Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.
Saudara2, saudari2, Bapak2, Ibu2, bisa dibayangkan betapa besarnya penghasilan yang akan diterima Google kalau produk-produk mereka tidak diblokir sejak tahun 2010 oleh pemerintah Cina. Ya, saat ini dengan the great firewall yang dimiliki oleh Cina, praktis tidak banyak produk-produk digital asal Barat yang bisa dipakai. Padahal Google sendiri masuk ke Cina sudah sejak tahun 2000, dengan pada waktu itu yang masih populernya ya search engine nya ya. Belum terlalu banyak juga sih produk-produk yang mereka tawarin di pasar Cina.
Paling engga memang ada 2 faktor yang mendasari Google, Facebook, dan penyedia layanan internet asal Barat lainnya yang kita kenal hengkang dari Cina. Pertama karena kewajiban sensor, dan yang kedua adalah uud—ujung-ujungnya duit. Soal sensor, sebetulnya engga juga gimana lebay. Dalam artian, di Cina sendiri contohnya, ada Microsoft, masih kok mereka bercokol sampai sekarang. Merujuk dari website Times of India, Microsoft sendiri masuk ke pasar ekonomi digital Cina sudah sejak tahun 1992, 8 tahun sebelum Google masuk ke Cina. Namun, karena Microsoft utamanya lebih banyak menjual perangkat lunak, dan agak berbeda secara segi business modelnya dibandingkan dengan Google, jadi asal Microsoft tetap cuan, mereka lebih bisa fleksibel mengikuti regulasi pemerintah Cina. Sebagai informasi, Microsoft sendiri punya lho search engine yang namanya Bing dotcom. Ya, tapi jangan bandingin search resultnya sama Google. Jauh sih.
Jadi ya faktor selanjutnya yaitu soal duit tadi. Ya mau gimana, soalnya kalau kita lihat sekarang, semua yang berbau konten digital, kan duit semua ya. Konten di YouTube, konten di TikTok, e-sport, dan lain sebagainya sudah bisa divaluasi secara uang yang berlaku di negara masing-masing. Ini kita belum ngomongin blockchain, kripto, NFT, dan metaverse. Berapa peluang valuasi kalau dinominalkan kepada mata uang yang kita pakai sehari-hari. Kalau soal blockchain, emmmm, gue bukan ahlinya, bisa nanti tanya ya sama siapa gitu yang lebih paham.
Maksudnya, karena praktek menghindar pajak dari ada sebutannya the Big Six, itu 6 perusahaan terbesar yang berasal dari Silicon Valley. Ada Google yang induk perusahaannya alphabet, ada Facebook yang juga udah ganti nama jadi Meta, ada Amazon, Netflix, Microsoft, dan Apple. Mereka itu semua kan korporasi multinasional yang duitnya ga berseri ya. Yang namanya regulasi, di negara manapun, kecuali di Korea Utara. Ini Korea Utara gue sebut mulu di video, sebenernya sih ya barangkali netizen sana liat AsumsiCo, kan lumayan ya. Biar naikin konten dulu. Nah, perusahaan-perusahaan besar itu mereka bisa membayar mulai dari akuntan, konsultan pajak, sampai pengacara yang gimana caranya bisa menekan uang yang keluar dari revenue mereka dari sektor pajak.
Pajak yang hilang, berarti kan revenue loss untuk suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Adanya Pajak Pertambahan Nilai untuk produk-produk digital, atau yang biasa disebut VAT, dan juga ada di barang-barang komersil lainnya, itu juga sebetulnya pembebanannya kan ke konsumen, bukan ke korporasi. Coba deh dipikir baik-baik.
Menurut Statista, revenue Google di india tahun 2020 adalah sebesar 55,94 milyar USD, walaupun yang tertinggi sesuai catatan mereka ada di tahun 2019 yaitu sebesar 93,37 milyar USD. Google sendiri di India, seperti yang diwartakan oleh India Times dotcom, diharuskan untuk membayar equalisation levy, atau retribusi pemerataan sebesar 2% per tahun. Masih menurut India Times, di India sendiri padahal corporate tax nya itu lumayan juga, di angka 22%. Jauh ya.
Di US sendiri, melihat dari rilis CNBC Bulan Desember tahun 2019 lalu, ada laporan dari Fair Tax Mark, organisasi penelitian bisnis dan perpajakan asal UK, mereka meneliti dari tahun 2011 – 2019, the Big Six tadi dengan kalkulasi yang mereka punya, mengelak pajak kalau ditotal ada 100 milyar USD. Terima kasih kepada loop regulasi yang berhasil dilihat secara jeli oleh para akuntan, konsultan perpajakan, dan rombongan pengacara korporasi top mereka yang bisa membuat angka segitu besar tidak masuk ke penerimaan negara. Tapi, itu di US ya.
Di negara-negara Afrika sendiri, menurut webiste DW dotcom, seperti Nigeria, Kenya, Zimbabwe, dan negara-negara Afrika lainnya juga sedang mengimplementasikan pajak digital ini. Karena segitu besar revenue loss yang harus ditanggung oleh negara masing-masing. Ada yang pembebanannya ke VAT, ada yang ke arah corporate tax nya.
Kalau kembali ke Cina, agak sulit melakukan perbandingan, karena selain Google dan Facebook sudah lama hengkang, perkara perpajakan ini sebetulnya sangat rumit, ga semudah ngitung iuran RT atau IPL kalo buat lo yang tinggal di klaster perumahan.
Misalnya aja kita lihat dari Apple. Dari Nikkei Asia bilang kalo revenue Apple di Greater China, yaitu Cina Daratan, Taiwan, dan Hongkong, mencapai 14,8 milyar USD. Hal ini juga dipertegas dari International Data Corporation atau di website nya IDC dotcom, mereka menuliskan kalau marketshare Apple di Cina daratan itu sebesar 20,6%. Huawei aja cuma 17% dari lini ‘Honor’ mereka, Vivo cuma 16.8%. Jadi, emang ekonomi digital ini lucunya bukan cuma soal revenue ya, tapi bisa kita lihat pola konsumsi dan kemampuan daya beli masyarakat di suatu negara. Dibilang komunis kek, sosialis kek, tetep aja marketshare soal handphone aja di Cina yang paling tinggi tetap Apple, bro!
Nah, kalo soal pajak yang Apple bayarkan, walaupun ini juga tidak di-disclose, ada beberapa versi. Karena ada dari website Quartz yang bilang kalo corporate tax di Cina itu sebesar 25%, tapi untuk perusahaan yang punya kategori high-tech, itu bisa ditekan pajaknya sampai sebesar 15%. Ya jadi taksir aja tadi yang angka 14,8 milyar USD, kita ambil lah 3/ 4 nya dari Cina, lalu kita kalikan 15%. Kira-kira kasarannya segitu ya.
Secara makronya, menurut Pearson International Institute of Economics, di websitenya PIIE dotcom, share ekonomi digital dari GDP Cina di tahun 2020 kontribusinya sebesar 40%. Ya, 40%. Ini juga sebetulnya menanjak dari yang tadinya tahun 2015 hanya sekitar 25% dari total share GDP Cina. Tapi, kalau dilihat agak detil sedikit, ini juga bukan cuma soal transaksi online nya aja ya gaes. Yang namanya ekonomi digital tentu turunan nya banyak. Terutama soal logistik, karena rata-rata e-commerce di Cina mereka menghandle sendiri logistik mereka, seperti JD dotcom yang sudah punya armada logistik sendiri. Atau Alibaba Group yang produk e-commerce dan marketplace nya ada Taobao dan Tmall untuk pasar domestik Cina, mereka memakai anak perusahaan logistik nya yang bernama Cainiao.
Selain distribusi dan logistik, tentu yang berkaitan dengan pergudangan, merchandise, voucher-voucher, fintech, edutech, event, atau produk-produk co-branding lainnya, itu kan kalo ditotal ada berapa. Jadi ga heran, di tahun 2020 ekonomi digital Cina menyumbang sebesar 6 triliun USD.
Dikutip dari Kata Data dot id, Menteri Keuangan Sri Mulyani bilang kalau taksiran nilai ekonomi digital Indonesia di tahun 2020 itu sebesar 638 triliun Rupiah. Bahkan angka itu bisa meningkat menjadi sebesar 1.798 triliun Rupiah. Itu kalau baru soal ekonomi digital dilihat dari nilai transaksinya aja ya.
Kalau mengutip dari website Kementerian Kominfo, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2020 ada sebesar 25,5 triliun Rupiah. Tapi kalau PNBP ini mencakup lebih banyak lagi, soal komunikasi, penyelenggaraan TV dan radio, perizinan spektrum dan fruekuensi, sertifikasi alat dan perangkat telekomunikasi, sama pendaftaran sistem elektronik. Ya startup juga masuk ke situ penerimaan dari para funder masing-masing.
Mengutip dari website Tempo, berita Februari tahun 2020 kemarin, memang benar Google Indonesia sudah menjadi wajib pajak Indonesia. Tapi belum Google misalnya Asia Pasifik atau induknya Google itu sendiri. Saat ini sih Menteri Keuangan memang lagi berniat untuk menerapkan pajak korporasi untuk perusahaan digital asal luar negeri sebesar 15%, tidak hanya untuk Google saja ya.
Tapi ya kalau misalnya balik lagi pajak yang dikenakannya itu PPN 10% atau PPh 21 misalnya ya itu balik lagi, yang kena lagi-lagi bukan korporasi nya, tapi konsumen dan kreator konten digital. Misalnya Ghozali Everyday ya, yang sempat rame soal NFT nya dia kemaren itu. Paling engga dia ngutang ke negara minimal 75 juta, maksimal bisa kena 450 juta.
Pusing ya ngomongin pendapatan negara, pajak dan lain-lain soal itu.
Belum lagi soal industri game. Menurut LBP yang pernah dikutip oleh Kompas pada Oktober 2021, besaran potensi ekonomi industri game Indonesia ada sebesar 24 triliun Rupiah. Itu juga ternyata kutipan dari Statista! Hahaha, kayak ga ada data gitu ya BPS kita sendiri. Tapi, menurut Kemenperin, ternyata hanya 0,4% yang para pengembang gim lokal yang menguasai pasar sebesar itu.
Tapi ya gitu. Maksudnya, kembali lagi ke soal revenue loss. Pemerintah Cina sudah tau ini dan mempelajari terkait soal apa sih potensi riil dari ekonomi digital. Ya mungkin waktu tahun 1992 dulu, mereka buka akses untuk Microsoft, sembari mereka juga pelajari kan. Dari segi cuannya, dari segi keamanannya, dari segi potensi lainnya. Ah, yaudah, mending gue bikin the great firewall aja deh, kata mereka ya mungkin.
Karena di sisi lain soal penerimaan negara dan pajak tadi, tentu yang perlu dilihat adalah besaran tenaga kerja yang terserap. Data dari China Academy of ICT di tahun 2018 saja sudah terserap 191 juta lapangan pekerjaan dari sektor ekonomi digital. Ya bukan berarti ada 191 juta developers ya. Karena ya itu tadi, kalau sudah bicara ekonomi digital, sektor-sektor pendukungnya semua sebetulnya juga kena hitungan. Kalau kita kaitkan dengan kenaikan kontribusi GDP dari sektor ekonomi digital, dan melihat kontribusi ekonomi digital pada pembukaan lapangan pekerjaan di Cina, tahun 2020 ada 200 – 210 juta orang yang bekerja di industri ICT.
Tapi bukan berarti ekonomi digital membawa manfaat untuk semua kalangan. Di Cina saja sejak tahun 2012 – 2019, sudah 9 juta orang kehilangan pekerjaan karena merangsek nya ekonomi digital di negara mereka. Itu kalau kata working paper dari IMF Januari tahun 2019 lalu.
Namun, yang perlu diingat, menurut rebecca fannin dalam bukunya raksasa-raksasa teknologi tiongkok, yang baru keluar di Indonesia pada tahun 2021, penulis Rebecca Fannin mengatakan bahwa di Cina ada 4,7 juta orang sarjana di bidang sains, teknologi, teknik mesin, dan matematika. Bila dibandingkan dengan di US hanya ada sekitar 568.000 orang sarjana. Dan angka tersebut akan meningkat sebesar 3 kali lipat pada tahun 2030.
Rebecca Fannin dalam bukunya juga menambahkan bahwa Cina sendiri memiliki 202 superkomputer, yang kalau dibanding US hanya memiliki 143 superkomputer. Tapi ini gue ga tau, disebutnya unit, blok, klaster, atau ruangan ya satuan si superkomputernya itu.
Tapi, pemenuhan infrastruktur digital salah satunya juga terus ditingkatkan oleh pemerintah Cina, yang berencana untuk mengalokasikan dana sebesar 1,43 hingga 2,51 triliun USD untuk pemenuhan infrastruktur bidang ICT paling tidak untuk tahun 2020 – 2025, itu kalau mengutip dari website China Briefing.
Sebetulnya, masih mengutip China Briefing, pemerintah Cina juga engga tertutup banget kok soal pembagian kue untuk industri digital dan infrastruktur pendukungnya. Memang, misalnya yang terkait soal fasilitas riset, komunikasi satelit, menara sutet untuk jaringan listrik, atau jaringan kereta yang menunjang. Tapi ada sektor-sektor yang sifatnya hanya distimulus oleh pemerintah mereka, sehingga pihak swasta juga bisa berinvestasi di situ. Beberapa di antaranya adalah artificial intelligence, pusat-pusat big data, teknologi dan device untuk IoT, komputasi awan, bahkan sampai blockchain.
Atau sektor-sektor yang full memang bisa diinisasi oleh pihak swasta non campur tangan pemerintah, yaitu mobil listrik, robot-robot pintar atau humanoid, 3D printing, virtual reality, pengembangan App, dan lain-lain.
Di Cina sendiri, intinya memang ekonomi digitalnya sudah sangat memudahkan siapapun yang ada di sana. Bahkan sudah lama 3 perusahaan besar IT seperti Baidu, Alibaba, dan Tencent memperkenalkan cashless. Gue inget waktu gue pertama kali ke Cina tahun 2010, udah ada kok kita bisa pake Wechat Wallet, dan itu yang dibawa ke Indonesia oleh Tencent Group. Ke MRT sudah bisa pake HP yang ada QR code nya sekarang, bahkan toko-toko tanpa kasir manusia besutan jd atau Jing Dong, dan Alibaba Group juga sudah banyak bisa ditemukan di kota-kota besar di sana.
Gue aja waktu terakhir 2018 ke Cina nganter rombongan, emang rada susah ya kalau kita biasa cash, tiba-tiba ke Cina dan gue ga ada rekening bank Cina, jadi super ribet minta tolong temen untuk top up Wechat Pay gue waktu itu untuk pembayaran ini itu.
Entah apa yang ada di benak mereka terkait soal ekonomi digital ini. Walaupun memang secara budaya Asia, untuk menggantikan budaya komunal, senang berkumpul, senang gosip, untuk digantikan semuanya kepada metaverse, mungkin engga 100% akan berubah ya. Tapi, fakta kalo lo nanti misalnya ke Cina, jangan kaget pas jajan buah potong, ubi bakar, atau shaokao di pinggir jalan, lu udah ga bisa pake cash, udah cashless semua bro, sis!
Tinggal Indonesia aja nih kita yang harus lebih nuli, bersungguh-sungguh. Sebetulnya ekonomi digital Indonesia itu siapa sih yang memanfaatkan? Gue sih mikirnya jangan bangga kita digadang-gadang sebagai negara ekonomi terbesar ke 4 pada tahun 2045, tapi ya pajak korporasi untuk perusahaan-perusahaan teknologi yang besar aja masih bisa mereka nego. Terus, itu duit mau kemana?