Kesiapan Industri Kesehatan Indonesia dalam Situasi Genting

Virus novel coronavirus yang kemudian disebut dengan Covid-19 ini sudah paling tidak berlangsung sejak tahun baru 2020 hingga saat ini. Dari yang awalnya dipikir hanyalah suatu epidemi lokal di Kota Wuhan Provinsi Hubei, RRT, berubah menjadi simalakama dunia yang paling tidak sudah merebut nyawa sebanyak 14.507 jiwa (https://www.channelnewsasia.com/news/topics/coronavirus-covid-19 per 23 Maret 2020) secara keseluruhan.

Virus yang tadinya dipikir karena “konsekuensi” dari kebiasaan sebagian kecil orang-orang di RRT yang suka menyantap hewan-hewan eksotis yang tidak lazim untuk dikonsumsi manusia pada umumnya. Namun, bila dilihat dari tren nya (https://en.wikipedia.org/wiki/Coronavirus), Covid-19 ini juga sebenarnya sudah bermula sejak SARS tahun 2003 dulu di RRT pula. Namun, siapa yang bisa menduga bahwasanya dari “rumpun” virus yang sama dengan SARS 2003 dan MERS 2012, Covid-19 ini membuat banyak pihak kelimpungan, tidak terkecuali dunia usaha.

Keadaan tersebut diperparah dengan banyaknya khalayak yang melontarkan sinisme lanjutan kepada negara RRT dikarenakan perlakuan-perlakuan pemerintah mereka yang kurang patut kepada masyarakat Uighur. Padahal, kalau perkara ini mau dibawa ke dalam proporsi adzab, maka niscaya Covid-19 tidak akan keluar dari wilayah RRT. Namun, tidak ada guna nya membahas hal tersebut saat ini.

Akibat ketidaktanggapan pemerintah melihat situasi tadi, tidaklah heran di Indonesia ditemukan tantangan yang cukup besar dalam menghadapi sesuatu yang tidak kasat mata. Seakan-akan ada kekuatan gaib yang tetiba merenggut nyawa sekian banyak manusia, membuat semua orang heboh, dan menciptakan konsekuensi laten baik itu bisnis, politis, hukum, kenyataan beragama yang sama sekali belum pernah dialami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Walaupun Indonesia cukup “langganan” dalam urusan penyakit, bencana alam, ataupun kriminalitas lain yang menggoncang tatanan kehidupan bermasyarakat, namun nampaknya untuk Covid-19 ini telah berhasil melumpuhkan kemampuan banyak pihak yang mungkin sebagian besar orang awam menilai mereka dapat mengatasinya dengan cepat. Belum lagi pandangan-pandangan keliru sebagian besar masyarakat yang melihat Covid-19 ini sebagai sesuatu yang tidak serius, bisa sembuh dengan istirahat saja, bisa diobati dengan minuman herbal, dan lain sebagainya.

Namun, hal yang cukup telak melihat dari realitas kejadian di RRT, di mana episentrum dari ledakan Covid-19 ini, Kota Wuhan bukanlah merupakan kota yang utama seperti Ibu Kota negara Beijing, ataupun pusat ekonomi dan perdagangan seperti Shanghai, Guangzhou, maupun Shenzhen. Namun, kalau di Indonesia, kasus pertama kali terjadi di Jakarta yang notabenenya sebagian 2/3 aktivitas negara baik itu urusan ekonomi maupun pemerintahan terjadi di situ. RRT juga berhasil menangani Covid-19 dengan pendekatan “khas” mereka yaitu menerapkan lockdown di seluruh Kota Wuhan demi memutus rantai penularan di antara masyarakat.

Beda gaya pemerintahan, beda pula cara penanganannya. Di Korea Selatan pun pertama kali ledakan virus ini terjadi bukan di Ibu Kota Seoul, melainkan di kota Daegu yang berjarak 238  km dari Kota Seoul itu sendiri. Namun, berkat kesigapan pemerintah dan segenap petugas yang melakukan penanganan riil di lapangan, Korsel bisa menekan angka penularan dengan melakukan tes Covid-19 secara masif. Hal ini bisa jadi dimungkinkan karena Korsel adalah salah satu negara yang memiliki ‘ancaman konstan’, tidak lain adalah ancaman dari sepupu Utara mereka, Korut. Dengan begitu, kesiapsiagaan segenap elemen kepolisian, tentara, rakyat mereka sudah lebih memiliki kesadaran, SOP di dalam benak, maupun alur logistik yang sudah terencana dengan baik. Cukup berbeda dengan Indonesia yang sedari awal tidak punya skema “pertahanan rakyat” yang ajeg, dan memiliki konsekuensi pada sikap-sikap abai dan lengah seperti apa yang bisa kita saksikan bersama-sama.

Sebagai bagian dari mitigasi kebencanaan, peran dari dunia usaha dalam hal ini adalah produsen alkes ataupun obat-obatan, Indonesia dipandang belum mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk dari Perubahan Iklim (climate change) seperti Pemanasan Global, kenaikan permukaan air laut, hingga pada eksistensi virus yang penyebarannya dipandang lebih mudah karena anomali cuaca yang semakin lama semakin dapat dirasakan. Padahal sudah banyak artikel, penelitian, jurnal ilmiah mengenai pengaruh Perubahan Iklim terhadap dunia usaha, seperti yang dibuat oleh firma konsultan Deloitte https://www2.deloitte.com/us/en/insights/topics/strategy/impact-and-opportunities-of-climate-change-on-business.html. Walaupun di artikel ini lebih banyak membahas mengenai pengaruh Pemanasan Global saja, tapi tetap dapat menjadi rujukan yang cukup mengedukasi dan memberikan paparan yang jelas. Sektor-sektor seperti pariwisata, otomotif, energi, dan FMCG menjadi sektor-sektor yang akan terpukul lebih banyak dikarenakan dampak Pemanasan Global tadi.

Padahal pada tahun 2015 Bill Gates di salah satu sesi TEDx https://www.youtube.com/watch?v=6Af6b_wyiwI telah menyampaikan materi yang cukup penting mengenai kesiapan, khususnya, pemerintah AS dalam menghadapi kemungkinan terjadi nya ledakan virus yang notabenenya lebih memiliki dampak destruktif terhadap semua lini kehidupan manusia, tidak hanya perkara ekonomi dan bisnis. Kenyataan bahwa ada penyampaian dari Bill Gates ini bisa menjadi contoh bahwa ketiadaan visi dan misi yang tepat dilaksanakan pada segenap dunia usaha, terutama produsen, pabrikan, dan sebagainya membuat kenyataan pertarungan terhadap Covid-19 ini gagap.

Sejak tahun 2015, sebagai pengganti dari skema MDGs (Millenium Development Goals), PBB menyesuaikan skema inisiasi ketahanan pembangunan dalam skema SDGs (Sustainable Development Goals) yang di dalamnya, di poin 11, juga memasukkan poin mengenai Perubahan Iklim.

Dalam artikel https://climatepolicyinitiative.org/2018/03/05/perubahan-iklim-dan-risiko-investasi/, dijelaskan bahwa resiko perubahan iklim terhadap dunia usaha dapat dilihat dalam tiga dimensi (CPI, 2015). Pertama, resiko akibat dampak perubahan iklim secara fisik terhadap operasi usaha. Meningkatnya intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir, longsor dan kebakaran, serta kenaikan suhu dan kenaikan permukaan air laut, jelas mengganggu dan meningkatkan risiko usaha.

Dimensi kedua dan ketiga berkaitan dengan komitmen dunia untuk merespon perubahan iklim, yaitu munculnya kebijakan dan peraturan baru dan berkembangnya pasar dan kegiatan ekonomi yang lain. Kedua hal tersebut berpeluang menyebabkan penilaian ulang aset. Perusahaan yang mengandalkan sumber daya fosil, termasuk batubara, atau yang berproduksi dengan menggunduli hutan yang berakibat meningkatnya emisi karbon, akan dinilai memiliki risiko lebih tinggi. Nilai aset perusahaan seperti ini berpotensi menurun karena para investor akan menghindarinya atas alasan kepatuhan (compliance), reputasi dan juga peluang bisnis baru yang lebih ramah lingkungan (Peihani, 2017).

Namun, kesiapsiagaan kondisi kebencanaan ini belum terjawab terhadap dengan hanya perubahan/penyesuaian operasional perusahaan terhadap lingkungan itu sendiri, tetapi terhadap bahaya laten yang timbul dan sudah kadung memiliki dampak kepada masyarakat banyak seperti kasus Covid-19 yang sedang terjadi.

Okelah, kalau dilihat dari data mengenai kapasitas produksi dasar perusahaan-perusahaan di Indonesia semisal Bio Farma yang bisa memproduksi vaksin sebanyak 2 miliar dosis per tahun http://www.bumn.go.id/biofarma/halaman/138, namun mengapa ketika Covid-19 ini sudah berada di Cina, nampaknya tidak ada penyesuaian yang tangkas dan cepat untuk memproduksi paling tidak produk-produk yang berhubungan dengan menambah imunitas tubuh. Hanya dengan insting sosio-kultural, masyarakat Indonesia (yang disarankan oleh pihak IPB kalau tidak salah) kemudian “menyadari” bahwa bahan-bahan seperti jahe merah, temulawak, kunyit, serai, dan kayu manis apabila digodok bisa meningkatkan daya imun tubuh. Presiden Jokowi pun mengaku bahwa behan-bahan yang notabene nya ada semua tumbuh subur di Indonesia https://www.idntimes.com/food/recipe/reza-iqbal/resep-jamu-tradisional-ala-presiden-jokowi tidak serta-merta misalnya membuat masyarakat aware dengan khasiat-khasiat nyata nya. Alhasil malah kecolongan di permasalahan harga ke 5 bahan herbal itu tergerek tidak karuan di pasaran. Ini cukup berantakan, harus diakui.

Meletakkan pengobatan alternatif alami seperti herbal atau TN (Thibbun Nabawi), atau pengobatan lainnya yang non-mistis, tentu harus bisa diberikan posisi tinggi, dan tidak dipandang sebelah mata, seakan-akan pengobatan tersebut kuno. Atau bisa jadi stigma di kalangan bisnis pengobatan herbal terlalu beresiko untuk ditanamkan investasi di situ. Justru malah menambah lambatnya penelitian dan pengembangan (R&D) terhadap produk alternatif alami yang asli Indonesia.

Kapasitas penanganan logistik dan rantai pasok yang kurang berakselerasi membuat Indonesia berada pada peringkat 46 dari 160 negara di dunia, itu kalau menurut artikel https://www.cnbcindonesia.com/market/20190203145957-17-53666/maaf-logistik-ri-masih-saja-kalah-dari-negara-tetangga tahun 2019. Lantas apakah di tahun 2020 ini, mengingat ada cobaan Covid-19 yang memperlihatkan seberapa tanggap kah segenap elemen pemerintah, swasta, dan masyarakat dapat menjadikan persoalan terkait dengan logistik dan rantai pasok bisa lebih efisien atau lebih buruk?

Mengingat untuk penanganan Covid-19 ini bukan hanya pada pra- nya saja, tapi juga paska-. Penanganan pra- membutuhkan impor yang cukup banyak dari negara-negara produsen alkes atau obat-obat yang disinyalir dapat menekan agresivitas virus corona dalam tubuh. Dengan begitu membutuhkan penanganan yang ekstra hati-hati karena peralatan alkes kebanyakan harus sangat steril, mudah pecah, tidak bisa dipegang-pegang sembarangan dan lain sebagainya. Ketika paska-pemberian penanganan kepada pasien PDP juga perlu proses handling yang tidak kalah baik. Alat-alat yang sudah dipakai tentu tidak bisa dibuang sembarangan, tidak bisa didaur ulang sembarangan, butuh unit-unit khusus yang memiliki standar-standar tertentu tentunya.

Belum lagi kenyataan di mana beberapa daerah sudah melakukan lockdown lokal di beberapa daerah seperti di Tegal https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4950303/walkot-tegal-terapkan-local-lockdown-sejumlah-jalan-ditutup, maupun di Kalimantan Timur yang entah bagaimana perkembangannya sampai tulisan ini selesai dibuat https://news.detik.com/berita/d-4942281/cegah-corona-kaltim-terapkan-local-lockdown-selama-2-pekan. Artinya, peran alur logistik dan rantai pasok yang paripurna lah yang memang bisa menjawab keadaan-keadaan seperti ini.

Lagi-lagi, Cina berhasil melakukan lockdown di Kota Wuhan dan beberapa kota lain di Provinsi Hubei karena memang kota tersebut bukanlah kota yang utama seperti Jakarta.  Sebelum wabah Covid-19 dari Wuhan merembet ke kota-kota utama lainnya, pemberlakuan karantina kota dan pembatasan mobilitas masyarakat sudah diterapkan di seantero negara mereka. Juga dengan penerapan distribusi logistik dan rantai pasok yang sudah cukup baik, Cina menempati posisi nomor 26 dalam peringkat Performa Logistik Internasional dari Bank Dunia https://lpi.worldbank.org/international/global. Tidak buruk untuk negara yang memiliki luas daratan sebegitu besarnya. Alhasil, dibarengi dengan kesadaran dari masyarakat yang tunduk kepada himbauan pemerintah untuk mengkarantina diri sendiri selama 14 hari, bahkan mereka rela tidak merayakan Imlek 2020, virus corona berhasil ditekan dan berhenti penyebaran domestiknya dari beberapa hari yang lalu.

Ketidakmandirian industri kesehatan nasional bisa dilihat dari kenyataan bahwa 90% dari bahan baku industri farmasi masih merupakan impor, menurut artikel https://bali.bisnis.com/read/20190425/538/915368/industri-alat-kesehatan-dalam-negeri-semakin-mandiri. Sekalipun ada 200 perusahaan farmasi di Indonesia https://ekonomi.bisnis.com/read/20191014/9/1158650/investasi-industri-alkes-dan-farmasi-naik-signifikan. Keadaan ini harus dirubah dan ditingkatkan. Dengan 260 juta (sensus 2010) populasi, tentu saja keberadaan obat-obatan yang terjangkau harus menjadi jaminan. Tentu saja hal tersebut bisa dicapai salah satunya meminimalisir impor bahan baku tadi. Pihak pelaku usaha harus bisa mengkonversi aktivitas usaha mereka sehingga lama-kelamaan akan bisa mengadakan bahan baku industri farmasi, alkes, dan lainnya yang relevan di angka katakanlah 50%. Penargetan ini juga harus jelas dan tegas. Butuh keinginan politik (political will) yang kuat dari Eksekutif maupun Legislatif.

Terma kapasitas produksi cadangan dan ‘business as usual’ tentu saja tidak berjalan beriringan. Dengan penerapan ‘business as usual’, tentu saja hanya berpaku pada proyeksi-proyeksi sempit. Ya bisa jadi hanya karena CAGR, atau dipikirnya tidak ada hambatan-hambatan (impediments) yang terlalu signifikan seperti tarif, penyebab terjadi nya bencana, wabah, dan lainnya. Padahal menurut https://www.cekindo.com/id/sektor/peralatan-medis sendiri, CAGR untuk peralatan medis adalah sekitar 16,7% untuk tahun 2013-2018. Namun, itu nampaknya belum cukup seksi bagi kalangan investor untuk mencoba mengalirkan investasi demi munculnya perusahaan alkes lokal yang berskala lebih besar. Importasi alkes tentunya menjadi pilihan favorit ketimbang mempertimbangkan investasi dari nol untuk memenuhi TKDN yang optimal. Masih dari https://www.cekindo.com/id/sektor/peralatan-medis mengatakan bahwa total nilai peralatan medis impor diperkirakan mencapai IDR 28.4 triliun (USD 2,030 juta) pada tahun 2018. Berdasarkan artikel https://bali.bisnis.com/read/20190425/538/915368/industri-alat-kesehatan-dalam-negeri-semakin-mandiri Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto menyebutkan industri farmasi masih mengimpor bahan baku obat hingga 4 miliar Dolar AS dan dalam bentuk obat jadi mencapai 800 juta Dolar AS per tahun. Ironi sekali ya.

Saya sendiri tentunya bukan ahli atau peneliti ekonomi yang bisa menjadi rujukan. Tapi kalau lah kita bisa jadikan paradigma kegentingan ini untuk dibaca sebelum waktu kejadian, maka kapasitas produksi cadangan salah satunya bisa menjadi jawabannya. Dalam tulisan di https://ceopedia.org/index.php/Production_reserve atau jurnal ilmiah di https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/0925527395001018 dibahas mengenai ini. Hal tersebut menjadi penting khususnya saat ledakan Covid-19 ini, yaitu kepada kalangan yang sebenarnya sangat butuh alkes atau perlengkapan terkait kesehatan seperti masker, hand sanitizer, alkohol 70%, alcohol swab, dan lain sebagainya, harus menurut pada hukum pasar di mana banyak pelaku usaha, apalagi online, yang menggerek unit price sampai pada besaran yang membuat semua orang bergeleng. Walaupun misalnya Tokopedia sudah memutuskan untuk menutup ribuan toko online yang disinyalir sembarangan menggerek harga, begitu pun dengan beberapa platform toko daring lainnya.

Lantas, kini masyarakat dihadapi dengan kenyataan bahwa yang sedang terjadi adalah paduan dari beberapa formula kelimpungan penanganan kebencanaan yang sama-sama dirasakan. Hal itu tidak berhenti dengan menggilanya nilai tukar USD terhadap IDR yang sempat menyentuh angka Rp 17.000.

Langkah-langkah praktis kesiapsiagaan sektor industri dalam perubahan dan ketidakpastian iklim ini paling tidak dapat dilakukan pendekatan-pendekatan seperti:

  1. Walaupun SDGs adalah sesuatu yang non-binding, namun, peran pemerintah untuk bisa menurunkan kebijakan-kebijakan tertentu di masa-masa genting, paling tidak dapat mengarahkan perusahaan-perusahaan yang berkemampuan untuk menambah skala produksi, melakukan konversi dan diversifikasi produk secara cepat, yang berorientasi kepada pencegahan dan mitigasi kebencanaan di lain waktu. Sebagai pemaparan awal, dalam dokumen Kertas Kebijakan (Policy Paper) https://www.sdg2030indonesia.org/an-component/media/upload-book/Briefing_paper_No_1_SDGS_-2016-Meila_Sekar.pdf sudah cukup menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan SDGs dan konsekuensi nya terhadap ekonomi dan bisnis. Sehingga, dimulai dari dokumen ini saja perusahaan-perusahaan yang utamanya bergerak di bidang yang berhubungan dengan pencegahan dan mitigasi bencana, dapat menyesuaikan secara riil. Sebagai contoh, di Amerika Serikat mereka memiliki yang dinamakan Defence Production Act, yaitu suatu perangkat setara Undang-undang mengenai peningkatan skala produksi atau pengkonversian jenis produksi yang dapat direalisasikan untuk menghadapi situasi-situasi darurat seperti perang, bencana alam, maupun wabah seperti yang sekarang dengan melanda Bumi ini. Namun, di dalam DPA ini juga bukan berarti tidak ada hambatan dan tantangan, https://www.youtube.com/watch?v=2fdckX5Cik4 CNBC AS membahas mengenai kondisi kedaruratan ini dengan hubungannya terhadap skala produksi ventilator atau alat bantu bernapas. Banyak hal mulai dari bahan baku, distribusi, pekerja yang akan terdistribusi ulang, peraturan kualitas produk, penyebaran kepada titik-titik lokasi, harga retail yang cukup tinggi untuk ventilator, dan lain sebagainya.
  2. Pengarusutamaan SDGs terhadap dunia bisnis, sehingga lebih banyak lagi perusahaan/pelaku usaha yang berperan aktif memenuhi elemen-elemen pokok atau batas minimum skema tersebut. Katakanlah kejadian Covid-19 ini dihitung sebagai titik balik bagi acuhnya dunia usaha di Indonesia untuk serius menyesuaikan diri kedepannya guna menghadapi segenap tantangan yang berkenaan dengan kebencanaan alam dan non alam. Misalnya saja tahun 2021-2023 adalah tahun di mana pengarusutamaan itu terjadi di kalangan industri di Indonesia.
  3. Sosialisasi hal-hal yang berhubungan dengan adaptasi situasi terkait perubahan iklim, dan penanganan situasi kegentingan kepada semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat yang kemungkinan besar terkena dampak baik atau buruk terhadap perubahan-perubahan yang akan dilakukan. Perubahan semisal ditambahnya kapasitas produksi memungkinkan suatu usaha untuk menambah jam lembur pegawai atau buruh pabrik, atau pengadaan/pemberian pekerjaan di waktu sementara paling tidak selama status KLB atau situasi kegentingan telah selesai, sesuai dengan arahan pemerintah.
  4. Melakukan simulasi-simulasi kebencanaan alam maupun non alam yang dipraktekkan pada tempat-tempat kerja yang memiliki konsentrasi pekerja yang banyak seperti pabrik, lokasi wisata, dan lain sebagainya. Kegagapan pemerintah sebagai regulator ditambah berat dengan kenyataan dari dunia usaha yang berapa persen sih yang siap dengan konsep Work From Home (WFH)? Kecuali lini industri yang tidak bisa tanpa kehadiran manusia, sejatinya paling tidak di kota-kota besar di Indonesia, industri semacam keuangan, konsultansi, pendidikan swasta, dan lainnya bisa dijalankan tanpa kehadiran fisik, difasilitasi oleh kemajuan teknologi yang sekarang ini banyak dipakai. Bahkan banyak sekali perusahaan yang tidak memberikan status paid-leave kepada para pegawai yang terpaksa harus diliburkan guna menekan penyebaran virus corona ini.
  5. Pelibatan para ilmuwan ke dalam jajaran Komisaris di perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan dan penanganan/pencegahan kebencanaan alam maupun non-alam. Sehingga ketika sudah berada pada jajaran yang cukup berpengaruh, para ilmuwan dapat memberikan reorientasi Misi perusahaan terhadap perubahan-perubahan yang cepat setiap harinya kepada segenap Direktur. Dengan peletakan posisi Komisaris untuk ilmuwan juga dapat mendorong terbentuknya harmoni Triple Helix antara Swasta, Perguruan Tinggi, juga Pemerintah.

Mudah-mudahan momentum ledakan (outbreak) Covid-19 ini betul-betul bisa menjadi pembuka mata, hati, dan pikiran untuk bersama-sama menemukan solusi yang cermat untuk Bangsa Indonesia agar bisa lebih berdikari, khususnya dalam bidang industri kesehatan nasional yang tahan banting, tahan krisis di saat-saat genting. Amin.

Leave a comment