantangan dan peluang yang dimiliki oleh Indonesia maupun Tiongkok dalam mengelola masyarakatnya yang multietnis niscaya bisa menjadi untaian kisah dan hikmah dalam mengelola perbedaan menjadi sesuatu yang harmoni.
  5. Seni kaligrafi, musik, bela diri, membatik. Seni-seni ini juga semakin menunjukkan bahwa penolakan atas objektivitas sejarah beserta warisan-warisannya akan akulturasi budaya Tiongkok yang masuk ke Indonesia, merupakan penolakan-penolakan yang bersifat absurd dan sangat egois. Walaupun di Bahasa Indonesia sendiri tidak ada bentuk kaligrafi, namun perkenalan kaligrafi di antara masyarakat Indonesia yang beragama Islam sudah merupakan titik temu tersendiri. Kaligrafi di Tiongkok dapat diartikan seni yang juga bersifat untuk melatih emosi dan pembawaan diri. Jiwa yang tenang akan menghasilkan goresan-goresan kaligrafi yang indah. Begitu pun alat-alat musik seperti kecapi, seruling, hingga bedug juga memiliki irisan-irisan nilai kebudayaan yang berasal dari akulturasi tadi. Begitu juga dnegan bela diri di mana selain wushu, juga ada bentuk-bentuk bela diri yang berasal dari Tiongkok. Di Tiongkok sendiri, banyak dari praktisi seni bela diri adalah mereka yang merupakan muslim, dan masyarakat Tiongkok sendiri tahu akan hal ini. Praktisi-praktisi taichi beragama Islam banyak yang mengembangkan gerakan-gerakan dasar menjadi jurus-jurus yang kemudian dikenal sebagai seni bela diri yang dinikmati tidak hanya di dalam Tiongkok namun juga di luar Tiongkok. Metode membatik kain di Tiongkok dinamakan ‘la-ran’, biasa ditemui di wilayah Selatan Tiongkok khususnya di Provinsi Yunnan. Proses nya persis sekali dengan metode membatik di Indonesia, hanya saja batik la-ran ini kebanyakan menggunakan warna-warna yang memiliki rona biru.
  6. Puisi, Prosa, Folklore, dan lagu-lagu rakyat ataupun produk-produk kesusasteraan lainnya juga menjadi hal-hal yang bisa menjadi titik temu antara Indonesia dengan Tiongkok. Dengan keberjalanan sejarah Indonesia, karya-karya penyair dan pegiat sastra asal Indonesia maupun Tiongkok bisa menjadi paduan gelaran syair dan sastra yang saya pikir akan sangat menarik untuk dinikmati. Belum lagi apabila mereka dapat berkolaborasi untuk membuat karya-karya yang diambil dari hikmah-hikmah yang bersumber pada sejarah yang objektif antara kedua negara.
  7. Senam Kesehatan Jasmani. Ya, di Tiongkok sendiri SKJ sendiri dikenal juga sebagai guang-chang-wu, atau kalau diartikan adalah Square Dance https://en.wikipedia.org/wiki/Square_dancing_(China). SKJ biasanya dilakukan pada kegiatan kegiatan senam seperti di hari Jumat pagi atau akhir pekan. Dulu SKJ biasa menjadi sarapan rutin bagi sekolah-sekolah untuk membuat siswa-siswinya sehat. Untuk Square Dance ini sendiri biasa dilakukan oleh orang-orang di Tiongkok di halaman-halaman apartemen, lapangan bola, maupun taman-taman kota yang cukup luas. Biasanya waktu pelaksanaannya adalah jam 5 sore dan dilakukan setiap hari. Pun sewaktu Musim Dingin orang-orang Tiongkok masih melakukan SKJ mereka yang juga seringkali diselingi oleh gerakan-gerakan thaichi.
  8. Duka penjajahan bisa menjadi titik temu yang juga tidak banyak orang yang mengetahuinya. Di saat ketika masa penjajahan negara-negara imperial seperti Inggris, Spanyol, Portugis, Austro-Hungaria, Bavaria, Perancis, dll jauh sebelum Jepang menjajah Tiongkok di Perang Dunia II menganeksasi porsi besar wilayah Tiongkok https://en.wikipedia.org/wiki/Western_imperialism_in_Asia. Saya sendiri pernah mengunjungi French Concession di Shanghai. Sewaktu penjajahan negara-negara imperialis itu, Shanghai juga menjadi wilayah yang “dibagi-bagi” oleh para penjajah itu selain Kota Tianjin yang terletak di Utara dekat Beijing https://en.wikipedia.org/wiki/Shanghai_French_Concession. https://en.wikipedia.org/wiki/Second_Sino-Japanese_War pada penjajahan Jepang juga, Cina menjadi salah satu korban dari fasisme yang dilancarkan oleh Kaisar Hirohito kepada hampir seluruh wilayah Asia Timur dan Tenggara. Kepedihan mereka juga sama seperti Indonesia, di mana salah satu tragedi terbesar ketika penjajahan Jepang pada waktu itu termaktub pada kejadian Pembantaian Nanjing https://en.wikipedia.org/wiki/Nanjing_Massacre. 200.000 tentara Cina yang tadinya dijanjikan untuk hanya ditahan, pada akhirnya setelah dilucuti senjatanya, mereka dibantai di parit-parit besar oleh para tentara Jepang dengan sedemikian sadisnya. Walaupun Jepang tidak lama berada di Indonesia, 2 tahun 3 bulan, namun kekejaman penjajahan Jepang bisa dibilang lebih sadis dari perlakuan Belanda sebelumnya. Kesamaan bahwa Jepang ini adalah suatu sosok penjajah yang dulu pernah menjajah Tiongkok dan Indonesia bisa menjadi bahan titik temu. Sampai saat ini pun orang-orang Cina tidak bisa melupakan kejadian penjajahan Jepang, sama seperti Indonesia. Walaupun banyak hal yang Jepang coba untuk “tebus” seperti pencitraan negaranya yang baik, penuh keramahan dan sebagainya, memori kekejaman perlakuan penjajah tidak akan pernah hilang dari pikiran masyarakat.
  9. Olah raga khususnya badminton menjadi titik temu yang saya pikir lebih fleksibel untuk dijadikan bahan pembicaraan yang tidak mengenal latar belakang usia, pekerjaan, tingkat kekayaan dan sebagainya. Khususnya supir taksi yang sangat banyak bahan pembicaraan, sedikit saja membicarakan Indonesia, pasti mereka akan menyebut nama-nama seperti Alan Budikusuma, Susi Susanti, atau Taufik Hidayat. Bahkan di produk-produk raket atau kok badminton buatan Tiongkok, tidak jarang saya lihat foto Taufik Hidayat yang kala itu belum pensiun dan masih memilki nama yang dikenal sampai seantero Tiongkok. Masyarakat Tiongkok melihat badminton juga sebagai suatu olah raga yang dapat dibanggakan di ajang internasional. Dan Indonesia adalah salah satu lawan terkuat acap kali gelaran turnamen badminton dilaksanakan. Hal itu juga ditambah dengan ada pelatih-pelatih Indonesia yang melatih badminton di Tiongkok hingga saat ini https://www.liputan6.com/bola/read/4099439/cerita-8-pelatih-bulutangkis-indonesia-yang-sukses-di-luar-negeri. Harapannya mengenai interaksi olah raga ini, Indonesia dan Tiongkok bisa menjalin kegiatan pengerat ketimbang mencari-cari perbedaan dan perselisihan.
  10. Kerajinan keramik atau porselen. Bisa dibilang dalam Bahasa Inggris, kenapa dinamakan negara China, adalah karena kata ‘china’ itu sendiri berarti ‘barang pecah belah’. Selain sutera, mesiu, kertas, daun teh dll, Tiongkok memiliki tawaran yang khas ketika zaman perdagangan Jalur Sutera dulu masih eksis. Keramik atau pecah belah dalam bentuk kendi, wadah masak, periuk, dan lainnya merupakan kekhasan yang tidak bisa tidak dimiliki oleh Tiongkok. Ketika seni kerajinan keramik itu dibawa oleh para pengembara dari Tiongkok, lalu masyarakat Indonesia melihat kebutuhan yang sama untuk kebutuhan sehari-hari, maka keramik yang berasal dari tanah liat itu juga sudah menjadi produk yang bisa dibuat sendiri. Masyarakat Tiongkok juga menjunjung tinggi nilai dan harga secara nominal dari keramik-keramik yang mereka wariskan kepada anak-cucunya. Kelihaian perajin, kelangkaan tehnik, serta nilai sejarah menjadikan keramik semisal vas bunga di Tiongkok asal tahun 1740 dihargai 86 juta dollar Amerika http://www.slate.com/articles/arts/culturebox/2012/04/chinese_antiques_a_31_million_scroll_an_86_million_vase_and_other_items_from_china_s_antiques_boom_.html, fantastis bukan? Pembicaraan mengenai keramik antar dua negara dengan irisan budaya merupakan potensi yang sangat baik sekali untuk mencari titik temu.
  11. Filosofi Konfusius, Filosofi Ke-Indonesiaan. Sejatinya, apabila kita membicarakan mengenai hal-hal filosofi kehidupan, dari Sabang hingga Merauke, kalau kita mau mengumpulkan untaian-untaian filosofis kehidupan secara indigenous, masyarakat Indonesia memiliki segudang nilai yang telah diwariskan beratus-ratus tahun lamanya. Begitu pun dengan Tiongkok. Namun, di Tiongkok hanya ada 2 nilai filosofi yang masyhur di kalangan masyarakat mereka, yaitu nilai Konfusianisme dan Taoisme. 2 nilai atau ajaran atau penghayatan tersebut membawa masyarakat Tiongkok ke dalam praktek bermasyarakat mereka hingga saat ini. Untuk nilai-nilai Konfusianisme, uniknya, di Indonesia dikenal dengan agama Kong Hu Cu. Sepengalaman saya berada di Tiongkok 5 tahun, nilai-nilai Konfusianisme lebih sebagai nilai-nilai pemikiran filsafat yang menjadi pegangan hidup, ketimbang sebagai sebuah agama. https://id.wikipedia.org/wiki/Analek_Konfusius Analek Konfusius yang dijadikan “dasar” untuk agama Kong Hu Cu ini juga kalau kita baca lebih banyak membahas hal-hal yang bersifat universal. Seperti bagaimana kita menghadapi masalah, berinteraksi dengan tetangga, menyelesaikan perbedaan pendapat, dan lain-lain. Kembali ke pemahaman nilai-nilai filosofis di tengah-tengah masyarakat, hal ini juga bisa menjadi refleksi penting mengingat kenyataan Indonesia dan Tiongkok memiliki titik temu yang sesungguhnya “berat” dan bernilai luhur.
  12. Dan lain sebagainya yang kalau dikumpulkan dan dikodifikasi sudah tak bernilai harganya.

Referensi lain yang dapat digunakan untuk memahami garis sejarah yang objektif, selain agar tidak termakan provokasi sesat adalah dengan mengunjungi museum-museum yang berkenaan dengan hal yang kita ingin ketahui. Salah satunya adalah Museum Pustaka Peranakan Tionghoa yang digawangi oleh Bang Azmi Abubakar di daerah Tangerang.

Sebagai penutup, dalam perayaan Imlek di Kemendikbud baru-baru ini, Mas Menteri juga menyampaikan bahwa dari seluruh aspek kebudayaan Indonesia hampir tidak ada yang tidak terpengaruh kebudayaan-kebudayaan dari Tiongkok https://tekno.tempo.co/read/1304454/nadiem-makarim-mulai-sekarang-kemendikbud-rayakan-imlek/full&view=ok. Jadi, kalau masih banyak sekali orang-orang yang entah itu memproklamirkan diri sebagai ‘pahlawan kesiangan’ atau terus saja berusaha untuk mempromosikan kebencian antaretnis di Indonesia, perlu dipertanyakan kembali kewarganegaraannya.

One thought on “Titik Temu Indonesia dan Tiongkok

Leave a comment