Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.
Betul sekali, di negara sekuler sempurna seperti Cina, pendidikan agama tidak diajarkan. Begitu pula dengan Bahasa Inggris yang sangat sedikit sekali pembebanan di kurikulum sekolahnya. Jadi, buat yang sudah memiliki asumsi bahwa orang-orang di Cina itu nir akhlaq dan Bahasa Inggris nya jelek banget, anda engga salah, karena dari sistem pendidikan di Cina memang seperti itu.
Namun, bukan berarti baik itu ilmu agama atau Bahasa Inggris tidak bisa diakses oleh pelajar di Cina. Bisa dibilang, karena agama adalah ranah privat, di banyak negara, maka hal-hal yang berbau pendidikan agama umumnya diajarkan oleh orang tua masing-masing, di rumah, atau di komunitas tempat peribadatan. Bagi yang muslim, untuk kami yang berkesempatan stay lama di Cina, kami tau bahwa program-program seperti yang dikenal dengan mengaji, membaca Al Quran dan sebagainya, itu ada di masjid-masjid di sana. Untuk agama lain, gue kurang bisa menjelaskan, mohon maap!
Soal Bahasa Inggris, memang bukan Cina aja ya yang kalok dibandingin kita di Indonesia, apalagi Negara Republik Jaxel, penggunaan Bahasa Inggris di Cina ga ada apa-apanya. Negara-negara seperti Jepang, Perancis, Jerman, dan banyak negara-negara kuat lainnya yang tidak memandang Bahasa Inggris adalah materi penting untuk dipelajari paling tidak untuk anak-anak dalam usia wajib belajar 12 tahun. Negara-negara begitu biasanya punya ego masing-masing sendiri, atau biasa ya karena mereka punya daya tawar tinggi, sehingga memaksa orang dari negara lain mempelajari bahasanya.
Gue sempet ngeliat video Tiktok gitu kan yang diwawancarai ceritanya orang-orang di india, random abis, mereka bilang Bahasa Inggris nya orang Cina lucu-lucu, kayak mereka sendiri engga ya? Hahaha.
Tapi, soal Bahasa Inggris ini menarik, karena pembebanannya kalo ga salah cuma 10% dari total seluruh kurikulum pendidikan di sekolah di Cina yang mereka harus terima. Kebanyakan porsi dialokasikan untuk sains—mafikibi itu, geografi, sejarah, kewarganegaraan dan ideologi, seni, bahkan musik.
Ya, di Cina sendiri ada IPA IPS, dengan ujungnya di un mereka atau biasa disebut gaokao, buat yang mau kuliah di bidang IPA, mereka hanya akan dites mafikibi, ips akan dites geografi, sejarah, ideologi dan ilmu politik.
Okelah, kira-kira itu kan sama ya dengan kita. Bahkan baru-baru ini Menteri Nadiem coba merombak banyak warisan lama sistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya dengan menghapuskan UN, meniadakan penjurusan IPA IPS, juga dengan pendekatan Kampus Merdeka Merdeka Belajar untuk kalangan pendidikan tinggi paska-SMA.
Di Cina itu memang yang cukup amsyong ada beberapa hal terkait dengan sistem pendidikan mereka, salah satunya soal gaokao, ya UN itu. Bayangin aja di tahun 1977 dulu dari 5,7 juta orang yang mengikuti UN di seantero negeri, cuma 270.000 siswa yang diterima untuk masuk ke Perguruan Tinggi, atau cuma sekitar 4,7%. Tapi itu dulu waktu Negara Api menyerang. Dengan masih tumbuhnya Cina sebagai negara, dan penyediaan sarana-prasarana pendidikan yang makin lama makin bagus, di tahun 2020 kalo kita googling, angka penerimaan gaokao berdasarkan daya tampung institusi perguruan tinggi mereka sudah mencapai 90% lebih. Menurut Statista, di Cina sendiri saat ini ada sekitar 2.738 universitas.
Kalo kita coba menghitung secara rada ngasal, misalnya karena di tahun 2020 ada sekitar 90.57% dari 10.710.000 yang mengikuti gaokao, dan jumlah kampusnya ada 2.738, berarti rata-rata setiap kampus bisa menampung sebesar 3.542 orang. So, kalau kita tarik ke tahun 1977 di mana gaokao pertama kali diadakan, dengan pembagi yang sama, maka pada waktu itu juga jumlah kampus di Cina ga lebih dari 76 kampus. Betul ga sih? Kalo salah ya maap, kan tadi gw udah bilang ngitung rada ngasal. Hahaha.
Ga ada datanya soalnya bro, itu waktu jaman revolusi nya Mao Zedong, data kan agak-agak susah gimana gitu yeee didapetinnya, dan belum ada netizen lagi, ga ada tuh colong-colongan data difoto abis itu diupload di ig samaT, hahaha.
Tapi, bottom line nya gaes, pertumbuhan kampus dari tahun 1977 cuma 76 dan sekarang sudah sebanyak 2.738, itu prestasi yang ga kaleng-kaleng. Jumlah universitas di Indonesia sendiri ada 4.600, itu pun yang kedata resmi mungkin ya, belum dihitung yang waktu tempo hari kapan itu sempat ada wisuda abal-abal, ckckck, mau jadi apa masa depan negara ini!
Jadi, kalau dihitung dengan rasio antara jumlah gedung, atau entitas kampus, tentu Indonesia punya lebih banyak dibandingkan Cina. Tapi, di sini kalo pinjem istilah orang Pontianak, urat geli nya. Untuk apa banyak-banyakan kampus, bikin di sini bikin di situ, tapi kita lihat sendiri faktanya kan. Ya mudah-mudahan mas menteri coba bikin terobosan-terobosan lagi lah ya soal pendidikan tinggi Indonesia. Karena kalau ngomongin pendidikan, pendidikan dasar, emang klen pada nyadar dulu pas SD – SMP ngapain? Engga juga kan. Pas SMA baru deh nyadar, eh gile, gue udah harus kuliah taun depan, ga bisa mabal lagi. Ancur!
Balik lagi misalnya ke soal Bahasa Inggris ya, yes, lu kalo ke Cina siap-siap roaming. Tapi bukan berarti di Cina ga ada yang bisa Bahasa Inggris, engga lah. Ya tadi, kalo misalnya orang itu mau fokus belajar, dan dia maunya itu ada hubungannya dengan pekerjaan dia nanti, si a misalnya, mau jadi penerjemah Presiden, atau mau jadi troll di media-media sosial Barat, dia bakalan fokus untuk belajar kalau bisa sampai S2 di Inggris atau di US.
Di Cina sendiri ga seperti kita bahasa udah ampun dah nyerah gue. Gue ini sering juga jadi grammar police ya, cuma ya ga kayak englishbuster juga sih. Cuma ya risih aja ketika banyak, apalagi pejabat, atau orang yang disebut terkenal, pake bahasa yang gado-gado. Di Cina sendiri ga ada yang begitu. Kita ke tukang foto kopi aja misalnya. Harusnya kan foto dan kopi lho yang bener itu, bukan photo copy, ya kan kalo di sini? Pada masih inget ga sih pelajaran bahasa Indonesia? Hahaha. Di Cina ya ga ada, semua pake mandarin. Di nama-nama toko, produk apa semua Bahasa Mandarin.
Lha kita udah sering salah, campur-aduk, termasuk video gue ini kan, bangga lagi kalo pake bahasa campur-campur, hahaha.
Itu lah contoh sederhana sistem pendidikan di Cina dan implikasi nya di kehidupan sehari-hari.
Banyak lagi misalnya yang rada amsyong selain soal gaokao itu, ada terkait sistem hukou. Sistem hukou ini ya kalo di kita rayon lah ya. Jadi memang siswa tidak bisa ambil sekolah atau kuliah di luar rayon tinggalnya. Ini berlaku sampek di tingkat perkuliahan. Ya ada bagusnya ada engga nya juga kan. Cuma kalau kita pikir negara sebesar Cina begitu, sistem rayon nya pengawasannya seperti apa, harus ekstra ketat. Ga tau kalau di Indonesia, gue ga terlalu ngikutin lagi, masih ada ga kayak colong-colongan supaya anaknya siapa gitu bisa sekolah di sekolah favorit, bukan sesuai dengan rayon nya.
Kalo bahas soal sistem pendidikan sebetulnya agak kurang menarik. Lead di awal ada agama-agama nya di awal video tadi gue cuma bertujuan mancing aja, dan mas raka biar bisa gampang gitu bikin video teaser buat rame kan.
Cuma misalnya kita langsung potong lagi misalkan ke soal pendidikan tinggi untuk orang asing di Cina, yang dulu tahun 2018 kalo temen-temen ada yang ngikutin, sempat ada dari sebuah institusi pendidikan tinggi Indonesia bikin heboh. Katanya mahasiswa Indonesia diajarin komunisme. Padahal, beliau itu dulu cuma ngeliat list silabus, pasti ada, misalnya soal marxisme dan lain sebagainya. Tapi itu bukan untuk orang asing, cuma untuk mahasiswa Cina nya aja. Lah kan tadi udah ane bilang, kalo di Sekolah Dasar – SMA mereka itu ada mata pelajaran soal ideologi dan sistem politik kan, bukan berarti ini untuk orang asing juga.
Atau misalnya yang berpotensi bikin rame, jadi untuk teman-teman penggemar drakor atau menjadi ingin belajar ke Korea hanya karena drakor dan oppa oppa itu; coba temen-temen pikirkan, kenapa di Cina peringkat 1 untuk negara asal mahasiswa asing nya itu korea selatan? Kenapa? Gue coba ulangin ya, menjadi bukan pertanyaan nih. Jadi, gaes, di Cina itu setidaknya sampai ke tahun 2018, karena data tahun 2019 belum ada, kalo kita urutin, asal negara dari mahasiswa/i asing di Cina itu asalnya dari Korea Selatan. Ini udah gue ikutin datanya dari 2016 kalo ga salah, selalu nomor 1 itu Korsel. Walaupun memang di 2018 ada penurunan jumlah dibandingkan di tahun 2017, yang tadinya ada sekitar 70.540 orang, menjadi 50.600, ini kalo data dari kementerian pendidikan Cina yang gw sadur dari Statista.
Rankingnya itu biasanya pertama Korea Selatan, AS, Thailand, Pakistan, India atau Rusia, baru Indonesia. Indonesia pun kalo ga salah sekarang ada sekitar 14 ribuan di Cina tahun 2019. Itu pun mungkin menurun jauh ya karena pandemi ini, banyak yang ga tertarik untuk studi ke luar negeri atau akses beasiswanya agak seret.
Tapi, maksud gue, coba kita pikirkan lagi baik-baik masa depan kita nih mumpung masih muda-muda. Orang Korsel aja mau kok ke Cina untuk kuliah karena salah satu nya mereka melihat Cina sebagai pasar yang sangat besar, kita ada drakor dan K-Pop sedikit langsung sekonyong-konyong melihat korsel sudah seperti apa. Emang ga salah, cuma coba lihat realita nya ya.
Tapi yang gue salut kalo membicarakan soal pendidikan di Cina, karena rata-rata per keluarga anaknya cuma 1, walaupun sekarang udah boleh maksimal 2 anak, orang tua mereka di sana itu bener-bener mengerahkan semua daya dan upaya nya untuk pendidikan anak-anaknya. Jarang sekali gw denger ada beasiswa pemerintah Cina untuk anak-anak yang mau ambil S2 misalnya ke luar negeri. Ya ini walaupun di dalam negeri sendiri sih sebetulnya ongkos kuliah ga nyampe setengah kalo misalnya dihitung dari tuition fee reguler mahasiswa asing ya. Tapi itu urusan lain, soal subsidi silang.
Dengan gue melihat bagaimana orang tua mereka sangat kekeuh untuk menjadikan anaknya berprestasi, cerdas, gemilang. Bahkan ini juga lagi musim olimpiade musim dingin Beijing tanggal 4 – 16 februari 2022, ada seorang bapak kemaren gw liat di Xinhua, dia sampe keluar kerja dan kasih khusus waktu dan bimbingan dia supaya si anak yang tahun ini umurnya 10 tahun, untuk menjadi atlet ski cilik nasional dan memang diarahkan menjadi profesional untuk olahraga ski tersebut.
Ya emang sih, kalo bicara soal pengorbanan, di dalam negeri juga banyak banget kalo mau dikupas satu-persatu ya. Tapi perbedaan yang paling ketara menurut gue, banyak dari temen-temen gue dulu misalnya atau yang gue rasain, pengorbanan orang tua di sini, terutama dalam hal pendidikan, itu sama anaknya take it for granted. Jadi malah dikira kalau yang dilakukan orang tua itu yaudah, dianggap begitu aja.
Terkait dengan mengikuti perkembangan zaman, pendidikan di Cina juga misalnya mengakomodir ilmu membuat game, sekarang sih baru 3 kampus ya di sana yang menyediakan jurusan desain gim. Sebetulnya sih itu isinya coding sama desain grafis 3D ya, bukan artinya orang main game aja kerjaan di kelas. Ga gampang juga sih kan. Tapi karena nilai ekonomi dari sektor industri gaming di Cina sebesar 296,5 milyar Yuan—tinggal dikalikan aja 2.200 Rupiah, ini merupakan langkah yang tepat untuk membuat dunia pendidikan disesuaikan ke realitas industri yang ada. Belum lagi soal metaverse dan sebagainya, tentu nanti mereka akan mengarah ke situ.
Yang musti temen-temen siapkan itu adalah, di Cina sekarang paling engga sudah ada 7 kampus yang menawarkan jurusan bahasa Indonesia. Ya. Jurusan bahasa Indonesia. Dan itu laku keras, karena lulusan-lulusannya bakal ditunjuk/dipekerjakan sebagai asisten, sekertaris, atau penerjemah teknis proyek-proyek investasi Cina yang ada di Indonesia.
Jadi, gimana? Udah cukup bikin kepala anget belum penjelasan gue tadi?