Iya, ente geeran aja. Kesel sih boleh. Tapi akan lebih kesel kalau ente membayangkan bagaimana probabilitas alias kecilnya kemungkinan ente terpilih menjadi seorang Menteri di dalam suatu kabinet suatu waktu nanti.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang terpilih maupun tidak terpilih menjadi seorang Menteri di jajaran pemerintahan. Utamanya karena faktor politis, bukan faktor kemampuan.
Mispersepsi akan melihat perkembangan Bangsa dewasa ini banyak pihak yang memang merasa lebih baik dibandingkan dengan dari para pejabat Pemerintah Pusat dari level Presiden sampai ke tingkat yang paling dekat dengan masyarakat di daerah.
Banyak dari kita yang berpikir bahwa menjadi seorang Menteri itu sudah paling paripurna. Ya secara teknis memang begitu. Tapi kan yang sedang dibahas sekarang ini adalah bagaimana cara ke situ nya, bukan apa kekuasaan Menteri, anggaran sektoral yang melekat pada Menteri, bangganya generasi penerus kalau punya orang tua, kakek/nenek mantan Menteri, dll dsb.
Kondisi kepemimpinan nasional saat ini adalah apa yang sudah terjadi. Namun, di balik itu semua juga, kita belum tentu kalau suatu saat menjadi Menteri betulan, kita bisa mengelola Bangsa ini dengan apa yang kita yakini, SAAT INI. Karena kemampuan berubah, ideologi bergeser, kepentingan makin menumpuk ketika kita sudah sampai pada usia di mana dapat dikatakan layak menjadi seorang Menteri tadi.
Faktor Pertama terkait dengan posisi seorang Menteri adalah politis, ini yang paling saru. Paling bikin halu. Kalau semakin dipikir, semakin konyol kita dibuatnya. Karena hal apa yang memungkinkan kita bisa mengetahui siapa Presiden di periode yang mana sudah memungkinkan kita berada pada posisi jabatan tersebut, terutama terkait dengan usia. Tidak ada yang tau. Bisa jadi kita sampai pada “usia matang” untuk menjadi Menteri ketika sebelum Pilpres, sehingga bisa merangsek naik untuk menjadi seorang timses, atau bermanuver wara-wiri, lalu voila menjadi Menteri betulan. Atau, bisa saja kita terlewat momentum dari segi usia, dan kita hanya menunggu, sesekali bermanuver, sudah keluar banyak untuk mencari panggung, tapi sampai akhir periode jabatan sang Presiden tersebut, kita masih urung dipilih menjadi Menteri.
Hei, wake up. Dari Faktor Pertama saja sudah konyol, bukan?
Lagian, kalau dilihat, jabatan Menteri di Indonesia yang betul-betul pernah diisi oleh orang yang kompeten di bidang/sektor yang dibawahi nya, paling hanya berapa sih? Yang saya pegang sampai saat ini bisa jadi Bu Sri Mulyani seorang. Sisanya, siapa? Ingat, Bu Sri Mulyani gitu-gitu sudah berapa periode menjadi Menteri? Karena kepakarannya, kan? Iya, ga usah bahas soal hutang dulu, ini lagi bahas gemana cara ente jadi Menteri nih.
Tapi, sangat sulit kalau misalnya pun kita dikenal mahsyur memiliki kapabilitas yang sangat spesifik, untuk bisa diangkat menjadi Menteri kalau kita juga tidak mengerti politik kekuasaan yang sedang berkuasa atau paling tidak akan berkuasa di kemudian hari. Ingat, yang menginginkan kekuasaan bukan ente seorang, tapi semua orang dari seluruh penjuru negara mau berada di lingkar kekuasaan, bukan? Jadi kalau kita juga tidak pintar-pintar memahami politik kekuasaan tadi, siap-siap lah seribu satu alasan akan disiapkan, dicari, ditemukan, oleh orang-orang yang tidak suka dengan Anda agar tidak menduduki jabatan Menteri.
Sehingga, dengan demikian, dari Faktor Pertama ini, yang bisa memperkuat posisi Anda adalah ketika Anda baik dengan semua orang, punya kecakapan secara kompetensi dan kapasitas sehingga Anda tidak hanya bisa bekerja secara efektif sebagai seorang Menteri, namun orang-orang yang ada di sekitar Anda di jajaran elit tersebut tidak berpikiran untuk menendang Anda secara persekongkolan jahat.
Emang se lebay itu? Iya.
Faktor Kedua. Hal yang paling harus dipersiapkan ketika Anda menjadi Menteri, atau berpikiran menjadi seorang Menteri adalah kesiapan untuk berkecimpung di dunia birokrasi. Coba tanya Mas Menteri Nadiem Makarim yang berjiwa muda, profesional, cakap di bidang industri IT. Tanyakan Mas Menteri Nadiem pendapat beliau tentang keadaan birokrasi di tubuh Kementerian yang dibawahinya. Apa terobosan yang sudah dia buat selama ini, khususnya ketika pandemi dan yang berhubungan dengan pendidikan.
Memasuki alam birokrasi tidak hanya soal masalah dunia yang berbeda, apalagi kalau Anda berangkat dari dunia pengusaha yang memiliki perbedaan gaya. Pun kalau dari kalangan akademisi, belum tentu teori-teori yang Anda kuasai juga akan “laku” di mata jajaran Anda, karena teori-teori tersebut ketinggian. Apalagi kalau latar belakang Anda hanyalah berasal dari politisi murni yang semua orang juga mungkin sudah sama-sama tau cara-cara bermanuver Anda ketika pra-Menteri seperti apa.
Sehingga, perimbangan Faktor Kedua ini juga bukanlah hal yang bisa ditutup sebelah mata. Tidak jauh berbeda dengan ketika seorang pengusaha lokal di suatu daerah, lalu kemudian terpilih menjadi Kepala Daerah, dan melihat kenyataan birokrasi di daerahnya sendiri sangat menggemaskan, tidak seperti pengelihatan ketika berada di luar sistem.
Saya sendiri bukan seorang ASN, dan tidak pernah berpikiran untuk menjadi seorang ASN, saya berada di luar sistem, yes. Tetapi ketika ketidaktahuan Anda terhadap dunia birokrasi sama nol besar nya dengan saya, lalu Anda bermimpi untuk menjadi seorang Menteri, ya mending engga usah capek-capek Ngab!
Kebanyakan dari para Menteri yang pernah ada baik yang dulu-dulu ataupun sekarang, ketika tidak bisa berkompromi dengan dunia birokrasi yang bertingkat-tingkat, yang menjelimet, yang ‘kayaknya kok susah banget kerja efektif dan efisien’, itu bisa kita lihat kinerja nya juga dipaksakan. Kebanyakan hal-hal yang dilakukan oleh Menteri yang dipaksakan tersebut terkesan hanya seremoni-seremoni saja. Banyak hal. Salah satu nya karena ketidakmampuan untuk menerjemahkan visi nya dia secara pribadi sebagai Menteri, kepada jajarannya.
Ingat, jajaran di frase atas itu maksudnya baru di lingkungan Kementerian sendiri lho ya. Coba sekarang dibayangkan harus berurusan dengan Dinas-dinas Kementerian Anda di daerah. Anda sebagai Menteri harus bisa menjamin bahwa program-program yang Anda rancang dari Jakarta harus bisa nyambung sampai ke seluruh pelosok daerah di Indonesia yang maha luas ini. Itu tugas Anda, bukan tugas Dirjen.
Tentu dengan begitu, banyak dari Menteri-menteri karbitan, yang kurang memahami seluk-beluk birokrasi, harus banyak dimentor oleh para Dirjen yang notabenenya merupakan ASN senior yang jauh lebih paham ketimbang individu Menteri nya itu sendiri. Dari hal ini pun juga harus berlaku ilmu padi. Kalau tidak paham sektoral yang sedang dipimpin, harus mengakui tidak paham. Seringnya kan karena merasa pejabat teras, lalu jumawa tidak mau konsultasi dengan para Eselon tinggi, semuanya pakai pokoke saya.
Kalau sudah pokoke saya, hal ini juga diperparah karena yang sama-sama kita tau juga, bahwa birokrasi akan manut kepada perintah petinggi di suatu lembaga. Jadi kalau dari kepala nya saja sudah salah pemahaman, salah perencanaan, salah eksekusi, wis pokoke POAC itu ngaco semua, siap-siap Anda diendus oleh lawan politik di internal kabinet untuk segera direferensikan sebagai kartu kocok ulang.
Faktor Ketiga. Menjadi seorang Menteri di Indonesia itu sangat menguras fisik dan mental. Menjadi Menteri di Malaysia, di Singapura, heck! Bahkan di negara-negara Eropa mungkin tidak akan se-lelah di Indonesia. Dengan luasan negara dan cakupan wilayah kerja dari Sabang sampai Merauke, kesibukan akan mengalahkan produktivitas. Kenapa? Karena memang budaya kerja birokrasi seperti itu, sama-sama tau! Belum menyentuh esensi yang penting efektif dan efisien.
Yang ada Anda akan disibukkan dengan padatnya kegiatan-kegiatan peresmian tidak ada henti-hentinya. Apalagi kalau Anda menjadi Menteri PUPR yang harus sering kali menemani Presiden untuk meresmikan mulai dari batu pertama, batu kedua, batu keseratus, batu bata, semen diaduk, cangkul digoyang, sampai nanti sewaktu proyek pembangunan tersebut sudah jadi, Anda juga harus ke sana lagi, untuk seremoni lagi. Konyol kan?! Capek!
Lagian juga belum tentu juga Anda sehat, bugar, bermental tajam dan siap untuk memberikan performa terbaik. Secara mental untuk memikirkan kenapa banyak sekali seremoni dibandingkan dengan peningkatan efisiensi kinerja, mungkin sudah bikin Anda demam.
Dan tidak ada juga jaminan kalau kita punya idealisme bahwa tidak perlu lagi ada seremoni-seremoni seperti itu, lalu Anda baru tau realitas birokrasi jajaran yang dipimpin harus full dengan kenyataan seremonial, capek kan?
Kita tidak perlu lah membahas banyak sekali yang sebetulnya terutama di jajaran Menteri baik itu saat ini maupun periode-periode sebelumnya, yang kita kalau melihat postur tubuh dan perawakan individu Menteri tersebut saja sudah seakan penuh dengan penyakit. Mulai dari masalah kolesterol, darah tinggi, diabetes, jantung, seakan kita sudah bisa menebak Bapak/Ibu Menteri itu akan terjangkiti masalah kesehatan apa saja selama 3 bulan pertama bekerja, hanya dari perawakan.
Maksudnya, sadarilah bahwa negara ini besar, dan Anda akan dituntut untuk memiliki kondisi yang prima setiap waktu. Ketimbang aktivitas hanya di Jabodetabek, jangan mengukur kalau nanti Anda jadi Menteri harus setiap saat naik pesawat untuk pindah ke pulau-pulau terpencil, tentu tidak akan kebayang beban kerja nya.
Ya syukur-syukur kalau nanti Anda berhasil untuk merapihkan sistem dan meminimalisir peresmian-peresmian yang tidak perlu, sehingga bisa didelegasikan oleh setingkat Dirjen, dan Anda fokus pada peningkatan-peningkatan kinerja yang lainnya. Cakep dah.
Faktor Keempat, moralitas. Karena memang sedari awal tidak ada jaminannya ketika kita menjadi seorang Menteri, lantas kita akan maksimal dalam bekerja. Karena menjadi seorang pejabat publik itu ruwet, banyak celah mulai dari maladministrasi biasa sampai korupsi yang benar-benar merugikan negara, mengintai di setiap gerak-gerik kinerja kita.
Ya syukur kalau misalnya maladministrasi biasa, karena human eror juga misalnya. Ombudsman masih lebih enak pendekatannya. Tapi kalau entah itu disengaja atau tidak, ditemukan unsur korupsi, ya siap-siap siapapun Anda, apalagi secara jabatan politis sangat lemah, kasus Anda tidak hanya akan berhenti di persoalan hukum, tetapi juga sosial-masyarakat.
Lagian, menjadi seorang Menteri dalam hal ini juga orang taunya bahwa kita serba bisa. Banyak sekali pihak yang menggantungkan harapan dan impiannya kepada kita hanya karena kita menyandang gelar Menteri. Hasilnya juga bisa ditebak, kita yang tidak bisa mengelola isu, atau informasi yang masuk, menjadi sibuk untuk hal-hal yang sudah berada di luar tupoksi kita sebagai Menteri sebuah sektor tertentu, bukan di kebidangan yang lain.
Dan untuk menjelaskan kepada masyarakat atau siapapun yang menggantungkan harapan dan impiannya kepada kita, lalu kita merasa kita tidak bisa merealisasikannya, itu adalah satu problematika juga.
Kesimpulannya, memang tidak mudah mengejawantahkan kekesalan pada performa penguasa saat ini dengan bagaimana ujungnya agar kita bisa menjadi orang di lingkar kekuasaan.
Saya juga bisa berkelakar seperti ini karena Bokap sendiri alhamdulillah pernah menjadi Menteri, alhamdulillah bisa ngebacot seperti ini, kan.
Mungkin persepsi yang ente miliki itu adalah bagaimana caranya untuk bisa memiliki kompetensi yang maksimal, paripurna, lalu bagaimana caranya untuk bisa berkontribusi untuk nusa dan Bangsa. Tidak harus menjadi seorang Menteri.
Justru dengan ente menjadi seorang ASN yang meniti karir dari gaji pas-pasan, ga bisa bayar KPR dan lain sebagainya, tapi nanti ketika ente berada di posisi Dirjen, di situ lah pengabdian tertinggi, karena Menteri pun pasti akan tanya-tanya nya ke Dirjen sendiri, toh.
Karena sebagaimana pun kemampuan kita khususnya pada suatu bidang sektoral spesifik, tapi kalau kita di luar sistem, akan sangat kecil kemungkinan daya dan upaya kita bisa dihitung sebagai kontribusi untuk Bangsa dan Negara. Yang ada ya kita berada di Sektor Ketiga, spesifik untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan publik yang ada. Baik itu dari level daerah maupun sampai ke Pusat.
Tapi, jangan geer juga ketika misalnya ente masuk ke dalam suatu partai politik, lalu rekan sejawat yang ente juga kenal menjadi Menteri, lalu bisa cuap-cuap kasih dia masukan bagaimana cara yang baik menjadi Menteri, belum tentu juga kawan ente itu akan mendengar. Kecuali ente diangkat menjadi Staf Ahli nya, itu baru mendingan.
Intinya, coba lah berpikir realistis. Juga banyak cara yang bisa digunakan untuk memberikan sumbangsih kepada negara Indonesia yang sama-sama kita cintai ini. Indonesia tidak butuh 100 orang yang bercita-cita jadi Menteri kok. Asal ada 100 orang yang konsisten kerja nyata, tidak terendus media, tidak banyak manuver politiknya, tapi kegiatan-kegiatannya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, masyarakat sendiri nanti yang akan menilai.
Ketimbang, menghabiskan duit, tebar pesona dan lain sebagainya, hanya untuk berambisi menjadi seorang Menteri. Sudah berapa belas tahun terlewat masa yang harusnya dapat digunakan secara riil untuk memberikan sumbangsih, jadi terlewat begitu saja.
Terus, sebaiknya bagaimana?
Bagaimana apanya? Kalau sampai sini masih digas terus, berarti yang sedang mendorong itu adalah syahwat kekuasaan. Lalu, apa bedanya dengan fenomena elit politik yang ada seperti yang saat ini dipertontonkan? Apa jaminannya ente bisa berbeda dari mereka-mereka itu semua? Engga ada kan?
Namun, terlepas dari itu semua, masih mending kalau ente berpikiran untuk menjadi Menteri. Asal jangan berpikiran menjadi LBP saja. Tidak akan terjadi dua kali mungkin fenomena “Luhut Lagi Luhut Lagi” di kemudian hari. Tapi bisa iya, bisa tidak. Ini Indonesia, siapa yang tau!