Bicara Cina, Bicara Budaya

Membicarakan mengenai Cina, memang tidak akan ada habisnya. Menilik balik sedari berakhirnya Dinasti Qing (1912), berdirinya Republik Cina (1912 – 1949), konflik dan perang-perang sipil (1927 – 1950), imperialis Jepang yang menjajahnya (1937 – 1945), sampai pada berdiri nya Republik Rakyat Cina–bersamaan pindahnya “Ibu Kota Republik Cina” ke Pulau Formosa (1949). Itu pun juga masih bisa dilanjutkan dengan keseruan membahas mengenai Revolusi Kebudayaan (1966), pemberlakuan Kebijakan Pembatasan 1-anak (1979), dan lain-lain. Hal-hal tersebut berlanjut hingga pada saat ini kita semua harus menerima kenyataan bahwa Cina merupakan negara tertinggi untuk GDP at PPP ranking (PwC, 2015) sejak tahun 2014. So, what did we miss?

Namun, tulisan yang singkat ini tidak akan membahas banyak hal seperti spesifik pertumbuhan ekonomi, fenomena industrialisasi, The Great Fire Wall, perkembangan e-commerce, perkembangan artificial intelligence (AI) di Cina. Karena menurut hemat kami, hal-hal yang sedemikian itu merupakan akibat, bukan penyebab. Sehingga, mungkin akan lebih menarik bila kita membahas mengenai sebab, dibandingkan dengan kenyataan-kenyataan yang telah (memang) terjadi.

Penyebab dari itu semua tidak lain dan bukan adalah budaya. Budaya yang bukan sekedar budaya. Tetapi budaya yang diwarisi, yang dijaga kemurniannya (walaupun kenyataannya tidak 100% lagi) sehingga generasi berikutnya mereka masih tetap tersadar bahwa mereka adalah Cina. Dalam setting apapun, di mana pun, dalam kondisi ekonomi apapun, Bangsa Cina akan terus seperti itu, dan berusaha untuk menjaga nilai-nilai dan tradisi mereka, betapapun arus globalisasi memiliki andil yang memengaruhi.

Dalam mengenali budaya Cina, mungkin secara umum kita hanya tahu dari kasat mata nya saja. Tidak mudah untuk memahami budaya suatu Bangsa (yang terhimpun dari berbagai suku-bangsa pula) yang sudah eksis sejak 5000 tahun yang lalu (berbagi sumber). Di Cina sendiri faktanya ada 55 suku-suku Bangsa lain selain Suku Han. Walaupun dominasi Suku Han sebanyak 91 persen, hal ini tidak lantas menjadikan bahwa apabila kita berbicara mengenai Cina, maka akan hanya terpatok pada corak-corak budaya orang Han semata.

Mengapa budaya ini menjadi begitu penting? Dari semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia, baik itu yang berujung kepada kesuksesan atau kegagalan, semuanya secara filosofis merupakan cerminan dari identitas diri kita. Orang-orang Cina baik itu yang berada di Cina Mainland (daratan) maupun Overseas (perantauan di seluruh dunia) telah berhasil merawat identitas mereka dan melanggengkannya di pojok bumi manapun mereka berada.

Identitas ini begitu penting, karena pada akhirnya, segala hal yang kita lakukan tentunya memiliki “kebutuhan” untuk diakui, apalagi untuk hal-hal yang positif atau berhubungan dengan pencapaian sebuah prestasi.

Dalam bukunya Traditional Chinese Culture, Xiaoyue Xu menjelaskan,

To make the characteristics of traditional Chinese culture clear, we must understand thoroughly its value orientation. The term “value orientation” means that faced with a certain object awaiting action, a subject definitely has certain inclination and makes a choice from the perspective of value.

Among the ancient civilizations, the Greeks valued and pursued the “natural heaven and earth” so they created a “nature-based” value orientation. The Hebrews treasured and explored the “supernatural heavenly kingdom” so they embraced a “theocentric” value orientation. The Chinese cherished and explored human society so they formed a “people-centered” value orientation.

Nevertheless, a people-centered and ethics-centered Chinese culture paid equal attention to metaphysical observation and physical corroboration. Therefore, mind-nature, human nature and life were the most intensively and extensively debated concepts in Chinese philosophy.

Beberapa hal tersebut hanya merupakan kutipan, namun tetap jelas mengisyaratkan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kebudayaan Cina itu sendiri memiliki kekhasan yang bisa dirunut secara kronologis dan komparatif.

Lantas, bagaimana dengan hal-hal yang agak kontemporer, misalnya agama? Mungkin banyak dari kita yang merasa bahwa untuk membicarakan mengenai agama atau unsur-unsur yang berkaitan dengan kepercayaan (individu) merupakan sesuatu yang klise dalam konteks Cina. Namun, hal itu lagi-lagi kemungkinan besar dikarenakan asumsi yang terlalu menyederhanakan. Seperti yang ditulis oleh Xiaoyue Xu, bahwasanya:

The Chinese cult of diverse supernatural beings itself indicates that deities – regardless of origin – could coexist peacefully and blend in with each other. In view of this, it is safe to say that the inclusiveness of Chinese polytheism was one of the most distinctive characteristics of Chinese religions.

Most importantly, inclusive polytheism decisively influenced Chinese attitudes towards foreign religions. The introduction and dissemination of Buddhism, Islam and Christianity were all carried out in the tolerance and inclusiveness of traditional Chinese religion.

Very probably, only China achieved the equal worship of gods of different religions in the same hall. In the long history of China, the bloodshed caused by conflicting religious faith and doctrines was completely nonexistent.

Walaupun begitu, mungkin kedua alinea penjelasan di atas masih terkesan “jauh” dari familiar bagi kita. Mungkin, ada sesuatu yang bisa dicari kesamaannya? Tentu ada, semisal hal yang berhubungan dengan filial piety.

Lagi-lagi, hal ini menarik untuk dibicarakan, karena di kebudayaan manapun, peranan atau hubungan interaksional antara orang tua dan anak itu memiliki keunikannya masing-masing. Dalam kebudayaan tradisional Cina, menghormati orang tua merupakan sebuah kewajiban. Penjelasannya pun masih dapat disimak seperti yang Xiaoyue Xu katakan di dalam buku nya:

Seemingly, which moral category could symbolize the core values of traditional Chinese culture has not been confirmed. Some held that it was ren; some preferred the Five Constancies as a whole; and some chose xiao 孝, or filial piety.

Xiao was a unique Chinese value and Chinese cultural phenomenon. It was adaptable to the sophisticated social base and structure that were centered on patriarchal families. Since time immemorial, various social classes paid most attention to xiao.

Additionally, Confucians enthusiastically advocated that children always have a pleasant smile on their faces in front of their parents and never be against the parents nor act in defiance of propriety. In other words, the children should always treat their parents in strict accordance with the proper rites when parents were alive or dead already.

Sehingga tentu saja, kita juga secara kasat perlu mengetahui sumber-sumber pembentuk budaya Cina. Mungkin kita sering mendengar bahwa kebudayaan Cina terasosiasikan dengan agama Buddha, Konfusianisme (Kong Hu Cu), dan ajaran Taoisme. Dalam ulasannya, Xiaoyue Xu juga menuliskan:

Intellectually, National Learning/Studies[1] or traditional Chinese culture consisted of Confucianism, Daoism, and Buddhism. The assertion that National Learning/Studies was composed of the three great teachings was made in accordance with the perception of culture and the actual influence of traditional Chinese culture on the Chinese.

There is, however, a question that must be answered; that it to say, which one – Confucianism, Daoism or Buddhism – was the main pillar of traditional Chinese culture? That question remains open to discussion, though there have been diverse, extensive debates on the issue. Some contend that Buddhism was predominant; some held that it was Confucianism plus Daoism that shaped Chinese culture; and some opined that traditional Chinese culture was equally derived into Confucianism, Daoism and Buddhism.

*** Tentu saja mendiskusikan Bangsa Cina tidak akan cukup dengan ulasan yang hanya beberapa halaman. Namun, paling tidak dapat menjadi pemicu awal untuk mengerti lebih lanjut bahwasanya Bangsa Cina itu merupakan sebuah entitas yang tidak bisa disederhanakan. So much so, akan memiliki turunan konsekuensi yang sangat berkaitan erat dengan ‘bagaimana baiknya kita berinteraksi dengan mereka’. Baik itu urusan-urusan yang berkenaan dengan interaksi ekonomi, bisnis, politik, sosial, dan sebagainya.

Menggunakan pendekatan yang dipelajari oleh Hofstede, Cina memiliki scoring Long Term Orientation (LTO) paling tinggi diantara entitas (negara) lain. Hal ini juga menjadi suatu parameter yang muncul akibat tidak lain dan bukan adalah kulminasi dari ribuan tahun kebudayaan yang telah menjadi konsentrat dan pada akhirnya menjadi landasan berkelakuan Bangsa Cina.

Memahami hal-hal seperti ini memang ada iya dan tidak nya. Namun, melihat siginifikansi dari Bangsa Cina yang kembali bangkit (merebut apa yang menjadi hak mereka—mengulang sejarah), mau tidak mau kita harus mengakui bahwa ada gap di persoalan ini. Sehingga, hal-hal yang berhubungan dengan investasi untuk membuat nyambung dengan fenomena ini adalah pada SDM. Di Cina sendiri, spesifikasi SDM seperti apapun akan dapat kita temukan (dari perspektif yang membutuhkan). Namun, keadaan yang kurang balance terjadi pada sisi Indonesia. Karena hanya dengan berinvestasi pada SDM lah, kita akan mengetahui bahwasanya A Gathering of Civilizations itu sesuatu yang tidak bisa kita tepis—agar kemudian tidak terjadi Clash.

–tulisan ini pernah nangkring di Majalah Lentras edisi Januari 2018–


[1] Unsur-unsur yang berkenaan dengan Chinese Studies; bahan kajian Sinologi

Leave a comment