Tentu pilihan.
Kalau kita menganggap bahwa menjadi seorang entrepreneur, dokter, pilot, astronot, ahli bionuklir, dll dsb itu adalah sebuah takdir, berarti ente masih keder soal definisi takdir itu.
Memang akan membuat kita depresi apabila membandingkan orang-orang yang sudah “ditakdirkan” kaya yang juga sedang menjadi pebisnis. Tapi pada dasarnya, pemikiran-pemikiran kecil tersebut adalah merupakan pintu awal dari menjerumuskan diri ke dalam alam pecundang. Terus menghadirkan excuse ke dalam diri sendiri, tanpa bisa melihat peluang-peluang yang sebetulnya ada di setiap pojok ruangan.
Padahal sejatinya dengan hidup dimanjakan oleh teknologi yang jauh lebih nyaman dibandingkan ketika Henry Ford atau Marie Curie memiliki kiprahnya, kita masih saja memiliki excuse untuk mengijinkan diri sendiri masuk ke dalam jurang kegelapan. Tsah, gaya ga gue ngomong gitu?
Maksudnya, sekarang kan kita dan “mereka” itu sebetulnya sudah pada garis yang sama. Fasilitas laptop, handphone, internet, ada semua. Ya jangan ngelawak soal kuota, itu mah nasib namanya. Tinggal gimana kita menggunakan semua kemajuan teknologi ini untuk menjadi seorang entrepreneur yang kata ente di awal itu adalah sebuah takdir, bukan pilihan, kan?
Pada judul tulisan juga tidak memperdebatkan apakah ketika menjadi seorang pengusaha, lantas bisa langsung sukses. Kalau ente masih mikirnya begono, berarti fix kurang paham soal takdir dan proses. Coba dikaji-kaji lagi.
Karena begitu banyak peluang yang ada, namun banyak juga orang, terutama generasi muda yang malas untuk berusaha. Bukan, bukan ente, temen-temen ente yang saban hari minta tether terus tuh. Tau kan siapa?
Padahal sebetulnya kalau dilihat, yang membuat kita malas berusaha itu adalah pengelolaan diri yang kacau, yang sebetulnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan takdir. Takdir akan terjadi apabila tidak ada usaha untuk merubah. Maka terjadi lah ketetapan itu atas diri kita.
Apalagi misalnya dengan medsos yang semakin tidak terkendali. Per video mungkin hanya 30 detik – 1 menit, tapi kalau kita nonton 100 video, sudah habis berapa waktu dan kuota yang kita punya. Misalnya waktu-waktu tersebut dipakai untuk lihat konten yang berkaitan dengan ide-ide bisnis, mengikuti forum-forum di FB, Quora, Kaskus (masih dipake?), webinar-webinar bisnis (bukan MLM yach!) gratis, atau di mana pun itu, kan lumayan.
Lagian kalau kita juga kenal dengan orang-orang yang sudah mapan, mereka juga tentu digembleng secara tidak santuy oleh orang tuanya. Karena orang tua mereka adalah generasi old yang tau bagaimana rasanya berjuang dari nol. Mereka ingin anak-anaknya memiliki QC yang sama dengan ketika mereka awal-awal miskin kemudian menjadi sukses.
Hanya saja yang kita lihat adalah mobilnya, jam nya, sneakersnya, motornya, masuk-keluar bengkel, masuk-keluar showroom (lha emang itu bisnis dia showroom mobil), dll yang malah membuat kita jiper dan menjadi ogah untuk berusaha.
Mau tidak mau yang menjadi concern memang kita harus bisa memilah antara pencapaian dan materi yang dimiliki oleh orang yang menjadi rujukan. Okelah kita merasa bahwa dalam 5 tahun ini tidak bisa mengejar kepemilikan harta orang tersebut. Tapi kembali lagi, apakah kita bisa survive dalam 5 tahun dengan pola kerja, pola produktivitas, pola tidur, pola makan, pola sepak dll itu yang orang tersebut telah lewati?
Menjadi entrepreneur tidak melulu harus hal-hal yang berhubungan dengan digital startup sob. Sebuah usaha yang baru kita mulai, apapun bentuknya, ya itu lah namanya startup. Cuma karena film, karena beken, karena Story orang-orang itu, memiskinkan definisi startup hanya di sektor-sektor yang kelihatannya digital dan keren.
Mulai dari bisnis atau usaha yang beresiko rendah. Mulai dengan berdiskusi dengan orang-orang yang sefrekuensi dengan kita. Fokus pada keahlian masing-masing yang dimiliki. Lumat habis itu materi-materi canvas. Kalau ga ngerti tanya lagi, ga ngerti lagi, tanya lagi. Jangan gengsi. Telen aja itu gengsi bin malu bin ga enakan. Penyakit!
Baru dari situ pelan-pelan kita nikmati prosesnya. Lalu dengan begitu kita akan tau pada akhirnya sebetulnya menjadi seorang entrepreneur itu adalah takdir atau pilihan?
😉