Mengheningkan cipta untuk para keluarga, sanak, kerabat, famili, rekan, sejawat, sahabat, tetangga, dan sebagainya yang telah mendahului kita dikarenakan Covid-19.
…
Banyak dari kita yang menghadapi musim mudik di pertengahan Bulan Mei 2021 lalu sebagai perjumpaan terakhir dengan keluarga, dan orang-orang yang sudah kita dengar kabarnya hanya tinggal nama saja. Sebetulnya sudah terlambat kalau kita mau menyalah-nyalahkan orang-orang yang melakukan aktivitas mudik ketika ada pelarangan. Tentu mudik itu sendiri juga merupakan suatu kegiatan kultural yang multidimensi, dan tidak cukup hanya bermodalkan larangan, lantas orang-orang akan menuruti nya. Perlu memang adanya ketegasan yang luar biasa dan terukur sehingga musim mudik lalu bisa lebih kondusif. Saya dan keluarga juga tidak mudik, biasanya kami mudik ke Bukittinggi, Sumatera Barat.
Kalau bisa mencari-cari siapa yang salah, tentu Gelombang ke 2 ini hadir ketika pas 2 pekan setelah selesai musim mudik Lebaran 2021. Walaupun sebetulnya sudah agak klise membahas protokol kesehatan di tengah masyarakat yang masih memiliki literasi yang sangat rendah, tingkat pendidikan yang juga sangat kurang. Untuk memahami bahwa virus bukanlah sebuah makhluk, melainkan benda mati saja sudah merupakan sesuatu yang sulit untuk dicerna. Apalagi memahami bahwa ada istilah protokol kesehatan, serta pengistilahan-pengistilahan pembatasan ruang gerak manusia dan mobilitas, dan lain sebagainya. Tentu akan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia susah untuk mengerti itu.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Bapak dan Ibu mertua saya sendiri juga sedang dirawat di RS karena terkena C19. Itu pun juga saya dan istri sangat menyesal, karena beliau bukanlah tipe orang yang saintifik. Padahal dalam Al Quran sendiri, kalau kita telaah, ayat-ayat kauniyah yang tersurat semuanya berbunyi sesuatu yang saintifik. Sampai saat ini Bapak mertua saya masih dirawat secara intensif. Ibu mertua masih isolasi mandiri.
Maksudnya, Bapak mertua saya bukanlah seorang diri seperti itu. Banyak masyarakat, karena kebingungan cara berpikir, kurangnya literasi, kurangnya tingkat pendidikan, terpapar hoax dan sebagainya, melihat C19 ini dengan sebelah mata. Akhirnya ketika terkena, kami pun menjenguk saja tidak bisa. Padahal kalau yang diambil adalah bagaimana Allah SWT telah menggariskan kepada ummatnya cobaan-cobaan dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, itu memang sudah ada ayat-ayatnya. Lantas, Bapak dan orang-orang seperti dia apakah kemudian bisa menyalahkan Allah SWT atas pandemi yang kalau dipikir-pikir secara kauliyah memang dimungkinkan terjadi, karena itu semua bagian dari ujian keimanan, bukan?
Bukan, saya bukan ustadz.
Mohon doa yang terbaik untuk Bapak mertua saya.
Ternyata Allah SWT berkehendak lain. Dan Bapak mertua saya meninggal dunia pada tanggal 9 Juli 2021. Alfatihah untuk beliau.
…
Namun, saya membuat tulisan ini bukan untuk beliau.
Karena sudah lewat dua bulan lebih juga nenek saya meninggal, namun bukan karena C19. Beliau meninggal sebulan setelah menjadi penyitas/alumni C19. Umurnya 73 tahun.
Kalau kita membahas banyak kepiluan yang silih berganti kita dengar, rasa-rasanya tidak akan habis kita sebutkan satu per satu.
Media sosial juga penuh dengan perkembangan bagaimana stok oksigen habis, harga oksigen botolan merangkak naik tak masuk akal, banyak juga yang mencari bantuan untuk donor konvalesen, dan tentu postingan-postingan duka cita yang hampir setiap hari bisa kita lihat.
Makin banyak juga rekan-rekan sejawat yang tadinya mereka adalah silent readers di grup-grup WA, Telegram dll yang kita ikuti, lantas berkomentar dan menyampaikan pesan duka akan kerabat-kerabatnya yang telah meninggal akibat C19. Malaikat maut dan tim nya seakan sedang sering sekali turun ke bumi pada 2 tahun belakangan ini. Rasanya juga mereka semakin dekat dengan kita, beda dengan awal-awal pandemi.
Artinya memang pandemi C19 ini tidak bisa dianggap main-main, Bapak Ibu sekalian. Justru Bapak Ibu yang lebih tua, jauh lebih tua dari saya, malah yang banyak menganggap C19 ini adalah hal yang sepele. Bahwa dengan keimanan dan ketaqwaan sudah cukup menghadapi C19. Bahwa C19 ini konspirasi, akal-akalan Cina, dan lain sebagainya. Padahal pada zaman Rasulullah sendiri, seorang ulil amri, seorang nabi dan di masa para sahabat yang banyak dijamin masuk syurga saja terjadi Thaun. Apakah Allah SWT ‘ga kira-kira’ menurunkan Thaun ketika Rasulnya masih ada di situ? Bukan itu poinnya, Pak, Bu. Anda-anda ini lah yang merasa lebih mulia dari Rasul. Saya tidak. Anda sekalian ini lah yang berlagak sok bahwa lebih baik mati karena C19 dibandingkan berusaha untuk bertahan dalam hidup ini. Anda tidak paham betapa gusarnya kami generasi yang lebih muda ketika ditinggalkan oleh Anda sekalian, karena tingkah polah Anda sendiri.
…
Namun, memang banyak juga generasi muda yang tidak percaya dengan C19, banyak juga yang meremehkan hanya demam, flu biasa, pusing, minum obat pusing, selesai. Namun, mereka juga tidak sadar bahwa hal tersebut membahayakan orang tua atau yang sudah sepuh yang masih ada di rumah tinggal bersama mereka. Mereka jadi tertular. Fisiknya sudah tidak sekuat yang lebih muda, termasuk para artis dan orang terkenal yang juga menantang C19 dengan segala macam ketololan yang mau tak mau pasti diamini oleh banyak orang yang juga menjadi pengikutnya.
Akhirnya para orang sepuh tersebut tertular, dan mati. Mati bro, engga bisa hidup lagi. Itu salah lu juga monyong.
…
Gelombang ke 2 ini menyuguhkan kepiluan yang maha dahsyat untuk sebagai besar masyarakat Indonesia.
Saya dan banyak orang juga tidak habis pikir akan ketololan Anda sekalian yang tidak ingin divaksin. Yang menganggap vaksin itu tidak halal, tidak bersih, jualannya orang Cina, dan lain sebagainya. Padahal Anda sendiri sewaktu kecil juga menerima vaksin dari posyandu, puskesmas. Atau jangan-jangan Anda memang sedari awal tidak pernah menerima vaksin ya? Jadi ketololan Anda sudah tidak ada obat nya lagi.
Angka vaksinasi di Indonesia juga masih sangat kecil, di angka 7,5% dari total populasi 270 juta orang, sampai tulisan ini naik. Lelah kalau membandingkan dengan negara-negara lain, apalagi negara-negara maju dalam hal progres vaksinasi.
Bahkan Amerika Serikat yang setahun awal pandemi memiliki angka kematian tertinggi saja, per Juni 2021 sudah tidak lagi diwajibkan untuk bermasker di luar ruangan. Padahal kengerian C19 bisa disaksikan bersama terjadi di AS pada waktu awal-awal terjadinya pandemi ini.
Walaupun memang juga sangat sebal membahas pada awal-awal pandemi, banyak dari pejabat teras di Republik ini yang meremehkan C19 akan bisa masuk ke Indonesia, dengan segala ketololan yang orang-orang itu tampakkan di publik.
…
Pilu Gelombang ke 2 ini sungguh sangat-sangat membelalakkan mata.
Padahal “ideal” nya, Gelombang ke 2 dari suatu pandemi itu bisa dibilang memiliki dampak yang lebih sedikit dibanding dari Gelombang ke 1. Kata siapa? Kata saya.
Karena kalau di Gelombang ke 2 ini, seharusnya orang-orang sudah lebih siap dengan segala macam protokol kesehatan yang harus dilakukan dan diterapkan dimulai dari individu, keluarga, masyarakat, daerah, lalu negara. Namun, sepertinya Gelombang ke 2 di Indonesia ini juga fenomena anomali, terdahsyat di dunia bahkan.
Banyak daerah-daerah, khususnya yang merupakan destinasi mudik memiliki sebaran kasus C19 yang sangat besar, tentu mereka tidak siap menghadapi gelombang pasien yang bertubi-tubi. Wong sewaktu tidak ada pandemi saja sudah banyak tantangan yang dihadapi, apalagi ketika pandemi seperti ini.
Sudah beberapa tulisan juga yang saya torehkan di blog ini terkait dengan pandemi. Namun, nampaknya kalau kita juga saksikan bersama-sama, banyak orang yang juga belum sadar akan bahaya sebuah pandemi.
Kalau saya pribadi menganalisis, dampak ekonomi dari pandemi kali ini akan jauh lebih berlipat dibanding krisis moneter 1998 dulu. Mudah-mudahan saya salah, dan pandemi ini bisa dilalui. Namun, agaknya sulit ya? Ini Indonesia Bung!