Secara kultur sebetulnya Indonesia memiliki kekhasan keguyuban atau kebersamaan yang mungkin jarang ditemukan di negara-negara lain. Tentu dengan kemiripan adat istiadat Bangsa-bangsa di Asia Tenggara, mungkin hanya seluas itu lah ciri khas keguyuban dapat ditemukan. Tapi, bisa kita lihat juga memang di negara-negara lain dengan kebudayaan indigenous lain seperti di Afrika, Amerika Latin atau di negara-negara lainnya, mungkin juga mereka memiliki definisi guyub nya sendiri.
Namun, kalau kita sudah berbicara misalnya negara Barat macam di Amerika Utara, Eropa Barat dan Timur, praktis keguyuban itu terbatasi dengan pembawaan karakteristik dasar masyarakat yang sukanya sendiri, kalau tidak kita bilang individualis.
Cuma, memang ada beberapa perbedaan mendasar secara definisi.
Di negara-negara Barat umumnya orang-orang suka melakukan banyak hal tidak dengan bergerombol selain karena perkembangan budaya, juga dikarenakan mereka memiliki konsentrasi pada kepakaran kemampuan per individu masing-masing. Sehingga misalnya kalau sedang ada kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, maka tidak perlu misalnya seorang atasan mengelola sekian banyak orang untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Cukup mungkin 1 atau paling banyak 2 orang, maka pekerjaan bisa dapat selesai. Dan, karakteristik tersebut membuat setiap individu tidak bergantung pada individu lain, atau tidak mencari-cari second opinion yang tidak perlu yang justru akan membuat standing position seseorang justru melemah. Karena di mana-mana prinsipnya ragu-ragu pasti salah.
Memang, artikel ini akan dibatasi pembahasan hanya pada konteks profesional. Kalau bahas keluarga dan lain sebagainya pasti tidak akan efektif tulisan ini.
Namun, di negara-negara Asia atau Asia Tenggara pada umumnya, bisa dibilang negara-negara Asia Timur seperti Cina, Korea Selatan, dan Jepang juga memiliki karakter budaya yang non-guyub. Artinya memang selain kondisi persaingan lingkungan yang teramat kompetitif, menjadikan norma-norma yang tadinya bergantung pada orang lain, menjadi tidak lagi diperlukan.
Di Asia Tenggara sendiri, Singapura mungkin juga termasuk suatu lokasi di mana berkumpulnya beragam suku Bangsa, sehingga tidak terlalu kentara apakah kebudayaan yang mereka pegang tetap merupakan kebudayaan Asia Tenggara. Yang mana hal itu juga sudah tidak relevan. Sehingga di tempat-tempat seperti Singapura dan Hong Kong misalnya, lead kebudayaan yang terpakai adalah dengan prinsip mana yang efektif menunjang kehidupan semata.
Tapi, hal ini jauh berbeda dengan di Indonesia. Dengan besarnya populasi, menyebarnya manusia di ratusan bahkan ribuan pulau, membuat Indonesia cukup “terisolasi” dari pengaruh-pengaruh rona budaya yang non-guyub.
Tentu semua hal ada positif dan negatifnya.
Terkait dengan kolaborasi dan keguyuban di Indonesia, kita sebetulnya sudah memiliki modal sosial yang kuat untuk bekerja sama dengan siapapun. Ketika kita bertemu dengan teman-teman SMA ataupun kuliah yang masing-masing sudah memiliki posisi dan kepakaran, niscaya itu adalah suatu modal yang sebetulnya bisa dijadikan cengli.
Iya, modal bisa menjadi cengli, tapi kembali lagi belum tentu cuan.
Hal yang membuat kenapa kalau kita lihat banyak orang di Indonesia yang susah berkolaborasi, antara lain karena memang keguyuban itu umumnya tidak diakomodir oleh sesuatu yang membawa benefit bagi semua. Karena rata-rata, dan ini terjadi di lingkungan dan sekitaran kita, keguyuban itu mungkin didasari oleh sesuatu yang dipaksakan, sesuatu yang ‘sudah jadi budaya’, atau sesuatu yang terkait dengan ikatan seperti keluarga atau keagamaan.
Sehingga, kalau kita perhatikan, topik-topik pembahasan yang diangkat rata-rata bukanlah untuk membawa benefit, melainkan untuk mengorek-ngorek informasi yang sebetulnya juga sering kali bersifat privat, dan bukan untuk dikonsumsi oleh orang lain.
Sehingga juga, sering kali pertemuan-pertemuan atau perkumpulan keguyuban yang ada juga membawa kesan traumatik bagi individu. Ataupun kesempatan-kesempatan untuk berkumpul tersebut juga digunakan beberapa pihak yang merasa dirinya ‘alpha’ untuk melakukan flexing menunjukkan bahwa dirinya dominan. Untuk para individu yang sebelum kegiatan berlangsung berpikiran untuk mengupayakan kerja-kerja sama, menjadi kapok untuk melakukan kegiatan bersama lagi. Dan hal ini tentu banyak terjadi di keluarga-keluarga besar di Indonesia. Karena, biasanya kalau sudah berbicara keluarga besar, yang dibahas adalah “dosa-dosa” masa lalu, dan tidak terlalu membahas masa depan.
Apalagi keguyuban itu diteruskan hanya untuk kepentingan beberapa orang semata, tanpa melihat kepentingan kolektif. Sehingga ‘member’ dari keguyuban tersebut tidak lagi merasa kepentingannya diakomodasi, alhasil bubar.
Keguyuban dan kolaborasi akan menjadi kuat kalau masing-masing ‘member’ dari entah itu bentuknya organisasi, kelompok, asosiasi, perkumpulan, dll sudah memiliki excel di bidangnya masing-masing secara spesifik. Excel di sini maksudnya adalah kepakaran dan keahlian yang dalam. Tidak barang tentu harus doktor atau PhD dulu berkumpul baru bisa disebut keguyuban efektif. Namun, paling tidak masing-masing ‘member’ tadi sudah menyadari apa-apa saja yang bisa ia kontribusikan untuk kepentingan yang lainnya.
Terlepas memang, toleransi masyarakat Indonesia terhadap membuang waktu itu tinggi sekali dibandingkan di banyak negara lainnya. Misalnya pertemuan pertemanan yang sebetulnya tidak membahas apa-apa, tidak ada output yang jelas, namun sudah makan waktu berjam-jam. Memang, tidak ada salahnya mencari kesenangan. Fenomena ini sudah dikukuhkan di statement awal.
Jadi makanya tidak heran ada ungkapan kalau mau berbisnis jangan dengan teman-teman sendiri, biasanya tidak jalan.
Hanya saja modal sosial yang bernama keguyuban itu akan menguap begitu saja padahal bisa digunakan untuk menampung banyak talenta, kemampuan, ide, dan kegiatan-kegiatan yang positif.
Salut kepada rekan-rekan yang sudah terbiasa berkolaborasi, bahkan dengan orang-orang yang notabene nya baru dikenal. Namun, tentu dengan konteks misalnya membuat perusahaan rintisan baik itu besar atau kecil, sama hebatnya. Atau organisasi pergerakan, pemberdayaan masyarakat, kewirausahaan sosial, dan lain sebagainya.
Memang tidak semua bentuk kolaborasi akan menghasilkan profit di depan. Kalau menghasilkan omzet yang nantinya berujung profit itu namanya pertemanan dagang.
Hal ini juga yang menjadi banyak sandungan terutama pada generasi yang lebih tua yang tidak mau kalau tidak ada cuan nya duluan. Tapi, kalau kita lihat perkembangan dewasa ini, apalagi berbicara terkait digital startup, notabenenya banyak dari entitas tersebut juga belum cuan, karena masih berada pada tahapan seed funding dan lain sebagainya.
Banyak di generasi sebelum kita kalau melihat bisnis ya harus seketika itu juga cuan. Karena mereka tidak tumbuh dari kolaborasi, banyaknya transaksi.
Misalnya saja segmen Cha Guan di channel YouTube AsumsiCo. Saya setuju untuk berkolaborasi dengan pihak AsumsiCo karena bagaimanapun entitas perusahaan konsultan yang saya bangun, Gentala Institute, membutuhkan corong media untuk beberapa interests kami. Pun ternyata ketika berdiskusi dengan pendiri AsumsiCo, mereka juga membutuhkan pihak-pihak yang bisa memberikan konten.
Kalau dilihat memang kami yang merugi, karena konten tersebut mendapatkan views yang tidak juga sedikit. Namun, yang kami lihat adalah dari prosesnya. Untuk memiliki misalnya channel YouTube sendiri dengan subscriber organik seperti AsumsiCo juga sama sekali bukan hal yang mudah. Untuk memiliki set studio untuk perekaman (taping) audiovisual juga memerlukan modal dan kru yang itu semua juga ada biaya nya. Dan, di media sosial seperti YouTube itu sendiri tidak akan bisa mendapatkan revenue kalau tidak mengikuti syarat dan prasyarat yang sudah ditetapkan oleh Google dan YouTube. Sehingga produksi konten juga harus berjalan setiap hari untuk mendapatkan traksi pemasukan.
Intinya kami dari Gentala tidak mengeluarkan ongkos, di satu sisi tidak juga mendapatkan cuan. Pihak AsumsiCo juga tidak mengeluarkan ongkos untuk membayar konten yang kami sajikan, dan mendapatkan traksi konten yang pelan-pelan juga merangkak naik.
Misalnya lagi, sebagai sebuah lembaga konsultansi, Gentala Institute juga berpotensi disandingkan dengan para “perusahaan” atau “konsultan” investasi atau bisnis yang sebetulnya mereka hanya memiliki posisi sebagai makelar proyek. Padahal, niatan kami membentuk Gentala adalah juga sebagai lembaga riset, studi, dan penyampaian informasi yang cengli terkait Indonesia sehingga lebih banyak lagi investor yang tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.
Dengan speaking out di media, selain mendapatkan atensi, kami berharap bahwa Gentala tidak dianggap hanya sekedar ‘ah, mereka kan makelar’.
Namun, kami juga yakin bahwa dengan adanya eksposure media seperti ini, di masa-masa yang akan datang akan lebih banyak lagi stakeholder yang akan bekerja sama dengan kami baik itu yang berhubungan dengan kegiatan edukasi maupun konsultasi yang relevan.
Apalagi kalau dilihat konten digital itu sejatinya adalah hal yang bisa dibilang lebih berharga dibandingkan dengan misalnya aset tangible seperti properti. Konten digital kalau kita bayangkan 100 tahun kedepan, mungkin konten yang kita buat saat ini masih akan stay. Tapi, tidak juga dengan properti. Misalnya ada bencana alam, atau ada kejadian-kejadian force majeure yang membuat kita atau keturunan kita tidak lagi memiliki hak atas properti tersebut.
Karena nature dari konten digital itu sifatnya adalah digital, dan “tinggalnya” di server, sehingga keberadaannya juga entah akan sampai berapa ratus tahun lagi bisa terasa.
Kolaborasi kami dengan pihak AsumsiCo adalah contoh kecil dari sekian banyak bentuk kolaborasi yang bisa dilakukan dengan tetap mengedepankan semangat guyub.
Tentu yang perlu dilihat adalah toleransi kita terhadap frase ‘gue harus cuan’. Jangan jadikan cuan itu sebagai alasan untuk tidak berkreasi atau berkolaborasi. Banyak model bisnis yang di awal tidak kelihatan duit nya, namun sebetulnya itu adalah bentuk investasi jangka panjang kita juga.
Sekian.