Terutama ketika masa pandemi saat ini, banyak orang yang tidak bisa menduga bahwa keberlangsungan wabah sudah berjalan selama hampir 2 tahun. Tentu banyak orang yang sudah mulai agak kurang akal sehat dan kewarasannya. Saya bisa bilang seperti ini dalam nada netral, dalam arti, hal tersebut sangatlah dianggap wajar dan lumrah untuk kondisi pandemi yang nampaknya akan bertahan paling tidak 1 tahun, atau bahkan sampai di mana Covid-19 sudah dianggap sebagai penyakit biasa; intinya semua orang akan kena gilirannya, dan vaksin harus segera diterima oleh setiap orang.
Namun, ada satu hal yang memang menjadi momok baru, khususnya ketika pandemi ini. Yaitu perasaan untuk membuang sampah mental yang ada di benak kita, di hati kita, untuk dilempar ke orang-orang yang kita pikir merupakan tong sampahnya kita. Kalau bisa, setop hal tersebut sekarang juga.
Memang tidak mudah. Tapi semakin lama semakin kita pikirkan, seperti misalnya ketika kita stres di jalan raya. Macet, panas, kehujanan, diserempet orang, dll, pasti ujung-ujungnya adalah kita mau melampiaskan ke orang lain yang ada di jalan juga. Sumpah serapah dan umpatan-umpatan baik itu yang bisa terdengar oleh orang lain maupun tidak, akan secara alam bawah sadar kita lontarkan.
Karena sederhana nya begini, kita juga tidak tau beban mental atau pikiran-pikiran apa yang sedang menghantui orang-orang yang kita anggap adalah para tong sampah kita tersebut. Sebut saja orang tua, suami/istri, pasangan, adik-adik, dll. Karena semakin kita membuang sampah secara tanpa beban, disadari atau tidak, orang-orang yang menerima nya juga sebetulnya sedang menumpuk sampah-sampah tadi, kan? Lalu mereka harus ke mana? Ga mungkin ke diri kita, karena kita yang sudah buang sampah-sampah itu duluan ke kita.
Dalam kebudayaan kita juga, adalah hal yang sangat lumrah untuk melakukan hal-hal tersebut, tanpa kita perlu khawatir akan konsekuensi beban psikis yang juga akan dialami oleh orang yang kita lemparkan. Kalau di banyak negara, terutama Barat, ada profesi-profesi psikiater atau pekerja sosial yang memang dibayar untuk mendengarkan orang curhat. Dan ingat, mereka mau menerima sampah-sampah dari orang lain karena mereka dibayar.
Ya solusi sosial nya kalau di Indonesia mungkin ketika kita butuh curhat, seperti ke teman atau sahabat, kita mentraktir dia makan, ngopi, atau sekedar sebatang rokok. Namun, itu juga mungkin masih dirasa kurang tepat.
Apalagi kalau sudah berkeluarga. Kebiasaan untuk membuang sampah itu harus segera dihentikan. Makanlah sendiri sampah Anda, sampah kita. Berusaha lah mengurai sampah-sampah tersebut menjadi entah pemikiran produktif, atau energi yang membuncah untuk dilepaskan ketika berolahraga atau nge gym.
Hal ini tentu sangat penting terutama untuk para suami yang sudah merasa bekerja pontang-panting, lalu banyak keluh kesah yang dihadapi, kemudian melampiaskan sampah-sampah tersebut kepada istri dan anak-anaknya. Mungkin kalau sekali dua kali, atau ketika awal-awal menikah, hal tersebut masih bisa dibilang sebagai bagian dari masa perkenalan. Tapi coba bayangkan kalau kita hidup dengan orang yang sama seumur hidup, puluhan tahun, sudah berapa ton sampah mental yang ditampung oleh istri kita, oleh suami kita?
Karena tadi, kembali lagi kepada premis di mana kita ga tau orang lain, walaupun yang terdekat dengan kita, sedang punya beban pikiran apa, beban mental apa, dll sebagainya. Karena ya bisa dibilang terutama masa pandemi seperti ini, Insya Allah kita tidak akan mengalami pandemi ke 2, tapi ini juga merupakan pandemi pertama yang semua manusia di seluruh dunia perlu melakukan banyak penyesuaian.
Ada cara-cara untuk membuang sampah seperti yang sudah disebutkan di atas tadi. Yaitu mengalirkan energi kepada hal-hal yang justru membuat kita lebih produktif, dilepaskan ketika sedang berolahraga, atau menuliskan uneg-uneg seperti yang saya dan banyak orang lain telah lakukan.
Apa lagi kalau sudah terkait dengan pernikahan. Kebiasaan membuang sampah pikiran kepada istri/suami atau bahkan kepada anak-anak di rumah, tentu tidak hanya tidak akan membuat masalah selesai, malah akan hanya menambah keributan yang sewaktu-waktu bisa timbul.
Apalagi di tengah-tengah pandemi seperti ini, kebanyakan para penderita Covid-19 juga tidak urung sembuh, atau malah memiliki gejala yang parah karena tekanan dan stres yang dihadapi. Stres itu juga bisa diakibatkan karena kita tidak terbiasa untuk mengunyah sampah-sampah kita sendiri. Harus ada tong sampah tempat kita buang. Jadi ketika kita misalnya sedang jatuh sakit, tidak ada yang menemani di ruangan isolasi atau di kamar Rumah Sakit, bukannya pemulihan, tapi kondisi yang makin memperparah kondisi.
Mensana incorpore sano, merupakan sebuah ungkapan latin yang sudah mafhum juga kita temui. Oleh karena itu, salah satu cara juga akan kita terbiasa mengunyah sampah sendiri, adalah dengan selalu menjaga kesehatan tubuh. Di dalam tubuh yang sehat, niscaya terdapat jiwa yang kuat. Di mana-mana begitu, ndak perlu diperdebatkan lagi.
Sehingga, dengan begitu, cobalah rasakan sendiri dampak-dampak positif dari perubahan perilaku kita yang tadinya suka membuang sampah mental sembarangan, menjadi dikonsumsi sendiri. Pasti ada hal-hal positif yang akan kita rasakan.
Selamat mencoba!