Bagaimana Caranya Keluar dari Comfort Zone?

Ini sebetulnya yang agak rumit ya.

Bagaimana caranya kita tau bahwa kita sedang berada di comfort zone?

Maksudnya, at some point, kita sudah berusaha selama ini, ditambah pandemi pula, ye kan? Nah, kondisi saat ini yang kita nilai sebagai sesuatu yang baik-baik saja itu, apakah jangan-jangan juga telah membentuk zona nyaman baru?

Padahal pada waktu itu, kita sudah melewati turning point tadinya kita begitu, sekarang sudah lumayan seperti ini.

Sebetulnya kembali lagi kepada kebutuhan dan tantangan zaman.

Kalau kita sudah merasa bahwa semua yang kita capai sudah mencukupi, bahkan berlebih, mungkin sebuah zona nyaman itu ada semata untuk menjadi hadiah bagi diri kita yang selama ini telah berusaha. Tsah, gaya.

Karena definisi yang berada di alam bebas, maka zona nyaman tidak bisa dipukul rata kepada semua orang. Zona nyaman bisa menjadi zona mematikan ketika kita cenderung pada kondisi pasrah dan cepat putus asa. Beda dengan merasakan kenyamanan atas semua jerih upaya yang pernah kita keluarkan.

Apalagi melihat tantangan zaman, di mana segala hal berubah pada hitungan menit bahkan detik. Tidak lagi tahun, bulan, pekan, bahkan hari.

Contohnya saja Afghanistan yang diprediksi CIA jatuh ke tangan Taliban dalam 2 pekan, ternyata hanya 2 hari Taliban bisa menguasai Kabul. Ini nyata loh.

Mungkin, kalau bisa dikaitkan, kenyamanan yang sedang kita rasakan saat ini adalah zona jeda, bukan zona nyaman. Di mana dengan adanya zona jeda (tuma’ninah), orang-orang dengan tipikal terus bergerak sudah terbiasa tidak menjadikan sebuah kenyamanan adalah tujuan, melainkan ya Rest Area aja. Macam kita dari Jakarta ke Surabaya yang sudah nyambung tol. Apa kita akan menghabiskan waktu di puluhan Rest Area yang ada, jajan terus, makan, tidur di mobil, dsb, atau hanya sesekali mampir di Rest Area itu, dan tetap pada tujuan yang telah kita tentukan sebelumnya?

Tentu kalau sudah soal itu, bahasan ini akan masuk kepada pembedaan antara cara dan tujuan.

Tapi kembali lagi ke soal zona jeda itu. Zona ini juga bisa disebut sebagai zona manusiawi. Kita bukan malaikat yang tidak memiliki rasa lelah. Dengan zona jeda ini, justru refreshment (bagaimanapun caranya) bisa kita dapatkan, yang serta-merta bisa membuat kita lebih sigap dan berenergi untuk kembali berjalan ataupun berlari.

Kalau kemudian pertanyaannya kita sesuaikan dengan judul, tentu hal yang harus dilakukan adalah dengan menantang diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang membuat kita tidak nyaman. Bukan berarti destruktif secara psikologis tentu, tetapi dari jutaan hal yang bisa kita lakukan selama hidup ini, pasti masih ratusan ribu hal yang belum pernah kita kerjakan. Mulai saja menginventaris kira-kira hal apa saja. Kerjakan satu-satu. Di luar kenyamanan kita.

Misalnya kita yang belum pernah coba masak nasi goreng, coba lah masak nasi goreng. Lalu kemudian naik level masak tom yum, kemudian gyoza, kemudian ayam bakar, kemudian steak, kemudian croissant, dll dsb.

Atau kita yang terlalu asyik hidup di rumah yang megah dan nyaman, cobalah untuk berdonasi langsung, mengadakan kegiatan di panti-panti, turun ke lapangan, ngobrol dengan para tukang ojek, tukang jualan, dll.

Atau sesederhana bangun subuh, lalu tidak tidur lagi. Makjleb! Susah sih. Hahahaha.

Yang intinya, kalau meminjam istilah digital startup, bagaimana kita menghadirkan traction. Sehingga dengan demikian diri kita bisa tau bahwa kita bisa loh. Lalu kemudian bisa menghadirkan rasa percaya diri, untuk mengucapkan sayonara arigatou gozaimasu kepada zona nyaman yang ingin kita tinggalkan.

Selamat datang masa depan, selamat datang realita, selamat datang bayaran token listrik, selamat datang cicilan KPR, selamat datang tagihan-tagihan lain!

Seperti kata pepatah padang pasir yang tidak terkenal: tetap putus asa, jangan semangat!

Leave a comment