Alasannya sederhana.
Pertama, keputusan untuk perubahan dari kata ‘Cina’ atau ‘China’ menjadi Tiongkok di Bahasa Indonesia, itu adalah alasan politis. Alasan politis yang baik tentunya. Pada waktu itu keputusan diteken oleh Presiden SBY pada Kepres nomor 12 tahun 2014. Selain soal politis, supaya ada terlihat peleburan dan persatuan antara Tionghoa dan non-Tionghoa, serta Pemerintah dan masyarakat Tionghoa, juga hal itu dilakukan sebagai latar belakang psikososial yang sering menjadikan istilah ‘Cina’ sebagai sebutan yang tidak mengenakkan di tataran masyarakat akar rumput (https://nasional.kompas.com/read/2014/03/19/1458446/Presiden.SBY.Ganti.Istilah.China.Menjadi.Tionghoa.)
Kalau soal Menteri Tionghoa pertama di Indonesia sebetulnya juga sejak zaman Soekarno juga sudah pernah ada Menteri Tionghoa Tan Po Gwan yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara (https://historia.id/politik/articles/menteri-tionghoa-di-kabinet-republik-indonesia-DEnz7/page/1). Jadi sebetulnya kalau kesan politis-inklusif, ya engga juga, wong dari era Soekarno sudah ada Menteri Tionghoa yang bisa dikatakan sebagai “representasi” etnis Tionghoa di Indonesia. Atau bisa jadi di kalangan Tionghoa sendiri merasa Tan Po Gwan hanyalah representasi dari klan/fam Gwan semata. Ya susah kalau mikirnya begitu terus.
Jadi menurut saya, kalau dibilang Kepres tersebut telat, ya sudah telat banget. Baru tahun 2014 diteken, semenjak 1945 kita merdeka, berarti hitungannya sudah kelamaan dan bisa dibilang sebuah Kepres yang basi.
Kedua, masih terkait psikososial mengenai makna ‘Cina’ di kalangan akar rumput. Itu sebetulnya banyak juga orang yang berargumen kalau orang Jawa dipanggil ‘eh Jawa’, orang Padang dipanggil ‘eh Padang’, orang Ambon dipanggil ‘kaka Ambon’, orang keturunan Arab dipanggil ‘Arab atau Arap’ dan lain sebagainya, tentu secara casual tidak ada yang mempermasalahkan bukan? Berarti memang penggunaan istilah ‘Cina’ itu juga tergantung pada konteksnya. Buanyak sekali penggunaan-penggunaan istilah ini yang sebetulnya memang menjadi sulit karena perkembangan media sosial yang menjadikan banyak orang menggunakan penyebutan-penyebutan yang tadinya netral menjadi sesuatu yang diskriminatif.
Saya sendiri juga tidak masalah kalau ada yang panggil saya Batak/Karo. Karena memang memiliki darah yang berasal dari tanah Karo.
Di Indonesia banyak orang yang juga sudah tidak bisa diidentifikasi asal daerah dari lini orang tua. Karena banyaknya percampuran daerah dan lokasi pergaulan yang membuat semua orang dipanggil ‘Mas’. Saya sendiri pun memiliki Babeh yang berdarah Karo-Minang, dan Ibu Solo-Madura. Jadi saya akan terima kalau dipanggil empat-empatnya sekaligus, malah mungkin menjadi kebanggaan. Anak saya juga mengalir di darahnya darah Sunda dan Nias yang berasal dari istri saya, sehingga dia punya enam percampuran darah Nusantara di tubuhnya. Adalah suatu kebanggaan.
Jadi, dalam faktor ini, saya melihat ekslusivitas itu juga yang menyebabkan banyak orang resek yang menggunakan istilah ‘Cina’ pada akhirnya sebagai ejekan atau ledekan. Karena rata-rata seperti keturunan Arab, keturunan Tionghoa susah sekali untuk mau menikah atau berpasangan dengan mereka yang non-Tionghoa. Jangankan dengan non-Tionghoa, beda fam saja sudah endak mau mungkin. Jadi ini yang harus coba direvisi kembali cara pandangnya.
Ketiga, ya sesederhana karena saya melihat teman-teman Tionghoa adalah orang Indonesia, titik. Kalau kata ‘Cina’ atau ‘China’ saya anggap adalah sebuah negara, entitas politik yang memiliki wilayah, rakyat, kedaulatan, dan lain sebagainya sebagai unsur-unsur pembentuk suatu negara.
Tapi, kalau Tionghoa yang juga memang dalam Bahasa Mandarinnya Hua-ren atau Hua-qiao ya secara literal berarti ‘keturunan Bangsa Cina’. Justru penggunaan Tionghoa dalam arti literal itu sendiri, malah bisa dibilang menjadi “jalan untuk mempertegas” penyematan bahwasanya seseorang itu memiliki garis keturunan Bangsa Cina. Paham kah?
Kalau saya pribadi ya tentu tetap memakai kata ‘Tionghoa’ baik itu untuk percakapan maupun penulisan. Yang saya agak malas itu mengucapkan atau menulis Tiongkok. Mungkin hanya ketika kegiatan-kegiatan resmi atau penulisan artikel yang editornya mengharuskan seperti itu.
Saya menyebut rekan-rekan Tionghoa atau Hua-ren yang saya kenal maupun tidak, sebagai keturunan Chinese. Biasa saja.
Keempat, karena menurut saya (di-bold, garis merah) kebanyakan orang-orang yang kaku melihat istilah itu rata-rata ya generasi Boomer ke atas. Atau malah WNA Cina nya sendiri yang melihat karena sudah keren ada embel-embel Kepres telat, disangkanya semua rakyat Indonesia harus menuruti Kepres tersebut.
Kalau sudah pakai cara pandang generasi Boomer (saya Milenial tahun 89) ya jangankan pengistilahan ‘Cina’ dan Tionghoa ini, untuk banyak hal lain saja sudah besar sekali gap generasi antara kita dan mereka. Jadi, kekakuan pemikiran dan kekakuan pergaulan itu juga menjadikan semuanya makin kacau. Karena pada posisi mengambil titik ekstrim sebelah sana, titik ekstrim sebelah sini juga pada akhirnya muncul. Maka, sedang-sedang saja, di tengah saja.
Apalagi kalau sudah yang semangat pakai kata Tionghoa itu adalah WNA. Mana paham WNA soal psikososial dan pergaulan akar rumput. Kayak pernah bergaul ke masyarakat langsung aja mereka. Kasih-kasih bantuan juga paling banter gunting pita sama foto-foto. Dan kebanyakan WNA Cina juga mindset nya adalah paihua, atau zaman-zaman ketika penindasan terhadap Tionghoa secara struktural yang dilakukan oleh Soeharto (iya, standpoint saya soal itu di sini, masalah?).
Kalau kita misalnya ngobrol dengan supir-supir taksi di Beijing atau orang-orang yang belum pernah ke Indonesia, pasti tragedi 1998 terus yang disebut. Padahal itu sudah berapa puluh tahun yang lalu, dan Soeharto beserta keluarga dan kroni nya bersikap seperti itu tidak mencerminkan satu negara. Ya, makanya, kalau di Cina sana perspektif negara adalah perspektif rakyat secara keseluruhan. Sudah kaku nya seperti itu. Kalau di Indonesia ide, gagasan, pemikiran, positif, negatif, bebas, terserah. Negara paling bebas di dunia adalah Indonesia, bukan Amerika Serikat. Berani taruhan goceng-goceng? Yuk.
Terakhir, karena alasan kepraktisan. Baik itu untuk percakapan ataupun penulisan, menulis kata Cina akan lebih cepat daripada menulis Tionghoa, bukan? Jadi, ya sesederhana itu.
***
Jadi gimana, bungkus ga nih? Koh, Ci, bro, sis?
Memang urusan mengenai Indonesia ini PR kita sama-sama banyak. Coba lakukan yang kita bisa, jangan melihat atau mendengar pendapat-pendapat miring yang tidak bertanggung jawab. Apalagi di media sosial.
Lakukanlah apa yang menurut kita berfaedah, terutama untuk melakukan sumbangsih terhadap Bangsa dan negara yang sama-sama kita cintai ini, bukan? Atau lebih cinta negara Cina dibanding Indonesia? Hahaha. Coba kita lihat paska-pandemi ya, apa ada kemudahan untuk apply kewarganegaraan ke sana. Tapi saya ga jago badminton, skill apa ya yang bisa saya jual, hahaha.