Buat kamu yang penasaran dengan sistem pendidikan di Cina beserta seluk-beluknya, juga sedang mencari-cari tau kira-kira kampus apa yang paling bagus di Cina. Atau sedang kepo aja soal kampus-kampus di Cina, bungkusss!
Pertama-tama, kita juga harus tau dulu bagaimana rating dari kampus/universitas itu disusun. Ada perspektif subjektif nya, ada objektif nya.
Kita coba bahas yang subjektifnya dulu ya.
Pertama, karena pemeringkatan kampus/institusi pendidikan atau produk ritel sekalipun, memiliki sisi lain yaitu sebagai alat marketing/pemasaran sebuah produk. Tentu peringkat-peringkat tinggi dari suatu produk/jasa yang ditampilkan akan memiliki penerimaan paling tidak kesan yang baik oleh para konsumen atau calon konsumen. Pendidikan tidak ubahnya seperti produk-produk ritel, tentu memiliki kepentingan untuk menyuarakan keluar bahwa produk yang dimiliki oleh suatu institusi tersebut berkualitas.
Tapi, dengan demikian, terlalu banyak kapitalisasi pendidikan dengan hanya membuat stigma atau bahkan diskriminasi terhadap kampus/universitas yang ada pada urutan non-favorit. Padahal, membangun suatu institusi pendidikan itu juga memiliki prosesnya sendiri. Banyak hal yang harus dilalui. Bisa jadi kampus-kampus yang ada di urutan bontot tersebut, juga adalah kampus-kampus baru, dalam bidang-bidang baru, jadi bukannya jelek, hanya saja belum diberi waktu untuk bersaing.
Tentu, dengan kapitalisasi pemeringkatan/ranking seperti ini juga membawa dampak yang tidak baik. Kampus-kampus akan berlomba untuk menjual nama semata, ketimbang betul-betul fokus pada core akademik yang justru dicari oleh para pelajar yang ingin menuntut ilmu.
Kedua, masih berhubungan dengan poin di atas, negara dalam hal ini yang merupakan host dari kampus-kampus tersebut memiliki kepentingan yang sangat tinggi. Karena dengan begitu suatu negara memiliki kesan yang berkualitas dalam hal pendidikan tentu. Tidak lupa karena dengan begitu, akan banyak pelajar asing yang datang ke suatu negara, ambil contoh AS, yang juga bisa membawa jutaan USD setiap tahunnya.
Hal ini juga secara subjektif cukup miris, karena misalnya pada prakteknya, UK menerapkan sistem pendidikan hanya 1 tahun untuk para pelajar baik dalam negeri maupun asing sehingga bisa mendapatkan gelar Master’s. Padahal di negara-negara lain pendidikan S2 minimal ditempuh dalam waktu minimal 2 tahun.
Penjabaran sedikit ya. Untuk pendidikan 1 tahun mendapatkan S2 di UK, itu kalau kita simak, tempo belajar yang tersedia bukanlah 12 bulan. Mungkin hanya 8 bulan, setelah terpotong dari Summer Break dan Winter Holiday. Artinya memang contoh kasus sistem pendidikan di UK ini terbilang untuk menarik para pelajar asing yang menginginkan “jalur cepat” untuk mendapatkan gelar S2 tadi. Apalagi kalau berkuliah di UK hanya bermodalkan Bahasa Inggris yang pengguna global nya juga sudah banyak.
Tapi memang, hal tersebut juga bisa dipahami, toh devisa dari para pelajar asing yang umumnya mendapatkan sokongan beasiswa dari negara asalnya, membawa jumlah uang yang juga tidak main-main. Bisa ratusan juta kalau dirupiahkan. Tidak hanya untuk tuition nya tentu. Uang sewa akomodasi tinggal dan allowance yang notabenenya katakanlah per bulan bisa spent 60% dari jumlah allowance beasiswa yang diberikan oleh negara, contohnya kalau Indonesia adalah LPDP.
Lalu, secara riilnya negara-negara seperti UK sudah memiliki ekonomi yang ditopang oleh servis/industri jasa. Negara-negara yang sudah service-based economy ini tidak lagi ditopang dari menghitung volume output manufaktur yang kemudian bisa diekspor ke negara lain sehingga menambah nilai GDP. Tetapi yang dijadikan bahan cuan adalah sektor-sektor jasa pendidikan, keuangan, jasa korporasi, legal-bisnis, konsultansi, dan hal-hal lain yang mungkin kita juga belum pernah mendengar bidang usaha tersebut.
Selain US, UK, negara-negara seperti Kanada, Australia, New Zealand juga memanfaatkan sektor ekonomi jasa pendidikan ini untuk mendapatkan pemasukan sebanyak-banyaknya. Namun, perspektif mendatangkan devisa dari sektor pendidikan seperti ini tidak berlaku untuk negara-negara welfare state (negara kesejahteraan) yang umumnya banyak ditemui di Eropa seperti Jerman, Finlandia, Norwegia, Swedia, dll. Karena umumnya negara-negara welfare state memiliki budget yang cukup yang dikumpulkan dari pajak yang juga sangat tinggi, untuk diberikan kembali kepada siapapun yang ada di teritori wilayahnya dalam aspek pendidikan, kesehatan, keluarga, pensiun, dll.
Indonesia sendiri bukanlah negara kesejahteraan. Walaupun di UUD 1945 juga menganut konten mengenai kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia adalah negara Pancasila yang masih mencari bentuk, masih mencari-cari identitasnya, apakah mau kapitalis atau ke arah negara kesejahteraan seperti negara-negara Eropa tadi.
Ketiga, urusan eksistensi badan pemeringkat/pemberi rating tadi karena sudah masuk ke sektor jasa, maka dengan begitu puluhan mungkin ratusan orang di seluruh dunia ini bekerja di lembaga/ perusahaan yang memberikan peringkat-peringkat tadi. Sehingga ada kepentingan ekonomi juga dibalik itu semua.
Sehingga, kehadiran mereka juga bukanlah sesuatu yang juga hadir dari institusi pendidikan, melainkan dari semangat kewirausahaan dengan peluang bahwa pemeringkatan institusi pendidikan adalah satu bidang usaha dan sektor yang menjanjikan. Ingat, pemeringkatan institusi pendidikan juga diakses secara global, bukan hanya negara tempat kampus/universitas itu berada.
Namun, hal ini juga memiliki perspektif lain. Umumnya lembaga-lembaga tersebut berada di negara-negara English-speaking countries. Sehingga, kampus-kampus yang notabenenya bukan berada di negara-negara penutur Bahasa Inggris, memiliki hambatan untuk diases secara lebih intensif karena alasan komunikasi dan penggunaan bahasa. Misalnya kampus-kampus di Cina yang tentu lebih praktis menggunakan Bahasa Mandarin untuk melakukan korespondensi—berkomunikasi.
Ketiga poin di atas kira-kira mengenai aspek subjektif yang terpikirkan terkait dengan pemeringkatan institusi pendidikan seperti yang kita tahu.
Lalu, untuk beberapa poin objektif nya, tentu bisa berselancar sendiri di internet atau berdiskusi dengan orang yang lebih paham untuk perkara pemeringkatan seperti ini. Namun, mengutip dari https://www.timeshighereducation.com/student/advice/world-university-rankings-explained, ada beberapa komponen penilaian sehingga pemeringkatan suatu insitusi pendidikan itu bisa dilakukan secara objektif dan faktual.
Laman THE di atas membutuhkan kita untuk Signup terlebih dahulu sebelum bisa membaca artikel yang ada. Namun, di artikel ini saya coba rangkum konten nya.
Ada 5 komponen penilaian yang dimasukkan pada metodologi penelitian dan pengambilan keputusan peringkat untuk institusi pendidikan, umumnya adalah yang dipakai oleh para asesor dari lembaga-lembaga pemeringkat sebagai pihak ke-3 di luar kampus/universitas.
Komponen-komponen tersebut adalah terkait Teaching/pengajaran, Research/riset, Citations/dampak penelitian, Industry Income/pendapatan industri nya, dan International Outlook/analisis global.
Dari 5 komponen besar ini, masih dari laman THE tadi, urutan persentase penilaian atas komponen Teaching/pengajaran, Research/riset dan Citations/dampak penelitian memiliki skor sama yaitu 30%. Lalu 2 komponen yang terakhir International Outlook/analisis global dan Industry Income/ pendapatan industri memiliki urutan 7,5% dan 2,5% masing-masingnya.
Namun, menariknya dari laman THE di atas, mereka juga menambahkan bahwa ada komponen-komponen yang mereka sendiri tambahkan untuk produk penelitian yang mereka lakukan terhadap institusi-institusi pendidikan seperti jumlah mahasiswa/i, rasio gender/jenis kelamin dari para mahasiswa/i yang berstudi, rasio antara staf institusi dengan pelajarnya, dan persentase pelajar asing terhadap jumlah keseluruhan pelajar yang ada di institusi pendidikan tersebut.
Kembali ke 5 komponen utama di atas. Laman THE juga melakukan pemecahan persentase secara lebih terperinci. Berikut detilnya.
Dari 30% komponen Teaching/pengajaran—yang dianalisis adalah kondisi lingkungan belajarnya, 15% untuk survey reputasi, 4,5% untuk rasio staf dan pelajar, 2,25% untuk rasio antara mahasiswa S3 dengan S1 di kampus tersebut, 6% untuk rasio lulusan Doktoral dari institusi tersebut yang sudah bekerja sebagai akademisi (hal ini penting untuk melihat kesinambungan lulusan S3 yang memang merupakan jalur menjadi seorang akademisi), dan 2,25% lainnya untuk pendapatan yang dimiliki oleh institusi pendidikan tadi.
Dari komponen 30% Research/riset, 18% untuk survey reputasi (yang berkaitan dengan reputasi riset kampus/institusi tersebut), 6% untuk penghasilan yang didapatkan dari proyek-proyek riset yang dilakukan oleh personel kampus tersebut, dan 6% lainnya untuk produktivitas riset—ini yang dirasa paling kurang dari kampus-kampus yang ada di Indonesia, sehingga juga kurang bisa mendongkrak peringkat kampus-kampus dalam negeri.
Dari komponen 30% Citations/dampak penelitian tidak ada pemecahan persentase, murni yang diukur adalah apakah produktivitas riset yang menghasilkan output hasil-hasil penelitian baik itu yang masuk ke jurnal maupun medium publikasi lainnya. Sehingga komponen ini juga bisa dibilang sangat besar. Bila jurnal yang dihasilkan oleh akademisi Harvard lebih sering kita dengar ketimbang misalnya Peking University untuk urusan citation atau pengutipan/pencatutan hasil penelitian oleh khalayak internasional.
Kalau soal bahasa, ya balik lagi ke poin atas, di situ memang hambatannya.
Dari komponen 7,5% International Outlook/analisis global, pemecahan nya masing-masing 2,5% pada rasio pelajar lokal-asing, rasio staf lokal-asing, serta kolaborasi internasional/global yang telah dilakukan oleh suatu institusi pendidikan yang dinilai.
Terakhir komponen dengan nilai 2,5% pada pendapatan industri nya—terkait dengan transfer pengetahuan yang menghasilkan revenue/income bila dilihat dengan kacamata industri.
Sebetulnya tidak hanya laman THE, seperti misalnya laman https://www.topuniversities.com/university-rankings/rankings-by-location/mainland-china/2019 juga bisa kita lihat selain ada Tab mengenai peringkat kampus, di sebelahnya juga ada Tab Ranking Indicators/indikator-indikator peringkat. Yang antara lain juga tidak jauh berbeda dari yang dimiliki oleh laman THE.
Indikator-indikator seperti Reputasi Akademik, Reputasi Institusi, Jumlah Total Pelajar, Kutipan Jurnal, Staf Berpendidikan S3, Jumlah Pelajar Asing, dan Aspek Internasional lainnya.
Namun, hal yang terpenting dari penilaian objektif ini juga terkait dengan usia kampus tersebut. Untuk kampus-kampus yang masuk ke dalam The Ivy League (https://en.wikipedia.org/wiki/Ivy_League) atau The Russel Group (versi UK dari The Ivy League) juga merupakan institusi pendidikan yang bukan baru kemarin, tapi sudah berusia ratusan tahun. Harvard saja saat ini sudah berusia 385 tahun. Apabila dibandingkan misalnya dengan Peking University yang baru berdiri pada tahun 1898 atau Qinghua (Tsinghua) University yang baru berdiri tahun 1911.
Tentu dengan keseluruhan penilaian pada komponen-komponen objektif di atas, semakin tua sebuah institusi pendidikan, tentu kumulasi dari penghitungan dan penilaian yang tersematkan semakin tidak terkejar oleh kampus-kampus yang misalnya baru berdiri paska-Perang Dunia II atau malah setelah tahun 1950an seperti banyak kampus/universitas di Indonesia.
Soal bahasa yang juga menjadi barrier/hambatan penting dalam keseluruhan pemeringkatan ini juga dialami oleh kampus-kampus di Jerman, seperti yang dikutip dari laman https://www.thelocal.de/20140916/three-german-universities-in-worlds-top-100-qs-rankings-falling/ yang mengatakan bahwa:
“German institutions, which normally perform poorly in international rankings because their academics tend to publish in German rather than English, have largely fallen in the rankings compared with last year.”
Sehingga ya memang se-objektif apapun sebuah fenomena, tentu ada ruang-ruang subjektivitas yang bisa kita letakkan pada proporsinya. Apalagi Bahasa Inggris kadung sebagai bahasa yang dipakai secara internasional—terima kasih kepada penjajahan dan kolonialisme masa lampau.
Untuk Cina sendiri, paling tidak dari apa yang saya dan rekan-rekan lain telah melihat sendiri di sana, ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa pemeringkatan tidak penting.
Pertama, Cina adalah negara kesejahteraan—kalau kita tidak mau menyebut negara tersebut negara sosialis. Dengan begitu, tujuan dari pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara garis komando, atau paling tidak lebih terkoordinir. Sehingga manuver-manuver kapitalistik yang hanya mengedepankan cuan, pada sektor pendidikan ini sangat dibatasi di negara Middle Kingdom ini.
Di Cina sendiri kampus-kampus/institusi pendidikan semuanya berstatus negeri. Kecuali yang dikelola oleh misalnya Kedutaan asing atau yang dimiliki sebagian saham nya oleh perusahaan dari luar Cina. Tapi itu pun dengan persyaratan dan pengawasan yang super ketat dari sisi akademis dan konten-konten pendidikan yang diajarkan ke para peserta ajar.
Dengan demikian juga, pemerintah Cina sendiri telah menggelontorkan selama ini paling tidak 16,8% dari keseluruhan APBN mereka untuk pendidikan, menurut laman https://en.wikipedia.org/wiki/Education_in_China. Sehingga tidak heran juga banyak subsidi yang diberikan oleh para pelajar baik itu lokal dan internasional—dalam bentuk beasiswa.
Bahkan di Cina sendiri uang SPP untuk pelajar lokal di sebuah kampus/universitas bisa-bisa berjumlah 1/3 dari tuition fee yang dibayarkan oleh mahasiswa internasional. Namun, tentu ada perbedaan fasilitas asrama dan lain sebagainya yang bertaraf pas-pasan untuk para pelajar lokal Cina sendiri.
Perihal lain yang menjadikan Cina sangat mengedepankan pemerataan kualitas pendidikan adalah dengan adanya fasilitas-fasilitas penunjang yang lengkap di dalam kampus baik itu di kota-kota besar maupun di kota-kota yang berada di Tier 2-4 (di Cina mengenal sistem Tier untuk mengidentifikasi dan mengkategorisasikan perkembangan suatu daerah). Sarana-sarana seperti asrama dalam kampus, perpusatakaan besar, lapangan olahraga, stadion, kantin, klinik/RS kecil, toko buku, minimarket, dan lain sebagainya sangat diperhatikan. Paling tidak itu yang saya lihat sendiri selama tinggal 5 tahun di Cina.
Sehingga para pelajar juga tidak memiliki alasan untuk tidak perform dalam belajar, karena semua sudah tersedia di dalam kampus. Bahkan untuk kampus-kampus besar yang juga memiliki luasan area yang besar, mereka juga memiliki amphiteater ataupun teater dalam ruangan (indoor) yang juga bisa digunakan sebagai bioskop atau lokasi dilaksanakannya pertunjukan-pertunjukan seni-budaya.
Peking University yang juga merupakan kampus di mana saya belajar Bahasa Mandarin selama 2 tahun, memiliki fasilitas teater dalam ruangan yang sangat besar dan cantik. Juga memiliki stadion yang bernama Stadion Khoo Teck Puat yang sampai memiliki rubanah (basement) 4 lantai ke bawah yang berisikan lapangan basket dan squash, arena billiard, dan kolam renang skala internasional yang sangat-sangat besar. Bahkan di UI kita belum bisa menemukan fasilitas stadion semacam itu. Selain itu Peking University memiliki 5-6 kantin yang bervariasi ukurannya. Begitu pun dengan perpustakaan nya yang kalau saya tidak salah ada 5 lantai yang bisa diakses selama 24 jam baik itu sedang turun hujan atau salju, buka terus. Bandingkan dengan perpus-perpus yang ada di kampus lokal kita? Wew.
Ah. Janganlah kita teruskan yah perbandingan-perbandingan kampus yang ada di luar dengan yang ada di domestik. Saya juga pernah berkesempatan tur pendidikan ke Stanford University dan UCLA Berkeley. Tentu saya ingin berkunjung ke Harvard, namun pada waktu itu tur pendidikan kami hanya sebatas menuju ke West Coast, bukan ke East Coast. Kalau menyebut fasilitas yang tersedia di kampus-kampus di US, ya kita bisa sama-sama Googling ya.
Atau waktu ke Jepang saya juga berkesempatan untuk mengunjungi Todai (Tokyo University) dan Tokodai (Tokyo Institute of Technology). Atau misalnya waktu ke Istanbul, sempat diajak melihat-lihat Marmara University, tapi tidak lama. Lalu misalnya juga sempat ke Hongkong University sewaktu ada kegiatan PPI Dunia. Atau juga waktu tahun 2010 sempat dibawa dadakan untuk muqobalah ke Universitas Islam Madinah, tapi gagal.
Namun, sejurus dengan judul, yang ingin saya garis bawahi juga, terutama terkait dengan kamu yang sedang melihat-lihat peringkat kampus di Cina, selain karena pemerataan pendidikan tadi, tidak perlu khawatir kalau mendapatkan kampus yang memiliki peringkat bontot/jauh di bawah. Misalnya saja kampus tempat saya S2 Master’s of International Business yaitu UIBE Beijing. UIBE kalau dilihat di peringkat baik itu di THE atau QS berada pada urutan angka 200an. Tapi itu tidak mengapa, alasannya karena UIBE Beijing itu memang kampus kecil. Hanya terdiri dari 6 Fakultas (Schools), yang utamanya berkaitan dengan Keuangan, Bisnis, dan Manajemen. Bandingkan dengan kampus-kampus besar lainnya yang memiliki belasan bahkan 20an Fakultas. Selain itu UIBE Beijing juga baru berdiri pada tahun 1951 (RRT berdiri pada tahun 1949).
Kalau dari cerita para Profesor atau rekan-rekan Cina di UIBE Beijing, kampus itu tadinya bukanlah universitas terbuka yang bisa diakses orang umum. Melainkan merupakan sebuah akademi yang dikhususkan bagi khalayak yang berniat menjadi ASN di bidang-bidang Keuangan, Bisnis, dan Manajemen untuk bekerja di Kementerian-kementerian terkait. Namun, pada akhirnya kampus UIBE Beijing dibuka untuk khalayak umum dan menjadi universitas reguler yang tidak hanya sebatas akademi para calon ASN di negara mereka.
Lalu, contohnya terkait dengan UIBE Beijing itu juga, setiap tahun banyak sekali kegiatan-kegiatan skala global yang dilaksanakan di kampus tersebut. Umumnya tentu yang berkenaan dengan Keuangan, Bisnis, dan Manajemen tadi. Seperti misalnya yang paling saya ingat itu adalah penggunaan fasilitas kampus sebagai lokasi rapat-rapat berseri untuk para staf tinggi WTO yang berasal dari berbagai macam negara. Biasanya rapat-rapat berseri untuk para staf dengan posisi tinggi dilakukan sebelum terjadinya misalnya WTO Summit atau kegiatan yang dilakukan oleh superbody lain seperti PBB, World Bank, IMF, dan lain sebagainya.
Sehingga dengan demikian, kalau kita mengetahui reputasi dari suatu institusi pendidikan beyond apa yang kita bisa akses dari Google, rasa-rasanya urutan peringkat 200an tadi juga tidak menjadi masalah, toh?
Jadi, bagaimana? Bisa kita bungkus tulisan ini? Bungkus yaaa.
Good luck!
🙂