Bagaimana Kalau ada Pandemi ke 2?

Pandemi saat ini selain hal-hal yang berkaitan dengan kesedihan, rasa pilu yang mendalam, dan semua hal yang berkaitan dengan maut, tentu banyak sekali memberikan pelajaran kepada manusia akan banyak hal.

Agak amsyong kalau pada misalnya 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, yang mana saat kita masih hidup, ada pandemi virus atau bakteri lainnya yang kita tidak tau bisa-bisa muncul.

Paling tidak hal-hal yang dapat kita pelajari adalah terkait dengan:

Pertama, pentingnya berhidup hemat. Apalagi untuk orang-orang yang tinggal di Jabodetabek, yang notabenenya mungkin memiliki lebih banyak penghasilan dibandingkan dengan masyarakat di daerah, godaan untuk memiliki pengeluaran yang besar juga sangat tinggi. Tingginya angka konsumsi memang merupakan salah satu faktor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi itu kalau memang fundamental keuangan masyarakat per kapitanya sudah sehat. Tapi, kalau belum sehat agak sulit menilai realisasinya seperti apa.

Memang sih, berhidup hemat itu bukan hanya waktu ada pandemi aja.

Maksudnya, apalagi terkait dengan pandemi ini, banyak dari rekan-rekan yang terpaksa kehilangan pekerjaan, kekurangan order dari bisnis yang selama ini dijalankan, terpaksa tutup bisnis kecil-kecilan, dan lain sebagainya. Bahkan dunia startup yang tadinya sebelum pandemi banyak sekali kabar-kabar gembira, ternyata juga banyak investor yang menahan investasi mereka akibat ketidakpastian kapan pandemi akan selesai.

Sehingga, berhidup hemat juga menjadi sangat penting dalam hal ini. Kita bisa menghitung berapa banyak uang yang kita keluarkan hanya untuk beli kopi di luar, atau memesan makanan secara online. Uang yang kita keluarkan tidak kerasa, karena bukan keluar dari dompet, tapi cuma angka-angka digital di handphone kita, tapi tetap saja itu duit.

Kalau saya sendiri meyakini bahwa setelah pandemi ini, akan banyak perubahan gaya hidup orang-orang terkait dengan bagaimana mengeluarkan sejumlah uang yang didapatkan untuk hal-hal yang sebetulnya bisa ditahan. Perubahan ini juga misalnya mungkin frekuensinya tidak berkurang, tapi budgetnya yang dikurangi. Misalnya biasanya ke kafe pesan 1 minuman, 2 cemilan. Mungkin setelah pandemi nanti banyak yang nongkrong dengan hanya pesan 1 minuman saja, atau sembari bawa colongan cemilan minimarket yang sudah disiapkan di tas. Atau bisa juga tadinya nongkrong di kafe, tapi kemudian berubah menjadi warkop. Tetap sama ada kopi, bahkan ada mie goreng, bubur kacang hijau, rokok, dan lain sebagainya. Yang beda hanya tidak ada wifi dan AC, kan?

Saya jadi berpikir kita jarang terlihat warkop yang bangkrut ya? Pernah lihat?

Berhidup hemat ini juga tentu berhubungan dengan kebiasaan menyicil untuk barang-barang yang juga tidak kita butuhkan secara primer. Banyak sekali di pemberitaan terkait dengan

Kedua, tabungan. Terkait dengan poin di atas. Banyak dari kita yang mengeluarkan uang hanya untuk pengeluaran-pengeluaran kecil, yang bersifat hiburan, demi pertemanan, atau hanya sekedar bikin perut kenyang. Tapi kalau dipikir-pikir, dengan pandemi ini juga kita dipaksa untuk mengurangi mobilitas secara drastis. Itu aja udah lumayan mengurangi uang bensin yang ketika sebelum pandemi kita mengeluarkan jumlah yang tidak sedikit per bulannya.

Banyak teori-teori kalkulasi finansial yang bisa dicek terkait dengan seberapa besar tabungan harus disisihkan dari sejumlah pendapatan/gaji yang kita miliki. Yang agak ekstrim mungkin bisa di angka 50% ya. Tapi itu tentu bagus untuk long-term nya.

Bahkan menurut sprinter kenamaan dunia, Usain Bolt, jika kita mendapatkan penghasilan 10, maka yang 6 nya harus kita sisihkan.

Perihal tabungan ini banyak terbukti dari rekan-rekan yang terpaksa harus dirumahkan secara tiba-tiba. Memang akan sangat baik kalau kita memiliki bisnis kecil-kecilan seperti buka warung di rumah, rujak, siomay, cilok, roti bakar, minuman kekinian, ataupun semacam dropship yang paling tidak juga bisa menjadi tambahan yang apalagi kalau hasil dari berusaha kecil-kecilan tersebut masuk ke kantong tabungan, bukan kantong pengeluaran.

Ketiga, terkait dengan sumber pemasukan, yaitu pekerjaan atau bisnis yang kita lakukan. Tentu kalau terkait dengan hal ini, yang jelas-jelas aman dalam situasi pandemi adalah pekerjaan dengan status ASN. Karena tidak mungkin dengan alasan pandemi seperti ini seseorang dipecat atau dirumahkan dari posisinya sebagai pegawai negeri sipil.

Namun, kalau kita lihat juga, di sektor ritel, untuk pekerjaan atau bidang usaha yang masih bisa bertahan adalah yang bergerak di bidang bapok (bahan-bahan pokok). Seperti outlet-outlet minimarket yang tampaknya tidak terpengaruh sama sekali oleh pandemi. Pengurangan omzet iya, tapi kalau dilihat dari persentase, dan dibandingkan dengan sektor non-bapok, tentu berbisnis atau bekerja di minimarket (outlet maupun kantor manajemennya) terbukti memiliki ketahanan yang sangat baik di tengah-tengah pandemi.

Atau misalnya di sektor logistik. Dengan pandemi ini, justru sektor logistik meningkat tajam, bukan? Berbelanja dari rumah adalah sesuatu yang mungkin secara budaya masih tidak terlalu merata. Biasanya untuk kalangan rumah tangga, kalau berbelanja itu harus dalam qty banyak, karena untuk dikonsumsi kurun waktu 1 bulan, dan terbiasa melihat dan memegang barang yang mau dibeli. Dengan adanya pandemi ini, cara untuk mengetahui bahwa sebuah produk kebutuhan konsumsi seperti daging, telur, sayur, buah-buahan, dll kita tinggal melihat testimoni atau rekomendasi dari orang yang pernah berbelanja di sebuah outlet atau marketplace tertentu.

Di kalangan industri tingkat UMKM seperti bengkel-bengkel motor, mobil, bengkel las, bengkel teralis, bengkel kayu, pengepul barang bekas, dll juga masih memiliki ketahanan yang cukup baik. Apalagi semacam bengkel kayu atau bengkel teralis begitu. Banyak orang yang ingin memperbaiki rumah, karena sebelum anjuran WFH, tidak sempat untuk mengecek kerusakan-kerusakan yang ada di rumah, atau sekedar untuk memperbaiki engsel pintu yang berkarat.

Penjual tanaman pinggir jalan juga mendadak laku keras, ini sudah terjadi sejak awal pandemi, bukan? Apalagi misalnya dengan tren tanaman janda bolong, atau jenggot Musa, dll membuat orang-orang yang menghabiskan banyak waktu di rumah sedari awal pandemi berbenah dan melihat kira-kira cocoknya menambahkan tanaman apa. Alhasil penjual tanaman kelimpahan rejeki yang tidak disangka-sangka. Tapi ya begitu, data-data untuk kalangan usaha semacam ini tidak ada datanya.

Kalau diteruskan, tentu banyak lini usaha yang sebetulnya justru mendapatkan “berkah” akibat pandemi ini. Sektor e-commerce, jasa pengelolaan pertemuan online, jasa kemanusiaan, kesehatan tentunya, dan sebetulnya ada saja sektor-sektor yang sebelumnya kita tidak terpikirkan untuk bisa selamat.

Hubungannya apa dengan artikel ini? Berarti memang sedari awal kita juga harus memikirkan apakah itu bidang pekerjaan atau bisnis yang minim gangguan. Jangan hanya karena sedang tren, ditambah kita tidak memiliki pengetahuan soal lini produk itu, lalu kita dengan pedenya masuk ke bisnis produk tersebut. Begitu pula dengan sektor pekerjaan yang kebal pandemi, juga akan menjadi sasaran para pencari kerja di masa-masa setelah selesai pandemi. Kalau selesai ya.

Keempat, tentu karena sedang pandemi, isu mengenai kesehatan sangatlah penting. Menjaga kesehatan agar tubuh kita tetap fit, aktif, bergerak, memiliki imun yang baik dsb sangat terasa ketika ada masalah yang menimpa.

Saya pribadi juga bukan olahragawan. Tapi kalau bisa setiap hari saya sempatkan untuk berolahraga paling tidak 30 menit dengan jenis olahraga bermacam-macam. Seperti jalan keliling komplek sambil ngangon anak, boxing, main bulu tangkis, angkat pot kembang-taro lagi-angkat lagi-taro lagi, lumayan berat; dll.

Emang sih kita tidak dituntut untuk berotot atau memiliki six pack. Paling tidak kalau kita tidak memiliki kepentingan soal profesi. Namun, kebanyakan orang terutama di Indonesia sangat lengah terhadap kesehatan.

Mulai dari asupan makanan yang manis-manis, minum yang manis-manis, tidak heran kalau kena janji manis politisi, langsung mudah kena nya!

Atau misalnya bagi rekan-rekan yang perokok. Kan hebat-hebat tuh, keren-keren. Coba ngobrol dengan para almarhum/ah yang dulunya perokok dan menyesal karena dengan sengaja telah merusak paru-paru sendiri dan orang lain. Menyesal bagaimana, kan sudah mati?

Apalagi virus C19 sedari awal sebelum bermutasi, juga memang menyerangnya bagian pernapasan. Mungkin kalau angka perokok di Indonesia rendah, tingkat kematian selama pandemi ini bisa turun menjadi 50% lebih rendah. Giliran dikasih tau jangan merokok, dibilangnya rokok ga bikin mati, tapi giliran kena C19, sehari sudah engap, besoknya langsung pake ventilator karena sudah semaput. Siapa yang kena omongan sendiri kalau begitu?

Ya saya sebegitu tidak suka nya dengan rokok.

Kalau pandemi ini tidak menjadi tanda bahwa kita harus berubah untuk hidup lebih sehat, saya yakin akan ada pandemi ke 2 di kemudian hari.

Paling tidak cobalah sekuat tenaga untuk mengamalkan hidup sehat. Tinggalkan rokok, jangan mengonsumsi gula, kurangi porsi nasi, jangan kebanyakan jajan yang manis, apalagi mengiyakan janji-janji manis. Perbanyaklah jalan kaki. Ke warung komplek aja pake motor. Beli gorengan pake motor (banyak tuh dapet gorengannya!), atau ya sekalian olahraga yang bikin kita berkeringat.

Kelima, investasi atau hal-hal yang bersifat peningkatan nilai masa depan. Memang, kalau kita masih berpenghasilan yang cuma bisa menyisihkan 30% dari pendapatan kita untuk disposable income, yang artinya umumnya juga sisa tipis, karena habis untuk keperluan sehari-hari, maka untuk bisa berpikiran berinvestasi masih agak sulit. Namun, coba juga lihat baik-baik pos-pos pengeluaran lainnya yang mungkin bisa diperkecil.

Kalau mendengar kata investasi, mungkin yang terbayang sudah kemana-mana. Saham, kripto, reksa, sukuk, obligasi lainnya, dan hal-hal itu yang berat-berat. Tapi, sebetulnya kalau kita lihat dampak pandemi, mau orang yang punya bentuk investasi apapun, tentu semua kena, sama sialnya. Bedanya, payung siapa yang lebih besar dan kuat untuk menahan terpaan badai pandemi ini. Bottom line nya, investasi tetap penting dan betul-betul merupakan bug-out bag kita di kala-kala sulit seperti ini.

Kalau jaman dulu juga para orang tua kita berinvestasi di kapling tanah. Ketika kita sudah beranjak sekolah, kuliah, dll barulah kapling-kapling tersebut satu-satu dijualnya. Tapi, itu masih memungkinkan jaman dahulu. Jaman sekarang untuk bisa berinvestasi tanah kaplingan kalaupun ada harus pergi ke daerah, atau jauh dari jangkauan kita. Kendala lain selain jarak tentu adalah masalah harga dan bagaimana proses jual-beli tanah itu bermain. Kalau misalnya kita sabar dan tekun, mungkin bisa ketemu juga kaplingan tanah yang clean and clear untuk bisa kita akuisisi, dan menjadi portofolio investasi kita.

Tapi, selain saham atau reksa, emas tentu menjadi pilihan investasi banyak orang. Dengan nilainya yang meningkat terus (salah, yang ada adalah nilai mata uang terhadap emasnya yang turun terus) menjadikan emas adalah produk investasi yang ramah dan tidak bikin sport jantung seperti saham atau kripto. Bahkan saat ini juga banyak penyedia ‘saham eceran’. Dalam arti dijual mulai dari 1gr saja. Bahkan di hampir semua marketplace saat ini sudah ada Kategori Produk Investasi dan kita bisa berinvestasi emas secara digital mulai dari gramasi nol koma.

Keenam, pertemanan atau investasi sosial. Ini sangat berguna sekali ketika kita memang belum memiliki rezeki untuk berinvestasi dalam bidang keuangan. Dengan adanya pandemi ini, kita jadi lebih yakin bahwa siapa-siapa saja yang merupakan teman kita, bukan hanya sekedar kenalan. Atau tentu sahabat yang mau itu pandemi kek, hujan api, meteor (Garden?), Kaiju nongol entah di mana, dia akan selalu di sisi kita, dan saling menjaga satu sama lain. Apalagi kalau sahabat itu ternyata sudah menjadi pasangan menikah kita, cok cwit kan?

Terutama ketika sedang isolasi mandiri—kenapa namanya bukan lakban mandiri ya??—banyak sekali rekan-rekan yang membantu, mengirimkan ina itu yang menumpuk seakan-akan kita habis belanja mingguan. Hal tersebut sangat terasa, saya pribadi yang alumni, ketika isoman juga mendapatkan banyak dukungan, terutama tas belanjaan yang ada isinya.

Sehingga investasi sosial, atau dalam hal ini hablum minannas, adalah sesuatu yang riil dan nyata. Mungkin kalau sakit biasa, kita mengukur pertemanan dari berapa yang menjenguk. Tapi kalau dilihat kenyataan pandemi, bertemu saja jangan dulu, apalagi mengunjungi kita. Sehingga, banyak alasan juga bagi orang-orang yang mengaku teman kita, untuk tidak membantu di kala kita sulit. Kalau menjenguk orang sakit, apalagi beramai-ramai, itu kan karena ada social pressure kalau tidak ikut menjenguk. Tapi kalau tidak mengirimkan Go-food misalnya, individu tersebut dapat bersembunyi di balik anonimitas dunia digital, banyak alasan, ga merasa perlu membantu untuk mengirimkan sesuatu.

Ketujuh, investasi ilmu. Hal ini bisa dibilang saya rasakan secara pribadi. Dengan memiliki kemampuan berbahasa Mandarin, paling tidak saya bisa memberikan kursus Bahasa Mandarin tersebut secara daring. Atau untuk rekan-rekan yang tadinya merupakan guru, tutor bimbel, juga sebetulnya tidak terkendala dengan adanya pandemi. Malah justru menghemat waktu dan ongkos BBM yang biasanya habis ketika kita ada jadwal ngajar privat. Dengan menggunakan software seperti Zoom, Classroom, dll justru memudahkan pengajaran karena UI/UX nya juga sangat baik bagi aktivitas mengajar.

Memiliki ilmu yang lebih tentu memberikan kita peluang tidak hanya sebagai bumper ketika ada pandemi seperti ini. Tetapi juga secara jangka panjang ketika tiba-tiba kita diuji kembali dengan kemalangan-kemalangan lain.

Dengan kemajuan teknologi, niscaya hambatan-hambatan yang berhubungan dengan jarak dan waktu sudah tidak lagi berpengaruh. Tinggal bagaimana manusia nya yang memiliki mindset New Normal.

Kedelapan, tentu terkait dengan keimanan dan penjagaan nilai-nilai religi di diri kita. Bagaimana pun juga, apalagi saya yang alumni C19, ketika itu hal yang terpikiran hanya horor nya saja. Apalagi istri sempat tanya “udel kamu berdenyut ga kalo sore-sore?”, karena katanya kalau udel kita berdenyut sore-sore itu tanda-tanda orang mau meninggoy, alamak! Udah lah kita lagi lemes-lemesnya, ditanya begitu pikiran sudah makin ngaco aja!

Tentu pemikiran-pemikiran itu, tidak peduli apa agama kita, yang penting bagaimana mentalitas kita selama terkena C19 ataupun menghadapi semua cabaran lainnya pada masa pandemi ini, benteng nilai-nilai religiusitas kita sebagai insan, keluarga, masyarakat, negara, dll nya itu sangatlah menjadi hal yang penting.

Ya, Cina bukanlah negara yang beragama, atau banyak di negara-negara lain yang memiliki penduduk ateis mereka bisa menangani C19 dengan lebih baik daripada yang kita bisa lihat di negara kita. Tapi itu bukan poinnya untuk bahasan kali ini.

Pentingnya pemahaman bahwa ada Tuhan yang lebih berkuasa dibandingkan semua penyakit, virus, bakteri, atau misalnya zombie, drakula, vampir, dan lain-lain itu, paling tidak membuat kita memiliki kekuatan mental. Soalnya, sewaktu misalnya kita terkena C19, kita sebagai manusia merasa bahwa kita mampu untuk melawan semua yang terlihat. Tapi, berbeda dengan virus yang berukuran mikroskopik dan tidak terlihat. Kita menjadi bingung sebetulnya penyebab sakit kita itu apa dan bagaimana. Kalau lawan kita bisa terlihat, kita terbiasa untuk mengalahkan dengan seketika. Bahkan setan pun jadi guyonan untuk konten-konten di media sosial, bukan? Karena setan masih bisa “terlihat”.

Mudah-mudahan tulisan 5 halaman Word ini ada manfaatnya.

Semoga kita semua juga bisa disadarkan dari hal-hal yang sebelum pandemi kita tidak ngeh, menjadi lebih peduli, memperhatikan, dan melaksanakan.

Semoga setelah pandemi C19 ini tidak ada pandemi virus atau bakteri ngehe lainnya.

Semoga kita semua dilindungi Tuhan YME, dan diberikan kekuatan untuk menghadapi semua cabaran yang akan datang. Amin.

Leave a comment