Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.
Seiring dengan berkembangnya teknologi dan modernisasi dunia, peradaban manusia mencatatkan angka perusakan lingkungan yang cukup destruktif. Dimana manusia sebagai penghuni bumi memang sudah ditetapkan untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada, namun pada akhirnya ego manusia yang membuat pemanfaatan sumber daya alam menjadi bersifat eksploitatif. Hal inilah yang membuat manusia menjadi makhluk yang mencemari lingkungan.
Yang menarik adalah secara linimasa, ada kalanya peradaban manusa tercatat merusak lingkungan, dan ada kalanya pula manusia mengembalikan keseimbangan lingkungan alam itu sendiri.
Pada dasarnya melindungi lingkungan itu perlu kerjasama secara struktural dimana tidak hanya diri sendiri ataupun kelompok tertentu, tetapi juga secara regulasi pemerintahan ataupun andil nyata pemerintah terhadap isu lingkungan haruslah kompak dan saling melengkapi. Namun seringkali hal ini terhalangi oleh kepentingan politik suatu negara sehingga pencemaran lingkungan suatu negara menumpuk dan menjadi dosa pencemaran lingkungan yang dimiliki suatu negara. Hal inipun dapat dijadikan salah satu senjata propaganda suatu negara.
Seperti contoh ketika Trump masih menjadi presiden, isu-isu lingkungan yang ditujukan untuk mendegradasi Tiongkok sangat terasa. Dimana dibuat satu website ‘2017-2021 dotstate dotgov’ yang khusus dibuat untuk menyebutkan dosa-dosa lingkungan alam yang dilakukan negara Tiongkok.
Padahal, Amerika Serikat sendiri dan negara-negara Eropa ketika Revolusi Industri juga banyak menyumbang emisi yang merusak lingkungan. Memang, pada jaman Revolusi Industri di Eropa, negara Tiongkok masih berupa negara agraris yang tidak terlalu banyak industrialisasinya. Disini, kepentingan politik suatu negara mengalihkan isu utamanya yaitu pencemaran lingkungan yang seharusnya diselesaikan oleh tiap tiap negara.
Kalau kita lihat, negara-negara yang saat ini mampu memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan adalah negara yang dikategorikan sebagai negara maju. Dimana hal tersebut dikarenakan investasi pemanfaatan teknologi baru dan terbarukan memiliki nilai yang tinggi dan hanya negara maju yang memiliki kemampuan untuk mengakomodir syarat tersebut.
Mungkin banyak dari anda bertanya mengapa negara berkembang tidak termasuk yang dapat mengakomodir investasi pemanfaatan teknologi baru dan terbarukan seperti contohnya negara kita, Indonesia.
Misalkan saja ada suatu daerah di Indonesia yang di sepanjang jalan nya sudah memakai lampu penerangan jalan yang murni menggunakan panel surya. Namun, seringkali solusi ini kurang terpikirkan secara keseluruhan dimana dalam hal maintenance pencucian panel surya yang tidak murah dan harus satu persatu secara berkala. Sehingga banyak terlihat lampu jalan dengan model tersebut yang tidak sesuai harapan secara fungsinya. Sehingga secara efisien, energi yang digunakan masih berupa energi listrik konvensional.
Di Indonesia sendiri, RUPTL PLN yang dirilis oleh Kementerian ESDM, tertulis bahwa Indonesia sendiri baru bisa siap untuk mengurangi penggunaan bahan bakar yang bersumber dari batu bara pada tahun 2026. Karena kalau kita lihat dari perbedaan angka investasi antara energi konvensional dan energi baru terbarukan terdapat selisih angka yang cukup signifikan. Di sisi lain, Undang-Undang mengenai energi baru terbarukan di Indonesia masih belum di-prioritaskan.
Karena kalaupun kita juga sudah tau besaran investasi yang diperlukan, dibandingkan dengan kebutuhannya, pasti memiliki banyak manfaat.
Tapi jika tidak ada naungan Undang-Undang yang jelas, tentu itu akan menjadi bumerang bagi investor, baik dari pemerintah maupun pihak eksternal.
Sekarang, di Tiongkok, sudah memasuki era Repelita ke 14, dengan rentang tahun 2021 – 2025, pada rencana pembangunan lima tahun ini mereka memasukkan target pengurangan emisi CO2 sebesar 18% secara nasional. Hal ini memang tidak mudah untuk Tiongkok. Karena, ketika ini sudah masuk ke rencana pembangunan lima tahun, niscaya segenap pembuat dan pelaksana kebijakan harus menaati rencana tersebut. Dimana pada rencana pembangunan lima tahun mereka yang ke 12 dan 13 dahulu, Tiongkok belum memasukkan target pengurangan emisi CO2 sebagai kebijakan nasional. Hal ini merujuk pada website BSR dot org.
Selain Tiongkok itu tidak mau terburu-buru mengenai penetapan kebijakan mereka, mereka juga memberikan kepastian hukum dari segi kebijakan, yang kemudian bagi para pihak yang berminat untuk berkolaborasi menjadi lebih jelas. Misalnya para calon investor asing, jika mereka melihat angka target pengurangan emisi, berarti mereka juga harus melihat konsekuensi dari pembengkakan biaya investasi yang mereka perlukan. Misalnya untuk manufaktur berbagai macam barang. Pun juga untuk para investor yang sudah ada juga ada konsekuensi pengimbangan penggunaan entah itu energi yang digunakan untuk kebutuhan listrik operasional pabrik mereka dan cara penanganan limbah industri yang dihasilkan akan berpengaruh pada jumlah investasinya. Maka dari itu sebagai alternatif, banyak investor akhirnya memilih Vietnam ataupun Indonesia yang masih memiliki celah pada regulasinya yang berhubungan dengan pemenuhan komponen industri yang ramah lingkungan dengan turunan konsekuensinya.
Tapi memang kalau kita lihat mengenai polusi udara di Tiongkok, di kota Beijing angka polusi udaranya sampai di angka 500 menurut aplikasi pemindai tingkat polusi udara. Bahkan di beberapa hari tertentu misal ketika musim dingin, dikarenakan banyaknya infrastruktur pemanas dalam kota yang menggunakan batu bara.
Namun seperti yang disampaikan sebelumnya, dengan adanya pengurangan emisi CO2 dan karbon di perencanaan Repelita ke 14 Tiongkok, diharapkan bisa mengurangi penggunaan energi batu bara. Dan, jika teknologi pemanas elektrik sudah lebih optimal, hal tersebut dapat didukung dengan harga tarif dasar listrik yang lebih terjangkau.
Di Tiongkok, motor elektrik yang bertenaga baterai sudah ada sejak tahun 1990an. Namun pengembangan mobil listrik baru dimulai sejak tahun 2001. Seperti yang kita ketahui bersama, mobil listrik masih dilabeli tidak ramah lingkungan karena pembangkit-pembangkit listriknya yang masih menggunakan energi batu bara. Kendati demikian, hal itu juga menjadi sesuatu yang juga ditempuh Tiongkok sebagai upaya pengurangan emisi karbon, terutama di wilayah perkotaan.
Memang tidak mudah, namun yang jelas, kepedulian terhadap lingkungan alam harus dimulai dari mindset. Tidak hanya Tiongkok tetapi juga Indonesia dan banyak negara lainnya, memiliki tugas yang sangat besar terkait mindset ini. Karena kepedulian lingkungan atau pengaplikasian kebijakan pro-green itu juga harus ditunjang dengan tingkat kesadaran masyarakatnya. Misalnya perihal membuang sampah sembarangan, melakukan kegiatan daur ulang atau daur naik, itu semua membutuhkan pemahaman dari masing-masing individu.
Kalau kita tinjau dari hasilnya, di Tiongkok ada beberapa bukti bahwa negara mereka betul-betul melaksanakan tanda kutip penebusan dosa terkait dengan isu lingkungan yang dulu mereka acuhkan. Pertama terkait dengan panda.
Di Tiongkok, menurut laman National Geographic bulan september 2021, panda sudah tidak lagi termasuk kategori hewan yang terancam punah sejak tahun 2016. Sejak tahun itu, panda ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature sebagai hewan yang langka namun tidak dianggap terancam punah. Dan baru pada tahun 2021 panda disebut hewan yang tidak lagi langka, namun tetap dilindungi. Padahal di tahun 1980an, jumlah panda pada waktu itu diprediksi hanya sejumlah 1000an ekor saja.
Alasan hampir punahnya panda cukup banyak. Menurut National Geographic, panda dulunya adalah hewan yang diperdagangkan karena keunikan dan kelucuannya. Pasar perdagangan panda hingga ke US dan Jepang, perdagangan panda mayoritas untuk dikoleksi setelah diawetkan, dipelihara secara pribadi, ataupun dijadikan hewan sirkus.
Saat ini, dengan meningkatnya jumlah panda, niscaya Tiongkok sendiri dapat berbangga dengan pencapaian pusat riset panda yang ada di kota Chengdu, Provinsi Sichuan. Sejak pendiriannya pada tahun 1987, baru dalam beberapa tahun ini pusat riset tersebut membuahkan hasil. Pusat riset panda di Chengdu tersebut juga menjadi salah satu destinasi wisata dunia, dan bahkan ada website khusus yang dapat di akses untuk kita bisa melihat panda-panda dari cctv pusat riset yang diunggah ke internet secara live.
Dalam hal lain, Tiongkok juga menjadikan hewan tersebut sebagai instrumen diplomasi lunak. Oleh karena itu ada istilah Diplomasi Panda.
Diversifikasi energi di Tiongkok sendiri penggunaan batu bara sebagai sumber bahan bakar hanya di angka 58%, ini menurut data tahun 2019. Di Indonesia, menurut VoA Indonesia di November 2021 mengutip Bu Menteri Sri Mulyani bahwa batu bara menyumbang 65% dari bauran energi nasional, baik itu untuk kebutuhan pembangkit listrik maupun industri. Selain batu bara, Tiongkok menggunakan sekitar 20% dari minyak bumi, hidroelektrik dan gas alam sebesar 8%, energi baru dan terbarukan sebesar 5%, lalu energi nuklir 2%.
Selain soal penggunaan energi alternatif yang lebih bersih, diversifikasi seperti itu akan membuat Tiongkok tidak bergantung kepada 1 atau 2 sumber energi saja.
Ketika kami melakukan seminar energi beberapa waktu lalu dengan pihak kampus dan peneliti di Tiongkok, ada salah satu pemateri yang sedang mengembangkan bagaimana cara agar teknologi blockchain dapat dikembangkan untuk mengawal green financing, baik itu di Tiongkok maupun di negara-negara lainnya. Inovasi juga tentu memainkan peranan penting soal kelestarian lingkungan.
Dari pemberitaan BBC juli 2019, pengenaan denda kepada individu dan perusahaan yang tidak memilah pembuangan sampah mereka juga sudah diterapkan sejak tahun 2017 di 46 kota di Tiongkok. Untuk individu, pengawasannya ada di lingkungan-lingkungan tempat tinggal. Misal di komplek apartemen atau klaster residensial. Bahkan di shanghaisudah banyak komplek apartemen yang menggunakan kamera cctv berteknologi AI untuk melihat apakah seseorang membuang sampah sesuai dengan klasifikasinya atau tidak. Jika melanggar, maka sistem AI akan mencatat pelaku pembuang sampah tersebut untuk kemudian dapat dilaporkan dan dipelajari dari segi kebiasaan masyarakat secara luas.
Untuk individu yang tidak melakukan pemilahan sampah, jumlah denda yang dikenakan sebesar 200 Yuan, atau setara 400 ribu Rupiah. Jika pelanggar merupakan restoran, hotel, ataupun lokasi usaha yang menghasilkan sampah, ancaman denda yang dikenakan maksimal sebesar 5000 Yuan.
Terkait hal ini, lokasi yang menghasilkan sampah sisa makanan memiliki aturan denda yang cukup besar. Karena di Tiongkok sendiri kalau kita lihat di media sosial, banyak memperlihatkan masyarakat di restoran buffet membuang banyak sisa makanan yang masih layak dimakan. Dari laman NYC Food Policy dot org dikabarkan untuk restoran yang menggunakan konsep buffet dan membuang banyak sisa makanan, maka restoran tersebut akan dikenakan denda sebesar 10 ribu Yuan. Undang-Undang soal makanan sisa ini selain membantu melestarikan lingkungan sekaligus mendukung program ketahanan pangan nasional Tiongkok.
Selain itu, penekanan pada penggunaan sarana transportasi publik di Tiongkok juga diiringi dengan pembatasan plat nomor mobil pribadi yang bisa digunakan pada hari-hari kerja, pembatasan kuota pembelian BBM, hingga pengenaan pajak yang tinggi ketika membeli mobil baru. Di sisi lain, angka subsidi terhadap transportasi publik juga sangat tinggi. Sehingga terjadi sinkronisasi antara kebijakan dan insentif dalam bentuk subsidi yang besar agar masyarakat pada umumnya menggunakan transportasi publik.
Pemerintah Tiongkok juga melakukan penghijauan Gurun Gobi dan sekitarnya atau disebut dengan the Great Green Wall. Program ini ditujukan untuk menghambat laju penggurunan atau desertifikasi yang berasal dari area Gurun Gobi yang terletak di utara sampai ke Barat Laut Tiongkok. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 1978 dan akan selesai pada tahun 2050. Program ini bukan program untuk menanami seluruh gurun dengan pohon, tapi sebagai penghambat agar daerah-daerah yang hijau dan bisa dipakai untuk agrikultur, tidak terdesertifikasi secara alami dan berubah menjadi gurun.
Program the Great Green Wall ini juga dilakukan dengan tujuan agar infrastruktur seperti jalan raya, jalur kereta, jalur kereta cepat, hingga bandara tidak terganggu oleh fenomena-fenomena alam yang biasa terjadi di daerah gurun. Sehingga memang ada tanaman pencegah yang cocok untuk di tanam di daerah tersebut, yang kemudian di perbanyak, dan menggunakan sistem irigasi yang dipasang di bawah tanah.
Terakhir, salah satu upaya penebusan dosa lingkungan Tiongkok, adalah sesuatu yang juga sedang ramai dibicarakan, dan mungkin akan menjadi salah satu bahasan pada side events G20 yang sedang berlangsung, yaitu mengenai green financing dan carbon trading.
Mengenai hal tersebut, di Indonesia jika dikutip dari laman Kontan dotco dot id pada Desember 2021, akan diberlakukan pajak karbon per 1 April 2022. Dimana besarannya sekitar 30 Rupiah per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Walaupun, untuk pajak karbon ini masih menggunakan acuan perpres 98 tahun 2021 dan akan menggunakan acuan UU no.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Tetapi hal ini masih belum jelas, apakah nanti pajak karbon yang dikumpulkan akan menjadi penerimaan negara murni atau dialihkan ke sektor-sektor yang ramah lingkungan. Definisinya perlu lebih diperjelas agar hubungannya dengan industri manufaktur serta pelaksanaan dan pengawasan di lapangan dapat jelas.
Di Tiongkok, mengutip dari laman Energymonitor dot ai, terdapat artikel yang ditulis pada 5 Januari 2022 yang isinya banyak merinci perbedaan sistem perdagangan emisi (ETS dalam Bahasa Inggris) antara Tiongkok dengan negara-negara uni Eropa. Bedanya, negara uni Eropa sudah dianggap betul-betul melakukan perdagangan emisi ini. Dimana Tiongkok masih disebut belum betul-betul melaksanakan ETS karena masih belum bisa dibilang cap-and-trade.
Masih dari laman yang sama, perbedaan lainnya adalah, di Tiongkok masih menggunakan pendekatan dari bawah ke atas. Sehingga ada celah bagi perusahaan yang emisi karbon nya tinggi, juga untuk menentukan besaran emisi yang harus dia bayar secara sukarela. Pemerintah Tiongkok sendiri tentu tidak mau terburu-buru dengan menerapkan standarisasi yang sama dengan Uni Eropa. Karena jika terburu-buru akan memberikan dampak pada pabrik-pabrik yang sudah ada menjadi kebingungan, dan berpotensi angkat kaki dari Tiongkok.
Dan jika dilihat diagram nya, harga emisi per ton yang harus dibayarkan oleh individu entitas bisnis yang disebutkan sebelumnya, masih jauh bila dibandingkan dengan di Uni Eropa. Harga emisi per ton di Tiongkok hanya sebesar 6 – 8,5 Euro per ton, sedangkan dengan cap and trade yang sudah diterapkan di Uni Eropa, harga emisi per ton berkisar di angka 60 – 75 Euro.
Untuk topik green financing, Tiongkok sudah mewacanakan topik ini sejak tahun 2016, lalu kemudian direalisasikan dengan Tiongkok memiliki pasar saham atau obligasi hijau terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Di tahun 2021, menurut laman South China Morning Post, nilai green loans yang dikelola oleh Bank Sentral Tiongkok (PBOC) adalah sebesar 1,8 triliun USD.
Deputi gubernur PBOC juga mengatakan bahwa permintaan terkait penyertaan keuangan hijau di Tiongkok akan meningkat menjadi 123 triliun Yuan. Angka tersebut merupakan angka yang mereka olah dan proyeksikan dari tahun 2014 sampai tahun 2030.
Tapi mari kita lihat saja perkembangannya. Mudah-mudahan di Tiongkok, uang sebesar 21 triliun USD yang mereka telah investasikan di akhir tahun 2020 lalu akan membawa hasil untuk menjadikan tujuan ekonomi Tiongkok bebas karbon di tahun 2060 betul-betul terealisasi.
Kalau di Indonesia, ada yang disebut dengan sukuk hijau. Udah pada tau itu apa? Yuk ramein di kolom komentar aja.