Penguasaan Teknologi di Cina

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Gue bisa paham salah satu faktor yang membuat kita semua ga suka ngeliat banyaknya pengaruh Cina ke Indonesia. Salah satunya karena persepsi soal barang-barang murah dan kualitas rendah yang masuk ke Indonesia, atau yang biasa kita beli. Tapi temen-temen perlu ingat, ada harga ada barang. Mau barang bagus tapi murah, itu kan kita banget ya. Ya logikanya jangan diprotes dong kalo usia barang tersebut ga lama. Misalnya hp. Tau sendiri kan kalo beli iPhone/Samsung dan merek-merek asal Cina itu bedanya berapa? Dengan spek yang sama dan waktu rilis yang sama misalnya. Atau kalo misalnya kita beli hp Sony, karena dari Jepang kan, wih, kualitas bagus. Tapi, kalo dibandingin dengan harga, ya dompet ga bohong sih ya.

Persepsi ini memang cukup wajar dan ga salah, tapi ya kalo misalnya kita konsumen nya, tentu kalo kita punya uang yang lebih, kita pasti akan coba ngebeli barang yang lebih mahal, dengan ekspektasi kualitas yang lebih bagus. Cuma, disadari atau tidak, misalnya temen-temen lihat, yang dilakukan oleh pabrikan-pabrikan hp Cina itu, mereka cuma pengen mendemokratisasi teknologi, sehingga supaya lebih banyak lagi orang yang bisa mengakses teknologi. Karena dari awal dulu jaman hp masih segede batu bata, itu kan mahalnya selangit. Udah berasa keren banget gitu kan. Jangankan HP, pager aja deh, gw sih ga pernah punya ya, tapi itu kan udah beken banget. Atau misalnya dulu itu ada jaman-jamannya PDA, yang stylus nya itu kayak pensil mekanik kecil gitu.

Nah, yang dilakukan oleh pabrikan hp asal Cina itu ya menjawab keinginan dan kebutuhan dari sekian banyak orang yang mupeng punya gawai seperti orang-orang yang keliatannya kaya itu kan. Ya, kalo kenapa bisa murah, itu kan banyak faktor. Pertama soal volume produksi nya yang massal, supaya unit cost nya bisa ditekan. Kedua soal biaya-biaya produksi misalnya bahan baku, chip, pekerja nya, efisiensi rantai pasok, dan lain sebagainya itu bisa mendapatkan value yang cocok. Ketiga soal margin yang diambil. Kalau Apple menurut Statista dia ambil margin 35% untuk produk iphone dan gawai yang lain, dan 60% margin untuk jasa-jasa lain yang mereka punya. Ya kalo gitu bisa dijawab kenapa produsen hp asal Cina bisa kasih harga murah, karena 3 faktor di atas.

Itu baru soal hp lho ya.

Persepsi soal murahnya barang-barang Cina, ini akan semakin wajar karena banyak banget dari kita yang sudah komentar tapi aktivitas/lingkungan tinggal dan kerja kita tidak terpapar oleh teknologi misalnya. Asyik dengan orang-orang yang sebetulnya sama gapteknya, sama kuper nya, sama kurang wawasannya, jadi kesimpulan-kesimpulan yang dibangun itu tidak saintifik, ceileh.

Misalnya gimana, ya kalo temen-temen kerja di pabrik atau kawasan industri pasti tau, banyak equipment produksi ya asalnya dari Cina juga kok, bukan dari amerika, eropa atau bahkan dari dalam negeri, dan itu juga balik lagi, memang ada yang bagus ada yang kurang bagus, sesuai dengan kebutuhan produksi barangnya apa kan. Ya kalo pabrikan-pabrikan yang kelasnya multinasional pasti ngambil mesin itu misalnya dari Jepang kalo engga Korea, tapi itu semua kan cost ya.

Gue sebenernya juga ngomong begini sih penting ga penting ya. Karena temen-temen bisa tau lah kalo udah pernah coba dan melihat sendiri yang namanya teknologi saat ini, apalagi cuma perkara gadget, sebetulnya lebih banya gengsinya kan daripada fungsi. Gue lebih concern sebetulnya dengan produk-produk Indonesia yang kayaknya kurang greget gitu. Gue ga lagi bahas soal mobil esemka atau apa, tapi ayok lah, we can do better!

Cina sendiri juga dia ga ujug-ujug punya misalnya pabrikan otomotif. Salah satu merek mobil tertua di Cina yang masih eksis sampai saat ini itu namanya FAW Group yang berbasis di Tianjin, ga jauh dari Beijing. Itu dia sudah ada sejak tahun 1965. Nah, menariknya, dan ini merupakan topik tesis gw waktu s2 dulu di beijing, memang kalo ada pabrikan apapun, terutama otomotif ya, karena pasarnya besar sekali, itu didesain sama pemerintah mereka kalau ada misalnya Ford, GM, VW, Daimler, Renault, Skoda, dll dia harus bikin joint venture, atau perusahaan patungan dengan perusahaan otomotif di Cina. Jadi ga bisa istilahnya itu wholly-owned, kecuali mungkin Tesla di Cina ya dia ga bikin JV sama perusahaan lain.

Nah, dengan begitu, ada keterlibatan SDM, transfer teknologi dan skill kepada para pekerja lokalnya, lalu ya mereka bisa bangga kalau produk-produk pabrikan lainnya paling tidak produksi sebelum assembly itu dilakukan di Cina. Tesla aja misalnya, dia di tahun 2021, menurut asosiasi pabrikan mobil penumpang Cina (CPCA), total produksi tesla di Cina, di shanghai ada 52.859 unit, dan 21.127 unitnya dilempar untuk pasar non-Cina.

Pola-pola joint venture tadi tentu membuat pangsa pasar pekerja di Cina semakin kompetitif dengan lebih banyak kerah biru yang memiliki kemampuan tidak kaleng-kaleng. Dan pabrikan otomotif asal Amerika, Eropa, Jepang, bahkan korea ibaratnya mereka kalaupun bisa mengekspor CBU, udah berupa mobil jadi begitu, mereka juga pasti hitung-hitungan juga dari segi insentif pajak, rantai pasok, upah pekerja dll yang kalau dibandingkan mereka investasi dalam bentuk joint venture tadi, ternyata bisa lebih valuable. Jadi bukan kita doang nih sebagai konsumen akhir yang memikirkan soal kepantasan nilai suatu barang, tentu pabrikan-pabrikan dan merek-merek besar itu ya pasti sudah mengkalkulasikannya dengan baik.

Artinya, temen-temen, ini kalo mau membicarakan produk, ga segampang kita membandingkan perkakas rumahan, mainan anak, hp, baju, sepatu, dengan misalnya produk-produk seperti mobil, atau bahkan kereta cepat. Soal kereta cepat kemaren gue di video satu lagi udah sempat bahas ya. Ga perlu diulangin lagi di sini.

Tapi, salah satu yang memang menjadi alasan kenapa Cina bisa cepat sekali “menguasai” teknologi. Terutama teknologi-teknologi gadget. Itu karena di Cina banyak dari industri manufaktur yang main terabas. Artinya, memang ada violation atau pelanggaran-pelanggaran yang berkenaan dengan intellectual property rights. Kalau di kita namanya hak kekayaan intelektual.

Ya barang-barang KW itu lah. Tapi, jangan salah, barang-barang KW itu juga bukannya orang bule engga suka. Suka dong. Terutama buat mereka yang tinggal di Cina. Banyak yang beli baju, sneakers, topi, jaket, kalo gadget jarang sih ya orang bule beli KW. Tapi ya itu mereka tau kok untuk dipake di Cina aja. Sampe kalo itu masuk ke us atau ke beberapa negara eropa yang strict, setau gue itu barang ga bisa masuk deh, kalau ketahuan itu KW. Atau misalnya mereka buat impor barang-barang KW dari Cina ke us misalnya, itu emang ga boleh secara hukum.

Kalo dari laporan nikkei asia yang mereka buat pada september 2021 kemarin, ada sekitar 28.528 perkara yang mana itu semua adalah tuntutan dari para pemilik hak kekayaan intelektual itu tadi. Baik itu perkara atau gugatan yang diajukan oleh pemilik IP Rights dari luar Cina ataupun dari dalam Cina sendiri. Lha iya, hape-hape Cina di Cina ada KW nya bro! Hahaha.

Karena pada awalnya kan, kenapa ditrabas begitu aja diperbolehkan, yang penting ekonomi domestik ada stimulus dulu. Daripada mereka harus alokasikan dana untuk riset dulu, pengembangan produk dulu, tes produk dulu, itu dikira bayarnya pake daon ginko biloba!

Tapi, jangan salah di Cina sebesar 378 milyar USD di tahun 2020 untuk anggaran riset dan pengembangan atau R&D, itu kalau kata CNBC lho ya. Dan kalau merujuk datanya Statista tahun 2020 di Cina ada sekitar 555.293 jumlah paten, dan sekitar 71% nya adalah paten untuk industri elektronika dan komunikasi. Salah satu pemilik paten terbesar di Cina adalah Huawei. Gue masih agak ragu ya kalau dibandingin sama Indonesia, masih cukup jauh gitu angkanya. Kita telen sendiri aja ya soal itu.

Ini ada satu lagi soal teknologi antariksa nya Cina. Kalau kita googling, Cina sejak tahun 1970 sampai januari 2022, telah meluncurkan roket sebanyak 407 peluncuran. Itu ya tentu dengan berbagai macam tujuan dan fungsi nya ya. Ya tentu sebanyak itu ada kegagalan-kegagalannya. Tapi kan, yang banyak orang belum tahu bahwa ah ga mungkin bagus juga kualitas roketnya. Karena ya tadi itu, masih membandingkan dengan barang-barang yang sedang digenggam, atau karena barang yang baru kita beli di marketplace kemaren, murah-murah.

Perkembangan teknologi, tidak terkecuali yang berkaitan dengan industri antariksa harus didukung oleh paling tidak triple helix nya main. Di Cina sendiri ada 8 kampus dengan memiliki fakultas khusus soal ilmu-ilmu keantariksaan. Di Indonesia sendiri kalo ga salah baru di ITB aja ya di FMIPA, itu pun jurusan astronomi ya, masih besar banget gap nya.

Dari segi pendukungnya, Cina sudah punya paling tidak 4 titik peluncuran roket di dalam negeri. Dengan 5 pusat kontrol, dan 12 stasiun pelacakan di dalam negeri juga. Roket-roket yang namanya Long March 1 – 11 juga diproduksi di dalam negeri mereka sendiri oleh China Academy of Launch Vehicle Technology, panjang ya namanya. Cuma ga ada informasi berapa persentase TKDN roket tersebut yang bisa diakses secara online ya.

Untuk jumlah satelit nya, menurut Chinapower dot CSIS dot org, Cina punya 363 satelit, walaupun kalau dibandingkan as yang punya 1.327 satelit. Jadi jangan heran di Cina internetnya cepet. Hahaha.

Lalu, mereka juga paling tidak sudah punya 14 orang astronot—yang mereka sebut taikonot, yang pernah dikirimkan ke orbit sejak tahun 2003. Walaupun masih jauh dari misalnya jumlah astronot as yang sudah mengirimkan 339 orang, dan Rusia 121 orang. Tapi, usaha tidak akan menghasilkan apa-apa kalau tidak ada langkah pertama. One small step for man, one giant leap for mankind. Kata Cak Lontong. Eh, kata Cak Lontong atau kata Neil Armstrong itu ya?

Kalau meminjam kata-katanya prof Rhenald Kasali, buat orang-orang yang self-centered, merasa dirinya adalah pusat dari alam semesta, pasti ketar-ketir melihat video ini. Itu aja gue baru bahas soal hp, otomotif, dan kereta cepat. Sebetulnya seperti yang gue bilang, gue ga penting sebetulnya mempromosikan betapa Cina itu ga seperti dugaan kita-kita yang belum pernah ke Cina. Gue juga ga terlalu berkenan, karena ga ada invoice nya nih dari Mega Kuningan, gue promosiin gini, Imlek ga dapet angpao juga sih. Hahahaha.

Gitu aja kali ya Mas Raka, nanti kalo kepanjangan gue dibilang mirip Dr Indrawan Nugroho lagi. Mending gue bakal diundang ke Deddy Corbuzier kan ngomong panjang lebar.

Tapi memang ada barang-barang canggih yang sebetulnya Cina itu juga ga bisa bikin lho gaes. Kamera. Kalo itu sih emang susah atau gimana gue ga ngerti deh. Kalo temen-temen pernah denger Blackmagic, itu kan produsen dari Australia, Melbourne ya. Atau misalnya Leica dari Jerman, Hasselblad dari Swedia, Polaroid dari US, atau misalnya brand-brand lain lah yang cuma hobi fotografi aja mungkin yang tau. Tapi emang ga ada yang dari Cina kan.

Atau misalnya jam tangan kelas high-end, ga ada juga sih yang dari Cina, ga pernah denger kan. Karena ya itulah teknologi, teman-teman. Maksudnya ga serta-merta bisa dikuasai kalo cuma asal pengen aja, proses memahami dan bagaimana bisa menjadi sebuah produk yang bisa laku di pasaran itu sama sekali ga mudah. Tapi di sisi lain bukan berarti mustahil juga kalau misalnya merek-merek lokal gitu ya, serius untuk mengembangkan produk-produk berteknologi tinggi.

Tapi ya balik lagi, bisnis yang paling cengli menurut gue bukan soal canggih-canggihan. Bagaimana bisa menjawab kebutuhan pasar itulah se-cengli-cengli nya bisnis. Cina sebagai sebuah negara, dia sadar kok kalau mayoritas pasar domestik mereka belum bisa mengakses produk dengan harga-harga terlalu mahal, ga sampai berapa persennya mungkin. Apalagi untuk diekspor macam negara berflower kita ini kan, pasti dia liat dulu pasarnya.

Ini aja bahasan belum soal perkembangan industri perfileman mereka, animasinya udah bagus-bagus kan? Udah mampu bayar animator-animator handal sekelas Pixar, dan secara story juga sudah oke kok, ga terlalu monoton. Terus misalnya soal “matahari buatan”, “bulan buatan”, dan lain sebagainya.

Kesimpulannya, Cina bisa seperti itu karena negara mereka sedang shifting, dari negara yang padat karya menjadi padat inovasi. Yang tadinya tulang punggung ekonomi nya adalah agrikultur, kemudian menjadi manufaktur pabrikan begitu, lalu nanti akan mereka diversifikasi tulang punggung ekonominya dari sektor jasa dan produk berinovasi tinggi.

Leave a comment