Ulasan Super Lengkap Bahasa Mandarin untuk Pemula (akan terbarui seiring waktu)

Penulis akui tulisan ini cukup panjang, yaitu sekitar 18 halaman pada Word.

Bahasan-bahasan yang tertulis di sini antara lain mengenai 1) Sejarah dan Duduk Perkara Bahasa Mandarin, 2) Kenapa Capek-capek Belajar Mandarin Sih? 3) Mengenai HSK dan Aksara, 4) Kemudahan dalam Mempelajari Bahasa Mandarin, 5) Hal-hal yang Menghambat Bisa ber-Bahasa Mandarin, dan 6) Kesimpulan.

Sejarah dan Duduk Perkara Bahasa Mandarin

Bahasa Mandarin sejatinya bukanlah seperti apa yang kita ketahui dalam masa-masa modern ini. Pada sejarahnya Bahasa Mandarin memiliki banyak perubahan dan penyesuaian. Banyak sumber-sumber yang bisa kita cari secara online ataupun literatur, bahwa Bahasa Mandarin tadinya ditulis berdasarkan kebutuhan awal-awal kebudayaan masyarakat yang menempati wilayah RRT. Ketika masih dalam masa awal peradaban, di mana kertas belum ditemukan, penulisan Bahasa Mandarin pada masa itu masih berupa benar-benar guratan simbol sederhana.

Guratan-guratan simbol sederhana itu disebut juga sebagai (jiǎ)()(wén),yang artinya tulisan-tulisan yang terbentuk pada tulang-tulang hewan dan bahkan tempurung kura-kura. Mungkin pada awal mula peradaban di wilayah RRT mereka mencoba menggunakan bambu atau benda-benda lain yang berbasis tanaman. Namun, karena daya tahan dari tanaman tidaklah lama, maka penulisan tersebut banyak ditemukan di tulang-belulang hewan. Setelah itu, Bahasa Mandarin kuno memiliki banyak penyesuaian yang terjadi, seperti pengenalan guratan ()(zhuàn) dan (xiǎo)(zhuàn)。Yang kemudian pada akhirnya berkembang menjadi (kǎi)(shū) yang dikenal sebagai Traditional Mandarin, lalu pada tahun 1964 RRT mulai mengadopsi Simplified Mandarin, yang sampai saat ini digunakan di negara RRT.

Artikel penjelasan mengenai guratan (jiǎ)()(wén)dapat disimak di artikel Baidu (Google nya RRT): https://baike.baidu.com/item/%E7%94%B2%E9%AA%A8%E6%96%87/16914. Banyak artikel dari Wikipedia juga bisa kita simak mengenai hal-hal yang berkenaan dengan detil perjalanan (hàn)() https://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_characters.

Bahasa Mandarin bisa dibilang adalah bahasanya orang (hàn),oleh karena itu Bahasa Mandarin memiliki arti (hàn)()。Siapa itu orang Han atau suku Han? Yaitu adalah suku yang memiliki populasi sekitar 92% dari total populasi RRT. Memang, duduk perkara penggunaan bahasa orang (hàn) di sini jauh berbeda dengan kondisi kita di Indonesia yang memutuskan untuk menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa kesatuan, dan lain sebagainya setelah terjadinya momen Sumpah Pemuda. Namun, dalam Bahasa Mandarin sederhananya penentuan bahasa nasional ditentukan dari populasi terbanyak.

Tentu penentuan ini juga dikarenakan dulu ada Dinasti Han yang berkuasa di daerah wilayah RRT seperti yang kita ketahui saat modern ini https://en.wikipedia.org/wiki/Han_dynasty.

Nah, dalam perjalanannya ada 2 wilayah lain yaitu Hong Kong dan Taiwan yang tidak menggunakan Mandarin Sederhana. Hal ini tentu terkait dengan perjalanan sejarah kawasan Asia Timur dengan RRT sebagai episentrum nya. Singkatnya Hong Kong dulu adalah wilayah boneka dari penjajahan Britania Raya, sehingga ketika berdiri negara RRT di tahun 1949, Hong Kong memang masih dalam posisi penguasaan Britania Raya. Yang pada akhirnya pada Deklarasi Gabungan RRT-Britania Raya https://en.wikipedia.org/wiki/Sino-British_Joint_Declaration, Britania Raya menyepakati akan menyerahkan wilayah Hong Kong yang dijadikan bonekanya itu, di tahun 1997 (catatan, ini sudah zaman modern, tetapi Britania Raya masih menjajah).

Untuk Taiwan sendiri, kisah nya akan lebih panjang lagi. Karena sebelum adanya negara yang dinamakan RRT yang memiliki tokoh-tokoh kunci antara lain 毛泽东 dan 邓小平 ,pada tahun 1912 – 1949 ada negara yang bernama Republik Tiongkok atau Republic of China. Republic of China https://en.wikipedia.org/wiki/Republic_of_China_(1912%E2%80%931949)ini memiliki tokoh-tokoh kunci antara lain Dr Sun Yat-Sen, Chiang Kai-Sek, dan Yuan Shi-Kai. Namun, karena penjajahan Jepang selama periode Perang Dunia II, pergolakan internal, dan luasan wilayah RT yang terlampau luas dan tidak terkelola dengan baik, gerakan Marxist yang diprakarsai oleh Mao dan kawan-kawan nya berhasil merebut kekuasaan. Sehingga pada akhirnya tokoh-tokoh kunci modern dari Republik Tiongkok harus hengkang ke Pulau Formosa yang saat ini dikenal sebagai Taiwan.

Sehingga, kembali ke duduk perkara bahwasanya Hong Kong dan Taiwan memiliki “kekusutan” atau dinamika sejarah yang sedemikian rumit dan panjang, maka dalam hal penggunaan Bahasa Mandarin, hanya wilayah RRT daratan saja lah yang menggunakan Mandarin Sederhana.

Lalu, kalau bahasa-bahasa yang dipakai oleh orang-orang keturunuan Tionghoa, itu bahasa apa? Bermacam-macam, ada Bahasa Mandarin, ada Bahasa Hokkien, Diaochu, Kek, dll dsb. Posisi nya mirip dengan bahasa-bahasa Nusantara yang bermacam-macam.

Posisi penulis memang bukan sejarawan, tetapi, dari pengalaman selama 5 tahun studi dan bekerja di RRT, mempelajari Bahasa Mandarin dan berada di negara nya langsung, seakan kita sedang masuk ke dalam buku sejarah yang mungkin kita mengenal sejarah RRT sejak di bangku SMP. Dalam hal ini saya mengagumi buku-buku karya Koh Andri Wang yang banyak beredar di toko-toko buku yang menjelaskan sejarah RRT dari A sampai Z, lengkap.

Kenapa Capek-capek Belajar Mandarin Sih?

Argumen ini tentu akan kita miliki bilamana why dari proses kehidupan kita tidak pernah terjawab. Dalam hal ini, mempelajari sesuatu adalah bagian dari kehidupan, bukan?

Mungkin kalau kita sejak umur 5 tahun sudah bisa berpikir kritis, mungkin bisa banyak orang yang merasa tidak perlu untuk masuk SD sampai SMA, capek bukan sekolah lama-lama?

Okelah bagian perdebatan soal sekolah nya kita skip.

Tentu kalau kita mau mencari-cari alasan Kenapa belajar Bahasa Mandarin, maka kita akan bisa menemukan puluhan mungkin ratusan alasan. Namun, dalam hal ini kita mungkin akan lebih banyak membahas alasan-alasan yang praktikal, tidak perlu berputar-putar sendiri.

Pertama, alasan karir dan pekerjaan. Dalam hal ini Bahasa Mandarin merupakan bahasa yang memiliki relevansi tinggi. Posisi Indonesia terletak secara geografis masih dalam satu benua dengan RRT. Sehingga, dalam hal ini orang-orang Indonesia akan relevan mempelajari Bahasa Mandarin, tidak seperti misalnya kita orang Swiss mempelajari Bahasa Mandarin, relevansi dari segi letak geografis nya berbeda.

Dalam karir dan pekerjaan, kita sama-sama mengetahui bahwa RRT merupakan negara yang besar, dengan begitu hubungan antarmanusia yang berkaitan dengan pekerjaan, penugasan, kerja sama ekonomi dan non-ekonomi, tentu akan memiliki dampak akan permintaan SDM yang menguasai tidak hanya kemampuan teknis, namun juga kemampuan berbahasa yang baik.

Salah satu mengapa isu TKA asal RRT ini sangat menjadi problematis adalah karena di tingkat kualitas SDM yang paham teknis konstruksi, distribusi, logistik, dan lain sebagainya pada awalnya memandang Bahasa Mandarin sebagai bahasa kelas paria. Alhasil, ketika ada proyek pembangunan yang memang sedang banyak-banyaknya, kebutuhan tadi tidak ketemu. Lalu, salahkan siapa kalau sudah begini?

Pun, mohon maaf, rekan-rekan jurnalis juga sering sekali tidak memiliki proporsionalitas pemberitaan, bahkan sering kali salah dalam mengobjektivikasi. Salah satunya adalah karena rekan-rekan jurnalis seringnya hanya menterjemahkan artikel-artikel dari kantor-kantor berita yang notabenenya memiliki kanal dalam Bahasa Inggris, terutama untuk berita-berita mancanegara. Sehingga, ketika sedikit saja ada isu mengenai RRT, tidak ada lagi proses objektivikasi, dalam artian peliput dan editor memiliki kekurangan dalam memahami Bahasa Mandarin tadi. Kalau saja proporsi jurnalis dengan kemampuan berbagai macam bahasa, baik itu Bahasa Inggris, Mandarin, Rusia, Spanyol, Arab, Swahili, Perancis, dan lain sebagainya, niscaya pemberitaan-pemberitaan yang berkaitan dengan mancanegara akan lebih objektif.

RRT sendiri pun dalam konteks ini, CCTV (China Central Television) yang merupakan kanal berita dan saluran media di RRT yang paling besar, mereka memiliki banyak versi kanal dalam banyak bahasa. Oleh karena itu, di satu sisi mereka bisa menyuarakan berita dalam ke luar serta menyaring berita dari luar ke dalam secara lebih objektif. Tapi itu ya urusannya sudah beda, karena mengenai jurnalisme.

Itu tadi baru soal TKA, yang memang saban ramai kalau masuk berita. Apalagi hal-hal yang esensial lainnya yang menuntut lebih banyak lagi individu di Indonesia untuk bisa menguasai banyak bahasa, salah satunya Bahasa Mandarin. Misalnya saja yang berkenaan dengan pandemi Covid-19 ketika tulisan ini dibuat. Dengan adanya kerja sama vaksin antara Sinovac dan Bio Farma, hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat baik guna meningkatkan kapasitas Bio Farma sehingga semakin diperhitungkan di kancah global. Tapi misalnya dalam konteks ini, apabila kedepannya dituntut bahwa belajar Bahasa Rusia adalah salah satu gerbang kemajuan, maka mau tidak mau kita harus memaksakan diri untuk bisa berkompetisi secara global dalam penguasaan kemampuan bahasa tadi.

Hal-hal seperti diplomasi, keamanan dan pertahanan, perdagangan, transportasi, ataupun kerja-kerja sama lain di berbagai bidang menuntut adanya penguasaan bahasa guna mempermudah aplikasi kerja sama dalam konteks yang lebih cengli lagi.

Cengli dalam artian bebasnya adalah pemanfaatan sebesar-besarnya.

Tidak seimbangnya antara fantasi, keinginan, inferiority complex, dan kenyataan riil di lapangan membuat ketidaksesuaian kebutuhan SDM Indonesia atas hal-hal yang berhubungan dengan RRT carut-marut. Padahal ilmu adalah sesuatu yang egaliter. Kita sebagai Bangsa yang pernah ‘dijajah’ oleh VOC dan Belanda selama 350 tahun merasa bahwa sudah sepantasnya kita ‘menjajah’ balik Eropa. Kita kuasai itu bahasa-bahasa negara-negara Eropa, namun ketika kembali ke Indonesia baru kemudian sadar bahwa pada akhirnya secara riil di lapangan skill tersebut tidak berguna. Titik.

Kedua, alasan kebutuhan lanjut studi. Dengan banyaknya bentuk beasiswa baik itu yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia maupun pemerintah RRT dengan skema nya sendiri-sendiri membuat RRT merupakan suatu tujuan studi lanjut, walaupun tentu bukan yang favorit di Indonesia.

Namun, menurut website Kementerian Pendidikan RRT, http://www.moe.gov.cn/jyb_xwfb/gzdt_gzdt/s5987/201904/t20190412_377692.html, 按国别排序前(ànguóbiépáixùqián)15(míng)韩国(hánguó)50,600(rén)泰国(tàiguó)28,608(rén)巴基斯坦(bājīsītǎn)28,023(rén)印度(yìndù)23,198(rén)美国(měiguó)20,996(rén)俄罗斯(éluósī)19,239(rén)印度尼西亚(yìndùníxīyà)15,050(rén)老挝(lǎowō)14,645(rén)日本(rìběn)14,230(rén)哈萨克斯坦(hāsàkèsītǎn)11,784(rén)越南(yuènán)11,299(rén)孟加拉(mèngjiālā)10,735(rén)()(guó)10,695(rén)(měng)()10,158(rén)()(lái)西()()9,479(rén)。 Nah, kan, bingung kan? Jangan.

Deskripsi di atas adalah kutipan dari halaman website resmi pemerintah RRT yang menggambarkan data jumlah mahasiswa/i asing yang sedang melakukan studi di RRT. Negara dengan urutan teratas (bold pertama) dengan jumlah pelajar yang mencapai 50.600 orang adalah Korea Selatan. Wah? Bohong ini! Ya terserah, datanya begitu.

Barulah Indonesia ada pada urutan ke 7 dari 15 negara yang disebutkan pada kutipan di atas. Data yang dirilis pada akhir tahun 2019 menunjukkan jumlah pelajar tahun 2018, mungkin sudah berbeda ya secara kuantitas. Namun pelajar Indonesia di tahun 2018 menurut data tersebut ada 15.050 orang yang tentu berasal dari berbagai macam kalangan dan daerah.

Secara urutan, oke, Korsel sudah ya, selanjutnya adalah Thailand, Pakistan, India, Amerika Serikat, Rusia, Indonesia, Laos, Jepang, Khazakstan, Vietnam, Bangladesh, Perancis, Mongolia, dan yang terakhir adalah Malaysia.

Jadi kita bisa bayangkan betapa bahwa SDM Indonesia, khususnya generasi muda adalah ‘generasi korban iklan’. Dipikirnya kalau ke suatu negara itu keren karena bisa dance, cowok nya ganteng-ganteng, ceweknya sexy-sexy, padahal ga juga tuh bisa dapat pasangan orang sana, hahaha. Jahad ya.

SDM Indonesia harus sadar bahwa sebagai Bangsa yang pernah dijajah, bukan berarti kita harus balik “menjajah”, justru itulah kebodohan yang hakiki karena kita masih memiliki dendam. Selain itu pola ‘menguasai’ sesuatu (posesif kalo istilah orang pacaran) adalah hal yang sangat di-endorse di setiap lini kehidupan orang Indonesia, tidak percaya? Mari mulai dari keluarga sendiri, he he he.

Sehingga, ketika dalam hubungannya terkait dengan alasan Pertama, lalu kita masih belum bisa menyadari bahwa kita salah langkah, padahal yang disebut Oppa-oppa itu mereka ada sekian banyak jumlah nya di RRT sedang menempuh studi, lantas kenapa kita ke Korsel? Lol kan.

Janganlah kita menjadi generasi korban iklan (falsely advertised), korban sosmed, yang semuanya itu dilihat hanya yang glamor, hanya yang berupa polesan make-up, pengaturan koreografi, dan lain sebagainya yang penggunaannya hanya sesaat. Ketika di bidang pekerjaan, apakah terpakai? No. Iya, sedikit.

Jadi, kembali lagi ke why, bahwa Bahasa Mandarin bisa digunakan untuk mempersiapkan studi lanjut serta merta karena kepedulian kita akan masa depan kita. Tidak apa-apa punya hobi yang selangit dan sebanyak apapun itu. Tapi kita perlu ingat bahwa masa depan itu konkret dan tidak menunggu alasan-alasan kita yang aneh dan bermacam-macam itu.

Ketiga, alasan pergaulan internasional. Dengan besarnya populasi RRT sudah barang tentu menjadi indikasi bahwa keberadaan individu WN RRT bisa ditemukan lebih banyak di seluruh dunia dibandingkan dengan orang Indonesia, misalnya. Belum lagi ditambah data di poin Kedua tadi, yang menjadikan penutur Mandarin tidaklah kelihatan hanya orang yang berparas Asia sipit-sipit begitu.

Apalagi kembali membahas mengenai posisi Indonesia yang sangat strategis di Asia Pasifik ini, menjadikan trafik atau mobilisasi manusia yang berasal dari beragam negara bisa ditemukan di Indonesia untuk berbagai macam keperluan mobilisasi masing-masing.

Skup pergaulan internasional ini memang tidak akan dirasakan oleh orang-orang yang berpikiran sempit. Dengan luasnya dunia yang telah dikaruniai oleh Allah SWT ini, niscaya banyak sekali tempat yang bisa kita kunjungi, banyak sekali manusia yang bisa kita kenali, dan lain sebagainya.

Keberadaan kita sebagai manusia modern tak bisa luput dari peran teknologi yang membuat hal yang berkenaan dengan pergaulan internasional ini menjadi sesuatu yang sempit. Dan Bahasa Mandarin tentu sangat bisa menunjang ‘why’ poin Ketiga ini.

Keempat, alasan jati diri Bangsa Indonesia. Kembali ke sejarah Bangsa Indonesia dulu, penguasaan bahasa adalah merupakan salah satu dari kunci sukses Kemerdekaan Indonesia, iya dong. Bung Karno sendiri menguasai 5 bahasa asing https://squline.com/5-tokoh-indonesia-ini-jenius-dan-cakap-dalam-berbagai-bahasa-asing/, bayangkan kalau Bung Karno tidak menguasai bahasa sebagai alat pergaulan seperti itu, niscaya Founding Fathers kita yang lain juga akan kerepotan “mempromosikan” Indonesia yang waktu itu pun posisinya baru merdeka dan belum memiliki kedaulatan.

Begitupun para ulama, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh perjuangan lain di masa lampau Bangsa Indonesia. Sehingga, penguasaan bahasa adalah sesuatu yang sudah menjadi jati diri kita.

Okelah kita memiliki penguasaan bahasa daerah, tapi cukup ada pada poin pelestarian, agar produk kebudayaan kita terus ada. Namun, untuk hal-hal yang sudah dijelaskan dari ‘why’ Pertama hingga Ketiga, penguasaan bahasa daerah agaknya memiliki fungsionalitas yang sudah kurang saat ini.

Dengan asal-usul suku dan etnis, terkadang kita suka berpikir chauvinis, mengedepankan ego kesukuan, padahal kalau dilihat sesungguhnya persaingan itu adanya di luar, bukan di dalam, apalagi ujung-ujungnya adalah persaingan yang tidak sehat sesama Anak Bangsa.

Terakhir, yang perlu kita ingat bahwa Bahasa HANYALAH merupakan alat, bukan hal-hal lain. Ya betul, dalam mempelajari suatu bahasa kita bisa mengetahui kebudayaan masyarakat penuturnya, namun kalau kemampuan bahasa disangkutpautkan dengan identitas, itu adalah hal yang sungguh amat teramat lebay. Apakah dengan bisa berbahasa Inggris dengan lancar lantas kita akan seketika berubah menjadi bule? Apakah dengan bisa berbahasa Perancis lantas kita akan berubah menjadi WNA Perancis? Tidak kan.

Jadi, alangkah baiknya kita jangan membawa suatu Bahasa yang hanyalah alat komunikasi kepada sesuatu yang politis. Karena isu TKA, isu Uighur, isu ideologi negara RRT, maka kita melihat bahwa ketika kita belajar Bahasa Mandarin atau melanjutkan studi ke RRT langsung ada di kubu pro pemerintah RRT atau menjadi orang RRT, sejak kapan?

Mengenai HSK dan Aksara

Bahasa Mandarin adalah suatu bahasa yang memiliki perbedaan dalam pendekatan pengajarannya. Salah satu nya adalah mengenai bagaimana pembelajar Bahasa Mandarin akan dites sesuai dengan ruang lingkup kebisaan. Dalam hal ini, Bahasa Mandarin memiliki sebutan tes yang bernama HSK ((hàn)()(shuǐ)(píng)(kǎo)(shì)), di mana pendekatan yang dimaksud adalah berbeda dengan bahasa asing lainnya yang membuat pembelajar untuk mempelajari dulu seluas-luasnya materi, baru akan dilakukan tes. Seperti yang kita ketahui, misalkan dalam Bahasa Inggris, hasil tes tersebut akan mengetes ‘sampai mana’ kemampuan kita. Berbeda dengan pendekatan HSK yang melihat pembelajar ketika mengambil tes kemampuan dengan paradigma ‘dari mana’.

Hal ini penting mengingat keinginan kita mempelajari suatu bahasa haruslah diperkuat dengan tes yang pada akhirnya akan menjadi legitimasi kemampuan kita. Dalam pendidikan Bahasa Mandarin, pembelajar akan mempelajari tingkatan HSK yang berjenjang. Sehingga ketika nanti sedang mengambil tes HSK, pembelajar cukup akan dites sampai dengan level yang dipelajarinya saja, tanpa perlu khawatir untuk mempelajari seluruh cakupan dari Bahasa Mandarin.

HSK saat ini memiliki VI tingkatan. Sebelumnya tes HSK memiliki bahkan sampai VIII tingkatan, namun telah disimplifikasi. Tingkat HSK I memiliki ruang lingkup yaitu 150 kata, sedangkan HSK II memiliki 300 kata (hanya menambah 150 kata dari HSK I), HSK III memiliki 600 kata, HSK IV memiliki 1.200 kata, HSK V memiliki 2.500 kata, dan yang paling tinggi HSK VI memiliki 5.000 kata. Dengan jenjang level seperti ini, niscaya akan lebih memperjelas pembelajar untuk memilih dan memilah sampai mana kemampuan berbahasa Mandarin yang diinginkan. Bagi kita yang bukan merupakan penutur asli (native speaker), mungkin tidak perlu mengambil HSK VI, kategori HSK V saja sudah bisa membawa kita untuk lancar berbicara, berpendapat, bahkan berdebat dengan efektif.

Bayangannya seperti ini, ketika kita sudah bisa Mandarin HSK I, bisa dibilang kita hanya akan bisa menyapa orang yang baru kita temui atau kita kenal, belum bisa berdialog secara efektif, tentu saja.

Penguasaan level HSK II akan membawa kita sedikit lebih banyak untuk berbicara, terutama ketika kita sedang ingin membeli sesuatu, atau naik taksi dan transportasi umum tanpa perlu berdiskusi banyak kepada orang lain.

Penguasaan level HSK III akan membawa kita pada kondisi ketika kita sudah menahan cukup lama (dari HSK I dan II maksudnya) untuk mengutarakan pendapat, semisal menawar harga barang di pasar tradisional, bukan di mall tentunya. Dalam proses tawar-menawar tentu ada enak-tidak enak, atau pendapat yang kita ingin utarakan mengenai kepantasan suatu produk yang kita pikir ‘kok mahal banget ya’. Nah, pada posisi ini lah kita sudah diarahkan dan diharapkan bisa berkomunikasi lebih efektif.

Penguasaan level HSK IV akan membawa kita kepada suatu kondisi kenyamanan berbicara. Di mana pada level HSK III kita akan mendapati beberapa batasan dalam berbincang secara santai kepada orang-orang dalam Bahasa Mandarin. Kita sudah bisa mengekspresikan beberapa hal seperti kaget, marah, benci, gembira, sedih, dalam uraian yang lebih kompleks dari sebelumnya. Pada momen ini kita juga sudah bisa memiliki kepercayaan diri yang lebih dari sebelumnya, sehingga ketika kita sedang bercengkrama atau dalam keadaan normal pembicaraan, kita tidak lagi ragu-ragu untuk turut ikut masuk ke dalam pembicaraan, walaupun mereka pasti bilang ‘nyamber aja lo’, hahaha.

Penguasaan HSK V akan membawa kita kepada suatu kondisi di mana kemampuan Bahasa Mandarin kita sudah bisa lebih efektif untuk digunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Seperti menjadi pegawai, mengajar, menerjemahkan dokumen, menonton film dalam Mandarin, dan lain sebagainya. Seperti penjelasan di bagian paling awal, ketika kita bisa menguasai 3.000 汉字 niscaya kita sudah akan lebih efektif berkomunikasi. Terutama, dan yang tidak kalah penting, kemampuan HSK V ini adalah untuk meladeni para supir taksi di RRT yang suka sekali mengobrol dengan penumpangnya. Dan sering kali bahwa para 师傅 itu menggunakan aksen yang kental dari daerah nya masing-masing. Nah, kemampuan HSK V juga termasuk pada kemampuan untuk mengenali penggunaan-penggunaan aksen tadi.

Penguasaan HSK VI adalah kemampuan paling mentok. Titik. Haha.

Sehingga memang, ada baiknya ketika mempelajari Bahasa Mandarin, sesuaikan dengan tingkatan HSK nya saja satu per satu. Tidak perlu langsung loncat karena yang seperti itu bukan mekanisme pendidikan Bahasa Mandarin yang sudah ditata sedemikan baiknya.

Para ahli bahasa di RRT telah menata sedemikian rupa Bahasa Mandarin sehingga dapat dengan mudah dipelajari oleh orang asing (non-RRT). Misalnya saja dengan penyematan sistematika (pīn)(yīn) yang sebelumnya tidak pernah digunakan oleh penutur asli. (pīn)(yīn) memudahkan pembelajar dari negara lain untuk mengenali cara membaca (hàn)() sehingga akan lebih mudah untuk mengingat. Hal ini serta-merta dikarenakan (hàn)() dalam Bahasa Mandarin adalah sebuah simbol, bukan abjad/alfabet. (pīn)(yīn) bisa dibilang adalah transliterasi ke dalam huruf Latin yang memudahkan penutur bahasa lain yang sudah terbiasa dengan huruf Latin untuk lebih mudah memahami (hàn)()

Berbicara mengenai (hàn)() tentu kita mengetahui ada yang disebut dengan (fán)()() dan (jiǎn)()()。Di mana kalau (fán)()()adalah aksara Mandarin lama yang saat ini penggunaannya terbatas di wilayah Taiwan ataupun Hong Kong. (fán)()() juga digunakan untuk karya-karya kaligrafi, penamaan rumah ibadah, teks atau manuskrip kuno, benda-benda antik, ataupun hal-hal lain yang sifatnya “kurang modern”. Sedangkan (jiǎn)()() sengaja diciptakan dari simplifikasi aksara lama tadi. (jiǎn)()() ini merupakan salah satu terobosan yang justru sangat memudahkan warga dunia untuk mempelajari Bahasa Mandarin secara lebih cepat. Masyarakat RRT sendiri sebetulnya tidak butuh simplifikasi aksara, karena ada unsur-unsur keindahan dan kebudayaan yang mau tidak mau terpapas dari penggunaan (hàn)() yang lebih sederhana tadi.

Namun, kita sebagai pembelajar non warga RRT, tidak lah dirasa perlu untuk terlalu mendalami (fán)()() atau perdebatan mengenai papasan unsur keindahan dan kebudayaan tadi. Cukup menggunakan Bahasa Mandarin yang ada saat ini dengan seksama supaya proses pembelajaran kita lebih maksimal.

Kemudahan dalam Mempelajari Bahasa Mandarin

What? Bohong ah. Weits, ntar dulu makanya.

Walaupun Bahasa Mandarin itu secara permukaan adalah suatu bahasa yang mendatangkan kengerian, horor, dan bikin susah tidur, tapi semakin kita mempelajari nya, semakin kita mengetahui bahwa sebenarnya Bahasa Mandarin yang seram itu memiliki hati ‘Hello Kitty’, alias tidak seseram yang dibayangkan. Untuk itulah kita belajar, menelaah, mengurai, dan mengikuti prosedur pembelajaran Bahasa Mandarin yang baik.

Pertama, kemudahan suku kata yang sedikit. Apa itu suku kata? Mungkin sebagian besar dari kita juga sudah lupa-lupa ingat. Suku kata adalah ketika kita mengucapkan satu kata, penghitungan penyebutan pembentuk kata itu lah yang disebut dengan ‘suku’ kata. Misalnya makan, yang memiliki 2 suku kata yaitu ma-kan. Misalnya lagi kinerja, yang memiliki 3 suku kata yaitu ki-ner-ja.

Untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin, pada umumnya memiliki suku kata yang banyak, apalagi misalnya Bahasa Jerman yang cukup dahsyat, bukan?

Nah, dalam Bahasa Mandarin, suku kata umumnya dibatasi secara sistematis hanya ada 2 saja, walaupun ada beberapa kata seperti (gōng)(jiāo)(chē) yang memiliki 3 suku kata itu pun karena memiliki 3 (hàn)() juga. Intinya 1 (hàn)() mewakili 1 suku kata. Dan dalam Bahasa Mandarin secara formal 1 生词 kata memiliki 2 (hàn)(), tidak sampai misalnya 5 atau lebih (hàn)() yang digunakan.

Namun, memang konsekuensi dari pembatasan suku kata yang terambil dari (hàn)() adalah banyaknya homonim dan homofon. Nah lho apalagi itu? Homonim adalah suatu kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi lafal dan ejaan sama. Sedangkan Homofon adalah adalah bila memiliki ejaan yang sama. Dan dalam hal ini memang misalnya penadaannya sama pula, tapi memiliki arti yang berbeda. Ini nanti akan terbahas di poin-poin berikut nya ya.

Kedua, walaupun ada sekitar 5.000 kata, tapi kalau sudah bisa 3.000 itu lebih dari cukup. Nah, bandingkan dengan Bahasa Indonesia, bahasa kita sendiri yang memiliki sekitar 127 ribu kosakata, dan bahkan Bahasa Inggris bisa mencapai 1 juta kosakata lho https://www.beritasatu.com/anselmus-bata/nasional/527025/bahasa-indonesia-punya-127000-kosakata-bahasa-inggris-lebih-dari-1-juta.

Hanya saja karena Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris kita lebih familiar, maka kita bisa lebih lancar menggunakannya. Ketika disebut bahwa Bahasa Mandarin memiliki 5.000 kosakata, kok kayaknya sudah angker banget gitu ya? Padahal entah kapan kita bisa menghapal dan memakai 1 juta kosakata dalam Bahasa Inggris yang sedemikian banyak itu.

Nah, dalam Bahasa Mandarin, ketika kita sudah bisa menguasai 3.000 kosakata (tanpa lupa), maka niscaya kita sudah dihitung bisa efektif berbahasa Mandarin tanpa hambatan lho. Kemampuan 3.000 kosakata ada pada kemampuan setelah kita lulus HSK V. Penjelasan mengenai HSK ada di bawah ya.

Ketiga, tidak ada sistem ‘tenses’ atau ‘jenis kelamin’ kebendaan seperti bahasa-bahasa lain yang memiliki sitematika tersebut. Ya, tidak seperti bahasa-bahasa yang memiliki tenses dan penyematan jenis kelamin, Bahasa Mandarin tidak ubahnya seperti bahasa yang kita pakai sehari-hari. Soal tenses, Bahasa Mandarin sama seperti Bahasa Indonesia yang menjelaskan posisi Keterangan Waktu ada pada bagian Keterangan (K) pada suatu kalimat. Sehingga tidak ada istilah misalnya kalau kita mengenal Bahasa Inggris yang ada perubahan regular dan irregular verbs. Bayangkan saja kosakata Bahasa Indonesia sudah begitu banyak, kalau ditambahkan dengan tenses, akan menjadi berapa banyak PR hapalan kita? Nah, dalam Bahasa Mandarin ada kemudahan di poin itu. Persis seperti penggunaan dalam Bahasa Indonesia.

Keempat, Hanzi itu sejatinya merupakan simbol, gambar, bukan kata dalam huruf Latin, sehingga banyak cara kreatif yang bisa kita gunakan untuk mempelajarinya. Masih menurut Wikipedia yang akan dengan sangat mudah kita akses, aksara Mandarin adalah susunan dari piktogram dan ideogram https://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_characters. Sederhana nya ya simbol.

Misalnya, kita tau bahwa kalau di jalan raya ada plang bertuliskan P yang dicoret, itu berarti artinya dilarang parkir, bukan? Kita semua paham kalau tanda tersebut berarti hal yang diartikannya. Begitu pula dengan Hanzi Mandarin yang pada awalnya kita akan merasa bahwa kenapa bentuk-bentuk “simbol” tersebut begitu aneh. Aneh karena kita tidak terbiasa menggunakannya, padahal dalam kehidupan sehari-hari, pembahasaan secara simbol sebetulnya dekat dengan kita, seperti contoh P yang dicoret tadi.

Namun, Bahasa Mandarin juga memiliki kemudahan untuk mengidentifikasi masing-masing arti. Ya memang kalau sudah masuk ke ranah Hanzi yang lebih sulit seperti HSK V atau VI sudah tidak tampak “simbol” nya lagi. Tapi itu tidak mengapa, toh sebelum ke level HSK V atau VI, kita sudah melalui level I-IV bukan?

Kemudahan yang dimaksud adalah misalnya Hanzi (kǒu) yang kalau diimajinasikan terlihat seperti mulut yang sedang terbuka. Karena dalam hal ini (kǒu)  memiliki salah satu arti ‘mulut’. Namun, karena dasarnya Hanzi Mandarin adalah piktogram, sehingga walaupun (kǒu)  ini terlihat adalah bentuk ‘kotak segi empat’, namun tidak memiliki arti literal sebagai bidang ‘segi empat’. Hanzi ini memiliki makna lain seperti kantong, tembok yang mengelilingi, jalan keluar, dll.

Misalnya lagi Hanzi (huǒ) kalau diimajinasikan Hanzi ini terlihat seperti api yang sedang menyala. Memang, kembali lagi ke fungsi simbol, harus pakai imajinasi. Makanya (huǒ) dalam hal ini bermakna api. Hanzi ini juga memiliki makna lain seperti terkenal atau viral.

Atau untuk Hanzi (rén) yang berarti orang atau manusia. Kalau diimajinasikan Hanzi ini terlihat seperti orang yang sedang berjalan, minus kepala dan tangan. Karena pada awalnya simbolisasi dari manusia atau orang ya seperti itu. Sedangkan apabila ada 2 orang yaitu (cóng) memiliki makna ‘dari’ (dari mana), dan apabila ada 3 orang akan menjadi Hanzi (zhòng) yang berarti massa atau fans atau masyarakat, dll.

Banyak contoh lain yang akan kita temui apabila apabila kita mempelajari Bahasa Mandarin lebih jauh. Namun, sebagai penjelasan sederhana 3contoh Hanzi tersebut mungkin sudah cukup.

Kelima, Hanzi yang terlihat rumit sesungguhnya memiliki pola. Yang dimaksud pola dalam hal ini adalah mengenai goresannya atau bentuk visual ‘piktogram’ yang disebut Hanzi dalam Bahasa Mandarin. Sebagai gambarannya, kita semua tau kalau rambu-rambu lalu lintas, apabila ada garis miring putih ( / ) yang disematkan pada suatu rambu, artinya hal tersebut dilarang, bukan? Misalkan saja kita menemukan rambu dengan huruf P yang ada garis putih nya (dicoret), artinya adalah kita tidak diperbolehkan parkir di daerah situ. Atau kalau ada rambu putar balik yang ada garis putihnya, berarti kita juga tidak diperbolehkan untuk memutar di area yang ada rambu tersebut.

Nah, ketetapan dari contoh di atas sama hal nya dalam Bahasa Mandarin. Kita mengetahui dan patuh ya di satu sisi karena akan ada sempritan dari Pak Polisi apabila kita melanggar, bukan? Tapi di satu sisi kita memahami karena kita sudah mengetahui pola nya. Begitu pula dengan Hanzi Mandarin yang sebetulnya sangat memiliki pola.

Misalkan saja dari poin Keempat di atas, ketika Hanzi (rén) bisa berubah menjadi (cóng) lalu (zhòng),inilah yang dinamakan pola. Posisi pada Hanzi bukanlah asal tempel atau asal gores, terutama pada Hanzi-hanzi yang sudah memiliki tingkat kerumitan tertentu (biasanya ditemukan pada HSK V dan VI). Misalkan lagi dari Hanzi (kǒu) yang tadinya berarti mulut, akan berubah menjadi (huí) (ada kotak kecil di dalam kotak besar) yang berarti kembali/balik/pulang, dan dapat berubah menjadi (pǐn) (susunan 3 buah (kǒu)) yang berarti barang-barang/komoditas/pernak-pernik.

Nah, sekali lagi, yang dimaksud dengan pola tadi adalah peletakan Hanzi-hanzi dasar, yang ketika digabungkan akan menjadi 1 Hanzi baru yang memiliki arti yang sudah pula berbeda. Bentuk-bentuk susunan (apabila kita sedang bermain balok atau Lego, kita akan mengerti bagaimana menyusun yang tepat) dari Hanzi tersebut ada seperti berdampingan kiri – kanan, atas – bawah, luar – dalam, atas – bawah – kiri, atas – bawah – kanan, sampai beberapa pola susunan lain yang memiliki tingkat kerumitan yang berbeda.

Namun, apabila kita berkaca pada kemajuan zaman, hal-hal yang disebutkan di atas akan semakin dipermudah dengan teknologi digital. Dalam artian Hanzi akan dirasa rumit dan menjelimet, bikin tidak bisa tidur, dsb, adalah ketika kita diharuskan untuk menulis. Tapi, saat ini terutama kita sedang mengetik atau mengoperasikan handphone, maka yang terjadi adalah kita seperti sedang betul-betul memilih simbol, berdasarkan dari (pīn)(yīn)yang kita input. Tentu saja pada dasarnya melatih untuk menulis adalah sesuatu yang mutlak adanya agar kita bisa lebih mudah untuk mengingat Hanzi yang kita ingin kuasai. Kalau hanya bermodal tuts keyboard saja, bisa dipastikan kita tidak akan ingat dengan baik.

Keenam, nada dipakai secara kontekstual, bukan tekstual. Tapi sebelum ke situ, ada sebenernya negara yang bahasanya menggunakan nada yang lebih banyak dari Bahasa Mandarin. Kalau Bahasa Mandarin ada 4, negara ini ada 6! Mungkin buat kita yang belum pernah kesana atau tidak memiliki teman dari negara tersebut pasti tidak akan menyangka. Cai khap, Bahasa Thailand khap, kopkhunkap! Hahaha. https://en.wikipedia.org/wiki/Thai_language

Nah, makanya kalau kita belum istilahnya mengetahui ada yang lebih sulit, terkadang kita ketika baca Bahasa Mandarin memiliki nada, belum apa-apa udah jiper duluan, udah ketakutan duluan, ga mau belajar lagi, kapok, dan lain sebagainya. Padahal dalam hal ini Bahasa Thai masih lebih menyeramkan! Hehe, lebay.

Nada dalam Bahasa Mandarin disematkan pada (pīn)(yīn),misalnya dalam tulisan Word ini, ada fungsi untuk mengeluarkan huruf latin kecil di atas Hanzi, itu lah yang disebut pinyin. Dalam pinyin itu, indikasi/tanda nada dibubuhkan pada vokal a, i, u, e, dan o saja. Sementara konsonan tidak pernah disematkan indikasi/tanda nada seperti misalnya bahasa Spanyol pada huruf ñ.

Terus, kalau begitu enak dong untuk yang udah pernah les nyanyi atau olah vokal buat menghapal nada Mandarin? Iya, karena sudah terbiasa membaca tanda nada, walaupun ya tidak sepenuhnya mirip.

Lanjut, jadi, dalam Bahasa Mandarin ada 4 + 1 nada. Hah? Maksudnya? Iya, jadi misalnya nada 1 yang diindikasikan pada pinyin yaitu garis rata ( – ) yang nada tersebut dibaca datar-tinggi. Sedangkan nada 2 diindikasikan pada pinyin yaitu garis menanjak ( / ) yang nada tersebut dibaca rendah kemudian meninggi. Lalu ada nada 3 diindikasikan pada pinyin yaitu garis memantul ( V ) yang nada tersebut dibaca tinggi – rendah – tinggi, seperti orang memantulkan vokal. Terus yang terakhir ada nada 4 diindikasikan pada pinyin yaitu garis menukik ( \ ) yang nada tersebut dibaca tinggi kemudian menghujam rendah. Lantas apa pula itu nada +1 nya? Nah, itu yang kita sebut sebagai ‘nada mati’, alias dalam indikasi 拼音,nada tersebut mungkin akan terlihat seperti orang yang sedang typo, karena tidak ada indikasi atau goresan atau tanda nada dari 4 yang tadi. Seperti misalnya Hanzi (de) atau (ma),yang keduanya tidak memiliki indikasi nada alias ‘nada mati’. Cuma, kalau nada +1 ini dibacanya seperti nada 4 namun hanya setengah durasi saja, alias dibaca cepat. Mudahnya memang langsung praktek ya.

Nah, dari 4+1 nada ini, kita hanya perlu menghapalkan dan melatih 3 nada saja. Yaitu nada 1 sampai nada 3. Kenapa? Karena otomatis nada +1 tadi tidak penting, itu mudah sekali dipahami, serius, ga bohong. Sedangkan nada 4 disadari atau tidak adalah “nada” yang kita gunakan ketika kita sedang berbicara Bahasa Indonesia sehari-hari. Atau mungkin Bahasa Inggris.

Nah, maksudnya bagaimana nada dipakai secara kontekstual, bukan tekstual? Beberapa poin berikut mungkin bisa membantu ya.

  1. Bahwasanya orang-orang RRT, dalam kebudayaan kuno dan modern sampai saat ini suka menjadikan segala sesuatunya formal. Dalam artian mereka paham bahwa masyarakat mereka ada dalam jumlah yang sangat besar, sehingga diperlukan gaya/pendekatan yang agar keseluruhan populasi/masyarakatnya dapat memiliki patokan yang jelas mengenai segala sesuatu, termasuk dalam urusan komunikasi.
  2. contoh pengaplikasian dari poin barusan bagaimana? Misalkan saja kalau kita yang suka Jejepangan, kita kalau sedang bilang misalkan ‘itadakimasu’, kita lantas tidak akan mengucapkan kata tersebut secara datar begitu, bukan? Misalnya kita cuma bilang i-ta-da-ki-ma-s(u). Tapi, secara riil, kata tersebut akan dibaca sebagai i-ta-da-ki-maaaaa-s(u). Nah, ilustrasi perpanjangan dari penyebutan ‘a’ dalam ‘itadakimasu’ sesungguhnya dalam Bahasa Mandarin sudah dapat disebut sebagai nada 2.
  3. Sewaktu nanti kita semua sudah bisa berbahasa Mandarin secara lancar, kita tidak akan sekonyong-konyong menghentikan pembicaraan dengan lawan bicara kita dan bilang ke dia “eh, bro, sis, ntar dulu, tadi lu bilang apa pake nada berapa sih?”. Ga mungkin dong kita bilang begini, ya kan? Betul, dalam Bahasa Mandarin banyak ditemukan homofon, dalam artian satu kata memiliki penyebutan yang sama (nadanya sama juga), tapi memiliki arti yang berbeda. Misalkan saja Hanzi (tóu) (kepala) dan (tóu) (melempar, memasukkan, dll),pada indikasi pinyin, keduanya memiliki posisi nada yang sama, bukan? Yaitu nada 2. Tapi ketika kita sedang membahas soal anatomi tubuh atau sedang mengingatkan teman kita kalau di kepalanya ada benjol, otomatis kita akan mengerti bahwa Hanzi yang dipakai dalam konteks pembicaraan tersebut adalah yang ini (tóu),bukan yang ini (tóu),ya ga?
  4. Masih berkaitan dengan poin di atas, kita sebagai non-penutur asli (non-native speaker) di mana-mana pasti memiliki pemakluman dari lawan bicara misalnya seorang penutur asli. Kenapa? Ya karena kembali lagi, kalau kita ada salah-salah pengucapan nada, kurang pas, kurang mantul, dsb, tapi kita sudah bisa menguasai misalnya 60% dari Hanzi lain dalam suatu kalimat, maka lawan bicara akan kembalikan pengertian dari obrolan/komunikasi tersebut ke dalam konteks, bukan sesuai dengan apa yang keluar dari mulut kita semata.

Ketujuh, pola grammar atau Tata Bahasa nya tidak jauh berbeda dari Bahasa Indonesia. Ya, ini ga bercanda. Mari kita bahas sedikit.

Dalam Bahasa Indonesia kita tidak mengenal tenses bukan? Di Bahasa Mandarin juga tidak ada. Fungsi dari tenses itu kan secara teknis lebih kepada penjelasan konteks waktu yang berhubungan dengan Kata Kerja. Nah, dalam Bahasa Indonesia dan Mandarin, posisi waktu ada pada Keterangan Waktu, bukan? Hal ini jauh lebih sederhana ketimbang harus menambah kosakata untuk menginat perubahan-perubahan verbs seperti yang kita sama-sama ketahui dalam Bahasa Inggris. Sehingga di dalam Bahasa Mandarin juga seperti yang kita ketahui. Misalnya:

Adik sedang makan nasi, dalam Bahasa Mandarin nya ()(di)(zhèng)(zài)(chī)()(fàn)

Ibu mencuci baju merah itu kemarin, dalam Bahasa Mandarin nya ()()(zuó)(tiān)()(le)()()(hóng)()(de)()(fu)

Ayah baru tiba dari Inggris pekan lalu, dalam Bahasa Mandarin nya ()(ba)(gāng)()()(xīng)()(cóng)(yīng)(guó)(huí)(lái)

Bagian-bagian yang ditebalkan di atas adalah Keterangan Waktu.

Jelas dalam Bahasa Indonesia pola yang kita pahami adalah S+P+O+K, dengan K sebagai Keterangan baik itu tempat, waktu, dan cara. Sedangkan, bila di Bahasa Mandarin, pemosisiannya adalah S+K+P+O, itu saja.

Dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Mandarin, fungsi dari Kata Keterangan benar-benar sebagai fungsi penjelas dari momen ketika Kata Kerja dilakukan. Dengan model Tata Bahasa seperti ini, niscaya akan membantu meringankan beban hapalan kosakata. Justru dalam posisi ini, penutur asli Bahasa Inggris atau Bahasa Arab akan menemukan kemudahan mempelajari Bahasa Mandarin dibandingkan bahasa mereka sendiri, dijamin.

Kedelapan, Bahasa Mandarin tidak mengenal sistematika gender. Baik itu 2 atau 3 gender seperti yang munkin akan ita temukan kalau belajar Bahasa seperti Perancis, Spanyol, Jerman, Rusia, dan lain sebagainya. Walaupun mungkin secara sejarah, penyematan gender pada sebuah kata memiliki penjelasan yang panjang, namun bisa dipastikan dalam Bahasa Mandarin, lagi-lagi karena pendekatannya adalah ‘simbol’ dan bukan ‘kata’, maka pemberlakuan gender menjadi hal yang dirasa tidak pas.

Sistematika gender merupakan hal lain yang harus diperhatikan ketika mempelajari bahasa-bahasa di atas atau bahasa lain yang belum disebutkan. Itu juga merupakan tantangan bagi kita non penutur asli, bukan?

Satu-satunya indikasi jenis kelamin dalam Bahasa Mandarin yang penulis tahu adalah pada Kata Ganti orang ‘dia’. Sama seperti Bahasa Inggris yaitu ‘he’ atau ‘she’, dalam Bahasa Mandarin dikenal () (lk.) dan () (pr.),yang berarti sama, dia. Perbedaannya hanya pada ‘Hanzi kecil’ yaitu Hanzi (rén)pada () yang mengasosiasikan ‘laki-laki’, dan Hanzi () pada () yang mengasosiasikan ‘perempuan’.

Terus terang, penulis ketika tau ada bahasa yang menyematkan jenis kelamin, wah itu sih susah banget ya, karena dengan begitu konsekuensi dari penghapalan kosakata yang harus dikuasai otomatis akan menjadi lebih banyak. Sama seperti Bahasa Indonesia yang tidak menyematkan jenis kelamin pada kebendaan atau objek apapun itu, kecuali makhluk hidup. Justru lebih mudah bukan?

Kesembilan, tidak ada jebakan bahasa slang dalam Bahasa Mandarin. Coba misalkan gini, kita punya temen bule gitu ya, terus dia belajar Bahasa Indonesia, otomatis yang akan keluar dari ucapan dia pasti kata-kata ‘saya, Anda, kamu’ dan lain sebagai nya yang sangat formal. Nah, sedangkan ketika kita dengan teman sendiri kan sudah tidak pakai lagi itu gaya bahasa formal seperti ini. Kita udah pake gue, elo, gaes, cuk, bro, cuy, cing, dll kan? Faktanya memang seperti itu. Tapi kalau kita bayangkan misalnya kita adalah orang yang sedang belajar Bahasa Indonesia, berapa banyak Kata Ganti yang harus kita pakai untuk menyebut ‘aku atau kamu’, kan ribet ya?

Nah, dalam Bahasa Mandarin, alhamdulillah banget nya itu adalah ketika kita sedang bertemu dengan Subjek, hanya ada () saya dan () kamu. Sehingga posisi dalam penggunaan keseharian kita sebagai orang Indonesia yang memiliki banyak sekali bahasa slang, itu tidak terjadi di Bahasa Mandarin. Itu pun baru dari soal gue dan elo, belum yang lain, kan?

Kesepuluh, Bahasa Mandarin tidak ada imbuhan. Hehe. Kadang-kadang kita mengira bahwa bahasa ini sulit, bahasa itu menyeramkan, bahasa yang satu lagi mustahil dipelajari. Padahal dalam bahasa yang sehari-hari kita gunakan, ada 1 elemen kebahasaan yang akan sangat menyulitkan bagi penutur asing, apalagi kalau bukan: imbuhan.

Imbuhan memang bisa juga kita temui dalam Bahasa Inggris, yaitu kita kenal dengan suffix and prefix. Namun, dalam Bahasa Indonesia, imbuhan yang kita pelajari dan dapat digunakan ada paling tidak 14 buah. Mulai dari pen-, ber-, men-, di-, ter-, se-, per-, -an, -kan, -i, dan lain sebagainya. Sehingga kalau kita juga amati bahwa dalam pengucapan Bahasa Indonesia, misalnya orang asing yang mengucapkan, maka akan kita dapati bahwa kata-kata yang terucap adalah akar kata nya, jarang sekali bahkan tidak ada yang berimbuhan, bukan? Itulah sulitnya Bahasa Indonesia, he he he.

Nah, dalam Bahasa Mandarin tidak ada hal yang seperti imbuhan ini. Misalnya pada contoh kalimat:

Ayah mempekerjakan 20 orang di toko nya, dalam Bahasa Mandarin yaitu: ()(ba)(zài)()(de)(shāng)(diàn)(pìn)(yòng)(le)20()(rén)。Nah, dalam hal ini, akar kata dari mempekerjakan adalah bekerja, dengan ditambahkan imbuhan me-…-kan. Namun, dalam Bahasa Mandarin, bekerja artinya (gōng)(zuò),namun kata yang dipakai dalam contoh di atas adalah (pìn)(yòng) yang berarti mempekerjakan, bukan bekerja.

Sehingga, poin yang ingin disampaikan adalah dalam Bahasa Mandarin, pemilihan kata lebih to the point, sehingga model imbuhan dapat dihindari. Apalagi kalau dari bahasan awal di tulisan ini, bahwa Bahasa Mandarin adalah merupakan piktogram, bukan susunan alfabetik seperti Bahasa Indonesia.

Kesebelas, Bahasa Mandarin tidak ada pelevelan pembicaraan. Apalagi kalau bukan Bahasa Jepang ya, yang disebut dengan Keigo https://www.vengaglobal.com/blog/levels-of-formality-in-japanese-and-how-to-know-when-to-use-which/. Ataupun ketika di Bahasa Jawa atau Adat Jawa ada kromo-kromo yang sekian banyak yang juga harus diketahui. Nah, di dalam Bahasa Mandarin sudah tidak lagi dikenal istilah seperti itu. Mungkin dulu iya, kaitannya dengan perjalanan sejarah dinasti-dinasti yang ada di wilayah RRT ya. Ketika Kaisar adalah yang paling tertinggi, posisi Permaisuri, Kasim, Selir, Panglima Perang, Bangsawan, Pedagang, Rakyat Jelata dll nya itu pasti diatur dengan sangat ketat.

Tapi kalau dalam Bahasa Mandarin (modern) saat ini sudah tidak ada yang seperti itu.

Hanya ada satu yang akan kita pakai sebagai pengecualian. Yaitu dalam Kata Ganti orang pertama ‘kamu’ yang kalau di Bahasa Indonesia sejajar dengan penggunaan kata ‘Anda’. Kalau di Bahasa Mandarin, penggunaan () jamak ditujukan kepada orang yang sepantaran atau yang lebih muda dengan kita. Namun kalau ditujukan kepada orang yang lebih tua atau memiliki jabatan formal yang lebih tinggi dari kita (semisal Bos di kantor, pejabat, pemuka agama, dll) penggunaannya berubah menjadi (nín)。Tapi cukup sampai di situ, () akan tetap (),tidak ada Kata Ganti dari ()  dalam konteks ini.

Tapi ada suatu hal yang menarik dari perbedaan () dan (nín),yaitu ada pada penambahan (xīn)()(páng)‘Hanzi kecil’ (xīn) yang ditumpuk di bawah ()。Bisa kelihatan? Emang agak gepeng cara nulisnya, tapi itu tetap adalah Hanzi (xīn),yang artinya hati atau perasaan. Jadi dalam kebudayaan masyarakat RRT, ketika kita berbicara kepada orang yang kita hormati harus memakai (xīn) atau hati tadi.

Namun, sebenarnya ini tidak sekaku itu juga pengimplementasiannya di kehidupan sehari-hari. Katakanlah kita ()(hǎo)()() atau malu-malu ketika kita berkenalan dengan (lǎo)(shī) kita di Kampus atau di sekolah, tapi lama-kelamaan kalau kita sudah terbiasa dan kenal lebih dalam dengan (lǎo)(shī) kita itu, penggunaan (nín) akan berubah jadi ()。Karena dari perspektif (lǎo)(shī) itu sendiri dia sudah merasa tidak ada jarak. Hal yang serupa misalnya ketika di rumah, hubungan anak – orang tua harusnya kan berjarak dan ada perbedaan level ya, apalagi di Indonesia gitu, hehe. Tapi kalau di RRT si anak tidak perlu pakai kata (nín) ketika ngobrol sama orang tua mereka, cukup pake () saja, yang menunjukkan suatu keajaiban yang mungkin tidak akan terjadi, atau kalaupun ada jarang sekali, di keluarga-keluarga Indonesia. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Keduabelas, penulis menggunakan pendekatan praktis yaitu menambahkan ‘jiandan’ dalam setiap materi pengajaran. Yang dimaksud dengan jiandan ini dapat dilihat pada tulisan-tulisan lain yang ada di blog ini. Pinyin secara default diberikan warna merah, sedangkan jiandan penulis berikan warna biru pada setiap materi. Kaidah jiandan, sesuai dengan artinya ‘sederhana/praktis’, ada pada penjelasan di https://fathansembiring.wordpress.com/2017/10/16/materi-belajar-bahasa-cinamandarin/.

Penulis merasa bahwa sistematika BoPoMoFo, karena penulis juga tidak pernah mempelajari itu di Peking University, tempat penulis awalnya belajar Mandarin. Penulis awalnya belajar Mandarin sebelum berangkat ke RRT adalah melalui software bahasa jadul yang bernama Rosetta Stone. Lalu kemudian setelah ada pengumuman diterima beasiswa, lalu penulis berangkat ke Peking University untuk mengambil studi D-2 Bahasa Mandarin.

Penulis menemukan bahwa bila hanya mengandalkan pinyin, maka para peserta ajar/murid akan menebak-nebak sendiri cara penyebutan dari setiap pinyin yang ada. Karena pinyin pada dasarnya adalah transliterasi (pendefinisian) dari Hanzi menjadi huruf Latin yang dapat terbaca mudah oleh orang-orang Barat. Kenapa? Karena pada sejarahnya ya Kebijakan Pembukaan Diri (Opening Up Policy) RRT itu sendiri semata-mata agar tidak dikucilkan oleh Barat, bukan oleh serumpun nya di Asia.

Sehingga, pelafalan pinyin itu sendiri masih bisa bervariasi. Bergantung pada pengajar/tutornya. Oleh karena itu dalam hal ini penulis melakukan suatu kreasi, yang sudah pasti tidak dipakai oleh para laoshi lain, terutama yang senior, untuk kembali melakukan standarisasi pengucapan khususnya untuk lidah orang Indonesia. Karena kembali lagi ke poin-poin awal bahwa kelancaran penyampaian materi hanya akan bisa kalau secara dua arah sudah memiliki konsensus (kesepakatan) yang jelas akan materi yang disampaikan. Oleh karena itu penulis menempuh metode jiandan ini.

Namun, hal ini tetap dengan ketegasan bahwa pinyin adalah acuan baku utama yang berlaku secara internasional.

Ketigabelas, masih berhubungan dengan poin di atas, bahwasanya pinyin adalah acuan utama dalam penulisan Hanzi bagi non-penutur utama. Dalam hal ini, konteks kekiniannya adalah dengan adanya kemajuan teknologi, selayaknya pisau bermata dua. Teknologi di satu sisi sangat membantu bagi para pembelajar Bahasa Mandarin untuk lebih mudah menulis (mengetik) pada media-media elektronik seperti komputer, laptop, handphone ataupun gawai-gawai lainnya.

Dengan kemudahan pilihan Bahasa dan ‘input’ pada handphone yang kita miliki, niscaya kita bisa memaksimalkan pengaplikasian ilmu Bahasa Mandarin yang sudah kita dapat, paling tidak untuk bisa berkomunikasi virtual, seperti App yang berhubungan dengan pertemanan atau hal-hal lainnya. Dalam hal ini, masing-masing handphone memiliki Pengaturannya sendiri-sendiri terkait dengan ‘input’ pada keyboard handphone itu. Namun, untuk Bahasa Mandarin yang dimaksud pada tulisan ini, adalah Aksara Mandarin Sedernana, atau kalau dalam Bahasa Inggris namanya Simplified Chinese.

Untuk Pengaturan pada komputer atau laptop, bisa diubah di gawai masing-masing. Kalaupun ada software ringan yang biasa dipakai adalah (sōu)(gǒu)(shū)()() atau dalam Bahasa Inggris nya Sogou Input. Hanya saja kalau kita memasang Sogou di komputer/laptop kita, sering terjadi adalah muncul nya iklan-iklan pop-up, karena memang software Sogou nya kan gratis, jadi mereka harus pasang slot iklan. Namun, bagaimana pun juga, apakah memakai Pengaturan keyboard bawaan atau pihak ketiga seperti Sogou itu, semua kembali lagi ke selera masing-masing.

Sehingga, baik itu di handphone atau bukan, ketika kita misalnya ingin menulis kata ()(ba),kita bisa lihat bahwa pinyin dari Hanzi tersebut adalah baba, tanpa perlu kita istilahnya mengingat nadanya, ketika kita masukkan persis secara alfabetik berdasarkan pinyin, maka pilihan Hanzi yang ber-homofon dengan apa yang kita ketik akan muncul semua. Maka dengan demikian, kita tinggal mencocokkan saja dari pilihan Hanzi yang muncul, lalu klik Hanzi yang kita rasa sesuai dengan yang kita cari. Kalau begini caranya memang Bahasa Mandarin ya semakin terasa mirip permainan ‘mencocokkan simbol’.

Memang kalau begini caranya kekuatan kita secara visual dibutuhkan sekali. Untuk orang-orang yang memiliki kepintaran dalam bidang ini, niscaya tidak akan memiliki kesulitan untuk ‘mencocokkan simbol’ secara baik dan benar.

Namun, sisi lain dari pisau tadi, dengan kemajuan teknologi membuat kita pastinya akan jarang menulis. Padahal menulis secara ‘manual’ itu adalah salah satu cara agar kita bisa lebih mudah untuk mengingat sesuatu.

Tapi, ya yang namanya perkembangan teknologi yang sudah sangat dekat dengan kita, mau tidak mau kita mengikuti nya saja. Hal yang paling mungkin kembali lagi ke diri masing-masing menyiasati agar tidak mudah lupa Hanzi-hanzi yang sudah pernah dipelajari.

Walaupun pada prateknya, menulis tangan untuk Bahasa Mandarin pun juga sebetulnya hanya ada ketika kita sedang wawancara kerja misalnya di sebuah perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) asal RRT saja. Selain itu ketika bekerja, bermain, bersosialisasi, bergaul, dan sebagainya sudah pasti menggunakan media seperti handphone atau gawai digital lainnya.

Hal-hal yang Menghambat Bisa ber-Bahasa Mandarin

Hal yang pertama dan utama adalah bahwa kita memiliki tendensi atau kencenderungan untuk melakukan “perlawanan”. Dalam hal ini melawan bahwa Bahasa Mandarin itu adalah bahasa yang beda yang kita ga pas dengannya. Sehingga, ada reaksi di dalam pemikiran kita untuk melawan, karena kita sudah memiliki posisi terbiasa dengan pembelajaran bahasa-bahasa lain.

Kenapa sih Bahasa Mandarin pake nada, kenapa sih (hàn)() nya ribet amat, kenapa sih pake HSK ga yang lain aja, kenapa sih begini, kenapa sih begitu, dan lain sebagainya.

Biasanya, “perlawanan” ini terjadi karena beberapa hal:

  1. Sudah kadung ditakut-takuti hal-hal yang berkaitan dengan RRT dan Bahasa Mandarin tanpa terlebih dahulu mencoba. Dengan begitu, alam bawah sadar kita sudah merasa bahwa tidak ada gunanya belajar Bahasa Mandarin atau horor betapa sulitnya mekanisme pembelajaran Bahasa Mandarin yang akan dihadapi.
  2. Tidak belajar dari sumber-sumber yang tepat. Sumber yang tepat itu seperti apa? Otomatis adalah dengan melakukan kegiatan pembelajaran dengan diiringi oleh tutor atau laoshi dan materi-materi yang tepat serta terstruktur. Bukan berarti belajar otodidak itu tidak baik. Belajar otodidak itu sulit, untuk apapun, tidak semua orang bisa melewatinya. Dalam belajar otodidak, kelemahan ada pada kedisiplinan. Susah untuk menemukan setting suasana di negara kita untuk bisa berdisiplin secara individu, terutama untuk belajar. Ini fakta.
  3. Merasa bahwa diri kita sudah pintar. Misalkan saja kita sudah menguasai beberapa bahasa asing lainnya, dan ketika mencoba belajar Bahasa Mandarin, kita merasa bahwa diri kita sudah hebat kok, sudah bisa membawa karir kita secara baik, dll dsb. Nah, kalau sudah sampai pada poin ini, maka ada baiknya proses belajar tidak dilanjutkan, toh sudah pintar. Hehe.

Nah, kembali lagi ke persoalan, semakin dilawan maka tentu saja ilmu apapun tidak akan masuk ke dalam diri kita. Dalam konteks ini, mempelajari Bahasa Mandarin adalah dengan mengikuti flow, alur, sistematika. Turunkan bahu kita, selow kan nafas kita, kendor kan perut kita, jangan stress, jangan melawan, jangan berpikir macam-macam duluan. Ketika diri (fisik dan mental) kita sudah siap menerima ilmu, niscaya hakikat ilmu apapun akan lebih mudah masuk ke dalam diri kita.

Maksudnya bagaimana?

Seperti yang sedari awal coba dijelaskan, bahwa ketika kita mempelajari suatu ilmu yang baru, cobalah untuk tidak membandingkan kaidah ilmu ini dengan ilmu-ilmu yang lain yang sudah kita pelajari sebelumnya. Ilmu yang dianugerahkan kepada manusia sudah sangat luas. Niscaya kalau seluruh batang pohon menjadi pena dan air di lautan menjadi tinta nya, maka tidak akan cukup manusia mempelajari semua ilmu yang sudah dianugerahkan oleh Allah SWT, bukan?

Terima lah Bahasa Mandarin sebagai bahasa yang baru. Bahwasanya kita sedang memasuki alam yang baru, alam yang belum pernah kita pelajari sebelumnya. Bahasa Mandarin bukanlah penjajah, tidak perlu dilawan. Bahasa Mandarin adalah ilmu, titik.

Kesimpulan

Sedari awal yang coba dibahas apa sih sebenernya?

Paradigma.

Paradigma ini lah yang harus lebih dahulu kita rombak. Kita sudah tau bahwa Bahasa Mandarin adalah suatu bahasa yang baru, bukanlah sesuatu yang sulit. Sehingga kita jangan langsung mengambil kesimpulan untuk menyerah pada keadaan. Tetap berfokus pada cita-cita dan harapan awal yang kita sudah set sebelum mempelajari Bahasa Mandarin.

Paradigma mengenai Bahasa Mandarin adalah merupakan bahasa simbol, bukan alfabetik, juga merupakan salah satu perombakan paradigma yang penting.

Apabila kedua paradigma ini tidak berusaha kita atasi sedari awal, maka jangan harap kita akan bisa melalui proses pembelajaran Bahasa Mandarin ini secara lebih baik.

Sekian, semoga bermanfaat.

Leave a comment