Jangan Jadi Bapak Milenial Brengsek

Yes. Intisari dari tulisan ini sudah sangat gamblang saya taruh di judul.

Tadinya saya mau tulis ‘Menjadi Seorang Ayah Tak Perlu di-Glorifikasi’, karena ini menyambung tulisan saya yang sebelumnya terkait dengan ‘Pernikahan Tidak Perlu di-Glorifikasi’. Kenapa saya seneng banget untuk menuliskan tidak perlu diglorifikasi? Karena ya kita lihat saja fenomena yang ada, semakin melekatnya media sosial di kehidupan, semakin segala sesuatu harus dengan perayaan-perayaan. Perayaan di sini bukan cuma sekedar soal bahwa ada pesta benerannya, atau ada “shower-shower” nya soal apapun itu. Tapi juga hal-hal yang terkait dengan mengekspos “achievements” yang sebetulnya ‘yaudah lah ya, ga perlu diposting juga’.

Tentu, media sosial seseorang adalah hak orang tersebut untuk memposting apapun. Walaupun, hehe, dalam banyak hal, terutama karena UU ITE (insert eye emoji here) masih bergentayangan siap menjadi instrumen penyambar orang-orang yang tidak senang dengan kita, merasa tersinggung dengan postingan kita, merasa bahwa ada celah yang bisa dimanfaatkan dari sekian banyak jejak digital yang pernah kita tinggalkan. Sehingga ya bebas-bebas aja belum tentu free pake banget.

Dan kalau dengan premis itu, bahwa saya menulis seperti ini juga adalah hak saya kan ya.

Kembali ke pembahasan.

Bahwa, seringnya Ayah/Bapak/Baba/Abi/Daddy (#eh?) baru yang umumnya mungkin masih merupakan milenial awal maupun akhir, melimpahkan kebisaan nya untuk menjadi “manusia baru” di media sosial. Who gives a shit, man?

Walaupun tulisan ini bukan membahas terkait dengan overexposure anak yang dilakukan oleh orang tuanya yang keranjingan media sosial. Bahkan ya memonetisasi anaknya sedini mungkin.

Well, kalau soal memonetisasi anak, saya coba disclaimer dulu. Karena saya pribadi akan mengarahkan anak saya untuk menjadi seorang Youtuber kedepannya, dalam artian bukan yang norak-norak, atau yang lebay dari segi konten. Sederhana saja, banyak kalau kita yang baru menjadi orang tua, mau tidak mau pasti menanyangkan video maupun klip-klip mau itu lagu, perjalanan, main ke taman hiburan, dll yang dilakukan oleh Youtuber anak-anak yang sudah banyak videonya saat ini.

Ya walaupun saya dan istri tidak melihat bahwa pada akhirnya nanti Sakura akan menjadi Youtuber full-time, karena toh kita tidak tau kedepannya saturasi atau perubahan macam apa yang terjadi sampai mungkin ya istilah Youtuber tidak lagi akan dikenal di tahun 2032 (tulisan ini dibuat di awal Januari 2022). Mungkin nanti istilahnya Metaperson, Metaber, Metaverser, Metapeoplererererer, naon weh nyak pokokna mah, aneh-aneh!

Tapi yang paling penting, coba pikirkan, terkait soal anak kita yang mungkin sekarang masih batita, nanti sewaktu dia sekolah SD, mungkin pertanyaan yang akan ditanya gurunya soal channel Youtube pribadi adalah “Anak-anak, siapa di sini yang belum punya akun Youtube?”, mungkin akan seperti itu. Sehingga niatan kami untuk menjadikan anak kami nanti memiliki channel Youtube, ketika kita lihat kedepannya, channel Youtube adalah channel yang “semua” orang miliki, sama seperti Facebook, Instagram, TikTok, Snapchat, dll; sudah barang biasa, kan?

Tapi kembali, itu urusan nanti. Karena toh banyak Youtuber anak yang punya konten di Youtube sebetulnya dari segi teknik pengambilan gambar, atau alur cerita dll engga bagus-bagus amat. Itu semua kembali ke orang tua nya masing-masing kan, karena kebanyakan video yang ada juga diambil oleh orang tua sendiri. Sehingga, kalau dibilang akan memonetisasi anak, ga juga sih ya. Karena kalau dibandingkan dengan Youtuber dewasa atau full-time enternainer seperti yang kita tau semua itu siapa nama-nama nya, jelas struktur dari pembuatan konten-konten mereka jauh lebih profesional dan memang ‘cuan-able’. Tapi kalau Youtuber anak ya umumnya pas-pasan saja.

Oke, intinya seperti itu lah disclaimer saya.

Lanjut.

Terkait dengan Brengsek tadi. Maksudnya, banyak mungkin dari para Ayah milenial…kenapa Ayah doang ya yang saya sebut? Mungkin karena sosok Ayah/Bapak di masyarakat Indonesia dan di tradisi budaya keluarga di Indonesia, Ayah masih merupakan sosok sentral mungkin ya? Walaupun ya memang kalau dilihat siapa sebetulnya yang paling sering mengintervensi “membentuk” masa depan anak, mungkin perlu ada survey nya dulu atau menanyakan ke para ahli psikologi keluarga terkait ini. Apakah peran Ayah karena dianggap lebih tegas, atau peran Ibu yang dianggap lebih rigid dalam menggawangi masa depan seorang anak. Ya saya tulis Ayah aja karena saya bukan Ibu-ibu, itu bagiannya beda.

Okeh, jadi muter terus kan.

Alhamdulillah untuk rekan-rekan yang bisa membaca tulisan ini berarti merupakan penyitas dari pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir. Covid-19 adalah fenomena untuk banyak hikmah yang bisa diambil. Salah satunya ya sesuai judul tadi, jangan jadi ayah yang brengsek. Karena kita sama sekali tidak pernah terpikirkan akan adanya kejadian yang sedemikan dahsyat sehingga merubah banyak tatanan kebiasaan orang-orang, merubah mode bisnis para pedagang, merubah rutinitas jam kerja para pegawai, dll dsb.

Bukan berati saya mengharapkan akan adanya pandemi lagi di masa yang akan datang, tidak. Tapi, hubungannya dengan berhentilah menjadi Ayah yang brengsek adalah bahwasanya kemampuan memahami zaman yang ada pada diri kita itu hanya satu per 1 juta mungkin ya kalau kita resapi baik-baik. Zaman begitu cepatnya berubah, banyak sekali kemajuan teknologi yang berkembang, banyak model-model bisnis baru, banyak fenomena-fenomena perpaduan antara teknologi dan manusia dalam hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya; tentu saja banyak meme-meme yang belum selesai kita mengerti, zaman sudah berubah, kita baru tertawa!

Artinya, berhentilah berpikir bahwa kedepan anak kita harus jadi ini jadi itu, dll dsb. Mungkin kedepannya ga akan ada lagi kuliah kedokteran sampai bertahun-tahun mengeluarkan uang ratusan juta hanya demi prestise itu. Kenapa saya bisa bilang demikian, bisa jadi kedepannya yang diperlukan hanya sertifikasi spesifik, seperti misalnya akuntan deh, spesifik banget kan itu, banyak lagi macam nya. Apakah nanti misalnya terkait dunia kesehatan hanya akan diperlukan sertifikasi operator? Maksudnya bagaimana? Ya macam-macam, operator alat bedah, operator X-Ray, operator alat perawatan luka tertentu, operator mesin autopsi, dll. Kenapa operator? Karena saat ini saja teknologi 5G sudah sedang diimplementasikan untuk dunia kesehatan. Sehingga keterpaduan antara teknologi alat, jaringan, dan skill manusia bisa bersatu di situ. Sehingga, makin tidak relevan belajar suatu ilmu yang sangat general, memakan waktu yang lama, tapi pada akhirnya akan ada spesialisasi.

Entah gimana caranya, saya pikir dengan banyaknya juga film-film fiksi ilmiah, pada akhirnya kemajuan teknologi yang akan dicapai manusia, ya akan mengarah ke situ juga. Karena film-film tersebut merupakan limpahan visualisasi dari imajinasi yang sebetulnya juga dibuat atas kapasitas pemikiran manusia. Siapa sangka SpaceX bisa seberhasil ini, bukan? Kalau ibarat di tahun 1995, ada penjelajah waktu yang bilang kalau akan ada Mamang Elon Musk yang berhasil menciptakan roket yang reusable, entah penjelajah waktu tersebut akan dicap gila atau diciduk oleh FBI karena ternyata FBI juga sudah tau itu, dan tidak ingin membuat publik dunia banyak tau, hahaha. Kebanyakan nonton film fiksi, gue.

Kuncinya memang di teknologi dan perkembangan zaman yang begitu cepat, kita nya yang tidak mampu mengikuti.

Apalagi kalau Smart Government itu sudah betul-betul maksimal. Sudah terdapat modelnya di negara-negara maju, tinggal bagaimana Indonesia mensejajarkan ketersediaan sarana dan prasana teknologinya, dilatih SDM nya, dipecat para pegawai nya yang bisa seketika digantikan oleh kecerdasan buatan (AI). Maka alhasil tidak akan ada lagi orang tua yang kekeuh supaya anaknya menjadi ASN, mungkin akan kekeuh menjadikan anaknya programmer atau paling tidak ada hubungannya lah soal itu. Kalau semua orang di dunia jadi programmer, yang main piano siapa dong, AI ya? Enak ga ya didenger? Tentu ada beda nya sih live performance sama yang engineered begitu ya. Ah, sok tau aja gue.

Kalau saya mungkin paling banter akan sedikit memaksa anak untuk belajar banyak bahasa. Karena betapapun komunikasi antarmanusia secara langsung, dengan tacit knowledge yang dimiliki oleh manusia sedemikian rupa, tidak akan digantikan oleh AI yang hanya sekedar mengandalkan codified knowledge. Ceileh, baru bentar gue baca bukunya Pak Cahyana, AINOMICS, langsung sok tempe lagi dah, wkwk.

Dengan belajar banyak bahasa–ya, programming juga termasuk “bahasa” ya–niscaya nilai dari sisi kemanusiaan yaitu berkomunikasi secara langsung tanpa perantara masih bisa dipegang oleh individu masing-masing. Karena betapapun penerjemahan yang dilakukan secara robotik, tentu tidak akan bisa mewakili ekspresi, mimik wajah, air muka, dll dsb ketika dua atau lebih manusia berinteraksi secara langsung.

Ahhh, jadi pengen ngalor-ngidul lagi bahas metaverse nya Mark Zuckerberg, tapi itu bukan kompetensi gue dahhhh.

Tinggal menurut saya bagaimana nilai masing-masing keluarga itu bisa terjaga. Soal skill, nanti kerja apa, penghasilan anak bagaimana, saya pikir jangankan nanti, sekarang saja banyak sekali kreatifitas yang bisa kita lakukan kalau ujung-ujungnya penghasilan. Poinnya kita mau atau engga untuk beradaptasi tadi?

Terakhir, saya ucapkan selamat menjadi Ayah/Bapak baru untuk rekan-rekan semua. Semoga anak-anaknya menjadi anak yang soleh dan solehan, yang bisa menjalankan nilai-nilai keluarga yang ditanamkan, berbakti dengan orang tua sepenuhnya tanpa kepalsuan, dan lebih fearless untuk menghadapi masa depan ketika kita para orang tua tidak lagi bisa mengerti perkembangan zaman kedepan.

Cheers, mate.

Leave a comment