Kenapa Harus Pindah Ibu Kota Negara?

Padahal, mungkin kalau didiskusikan secara lebih komprehensif, dalam pandangan pembangunan nasional dalam negeri, bukan itu permasalahan mendasarnya. Banyak informasi terkait dengan pendapat pro pemindahan Ibukota dari DKI Jakarta ke (DKI) Penajam. Terutama terkait pemerataan pembangunan, percepatan infrastruktur di daerah Timur, soal letak lokasi yang ada di “tengah”, dan lain sebagainya. Namun, IMHO hal yang mendasar dari kesuksesan pembangunan adalah terkait jaminan dari Good Governance and Clean Government yang agaknya masih sukar menjadi persepsi umum di masyarakat terhadap pengejawantahan kebijakan maupun performa kalangan birokrasi di Indonesia.

Tentu, pemindahan Ibukota akan menjadi sesuatu yang berkesan fresh. Presiden atau jajaran elit Republik ini (bukan Presiden Jokowi dkk, tentu) akan bisa dengan bangga nya pamer kepada para pihak tentang segala sesuatu yang baru—itu pun kalau sesuai spek. Ibarat anak SMA yang baru bisa move-on karena habis putus dari pacarnya, semua harus serba yang baru, buang kenangan-kenangan lama dari mantan, barang-barang kepunyaan, potongan rambut berubah, sampai parfum pun bisa dirubah demi meninggalkan memori masa lalu.

Memang betul dengan pemindahan tersebut seakan mengangkat beban permasalahan urban di Jakarta semua akan pindah ke Penajam. Dari soal kemacetan, kepadatan, turunnya permukaan air tanah, kemiskinan perkotaan, kriminalitas, transportasi, dan semua tantangan lainnya seakan bisa tercerabut dari Jakarta—yang kemudian semua permasalahan tersebut akan dipindahkan ke Penajam. Begitu kan logikanya? Coba dipikirkan. What’s the point? Kalau hanya bertujuan untuk mengurangi beban DKI Jakarta. Padahal DKI Jakarta juga bukan “milik” kubu Presiden Jokowi dkk, kenapa juga harus sangat peduli dengan mengangkat beban DKI Jakarta?

Alih-alih belajar terkait dengan apa saja yang sedang dialami oleh Kota Jakarta sebagai daerah khusus, apa guna nya kalau hanya memindahkan masalah, dengan jargon-jargon polesan seakan-akan pemindahan IKN menjamin tidak ada permasalahan-permasalahan yang sama. Apakah para elit juga tidak belajar terkait hal-hal tersebut? Tidak semua kalangan elit Republik juga setuju dengan pemindahan IKN yang terkesan dipaksakan. Apalagi kalau ternyata setelah digali oleh para pakar, bukan itu akar permasalahannya.

Menurut saya akar permasalahannya sudah jelas tadi terkait dengan bagaimana segenap sumber daya yang dimiliki oleh dunia birokrasi di negara ini diarahkan betul-betul untuk mencapai GG and CG tadi. Mulai dari penyelesaian isu-isu korupsi, reformasi birokrasi, peningkatan peforma pelayanan publik, konvergensi pelayanan publik digital, dan pembenahan segala sistem yang sebetulnya banyak dari para birokrat juga paham isunya, hanya saja mungkin belum mau diselesaikan. Belum lagi terkait dengan ekonomi, sosial, politik, keamanan, perlindungan terhadap lingkungan, kesejateraan buruh, dan lain sebagainya.

Sehingga, apakah ada alternatif dari selain para elit Republik sibuk untuk beauty contest pembangunan IKN yang akan menggelontorkan dana sekitar 35 milyar Dollar AS[1], yang entah sampai sekarang komitmen dari para calon sponsor bagaimana kejelasannya.

Indonesia paling tidak memiliki 13 Lembaga Negara (termasuk Presiden, DPR, MPR, dll), 34 Kementerian (termasuk Kemenko), dan paling tidak 28 Lembaga Pemerintahan Non Kementerian. Belum lagi berbagai lembaga-lembaga internasional yang memiliki kantor di Jakarta. Menurut Badan Kepegawaian Negara, jumlah ASN Pemerintah Pusat (Kementerian dan Lembaga Negara) berkisar di angka 949 ribu ditambah 2.736 (PPPK), kalau melihat dari data Juni 2021[2].

Kalau berbicara kepadatan penduduk DKI Jakarta, selain jumlah pegawai Pemda DKI yang juga banyak, apabila sekitar 951 ribu ASN dikalikan dengan 3 (istri dan anak-anaknya), maka jumlah nya akan cukup fantastis. Bukan masalah beban nya terhadap Ibukota, namun karena memang sedari awal DKI Jakarta yang oleh Belanda tidak dirancang untuk menjadi Ibukota, hanya pelabuhan dagang kalau tidak salah.

Pertanyaannya tentu apakah 2,7 juta jiwa dari para ASN Pemerintah Pusat plus segenap anggota keluarganya mau semua diboyong ke (calon) IKN Penajam? Bagaimana mekanisme persiapannya di sana? Apakah serta merta kebutuhan seperti transportasi, keamanan, akomodasi, air bersih, makanan, harga-harga bapok juga sudah direncanakan seperti yang selama ini mereka nikmati di Jakarta?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa spekulan (kalau tidak mau dibilang mafia) di daerah-daerah juga banyak mengulik-ngulik peluang dari sentimen-sentimen yang ditelurkan oleh Pemerintah Pusat. Justru akibatnya (bisa jadi) banyak masyarakat setempat di Penajam yang berbondong-bondong menjual tanah, sawah, kebun, ladang mereka dan menjadi tidak memiliki aset.

Lagipula jumlah tersebut tidak serta-merta langsung bisa dipindahkan sebanyak itu bukan? Ada prosesnya, misalnya di DKI Jakarta yang juga tidak terkaget “menampung” besarnya populasi yang tidak hanya datang dari kalangan ASN Pempus dan keluarganya, tetapi dari semua yang tinggal di dalamnya.

Itu baru dari soal pemindahan populasi. Memang agak sumir kalau sudah agak bahas detail sedikit, ya.

Desain-desain yang dicanangkan untuk IKN Penajam tentu sangat ciamik, indah dipandang, estetik[3]. Tapi, apakah akan 100% sama dengan apa yang direncanakan? Belum tentu, kan.

Okelah kalau secara desain dan teknik bisa dipenuhi, karena ada unsur matematika dan segala yang berhubungan dengan ilmu pasti. Namun, kalau kita berkaca kembali ke pada manusia-manusia nya, ini yang akan menjadi tantangan besar.

Isu soal lokal-pendatang di banyak wilayah non-perkotaan di Indonesia merupakan suatu fenomena yang ditemui tidak hanya di satu dua tempat. Dengan rong-rongan seakan para “pendatang” adalah orang-orang yang memiliki harta berlebih menjadi suatu objek komoditas tertentu, terutama terkait dengan nantinya kewajaran harga barang-barang ritel baik itu bapok maupun yang lainnya. Cara penanganan terkait dengan naik-turun harga bapok dan sebagainya sering kali juga menumpuk masalah di atas masalah. Agak susah mempercayai bagaimana usaha-usaha pemerintah kita untuk menjaga kestabilan harga-harga. Apalagi kalau sudah isu nya adalah jutaan orang akan berbondong-bondong datang ke suatu tempat dengan membawa “uang yang banyak”.

Belum lagi terkait manusia, adalah bagaimana situasi persilangan budaya antara masyarakat yang asli dengan para personil Pemerintah Pusat yang notabenenya belum tentu juga memahami budaya setempat. Apalagi kalau sampai pemindahan Ibukota ini juga mendorong para elit bisnis untuk melebarkan sayap bisnis nya ke sekitar Penajam, atau ke provinsi-provinsi lain di Pulau Kalimantan. Bukan manfaat investasi nya yang menjadi isu, tentu ada, tapi kebiasaannya adalah ketidakmauan untuk sama-sama memahami konteks lokal, dari sisi manusianya. Sehingga sering kali konglomerasi bisnis merasa bahwa tidak penting untuk memahami masyarakat setempat, terutama norma dan adat-istiada. Itu biasa terjadi. Setahu saya juga konteks lokal terkait hukum Adat di daerah Kalimantan juga cukup kuat. Apa jadinya kalau kalangan bisnis yang berorientasi globalis, metropolis dan lain sebagainya merasa bahwa konteks lokal adalah sesuatu yang usang, padahal itu adalah unsur hakikat dari Kebhinekaan. Itu kan yang sulit.

Kalau hal detil misalnya terkait dengan apakah nanti di IKN Penajam tidak lagi ada Pemilu dsb, itu bukan concern tulisan ini. Karena kalau sudah berbicara hal itu, maka ya otomatis tulisan ini “setuju” dengan pemindahan IKN.

Namun, tulisan ini coba dibuat supaya melihat apakah ada alternatif lain terkait dengan bagaimana hal-hal yang lebih menyentuh sisi substantif ketimbang terus-menerus Republik ini menelurkan kebijakan-kebijakan yang simbolis, mercusuar, biar terlihat keren, dari tampilannya saja.

Misalnya, kenapa tidak memindahkan puluhan kantor-kantor Kementerian dan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian ke masing-masing provinsi di Indonesia?

Pertama, bisa jadi ongkos investasi nya tidak terlalu besar. 35 milyar dollar AS itu bukanlah angka yang sedikit, untuk memindahkan IKN ke Penajam. Uang sebanyak itu kalau misalnya dipecah untuk ke 31 provinsi lainnya (selain DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten) tentu akan langsung terasa manfaatnya. Jangankan uang yang masih mengawang-ngawang seperti itu. Pada tahun 2020, pos belanja Pemerintah Pusat adalah sebanyak Rp 1.683,5 triliun[4], yang tren nya juga meningkat dibandingkan pada tahun 2019 sebesar Rp 1.634,3 triliun[5]. Tentu dengan pos masing-masing belanja K/L dan non K/L.

Tapi, pada intinya untuk apa menaruh semua telur pada satu keranjang? Bukankah itu esensi dari investasi. Apa jadinya kalau menaruh semua perhatian dengan mekanisme beauty contest, mengharapkan beberapa investor besar entah itu dari UEA, Tiongkok, AS, Uni Eropa, dll yang semua “dipertaruhkan” pada 1 keranjang, yaitu Penajam.

Sebagai perbandigan saja, Myanmar yang baru memindahkan Ibukota nya dari Yangon ke Napytaw pada tahun 2006 menghabiskan dana sebesar maksimal 5 milyar dollar AS[6]. Itu pun juga seperti yang dikabarkan NYT, tidak ada yang tahu persis berapa anggaran yang dikeluarkan/diinvestasikan untuk pemindahan tersebut.

Maksudnya, dibandingkan membangun satu lokasi yang entah itu ujungnya jadi seperti apa, apakah nanti akan hanya mewariskan gelontoran hutang, kenapa tidak langsung dana investasi sebanyak itu untuk mendistribusikan kantor-kantor kementerian dan lembaga pemerintah Pusat ke provinsi. Tentu akan mendorong setiap daerah juga bisa berlomba untuk memberikan yang terbaik, karena dana investasi pemindahan ke daerah juga luar biasa.

Bahwa dengan besaran anggaran baik itu dari RAPBN yang menjadi APBN, maupun hasil dari beauty contest atau istilah milenialnya pitching, tentu akan sangat bermanfaat besar bagi 31 provinsi lain untuk lebih bersegera merapihkan infrastruktur daerahnya. Misalnya standarisasi jalan trans, pembangunan jalan tol, jalur kereta, revitalisasi bandara-bandara kecil, perbaikan jembatan-jembatan di sungai-sungai besar di daerah, perbaikan sarana transportasi air, sampai nanti mungkin akan berkait MEF yang optimalisasi nya ada di pemenuhan komponen pertahanan negara di tingkat daerah.

Kedua, mungkin pertanyaannya kalau kantor-kantor kementerian dan lembaga dipindahkan terpencar begitu, nanti kalau ada rapat-rapat elit bagaimana? Ini adalah konsepsi birokrasi yang doyan nya rapat. Padahal dengan adanya pandemi seperti ini, konfigurasi kerja yang sudah juga sama-sama terbiasa bekerja remote, menunjukkan bahwa teknologi adalah jawabannya. Jangan justru malah karena pandemi sudah selesai, maka kerja-kerja luring yang tidak berorientasi efektifitas dan efisiensi menjadi arusutama lagi. Ini maksudnya mau pandemi lagi apa bagaimana? Sudah bagus Tuhan YME “berkata” kepada kita untuk memanfaatkan tenaga, pikiran, sumber daya untuk mengadopsi teknologi secara cepat, malah ini mau kembali lagi ke kerja-kerja kuno.

Kalau misalnya yang jadi permasalahan terkait soal kekurangan daya listrik, jaringan komunikasi, dan lain sebagainya, justru dengan mendistribusikan puluhan kantor kementerian dan lembaga itu menjadi hal positif bagi daerah untuk mempercepat peningkatan infrastruktur IT dan telekomunikasi setempat. Jadi bukan hanya Penajam yang tetiba punya fasilitas infrastruktur bandwith sampai kapasitas 100MBps stabil dan mantul, sedangkan banyak daerah lain yang 1MBps rata saja susahnya minta ampun.

Apalagi sebetulnya kalau mau mengikuti kinerja para Menteri dan pimpinan lembaga-lembaga, banyak dari mereka yang tidak perlu disuruh pun kerja nya sudah keliling Indonesia. Banyak kan? Menteri Parekraf, Menteri PUPR, Menteri Transportasi, Menteri Kop-UMKM, Mendikbud (yang harusnya lebih banyak keliling), Menhan (ga tau juga ya rajin atau engga), Mendes, dan lain sebagainya. Jadi sebetulnya mobilitas para pejabat itu juga sudah harus menjadi naluri kerja sedari awal.

Dengan pemindahan kantor-kantor kementerian dan lembaga ke banyak provinsi, niscaya para rekanan swasta yang terkait juga akan memiliki cabang di daerah tempat kantor-kantor tersebut berada, bukan? Bisa dihitung juga limpahan peningkatan industri properti, FMCG, dan lain sebagainya akibat dibuka nya kantor-kantor cabang perusahaan swasta tadi. Jadi kembali, tidak semuanya menumpuk di Penajam.

Termasuk tentu masyarakat secara umum juga akan menakar, untuk apa bertahan terlalu lama di Jakarta. Tinggal mereka melihat daerah asal kampungnya (karena banyak yang tinggal di Jakarta hanya untuk mencari penghidupan, tapi bukan kehidupan) di mana ada kantor Kementerian yang pindah. Maka kemudian akan banyak orang yang pindah ke daerah asal masing-masing.

Ketiga, untuk mengantisipasi hambatan komunikasi antarsektor Kementerian, mungkin bisa ada semacam Sekber, atau sekretariat bersama yang isinya adalah para Eselon I untuk memang standby di Jakarta. Sisanya ikut ke daerah. Sehingga kalau ada urusan-urusan yang berkenaan dengan rapat dadakan atau keputusan-keputusan urgent yang bisa diwakili, bisa disposisi dilakukan dengan mengutus cukup Eselon I dan beberapa staf, tidak perlu bergerombol.

Pola rapat-rapat hybrid yang sudah banyak dilakukan semasa pandemi ini niscaya bisa diteruskan kedepannya, tanpa menghilangkan esensi dan faktor keamanan data dan sebagainya dalam berkegiatan secara daring.

Keempat, dengan adanya kantor Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian di suatu daerah, hal ini juga bisa memperbaiki sengkarut pola komunikasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Banyak hal-hal yang langsung bisa dibahas sama Menteri terkait bersamaan dengan Kepala Daerah dan jajarannya, tanpa perlu protokol yang rumit penyambutan dari bandara, dll dsb. Sehingga kerja-kerja koordinasi yang bisa dilaksanakan segera, tidak perlu pasrah karena tidak ada flight, atau kendala cuaca, dll dsb.

Bayangkan berapa efisiensi anggaran yang harus dikeluarkan dari yang sebelumnya harus dialokasikan untuk kunker-kunker tingkat Menteri dan jajarannya. Pengadaan terkait alat transportasi dan sebagainya bisa diproyeksikan secara lebih long-term, dan tentu lebih hemat.

Untuk skema pemindahan kantor-kantor kementerian dan lembaga ini, jajaran working-level di ASN Kementerian Pusat juga tidak perlu khawatir, SPPD akan tetap ada, tapi hanya bedanya sewaktu pulang, mereka tidak ke Jakarta melainkan ke daerah penempatan.

Lagipula Anggota DPR RI juga bisa dibilang 46% nya berasal dari luar Pulau Jawa. Dengan total 306 kursi berasal dari DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, dan Jatim dari total kursi 575[7] orang di DPR RI. Sehingga dengan adanya kantor-kantor kementerian dan lembaga di daerah, koordinasi antara Eksekutif dan Legislatif di daerah, terutama karena itu adalah daerah pemilihan (dapil) yang bersangkutan, maka penyerapan aspirasi dari masyarakat bisa langsung berkoordinasi dengan Menteri yang menjadi rekan kerja Anggota Dewan tersebut. Hal ini juga bisa menjadi ajang saling check-and-balances apakah memang semua Anggota Dewan benar-benar melakukan reses di daerahnya, atau Menteri memang betul-betul turun ke lapangan.

Kelima, apalagi terkait dengan beberapa isu sensitif terkait dengan tidak hanya distribusi pembangunan dan kesejahteraan. Penempatan ini bisa menjadi preseden untuk memperkuat citra negara dengan mendekatkan Kementerian terkait kepada sumber isu yang sedang bergulir. Misalnya saja terkait dengan pertahanan dan keamanan, yang bisa dibilang agak bergejolak saat ini adalah daerah di Papua. Maka dari itu kantor Kemenhan bisa dipindahkan ke Papua juga.

Atau langsung saja menyasar tupoksi spesifik. Misalnya terkait dengan Pariwisata dan Ekraf, bisa ditempatkan di Bali, atau di NTB. Sehingga dengan demikian daerah-daerah yang menjadi agregat sektor ekonomi tertentu atau isu tertentu, langsung dapat berkoordinasi secara timely. Mas Menteri Sandiaga Uno juga sempat mencoba pola pindah kantor seperti ini. Hanya saja tentu sifatnya jangka pendek dan terkesan gimmick.

Atau misalnya terkait dengan isu membangun jalan paralel perbatasan Indonesia – Malaysia di Pulau Kalimantan yang melintang dari Provinsi Kalimantan Utara sampai Kalimantan Barat, bisa diletakkan di Kalimantan Utara misalnya, kantor Kementerian PUPR. Sehingga pengawasan bisa dilakukan secara cepat. Apalagi kesenjangan antara fasos fasum yang dimiliki di daerah-daerah perbatasan Kalimantan cukup besar gap nya. Sehingga kerja-kerja pembangunan yang berkaitan langsung dengan perbaikan citra negara bisa lebih efektif.

Atau misalnya terkait perikanan dan kelautan, kantor Kementerian KKP bisa dipindahkan ke Provinsi Maluku Tenggara Barat yang juga memiliki potensi perikanan dan kelautan yang luar biasa. Dan sebagainya dan sebagainya.

Kantor Presiden dan Wakil Presiden bisa tetap di Jakarta. Mabes Polri dan TNI bisa tetap di Jakarta. Gedung DPR, MPR, MK, atau MA bisa tetap di Jakarta. Tetapi hanya ada 1 misalnya Kementerian di Jakarta, yaitu Kemenkeu misalnya. Beberapa Kementerian dengan pertimbangan tertentu bisa dipindahkan ke misalnya Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi.

Keenam, yang bisa dipelajari dari tata kelola kota yang ada di Jakarta saat ini, ketika kantor-kantor kementerian dan lembaga tersebut pindah, maka akomodasi yang diperuntukkan untuk keluarga para ASN yang ikut pindah, bisa dibuatkan hunian vertikal, bukan horizontal. Dengan begitu kontrol pergerakan, keamanan, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, semua hal yang berkaitan dengan kondisi hidup para Menteri, pejabat, staf, dan keluarganya bisa lebih baik. Kemacetan yang ada di Jakarta juga merupakan akibat dari ideologi pembangunan yang tidak jelas. Seharusnya kota seperti Jakarta dimaksimalkan untuk hunian-hunian vertikal, bukan horizontal yang membuang-buang lahan.

Dengan demikian, bisa ada standarisasi kelayakan kehidupan di lingkungan ASN Pemerintah Pusat. Kalau hal ini menjadi suatu gap di lingkungan ASN daerah, justru, kenapa tidak sekalian saja disediakan. Sehingga memang ada satu komplek yang bisa mengakomodasi secara maksimal.

Ketujuh, secara tata kelola project, dengan skema “pengosongan Ibukota” seperti ini, maka proyek-proyek pembangunan bisa dilakukan secara paralel, tidak tunggu-menunggu. Sehingga kalau ada kendala teknis, funding, dan lain sebagainya, hanya 1 dari 31 proyek yang terkendala. Jadi tidak 1 proyek mega besar seperti pemindahan sekaligus, tetapi dipecah menjadi alokasi-alokasi proyek yang lebih bisa dikelola secara lebih ringan.

Selain, tentu distribusi kebermanfaatan pengerjaan proyek nya juga bisa langsung terasa di 31 provinsi tersebut. Otomatis akan langsung meningkatkan daya beli dan penyerapan tenaga kerja daerah, tanpa perlu terkonsentrasi di satu titik Penajam.

Sehingga kemudian, Jakarta bisa lebih dimaksimalkan sebagai Ibukota yang nyaman, lebih sedikit kemacetan (ga mungkin langsung bebas macet), lebih sedikit terdampak banjir, lebih sedikit isu dan dampak penurunan permukaan tanah, dan lain sebagainya.

Bagaimana kalau begitu?


[1] https://tirto.id/di-depan-investor-uea-jokowi-ibu-kota-baru-butuh-usd-35-miliar-gk44

[2] https://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2021/10/STATISTIK-PNS-Juni-2021_signed.pdf

[3] https://ekonomi.bisnis.com/read/20210602/45/1400439/desain-dan-kajian-ibu-kota-negara-baru-sedang-dipersiapkan

[4] https://www.kemenkeu.go.id/apbn2020

[5] https://www.kemenkeu.go.id/apbn2019

[6] https://www.nytimes.com/2008/06/23/world/asia/23iht-myanmar.4.13919850.html

[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_2019

Leave a comment