Krisis Usia Awal 20an

Setiap orang pasti pernah melewati usia 20-an, terutama awal-awal ketika selepas lulus kuliah, lalu mencoba untuk masuk ke dunia nyata, sungguh merupakan transisi yang sangat berat. Masa transisi di mana kamu sendiri sudah menganggap diri kamu mandiri, dewasa, dan tidak membutuhkan orang lain untuk terlalu mengatur hidup kamu. Tapi di sisi lain, dalam hal ini orang tua atau kerabat, dengan berbagai macam skala dan bentuknya merasa “berhak” untuk membayangi kehidupan kamu sampai kamu berada pada definisi ‘dewasa’ menurut mereka sendiri.

Krisis usia awal 20an, apalagi dengan banyaknya postingan media sosial yang lebih kepada memamerkan materi ketimbang esensi, membuat kita merasa iri karena kita tidak bisa seperti dia, mereka itu. Tapi ketahuilah bahwa hal-hal yang dipamerkan tersebut bukanlah hal-hal yang penting. Semua hal yang bersifat materi pasti bisa kita raih. Yang tidak bisa diraih itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan sikap. Misalnya kejujuran, rendah hati, integritas, kepercayaan dari orang lain, kepemimpinan, kebijaksanaan, dan lain sebagainya.

Kalau juga misalnya kita bandingkan dengan entah itu pebisnis betulan, atau selebgram yang kita tahu dia punya materi yang lebih, tapi tidak dipamerkan, justru mereka yang tukang pamer itu lah yang merasa bahwa materinya masih kurang. Untuk para pebisnis, konglomerat mereka tidak punya waktu lagi untuk berada di media sosial hanya sekedar memamerkan apa yang mereka punya. Kalau satu dua kali terlihat atau terekam kamera itu wajar, tapi kalau apa-apa harus diperlihatkan, well, itu tandanya tukang pamer tersebut cuma punya segitu. Apakah mungkin pengusaha kawakan sekelas Soros memamerkan kekayaannya di sosmed? Sekelas Jeff Bezos, Bill Gates, dan lain sebagainya? Justru sekelas mereka semakin kaya, perawakan dan penampilannya makin sederhana. Tidak perlu rambut dicat, pakai kalung emas, jam, sneakers mahal, mobil dipamerkan, rumah, itu namanya okabe alias orang kaya baru. Ga usah dipusingin.

Fokus saja pada apa yang kita cita-citakan, apa yang kamu inginkan, apa yang menjadi kegelisahan saat ini, segera pecahkan. Carilah dasar yang paling mendalam dari semua kegundahanmu, kewas-wasanmu, dan kekhawatiranmu. Jangan-jangan itu semua hanya halu, tidak nyata. Kalau tidak nyata, kenapa musti takut?

Teruntuk kamu yang merasa tidak ingin dikekang,

Ketahui lah bahwa secara alamiah manusia memiliki pemikiran yang bebas, tidak ingin dikurung, dikekang, dikontrol berlebihan. Tapi kamu juga harus sadar bahwa usia 20-an awal ini memang masih merupakan masa-masa di mana kamu menghabiskan ‘jatah gagal’ kamu. Agar kamu kelak kedepannya bisa lebih lancar menghadapi hari-hari. Sehingga, dalam proses menghilangkan jatah gagal tadi, niscaya kamu juga masih perlu pendamping dalam artian agar kamu senantiasa on-the-track untuk rencana-rencana kecil, sedang, dan besar yang kamu rancang.

Kalau misalnya dikarenakan oleh latar belakang pendidikan keluarga yang kurang, kondusifitas keluarga yang tidak baik, lingkungan keluarga besar yang toxic, silahkan bisa cari di luar keluarga. Tapi, asalkan kamu juga tau apa yang kamu butuhkan ya. Jangan ketika kamu mencari support system yang baru di luar, kamu juga belum sadar apa yang kamu tidak ketahui, dan apa yang kamu ketahui.

Untuk itu, ada kabar baik dan kabar buruk.

Kabar baiknya, kamu masih belum diusir dari rumah untuk menjadi (maaf) gembel di jalanan, bukan? Paling tidak masih ada kasur, ruang tidur yang cukup nyaman untuk ditinggali sementara kamu menyusun rencana-rencana dan merealisasikannya kedepan. Bersabarlah karena semua ini akan berlalu. Seiring berjalannya waktu, bertambahnya kompetensi, jaringan, wawasan, ilmu, dan kapasitas diri, maka hal-hal yang berkenaan dengan pengekangan ini akan menjadi kecil di kemudian hari.

Buatlah perencanaan-perencanaan yang lebih rapih. Mulai dari mana? Mulai dari jadwal harian. Lalu jadwal mingguan, bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan, tahunan, maka kesemua itu niscaya akan memperpanjang nafas kita untuk selalu fokus terhadap apa yang sebenarnya kita ingin raih. Namun, lagi-lagi, dinamika media sosial ini seakan-akan menjadikan kita malas. Karena setiap hari kita disajikan dengan hal-hal yang wah, seakan-akan kekayaan itu mudah sekali, lalu kita menjadi berpikir instan. Terus saja berputar di situ.

Kabar buruknya, tidak ada obat yang mujarab untuk melepaskan pengekangan-pengekangan yang sedang atau sudah terjadi. Ditambah lagi karena sebagian besar budaya keluarga di Indonesia adalah makin dikekang makin bagus, katanya. Kabar buruk kedua, mudah-mudahan tidak terjadi, hal ini justru bisa kita lakukan kepada anak-cucu kita kedepannya. Karena kita merasa saat ini dibatas-batasi, maka tendensi nya adalah kita membalasnya kepada generasi setelah kita.

Teruntuk kamu yang banyak tuntutan dari keluarga,

Memang akan menjadi klise kalau aku bilang keluarga itu yang utama. Bukan, yang utama adalah diri kita sendiri. Tapi, selain diri kita, kita juga perlu sekali-kali memikirkan orang lain.

Keluarga yang ada baik itu keluarga biologis maupun keluarga pertemanan, kolega, rekan sejawat dan lainnya, juga merasakan perubahan dari diri kamu ketika kamu memutuskan untuk berubah. Diri sendiri memang penting, tapi lebih penting lagi bagaimana perubahan yang ada di diri kamu, tidak kemudian menjadi dampak buruk bagi orang lain.

Yang menjadi persoalan adalah ketika saat ini kamu menginginkan sesuatu yang kamu sendiri sudah rencanakan, mungkin agak sulit untuk orang tua maupun keluarga besar yang usia nya sudah terpaut jauh untuk memahami keinginan kamu. Dengan kemajuan teknologi, perubahan kebutuhan dan keinginan, senantiasa akan membawa pergesekan yang terjadi antara generasi old dengan generasi now.

Teruntuk kamu yang merasa sendirian dan kehilangan teman-teman dekat,

Ketahuilah bahwa sedari awal manusia memang akan selalu berubah. Baik itu perubahan ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Tidak ada konstan dalam memandang manusia itu sendiri, terutama diri kita. Apalagi kalau berbicara orang lain. Kita mungkin tidak bisa memahami semua apa yang orang lain pikirkan, apa yang teman kita telah lalui, sama seperti halnya mereka yang tidak perlu tau apa yang sudah kita rasakan, perjuangkan, dan berpeluh soal itu.

Namun, teman dekat yang sejati sedianya pasti akan teruji dengan waktu. Kalau saja dia memang menghilang seiring dengan waktu, itu berarti dia adalah teman dekat kamu sampai pada poin waktu tersebut saja. Cara mengatasinya bagaimana? Mulailah lebih selektif untuk kedepannya. Dengan tantangan yang lebih berat kedepannya, tentu dibutuhkan teman atau sahabat yang bisa secara progresif mengerti kita dan mengerti perubahan jaman.

Mulailah juga untuk mencari pertemanan dari spektrum yang berbeda. Misalnya berbeda kewarganegaraan, berbeda suku, tapi tetap dengan visi dan misi kehidupan yang memiliki kemiripan sehingga kelak kalian akan tetap memiliki silver lining dalam pertemanan/persahabatan kalian.

Tidak memiliki teman bukan berarti hal yang salah. Berinteraksi kepada semua orang secara kind, baik, rendah hati, lantas tidak menjadikan semua orang adalah teman kita, bukan? Itu hal yang harus dicoba untuk dilatih. Tidak mesti semua orang yang kita treat baik adalah teman atau sahabat kita. Karena untuk memberikan waktu lebih kepada orang biasa, abang ojeg, tukang martabak, abang nasi goreng, yang mungkin ketika kita ngobrol asik sekali, namun ya sudah sampai situ saja. Untuk pertemanan/persahabatan memang tentu akan banyak sekali ujian yang akan kalian hadapi. Apalagi nanti kalau masing-masing sudah sibuk karir, berkeluarga, dan lain sebagainya, tentu pertemanan itu bukan menjadi prioritas.

Trik yang lain adalah untuk mengirit nafas dalam menyambung pertemanan. Tidak mungkin tidak bahwa kita sendiri kedepannya memiliki segudang tanggung jawab yang lebih penting. Tidak ada salahnya pertemanan yang tadinya harus sering kumpul, nongkrong, makan bareng, dan lain sebagainya dijeda beberapa saat ketika masing-masing juga toh memiliki kesibukan. Untungnya kita semua sekarang berada di jaman teknologi yang sudah sangat canggih. Kegiatan nongkrong sudah bisa difasilitasi secara maya, via App yang sudah banyak sekali beredar. Sama seperti bentuk hubungan antarmanusia seperti pernikahan dll, pertemanan/persahabatan tentu diikat dengan komitmen. Sehingga value sebenarnya ada pada komitmen tersebut, bukan pada pertemuan fisik semata. Jadi, jangan juga mengartikan bahwa teman itu harus kumpul secara fisik. Itu adalah pemahaman kuno yang ketika dulu mungkin telepon genggam masih berbentuk batu bata.

Teruntuk kamu yang merasa bahwa semakin hari semakin bimbang untuk memutuskan,

Berpegang teguhlah pada nilai-nilai yang sudah ditanamkan di lingkungan keluarga kamu. Agama, norma dan kepercayaan, nilai-nilai kebudayaan luhur, dan lain sebagainya. Tuhan tidak akan menimpakan suatu apapun kepada manusia kalau manusia tersebut tidak bisa memikulnya. Kebimbangan itu niscaya merupakan sesuatu yang datangnya dari diri sendiri, bukan pada masalah tersebut. Sebelum tantangan atau masalah itu datang, kita tentu memiliki asumsi atau analisis atau prediksi, bukan? Sehingga, kalaupun sedari awal kita memutuskan untuk tidak berada pada jalan tersebut, ya tidak juga mengapa.

Karena semua ini balik lagi kepada pilihan masing-masing. Kebimbangan itu terjadi umumnya karena kita menyesali telah mengambil sebuah keputusan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain ketika menghadapi suatu kebimbangan, jalani saja dahulu, namun ketika nanti dihadapkan pada cabang pilihan lainnya, pertimbangkanlah dengan lebih cermat dan hati-hati. Ambil keputusan bukan dari apa yang orang lain pikir senang semata. Tapi prioritaskan kepada diri kita sendiri, dan orang-orang terdekat yang kita care, yang mungkin akan terkena imbas dari pengambilan keputusan kita tadi. Sehingga, ketika kedepannya ternyata kita sendiri merasa bahwa keputusan yang kita ambil adalah “salah”, maka kita paling tidak masih dapat mengakses support system dari orang-orang terdekat kita.

Teruntuk kamu yang takut tidak bisa menjadi apa-apa kedepannya,

Takut mengambil keputusan bisa jadi diakibatkan juga karena kamu sendiri sudah menyadari bahwa ‘jatah gagal’ kamu masih belum habis di usia saat ini. Seorang kapten kapal yang percaya diri, tentu tidak akan terlihat lagi muda. Dengan kaya pengalaman menjadi anak buah kapal, suruhan bagai kuli kapal, dan lain sebagainya telah menempa seseorang yang hapal betul mengenai laut tentang apa yang akan dihadapi di sana. Seorang kapten kapal yang memiliki kepercayaan diri tentu tidak bisa dihasilkan dalam waktu singkat.

Ketika problematika sebenarnya adalah kamu menyadari ‘jatah gagal’ yang belum habis, percaya lah, apapun keputusan yang akan kamu ambil, pasti akan gagal. Tapi ini adalah pertanda bagus. Dengan gagal, kita akan belajar banyak. Belajar secara motorik, psikologis, dan mungkin fisiologis akan apa yang harus dilakukan ketika menemui kasus yang sama. Banyak orang yang mungkin tidak bisa menuliskan ke dalam kata-kata mengenai kegagalan-kegagalan yang mereka pernah alami. Mungkin mereka hanya mengatakan dalam diri kata-kata kasar atau umpatan yang dipikir mewakili perasaan pada saat kegagalan itu terjadi. Tapi, individu yang mengambil hikmah senantiasa menjadikan kegagalan itu suatu ilmu yang tidak bisa diajarkan secara teoritis.

Coba lihat perjalanan kisah sukses tokoh-tokoh dunia. Mulai dari penemu gaya gravitasi, aliran listrik, pesawat, mekanika fluida, ilmu kuantum, penisilin, dll mereka semua itu dulunya dianggap gila bahkan. Apakah kamu yang merasa takut tidak bisa menjadi apa-apa ini sudah pernah dicap gila? Sudah pernah dikejar orang-orang sekampung karena dianggap melawan gereja (kenyataan zaman dahulu kala bahwa banyak ilmuwan yang dianggap bersebrangan dengan dogma-dogma gereja kuno yang berkuasa di Abad Pertengahan), atau dianggap sebagai penyihir dan lain sebagainya?

Tapi, dari sekian banyak para ahli, ilmuwan, filantropis, pemimpin dunia yang memiliki nama yang harum, mereka semua memiliki kesamaan, yaitu: perseverance. Yaitu persistensi atau ketekunan yang dijalani terus-menerus, bukan karena untuk menyenangkan orang lain, tetapi untuk bagaimana hipotesis dan dasar-dasar empirik yang sudah dirancang, terbukti secara nyata. Bagaimana mungkin E=MC2 itu adalah sesuatu yang nyata? Bahkan baru setelah tahun 2000an ketika Einstein sudah tidak lagi ada, teori nya baru terbukti. Orang-orang banyak mengira dia gila dan aneh; orang sinting yang hidup tidak pada masa nya. Right person in a wrong time.

Sehingga, kalau mengambil hikmah dari perjalanan para orang-orang terdahulu, fokus dan tekun adalah koentji dari semua keberhasilan. Tidak mungkin umur 20an kamu sudah bisa tau akan jadi apa di usia 30, atau 40, atau bahkan 50. Heck! Kamu saja ga tau kan kalau besok masih hidup atau engga. Siapa tau setelah baca tulisan ini, umur juga sudah tidak ada lagi bukan? Jadi, untuk apa khawatir? Kerjakan saja.

Teruntuk kamu yang selalu overthinking dan pesimis,

Overthinking atau pesimis aku rasa timbul dari rasa insecure karena kita tidak disiplin kepada diri sendiri. Lha iya. Coba misalkan kita keluar rumah. Waktu sudah naik ojek online, kita baru ingat apa pintu sudah dikunci atau belum? Misalkan kita ke tempat wisata, lalu kita turun dari mobil, selesai main 1 jam baru kita keingetan, mobil tadi sudah dikunci atau belum? Jangan-jangan ada maling, jangan-jangan laptop di mobil sudah diambil orang, arrrggggh. Ujung-ujung nya setres.

Hal-hal begitu wajar, kenapa? Karena kamu ga punya SOP (standard operating procedure) terhadap hal-hal tadi. Misalnya keluar rumah kita sudah punya SOP atau kebiasaan mengunci rumah, lalu mengeceknya dengan mencoba membuka gagang pintu sebanyak 3x, atau kita punya SOP untuk pasang alarm di smartphone kita.

Misalkan untuk turun dari kendaraan, banyak motor sekarang juga sudah ada alarmnya, tinggal kita jadikan kebiasaan saja untuk ingat nomor parkir, dan klik tombol alarm 2x, misalnya. Sehingga ketika kita sudah mentransfer SOP itu sebagai suatu kewajiban kita, lantas nanti kedepannya otak kita akan secara otomatis melakukan aktivitas-aktivitas SOP tadi.

Overthinking mengenai hal-hal yang sudah kita jalani artinya juga kita belum secara paripurna menyediakan SOP nya. Baik itu yang berkenaan dengan ujian, tes wawancara, sampai yang paling sepele yaitu menyiapkan baju apa yang akan dipakai besok. Ya, kenapa engga nyiapin baju ada SOP nya? Kan biar OOTD, atau whatever you call it kan.

Jadi ya sarannya adalah kalahkan overthinking atau rasa pesimis dengan menerapkan disiplin tinggi pada diri kamu sendiri ya.

Teruntuk kamu yang merasa tidak sabar akan proses semua ini,

Yakinlah bahwa semua ini proses. Dari proses penciptaan manusia saja sudah dijelaskan bahwa kita berasal dari sari pati tanah, yang kemudian menggumpal, yang kemudian dihembuskan nyawa, yang kemudian berkembang dalam janin, yang kemudian dilahirkan dalam rentang waktu secara sunnatullah. Kalau kemudian kita sendiri yang memang lahir ke dunia karena proses tadi, apakah mungkin kita menjadi seseorang yang apatis terhadap ‘proses’.

Semua ini memerlukan waktu. Sekolah memerlukan waktu, kuliah memerlukan waktu, mendapatkan pekerjaan yang baik memerlukan waktu, menemukan pasangan yang tepat, membina rumah tangga, membesarkan anak, memiliki kontribusi dalam masyarakat, menjadi orang tua yang baik, menjadi kakek/nenek yang sayang sama cucu nya, semuanya pasti memerlukan proses, bukan?

Tinggal bagaimana poin-poin yang ada tadi dijalani, dipilah-pilah menjadi beberapa kategori, lalu kerjakan yang lebih mudah dulu, baru yang lebih menantang. Dengan begitu, kita cicil satu per satu, kita selesaikan masalah satu per satu, niscaya kita sedang menghasilkan ‘output’ yang kita harapkan tanpa kita sadari. Klise membahas kenikmatan surgawi dan lain sebagainya. Itu adalah ninabobo yang tidak relevan. Justru dengan kemudahan teknologi, kemudahan mengakses pengetahuan, akses kesehatan, hiburan, dan lain sebagainya, menjadikan kehidupan kita sekarang mungkin lebih melenakan.