Tips Gagal dalam Beberapa Hal

Menurut Anda, mana yang lebih penting? Mengetahui kunci-kunci kesuksesan atau mengetahui kunci-kunci kegagalan?

Apakah selama ini Anda bisa mengatakan kepada diri Anda sendiri bahwa Anda sudah sukses, sedang menuju kesuksesan, atau ya belum sukses sama sekali?

Sebetulnya apa sih yang disebut sukses? Ga ada jawabannya, bukan? Kalau di KBBI mungkin ada definisi secara makna saja, tapi belum tentu kita akan mengamininya.

Barangkali kepada rekan-rekan, termasuk saya, yang memang belum merasa diri ini meraih kesuksesan, seringkali melihat orang lain yang sukses ada pada kunci atau tips bagaimana orang-orang tersebut. Padahal, sisi lain yang ada tentunya soal kegagalan, bukan? Yang ironi nya justru banyak orang yang tidak mau mempelajari kegagalan-kegagalan orang lain secara betul. Ya karena gagal itu tidak enak dibaca, tidak enak diresapi, dan tidak enak juga dialami. Bahkan yang lebih parah, kalau kita membaca buku-buku kegagalan orang lain, bisa menjadi bawaan mimpi buruk!

Namun, apakah jangan-jangan ya memang begitu? Karena kita terlalu berfokus pada kunci-kunci sukses, sehingga ‘kunci-kunci gagal’ kita abaikan.

Saya terpikir ini bukan berarti karena saya sudah baca bukunya Elizabeth Day yang Failosophy atau How to Fail, belum sama sekali. Hanya karena kepikiran saja dan tulisan ini akan mengalir layaknya curhat dan ya silahkan untuk yang tidak suka bahasa curhat bisa close Tab. Haha.

Kalau saya masih pada keyakinan sampai saat ini tidak akan menulis buku. Karena saya pikir pengalaman, pelajaran, tips dan trik, dan lain sebagainya bukanlah sesuatu yang perlu dimonetisasi, kecuali kalau itu adalah pekerjaan kita, sebagai pembicara dll. Tapi kalau hanya bentuk tulisan sederhana, saya kira via blog masih cukup okelah.

Tujuan dari tulisan Tips Gagal ini selain untuk curhat, ya mudah-mudahan tulisan ini bukan termasuk tulisan yang gagal juga ya! Kalau iya berarti silahkan rekan-rekan belajar dari penulisan artikel ini, dan jangan melakukan hal yang sama ya! Simpel!

Saya sendiri pun berpikiran, Tips Gagal masing-masing orang itu pasti berbeda-beda. Walaupun dia ada di satu keluarga, satu Kelurahan, Kecamatan, Kota, daerah, dan lain sebagainya; kalau yang menjalani 2 orang atau lebih yang berbeda (namun menjalani kegiatan atau bisnis yang sama misalnya) pasti ada saja elemen-elemen yang menjadi faktor gagal yang tidak bisa dijelaskan.

Melihat sebuah kegagalan, banyak yang bilang bahwa ‘kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda’ atau ‘kegagalan adalah kesuksesan yang gagal’—ini dari buku betulan atau editan sih sebetulnya?

Tapi, saya pribadi melihat kegagalan ini betul-betul sebagai sebuah proses. Bahwa kalau untuk orang-orang yang percaya teori bahwa hidup ini adalah sebuah simulasi, maka ini adalah sebuah permainan yang sempurna. Tapi ya Quran juga bilang bahwa kehidupan manusia adalah permainan dan senda-gurau belaka, bukan? Dalam arti, bisa dibayangkan setiap orang ada Success Coins dan Failure Coins. Untuk mencapai keseimbangan sehingga kita bisa mencapai kesuksesan, ada 2 cara, apakah kita memperbanyak Success Coins kita, atau mengurangi Failure Coins kita sehingga diri kita terangkat untuk mencapai langit kesuksesan yang masing-masing kita ingin raih.

Saya melihatnya begitu. Dengan semakin sering saya gagal, berarti alhamdulillah. Dalam hal ini Quran juga menyebutkan bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, nalar saya ke situ, bahwa kalau kegagalan kita terus-menerus temui, artinya kita akan lebih dekat dengan kesuksesan tadi. Yang repot memang logika ketika orang-orang dengan privileges dia tiba-tiba sudah berada di puncak, kondisi tersebut yang saya takutkan.

Ketika kita tiba-tiba berada di puncak, itu adalah representasi sukses yang kita inginkan, tho? Lha bagaimana caranya kita bisa mencapai “sukses” tersebut apabila kita tidak menghabiskan Failure Coins kita terlebih dahulu. Berarti ada apa-apanya nih. Nah, hal ini lah yang banyak ditempuh oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab pada amanahnya. Dengan korupsi bansos, korupsi benur, dan lain sebagainya, bahwasanya dia merasa bahwa kesuksesan itu kalau dia bisa dapat fee dari proyek. Padahal dia tidak sendiri tidak sadar bahwa betul dia sedang sukses, tapi sukses mendekati kegagalan yang hakiki alias hotel prodeo.

Dalam arti, menurut saya nikmati saja lah kegagalan itu. Tak perlu ada yang dikhawatirkan. Bersedih iya pasti. Tapi kalau kita tarik pengalaman-pengalaman kita 10 tahun belakangan misalnya, ujung-ujungnya kita sendiri yang akan menertawai diri kita, kan? Para koruptor juga kalo 10 tahun lagi dia bebas, nanti sewaktu dia bikin podcast, dia juga udah bisa ketawa-tawa tuh soal masa hukuman dia di hotel prodeo, itu pun nyaman, kan? Hah!

Sudahlah, ga habis-habis gue bahas soal koruptor, kita sama-sama tau lah situasinya. Balik lagi ke laptop!

Oleh karena itu, bagaimana kalau kita mulai saat ini menjadi lebih dermawan untuk membagi Tips Gagal secara gratis yang dengan begitu lebih banyak orang bisa mempelajari kegagalan-kegagalan orang lain, sehingga orang lain akan meminimalisir kesalahan langkah yang ia akan ambil. Karena percuma kalau belajar kesuksesan, kan? Belum tentu bisa diterapkan. Banyak sekali faktor X nya, bukan? Ya macam-macam lah. Mulai dari yang basic: latar belakang keluarga (ekonomi, posisi, derajat, dll), latar pendidikan, akses, kesehatan fisik, kesehatan mental, dll yang kesemua itu pasti ada pengaruhnya dengan kesuksesan seseorang.

Dan, ya harapannya dengan lebih banyak orang, termasuk saya, yang bisa jujur kepada diri sendiri akan kegagalan-kegagalan yang kita alami. Dengan begitu secara luas, anggota masyarakat kita akan diisi oleh individu-individu yang tidak banyak berpretensi. Sedikit banyak kegagalan di birokrasi, terutama yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak, adalah menurut saya, karena banyak dari kalangan elit pemerintahan yang berpretensi, alias pura-pura. Pura-pura apa? Pura-pura bisa. Padahal ga bisa.

Selain masyarakat yang tidak berpretensi, mengenali kelemahan dan mengakui kegagalan yang dialami oleh diri sendiri tentunya tidak mudah untuk siapapun. Oleh karena itu, lagi-lagi kalau melihat banyak pemberitaan terkait dengan Pilkada, pencalonan legislatif, dan tentu eksekutif, banyak orang yang tidak bisa menerima kekalahan, bahkan sampai-sampai harus dirawat di RS Jiwa. Hanya saja karena memang kita tidak terbiasa untuk berdamai dengan kesalahan yang berujung pada kegagalan.

Kelemahan diri, kesalahan bertindak, dan kegagalan hasil adalah setali tiga uang yang tidak bisa dipisahkan dalam banyak kesempatan dan kejadian di hidup kita. Namun, paradoks yang ada di masyarakat adalah ketika kita mengakui kesalahan, malah tentu menjadi bulan-bulanan. Oleh karena itu mindset yang ada antara teori dan riil aplikatif di masyarakat kita sendiri saja sudah salah.

Coba saja kalau misalnya ada sekelompok anak lagi main bola, lalu bola ditendang sampai memecahkan kaca orang lain, tentu reaksi pertama kali dari kelompok anak-anak tersebut adalah kabur dari masalah. Kenapa? Karena toh kalau kesalahan tersebut mereka akui, tetap saja salah, dan menjadi bulan-bulanan limpahan kekesalan yang punya rumah. Ini lumrah. Agak bullshit lah kalau ada yang bilang tidak seperti itu, kalaupun ada, ga sampai 1 persen (se Indonesia) mungkin angka nya. Coba saja.

Sehingga, dengan begitu, sedikit banyak membuat masyarakat kita berperilaku koruptif. Dengan definisi di sini belum tentu koruptif adalah menilep uang atau bansos, tapi lebih soal perilaku kesehariannya. Berikut beberapa Tips Gagal yang bisa saya celotehkan.

 

Tips Gagal dalam Berstudi

Saya pribadi menganggap soal studi ini bukanlah bidang di mana bisa dibilang saya seorang yang nerdy apalagi pintar. Kalau bisa dilihat ke belakang dari SD – SMA, ga pernah saya mendapatkan juara. Sumpah. Saya bukan tipikal straight-A, kalo bahasa kerennya. Tentu banyak faktor ya yang kalau kita kilas balik sewaktu kita bersekolah dulu, kenapa bisa gagal banget gitu.

Jujur terus terang keluarga kami sewaktu saya bersekolah tahun 1995 – 2001 dulu tidak dalam kondisi ekonomi yang baik. Jadi banyak hal seperti sarana prasarana pendidikan ya seadanya saja. Walaupun bisa dibilang kami sekelurga bersekolah di sekolah swasta, tapi tentu kalau yang namanya belajar, pasti banyak sarana yang harus menunjang. Seperti les, kursus, dulu waktu di bangku SD mana ada saya ikut yang begitu-begituan. Kondisi agak membaik ketika saya mencapai usia SMP, yang waktu itu kebetulan sempat dimasukkan ke pesantren di Banten selama 1 tahun, tapi ditarik lagi karena orang tua tidak tega melihat anaknya kurus, kering, idup lagi!

Sewaktu SMP itu pun saya tidak merasa bahwa alam bawah sadar itu sudah menempel. Nalar belum jalan waktu itu. Dan kegiatan belajar pun ya hanya berasa sekadarnya saja.

Waktu SMA mungkin agak lebih terdorong ya, dengan banyaknya kegiatan pelatihan dan motivasi dari pihak sekolah, mungkin agak sedikit menyadari bahwa hidup itu seperti apa. Terus terang dengan kondisi yang ada, saya juga heran kenapa banyak dari rekan-rekan lain yang sepertinya masih nempel betul memori ketika mereka SD atau SMP. Kalau saya sudah lupa 99% dari alur hidup ketika SD dan SMP. Mungkin karena waktu dulu itu bukan saat-saat yang menyenangkan, sehingga alam bawah sadar saya menghapus memori-memori tak berguna. Tapi, ironinya memang pengalaman iseng nir-manfaat lah yang banyak saya inget, mungkin banyak dari kita yang juga seperti itu.

Contohnya bikin iseng ngebocorin ban tukang yang lagi renovasi sekolah, mecahin botol temen tapi ga bilang ortu takut diomelin, ngadu semut bako (semut hitam yang gede itu) pake diputusin antena nya abis itu mereka tarung sampai salah satu mati, dan lain-lain yang ga ada hubungannya sama pendidikan. Tapi, buat yang mengenal saya, juga tau bahwa ada yang lebih badung dari kita-kita tempo itu. Ha ha ha.

Namun, situasi ini cukup berubah ketika berkuliah yes. Kenapa? Karena di kehidupan berkuliah pula saya pertama kali (setelah sebelumnya sempat nyantri gagal) betulan hidup jauh dari orang tua. Waktu itu saya kuliah di Unpad Jatinangor yang tentu suasananya tidak semegah Jatinangor saat ini. Walaupun banyak informasi bahwa Jatinangor saat ini tidak ubahnya seperti kota mati, karena praktis tidak ada perkuliahan yang dijalankan, mbikin ‘Kota Pendidikan’ seperti Jatinangor mati suri. Kasihan para pedangang kecil maupun masyarakat yang hidup dari para mahasiswa/i.

Intinya, ketika hidup sendiri tersebut, walaupun awalnya ngekos bareng teman-teman dari SMA yang sama dulunya, tapi lama kelamaan banyak hal yang bisa dipelajari sendiri, diproses, dan sebagainya. Sehingga isi kepala mulai tergerak.

Tapi saya ga akan bahas panjang lebar soal ini. Hanya saja poin dari sub bahasan bahwa saya sebagai pribadi yang sudah kepala 3 ini menyadari bahwa dulu waktu masa-masa sekolah, kuliah masih mending lah, itu saya merasa gagal. Kalau melihat teman-teman lain yang juara terus, ikut lomba sana-sini, saya kok ya kayak goblok banget ya waktu itu, ngapain aja sih emangnya?

Tentu turning point kesadaran saya waktu itu adalah bahwa saya gagal dalam memilih jurusan kuliah S1 yang saya mau. Saya waktu itu memiliki ketertarikan di bidang Ilmu Hukum, Hubungan Internasional, dan Ilmu Politik. Namun, karena tipikal orang tua yang masih sangat interventif, bidang Ilmu Hukum dan Ilmu Politik ditolak. Alasan nya, untuk bidang Ilmu Hukum, adalah soal ungkapan 2 dari 3 Hakim masuk neraka. Masya Allah, siapa memang nya di sini yang ketika lulus SH atau MH akan otomatis menjadi seorang Hakim di Pengadilan? Bidang Ilmu Hukum kemudian saya tau banyak sekali penerapannya, bukan? Konyol ya?

Untuk Ilmu Politik, orang tua saya bilang bahwa ‘politik ga usah dipelajarin’. Tapi faktanya, saat ini politik praktis merupakan ‘lahan basah’, karena di Indonesia yang sangat majemuk ini, carut-marut perpolitikan praktis mulai dari politik identitas, politik dinasti, politik koruptif, dan lain sebagainya tidak pernah sepi dari pemberitaan. Dan politik praktis juga merupakan ladang penghidupan banyak UMKM di seluruh Indonesia saban ketika terjadi kontestasi pemilihan baik itu Daerah maupun Pusat.

Namun, bukan berarti saya menyesali pada akhirnya mengambil jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial sebagai pilihan ke 2 yang setelah saya gagal untuk masuk ke jurusan HI Unpad. Gagal semua, kan?

Saya merasa sangat bersyukur merupakan bagian dari alumni KS Unpad. Banyak hal yang justru saya dapatkan ketika sesudah lulus berkat ilmu, wawasan, dan pengetahuan lain yang diberikan oleh para segenap dosen di KS Unpad. Dengan itu, saya sangat bersyukur.

Nah, tidak sampai di S1 lho. Waktu itu believe it or not sekitar tahun 2008 saya berkesempatan (baca: disuruh) untuk ke Madinah, sekalian Umroh, untuk mengikuti tes/muqobalah di Universitas Islam Madinah. Sekonyong-konyong saya kaget betul. Karena waktu itu posisi saya sudah masuk S1 di Unpad, kan. Kenapa ditarik disuruh ikut tes masuk ke UIM. Bukannya engga mau, lha tapi ini ga ada persiapan apa ga ada angin ga ada ujan disuruh berangkat ke sana. Ya ga lulus lah! Wong ujiannya semua pakai Bahasa Arab, lha saya ga bisa, kok dipaksa. Ya gagal lagi! Apes. Balik deh ke Unpad. Bukan apes ke Unpadnya, tapi apes dikerjain suruh ikut muqobalah tanpa persiapan apapun!

Lanjut, sampai ke S2, saya sudah semangat untuk ambil bidang studi S2 di Ilmu HI. Karena waktu S1 saya ambil Kesos, dan saya sudah mahir Mandarin sebelum S2, nah, kalau ambil HI, saya tembaknya untuk ke superbodies macam UN Secretariat kan, keren kan? Lha ini disuruh ambil S2 bisnis. Masya Allah. Dongkol bukan main! Ini hidup siapa sih? Mau ngomong sama orang tua langsung? Hukum di Indonesia mah laknat! Ga guna ngomong langsung. Sebal.

Terus, saya lulus dari S2 MBA? Lulus lah, masa iya gagal juga. Dijalanin saja. Tapi ya begitu. Astagfirullah orang tua Indonesia ya! Menjijikkan banyak ngatur untuk urusan-urusan yang dia sendiri ga paham. Huft.

Tips nya mungkin saya lebih merefleksikan ke diri sendiri yang saat ini juga sudah menjadi ayah newbie. Saya merasakan kekurangan kehadiran orang tua dalam membimbing proses pembelajaran. Karena ya sama-sama paham lah jaman dulu itu mana ada sih pelatihan-pelatihan soal parenting, soal program-program ortu dan anak yang bisa merekatkan, atau apalah yang saat ini dengan medsos semua informasi menjadi lebih mudah.

Saya hanya berpikir bahwa dengan karunia saat ini 1 orang anak perempuan, tentu aspek pendidikan ini amatlah penting untuk dia, dan saya harus bisa hadir sebagai Bapak nya, dan memberikan terbaik. Agar tidak gagal dalam hal yang satu ini seperti Bapaknya. Apalagi terkait bagaimana orang tua saya dulu mengaturnya bukan berlandaskan objektivitas, tapi seenak udelnya saja. Saya tidak mau menjadi Bapak yang seperti itu untuk anak-anak saya nanti. Dunia saat ini sudah sangat dinamis. Saya bisa saja tulis seperti ini di blog, tapi siapa yang bisa tau 5 atau 10 tahun kedepan akan terjadi hal-hal gila apa di dunia ini? Ya kan?

 

Tips Gagal dalam Mengikuti Kompetisi

Berhubungan dengan pendidikan, tentu banyak hal yang kita kerjakan selain bersekolah atau kuliah biasa. Saya banyak mengikuti banyak perlombaan itu waktu kuliah. Karena praktis waktu kuliah, ngekos, banyak waktu yang tidak terpakai, dan selain ngehabisin uang jajan, tentu mikir gimana caranya agar bisa dapet uang jajan lagi, kan?

Banyak kompetisi desain grafis yang saya ikuti dulu sewaktu kuliah. Banyak betul. Gagal semua. Kebanyakan hanya kirim karya, tapi ga ada yang tembus. Satu pun, betul ini. Kalau dipikir-pikir ada lah 20an kompetisi selama waktu saya kuliah. Itu hitungannya banyak lho, karena waktu saya kuliah itu dulu belum ada (atau belum tau) saya yang website kerja freelance yang sekarang banyak di mana-mana. Waktu itu, walaupun sudah lancar ada internet, tapi kan informasi yang berseliweran dan inovasi-inovasi kegiatan yang bisa kita ikuti secara daring juga belum sebanyak saat ini.

Bahkan, waktu kuliah di Cina pun saya tetap coba ikuti beberapa lomba yang berkaitan dengan desain grafis, yang penyelenggaranya umumnya ada di Indonesia. Tapi ya tetap saja satu pun engga ada yang pernah menang. Gagal banget ya?

Sekali-kalinya saya pernah menang lomba desain itu waktu era Walikota Depok Pak Nurmahmudi, waktu itu ada lomba desain batik Kota Depok, itu pun saya menang urutan ke 10 dari 10 besar. What a loser.

Tapi, tips nya memang saya pahami baru setelah ketika sekarang-sekarang ini. Intinya saya waktu itu tidak fokus dan tidak betul-betul mendalami teknik desain grafis. Padahal yang namanya sebuah perlombaan desain seperti itu, banyak peserta lain yang lebih profesional, yang jam terbangnya lebih tinggi, yang memiliki pengalaman menang lomba desain yang juga pastinya lebih banyak daripada kita.

Tapi ya menyesal tidak ada guna nya sekarang. Pengalaman-pengalaman seperti ini membuat kita menjadi tau batas kemampuan kita bukan di situ. Jadi lakukan lah yang lain, cari yang kira-kira lebih optimal untuk bakat dan potensi kita. Tapi, kalau sedari awal saya tidak mencoba, saya juga ga akan tau, bukan?

Namun, namanya skill, tentu kemampuan desain grafis saya ga luntur. Paling engga untuk pekerjaan harian saat ini atau ketika mengadakan kegiatan online, untuk masalah membuat plakat, sertifikat, desain logo, sticker, sampe-sampe desain 3D untuk layout calon rumah yang lagi dicicil, bisa juga sih terhandle. Ya dengan kemampuan seadanya saja, bukan untuk menang lomba.

 

Tips Gagal dalam Memadu Kasih

Kaga lah cung, mana bakal gw tulis beginian buat konsumsi publik. Hilih! Bisa jadi LOTR berjilid-jilid!

 

Tips Gagal Berkarier di Luar Negeri

Setelah saya selesai dengan 2 tahun perkuliahan Bahasa Mandarin dan 2 tahun kuliah MBA di Beijing, RRT, tentu hal yang sangat saya inginkan adalah untuk bisa memiliki karir yang baik di Cina sana. Alhamdulillah waktu MBA saya punya pengalaman internship di 3 perusahaan, 2 perusahaan umum, 1 di law firm, di Beijing juga. Karena kalau di negara seperti Cina, WNA tidak bisa magang atau yang biasa disebut part-time kalau di negara-negara lain. Tentu hal itu dikarenakan kompetisi lapangan pekerjaan dalam negeri Cina sendiri sudah ketat untuk WN mereka sendiri. Tapi, kalau untuk mahasiswa asing, banyaknya menempuh internship. Kalau internship ini beban kerja sama, waktu kerja sama, tapi gaji hanya setengah dari yang full-timer.

Alhamdulillah saya diterima kerja di salah satu perusahaan di Kota Tianjin pada waktu itu. Kota Tianjin ini ga jauh dari Beijing. Ibaratnya jarak antara Jakarta – Bandung. Waktu itu perusahaannya bergerak di bidang offshore manufacturing. Keren kan? Mereka punya 5000 meter per segi pabrik yang disertai kantor. Produk unggulan mereka adalah platform pengeboran lepas pantai tipe jack-up rig.

Di perusahaan tersebut saya diamanahi bukan di bidang teknik tentunya. Waktu itu laoban atau bos besar marga Geng punya keinginan untuk melakukan ekspansi bisnis nya ke lini usaha lain dan ke negara lain. Tapi dari awal saya juga ga terlalu optimis soal perusahaan mereka untuk melakukan ekspansi ke luar Cina. Karena mereka belum sama sekali berpengalaman, dan pengelolaan perusahaan cenderung secara kekeluargaan. Buktinya, CFO dari perusahaan tersebut adalah adik dari Chairman. Tapi ya apa boleh buat, jenis perusahaan bermacam-macam.

Pada waktu itu saya diamanahi untuk memegang Departemen Bisnis Internasional. Tugasnya adalah mencari, mengusulkan, dan menganalisis proyek yang feasible untuk dilakukan oleh perusahaan. Tapi, ya seperti tadi yang sudah saya sampaikan, kalau perusahaan ini belum pernah melakukan investasi apapun di luar, dan banyak dari lini pimpinan perusahaan itu tidak bisa berbahasa Inggris, jadi rencana mereka itu juga agak sulit untuk direalisasikan.

Misalnya saja waktu itu tim kami mengusulkan pimpinan perusahaan untuk berinvestasi properti di Kota Vladivostok, Rusia dan di beberapa kota di Austria. Tapi waktu itu Bos bilang bahwa dia belum tertarik dan properti memiliki resiko besar. Ya iya lah resiko pasti besar mau itu bidang apapun, apalagi di luar negeri.

Lalu kami coba tawarkan lagi untuk berbisnis vila di Bali, gedung walet, sampai industri perkapalan di Indonesia. Tapi itu pun juga mereka tidak tertarik. Lalu kami coba tawarkan lagi investasi buah Maca, yaitu buah semacam aprodisiak yang bisa membantu meningkatkan vitalitas pria asal negara Peru.

Lalu, sempat ada ide untuk berinvestasi ladang minyak di Provinsi Cabinda, negara Angola. Waktu itu sempat oleh salah satu anggota tim kami, Bos besar ditemani untuk pergi ke Angola sana. Namun, karena ngeyel kalau dia tidak perlu ke sana, biar ada tim advance dulu yang mempelajari situasi, alhasil Bos besar kami Pak Geng itu trauma dengan pengalaman-pengalaman dia ketika di Angola. Saya masing ingat waktu itu rekan tim kami, Umaro asal Guinea Bissau, dia bilang kalau ketika di penginapan setempat tidak ada listrik, hanya ada ketika siang hari saja. Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Cina, di mana mati lampu mungkin hanya bisa ditemui di pelosok-pelosok hutan saja. Lalu mobil yang sempat disewa oleh rombongan mengalami mogok di tengah hutan, lalu yang paling membuat beliau jengah adalah kena palak dari para aparat setempat ketika di bandara, bahkan waktu itu sebelum beliau balik ke Cina.

Di tim yang lain, pimpinan perusahaan memutuskan untuk melakukan investasi di Australia, yaitu dengan membeli lahan dan ditanami sejenis tanaman lemon, lemon myrtle. Jenis lemon ini banyak digunakan untuk essence yang digunakan di produk-produk kecantikan. Lalu, untuk melanjutkan rencana tersebut, perusahaan berinvestasi pabrik di Jepang, tapi waktu itu saya lupa di kota mana. Rencana tersebut terlihat sangat baik dan luar biasa peluangnya. Kenapa? Karena sektor bisnis produk kecantikan memiliki peningkatan permintaan per tahun paling tidak 10% secara gross. Hal ini tentu juga kita bisa lihat sendiri. Produk kecantikan, perawatan baik itu untuk laki-laki maupun wanita, tentu tidak akan sepi peminat. Seburuk-buruknya krisis ekonomi atau pandemi seperti ini, kebutuhan untuk dandan dan tetap look good, pasti tetap menjadi kebutuhan harian, bukan?

Namun, semua berubah ketika sekitar akhir tahun 2015 harga minyak dunia merosot. Hal ini tentu sangat memukul sektor utama dari perusahaan, yaitu manufaktur untuk alat berat di bidang offshore. Banyak kontrak di mancanegara yang diputus tibat-tiba oleh para klien. Puncak dari jeleknya harga minyak dunia terjadi pada pertengahan tahun 2016.

Tidak lama ketika pertengahan tahun itu, saya melihat banyak gelagat para manajer yang merupakan WNA Cina yang mengundurkan diri. Mungkin karena combo perusahaan dikelola secara kekeluargaan, hantaman harga minyak dunia yang merosot, serta tidak ada ekspansi bisnis yang memadai, maka perusahaan ini sudah dipandang tidak lagi sehat. Oleh karena itu saya juga keluar dari perusahaan yang dulunya juga merupakan tempat saya internship selama beberapa bulan.

Saya sempat mencari kerja di Beiijng. Tapi, tidak bertahan lama, maka ya saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia waktu akhir November 2016. Di sini lah titik terendah dalam hidup saya. Karena bukan hanya merasa gagal dalam mencapai apa yang diinginkan, yaitu berkarir di Cina, di luar negeri, keren kan? Tapi juga banyak hal, termasuk soal asmara yang juga harus kandas karena saya terpaksa balik ke Indonesia.

Kembali ke Indonesia di benak saya waktu itu seakan-akan membuka kembali kotak Pandora yang saya tinggal di rumah. Banyak hal-hal yang tidak ingin saya lakukan atau tidak ingin saya perankan kembali harus saya pikul. Gundah, gelisah, kecewa, takut, semua menumpuk menjadi satu.

Anyways.

Tips nya memang kalau kita ingin bisa untuk berkarier di luar negeri, walaupun posisi kita di sana adalah sebagai seorang ekspatriat, tapi sesungguhnya posisi kita sangatlah rawan. Kenapa? Ya karena negara tersebut bukanlah negara native kita. Sehingga banyak hal yang tidak bisa kita lawan, atau kita kurang mengerti.

Kita harus melihat industri yang kita geluti ketika bekerja di luar negeri. Salahnya saya waktu itu, saya berpikir terlalu bidang manufaktur. Padahal waktu itu saya juga sempat internship selama 3 bulan di perusahaan IT yaitu Qihoo 360, yang waktu tahun-tahun 2015 beberapa tahun setelahnya produk mereka banyak dikenal di Google Play Store. Namun, entah kenapa waktu itu saya berpikiran kalau pengalaman saya di industri manufaktur yang sedang dijalani, bisa membawa saya paling tidak untuk menjadi pakar di bidang manufaktur dari segi bisnisnya. Apalagi kalau suatu saat saya pulang ke Indonesia, maka saya bisa menerapkannya. Karena di Indonesia sendiri banyak sekali peluang industri manufaktur yang sejatinya belum terkelola dengan baik, belum tersinkron dengan bidang-bidang lain, ataupun belum terkonsolidasi.

Tapi ya di situ letak kesalahannya. Saya yang baru lulusan MBA tidak menyadari akan faktor eksternal dari sebuah industri. Sungguh tidak ada lini industri yang tidak memiliki faktor eksternal signifikan yang merupakan ancaman. Kebanyakan faktor-faktor eksternal itu pun dipicu oleh hal-hal yang bersifat global. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan yang memang melakukan banyak fokus usaha untuk tujuan ekspor.

Tau begitu saya lanjut kerja full-time di bidang IT saja, bukan di bidang manufaktur seperti apa yang saya pribadi yakini.

 

Tips Gagal dalam Memulai Usaha

Pada waktu setelah saya forgood (kembali) ke Indonesia dari waktu studi dan bekerja dengan total 5 tahun di Cina, saya berpikiran untuk bisa membuka semacam program-program traveling ke Cina. Yang saya pikir akan asyik sekali seperti kebanyakan travel-travel agent yang sudah ada bisnisnya di mana-mana. Karena saya pikir konsepnya adalah konsep seperti open trip dan lebih kepada tailor-made traveling, niche ini sebetulnya yang tidak saya pahami sama sekali.

Tapi memang, pada dasarnya saya kepedean dan goblok banget memang. Saya lupa kalau sebagian besar masyarakat Indonesia melihat Cina bukanlah sebagai satu destinasi wisata yang bagus. Apalagi kalau menanyakan persepsi orang-orang Indonesia mereka pasti sepakat bahwa Cina itu jorok, lantas dibandingkan sama Jepang, yang padahal belum tentu juga orang yang membandingkan pernah ke Jepang untuk wisata.

Padahal saya sudah merancang baik itu rute, prakiraan biaya, dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan open trip ke luar negeri. Tapi sejak akhir 2016 sampai medio 2017 saya tidak menemukan titik terang untuk rasa penasaran memulai usaha open trip ke Cina. Bahkan saya juga sudah lumayan banyak mengirimkan email kepada para travel agents yang ada di Jakarta maupun di luar Jakarta untuk bekerja sama dengan program dan rancangan open trip yang saya pikir akan bagus, ternyata tetot, gatot, gagal total.

Selain soal traveling, saya pada waktu itu terus terang tidak terpikirkan hal apa lagi yang bisa saya create dengan modal yang tidak besar, bahkan mendekati nol, yang masih ada hubungannya dengan Cina. Saya alhamdulillah sampai saat ini masih pada idealisme saya untuk tidak berkecimpung di bidang impor barang-barang dari Cina. Karena saya memiliki idealisme bahwa produk-produk Indonesia sangat layak untuk bisa diekspor ke Cina dan sekitarnya.

Soal itu sebetulnya sudah sempat beberapa kali saya dan rekan saya bertemu pihak Alibaba yang ada kantor nya juga di Jakarta. Tapi ya karena kami belum punya pengalaman apa-apa soal aglomerasi produk-produk Indonesia yang bisa didorong untuk ekspor ke Cina, maka alhasil diskusi-diskusi tadi juga ambyar dan menguap.

Namun, pada Februari 2021 lalu, Kemendag RI meluncurkan suatu laman yang bernama IDNStore [dot] tw yang memiliki konsep tidak jauh berbeda dengan yang pada tahun 2017 lalu saya dan rekan saya itu diskusikan, yaitu menjadi etalase digital produk-produk Indonesia yang utamanya adalah UMKM. Paling tidak etalase itu berguna untuk sebagai ruang pamer terlebih dahulu. Mengingat kalau langsung penjajakan proses ekspor pun tidak semua pihak UMKM Indonesia juga berminat untuk melalui semua proses dan birokrasi yang tidak biasa ditemui.

Tips Gagal dalam Menerapkan Intrapreneur.

Sebetulnya jarang sekali ada orang yang mengistilahkan intrapreneur dalam pekerjaannya. Biasanya orang akan dengan bangga dengan entrepreneur, padahal intrapreneur eksis jauh sebelumnya. Baik intrapreneur dan entrepreneur saya pikir adalah perkara mindset yang memiliki beberapa kesamaan seperti kemandirian, kreatifitas, keuletan, kedisiplinan, inovatif, pendobrak, progresif, dan lain sebagainya. Hanya saja posisinya berbeda, intra- menerapkan mindset di dalam, sedangkan entre- di luar.

Maksudnya seperti apa? Sering kali kita menemui lokasi tempat kita bekerja mengalami stagnasi dari banyak sisi. Alhasil kita sendiri yang sudah beberapa waktu berkecimpung di dalam tempat kita bekerja tersebut menjadi tidak menantang, membosankan, gitu-gitu aja. Terutama hal ini sering terjadi di dunia birokrasi. Mindset yang tersebutkan di atas tadi memang memiliki batasan-batasan dan tentu di dunia birokrasi agaknya sulit untuk seketika diterapkan. Namun, apabila kita bekerja di perusahaan swasta baik itu sektor barang maupun jasa, banyak hal yang berhubungan dengan intrapreneur yang bisa kita terapkan.

Saya waktu itu berusaha untuk menerapkan intrapreneur di Yayasan Pendidikan Nurul Fikri, Depok. Pada waktu itu saya meminta izin kepada senior dan petinggi Yayasan untuk membentuk suatu unit khusus yang bergerak di bidang studi luar negeri.

Sedikit mengenai Nurul Fikri (NF), merupakan sebuah grup yayasan pendidikan yang sudah eksis sejak tahun 1985, dengan memulai unit usaha bimbingan belajar (bimbel), dengan logo “layangan” yang sejak awal begitu saja sampai saat ini. Lalu kemudian lini bisnis yayasan NF ini berkembang ke sekolah (TK – SMA), kursus non bimbel, lalu sekolah tinggi IT yang terletak di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

 

Tips Gagal dalam Membuka Usaha Café

Lengkapnya memang soal satu ini sudah pernah saya tulis di https://fathansembiring.wordpress.com/2020/01/26/1754/ beberapa waktu lalu. Intinya memang berbisnis itu cukup cocok-cocokan dengan karakter kita. Tapi yang paling utama adalah apakah kita sepenuh hati melaksanakannya atau tidak.

Sedari awal saya sudah menyampaikan ke Bapak saya selaku pemodal utama untuk tidak membeli aset ruko, pertama karena mahal, kedua karena lokasi ruko tersebut kurang cocok untuk lokasi jualan makan dan minuman. Sebagai lokasi perkantoran, unit distribusi paket, toko sembako, dll cukup cocok. Hanya saja karena waktu itu beliau cukup latah dengan meningkatnya tren bisnis kafe di mana-mana, makanya saya diminta untuk set-up sebuah kafe dan mengoperasikannya. Intinya pada waktu itu saya tidak sepenuh hati.

Dalam bisnis kafe tidak beda dengan restoran. Hanya saja berbisnis restoran tentu memiliki skala yang bisa jadi 3x lipat dari kafe biasa. Ada sih kafe-kafe beken yang menawarkan konsep fusion sebagai tempat nongkrong, makan makanan berat, dan lain sebagainya. Tapi pada waktu itu konsep yang kami terapkan di kafe Semacam Tempat Jajan dulu bisa dibilang cukup mencoba-coba.

Selain soal skala, berbisnis kafe tidak beda dengan restoran, harus dipantengin setiap hari. Banyak sekali detil yang kalau kita tidak fokus, tentu akan menjadi masalah di kemudian hari. Mengenai pricing, mengenai stok bahan makanan/minuman, mengenai admin dan kasir, dan lain sebagainya. Banyak sekali. Belum terkait dengan perawatan gedung kalau ada bocor-bocor atau kendala-kendala teknis elektrikal, air, dll.

Dan pada waktu itu saya tidak meng-hire manajer, ya mana bisa juga sih, jadi semua di-handle sendiri. Pusing, ruwet, ampun. Harus ada planning yang jelas dengan mengoperasionalisasikan kafe terpisah antara manajemen dan owner.

Belum lagi pada waktu itu kafe kami terpaksa untuk tutup juga dikarenakan datangnya Covid-19 pada tahun 2020. Pada bulan Maret 2020 Covid-19 ditemukan di Indonesia, dan pada akhir April nya, kafe STJ kami terpaksa tidak lagi dapat beroperasi.

Untuk mendalami secara teori, ada yang dikenal dengan 4P: Product, Placement, Price, dan Promotion. Dilihat dari teori 4P ini saja sebetulnya kalau kita kurang matang, sudah bisa diprediksi bisnis kita akan gagal. Apalagi kalau terkait dengan jenis bisnis yang bukanlah kategori pokok seperti kafe.

 

Tips Gagal dalam Menjadi Anak yang Penurut

Hal ini sangat kontekstual di Indonesia, mengingat ‘biirul waalidain’ dianggap sama dengan otoritas penuh bagi orang tua untuk mendikte kehidupan anak-anaknya bahkan sampai mereka menginjak usia dewasa. Padahal sejatinya kalau para orang tua di Indonesia juga bisa memahami perkembangan zaman, banyak hal yang telah berubah dari mindset pemikiran mereka terakhir antara menerjemahkan impian dan keinginan yang tidak sampai. Menurut hemat saya banyak orang tua yang melakukan pendiktean tersebut lebih karena channeling dari apa-apa yang para orang tua tidak bisa raih di masa-masa muda atau masa-masa produktif mereka dulu.

Lantas, seperti apa harusnya? Saya pun sudah memiliki 1 orang anak, dan saya tidak berharap saya tiba-tiba berubah menjadi sosok ayah yang diktator dan mengekang. Untuk itu lah tulisan ini sebetulnya saya buat, sehingga nanti anak-anak saya mengingatkan ayahnya, mereka tinggal copas link blog ini ke saya.

Dalam konteks saya sendiri, kegagalan menjadi anak penurut di sini lebih kepada bagaimana sosok Bapak saya yang menempuh jalur A dan pengambilan sikap A. Ya iyalah saya ga bisa menuliskan secara gamblang, matek nanti dicoret dari daftar anak. Hahaha.

Begitupun dengan Ibu saya yang 11-12 dengan Bapak saya mengambil jalur tersebut. Tapi, bottom-line nya adalah bagaimana seharusnya mereka menyadari bahwa mereka dulunya adalah insan pergerakan, segala hal dikritisi, sampai pada puncaknya bersama-sama menurunkan Soeharto dari kursi nyamannya sebagai pemimpin adikuasa Indonesia pada rezim Orde Baru.

Misalnya, orang tua saya sering berujar untuk tidak terlalu bersuara ketika membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan Cina. Baik itu dalam bentuk tulisan maupun penyampaian dalam forum. Hal ini mereka pikir saya terlalu pro Cina. Padahal kalau rekan-rekan simak di tulisan-tulisan maupun produk publik yang pernah saya hasilkan, saya dan rekan-rekan semata-mata ingin menguji keabsahan subjektivitas cara berpikir masyarakat luas di Indonesia terkait Cina. Itu pun semata juga saya lakukan hanya karena saya sudah berpengalaman tinggal di Cina selama 5 tahun. Kalaupun saya hanya bepergian jalan-jalan 1 pekan atau lebih kurang, saya rasa juga adalah sesuatu yang terburu-buru untuk memberikan pandangan-pandangan objektif soal Cina, tentu butuh waktu lama untuk bisa mengobservasi suatu negara, bukan?

Termasuk dalam tulisan ini, saya merasa gagal menjadi anak penurut. Karena yang saya pahami di berbagai belahan bumi lainnya, perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya tentu sangat berbeda. Apalagi saat ini informasi bukanlah sesuatu yang berasal dari sumber tunggal, tetapi sudah sangat flat. Oleh karena itu, bagi rekan-rekan yang masih seusia saya maupun yang sudah lama menjadi orang tua, tolong dikaji kembali kebijakan-kebijakan otoritatif rekan-rekan terhadap anak-anak sendiri.

 

Tips Gagal dalam Memahami Diri Sendiri

Sejak SMA saya pribadi merasa bahwa saya merupakan orang yang memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap banyak hal. Sewaktu kuliah, saya juga mencoba banyak hal, terutama ikut berorganisasi, menjadi ketua ospek jurusan, dan lain sebagainya. Walaupun tidak sampai Ketua BEM atau sejenisnya, tapi yang jelas aktif ikut demonstrasi turun ke jalan juga saya dan rekan-rekan lalui pada masa-masa itu.

Kegagalan saya dalam memahami diri sendiri pada waktu itu juga bisa dibilang karena misalnya beberapa jurusan kuliah yang saya inginkan untuk diambil, tidak didukung oleh Bapak saya. Padahal ada rasa penasaran saya di bagaimana memilih jurusan dan hubungannya dengan apa yang akan dilalui ketika perkuliahan itu berlangsung, pasti menarik banget. Ada jurusan Ilmu Politik, HI, dan DKV.

Apalagi ketika usia-usia kuliah itu lah di mana pada umumnya kita sedang ada di masa mencari jati diri, bukan? Dengan menjalani apa yang kita inginkan, niscaya itu akan mempermudah flow aktivitas baik itu perkuliahan, pekerjaan, bisnis, dan lain sebagainya.

Sampai pada akhirnya saya mencoba untuk apply beasiswa ke beberapa negara yang pada akhirnya saya diterima di Peking University, Beijing, untuk program Bahasa Mandarin. Pada awalnya juga saya tidak ngeh kenapa harus belajar Bahasa Mandarin ya? Alhamdulillah nya, dengan sisa-sisa watak penasaran, itu justru menjaga saya supaya fokus menjalani perkuliahan di Cina, dan pada akhirnya saya melanjutkan ke tahun ke 2 Bahasa Mandarin, dan setelah itu dilanjut dengan program MBA di kampus UIBE, Beijing.

Kegagalan dalam memahami diri sendiri ini saya pikir terus berlanjut ketika saya sudah forgood kembali ke Depok dari Beijing. Seperti di bagian Tips Gagal di atas, saya sendiri juga memiliki kebingungan, sebetulnya saya ini tipikal orang yang seperti apa dalam konteks paska-kampus. Saya terus terang merasa gagal soal ini. Karena ya tadi, rasa penasaran itu bisa baik di beberapa hal, tapi juga tidak baik untuk banyak hal.

Sampai pada akhirnya saya mengetahui bahwa saya ini tipikal orang yang tidak bisa disuruh-suruh. Saya akan sangat mengapresiasi kalau ada pihak yang memberikan saya ruang-ruang untuk berkreasi, merintis sesuatu, berpikir kritis, dan lain sebagainya ketimbang hanya sebagai suruhan. Oleh karena itu dari bagian-bagian sebelumnya di artikel ini juga, terlihat memang saya tidak cocok dengan tipikal orang yang bisa bekerja sebagai pegawai, rasa penasaran saya tidak membolehkan itu terjadi. Saya kemudian menyadari bahwa ruang kreatif, kerja dengan fleksibel, membuat sesuatu, itu adalah hal-hal yang lebih cocok terhadap saya.

Sebagai penutup, mengutip lirik Langit Tak Mendengar dari NOAH, bisa mewakili banyak dari kita yang banyak sekali menemukan kegagalan dalam hidup ini, tapi kita bagaimana pun juga tidak boleh berpangku tangan dan diam begitu saja.

Jadi hidup telah memilih

Menurunkan aku ke bumi

Hari berganti dan berganti

Aku diam tak memahami

Mengapa hidup begitu sepi?

Apakah hidup seperti ini?

Mengapa ‘ku selalu sendiri?

Apakah hidupku tak berarti?

Coba bertanya pada manusia

Tak ada jawabnya

Aku bertanya pada langit tua

Langit tak mendengar

Coba bertanya pada manusia

Tak ada jawabnya

Aku bertanya pada langit tua

Langit tak mendengar

Coba bertanya pada manusia

Tak ada jawabnya

Aku bertanya pada langit tua

Langit tak mendengar

Cheers.

Leave a comment