Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.
Sebetulnya yang harusnya lebih takut kepada kami-kami ini alumni Cina, bukan orang-orang yang kesal dengan Cina. Kesal karena kenapa sih gue, basuki atau temen-temen gue yang lain ngebelain Cina terus. Sabar bro. Yang perlu khawatir adalah justru dari kedutaan Cina itu sendiri. Karena, bedanya gue dan temen-temen lulusan Cina dengan orang-orang yang cuma rame di medsos soal Cina, kita tau kok Cina luar dan dalam. Cuma emang beda spesialisasi aja. Ibarat kalo kita pernah pergi atau tinggal di suatu kota yang bukan tempat tinggal kita, kita bakal jadi tau kan baik dan jeleknya apa aja. Cuman masalah mau bilang apa engga nya aja kan.
Sama seperti bahasan yang bakal gue bawa sekarang.
Sepengetahuan gue yang kebetulan dulu pas kuliah juga pernah dapat pelajaran dasar-dasar ilmu politik, teori-teori sosial, sosiologi, psikologi sosial, dan lain sebagainya, memang kalau melihat Cina dari jauh itu pasti semuanya soal prestasi. Karena praktis emang media-media di Cina, bahkan termasuk sekarang media sosialnya semua itu mereka ada di dalam satu konsorsium media besar namanya China Media Group atau CMG. Jadi, tentu banyak banget pemberitaan yang tentunya hanya menitikberatkan pada hal-hal bagus nya aja.
Kalaupun ada seperti South China Morning Post, yang bisa kita baca, karena mereka based nya di Hong Kong, SCMP punya angle yang berbeda dari segi produk-produk jurnalistik mereka. Ya kalau terpapar soal konten media misalnya CNN, BBC, Bloomberg, CNBC, CNA, Nikkei Asia, itu tentu sudah dengan framework angle yang berbeda-beda ya.
Bahasan ini gue coba angkat di Cha Guan karena sebetulnya kalau dikaji secara ilmiah, kritik yang menyasar pola-pola pembangunan di Cina itu sudah banyak sekali yang bikin. Mau itu peneliti dari Cina domestik sendiri, maupun dari luar Cina, atau yang biasa dikenal sebagai Sinolog itu, banyak sekali.
Cuma, memang gue akan coba meramu dan menyederhanakan pembahasan ya. Karena daripada gue jadi kayak ngasih kuliah, beberapa hal yang akan gue sampein memang ada dari sisi subjektifnya. Tapi ingat, itupun yang gue lihat dan rasakan waktu tinggal di Cina selama 5 tahun.
Pertama, yes, kalian bisa tebak pasti. Di Cina itu joroknya bukan main. Itu persepsi awalnya ya. Beda gitu misalnya kalo kita ke Singapura, banyak sekali larangan terkait dengan kebersihan, dengan denda yang berlaku, itu efektif di Singapura. Tapi, gue rasa kebersihan itu balik lagi ke iman masing-masing, balik lagi ke diri sendiri. Di Singapura bisa begitu pun karena populasinya juga sedikit. Jauh sekali dibandingkan dengan Cina yang 1 kota aja ada yang misalnya kota Chongqing, itu populasinya 40 juta lho. Itu satu kota. Kalo di kita 40 juta itu kan 1 provinsi ya. Jawa Timur misalnya.
Nah, pahit getir yang mereka rasakan karena pembangunan yang masif dalam hal ekonomi saja, membuat banyak orang-orang di Cina yang belum selesai belajar mengenai kebersihan itu sendiri. Kenapa? Ini tidak lain karena mobilitas sosial. Mohon maaf, bahasanya dulu di Cina itu kan kampung semua, waktu jamannya Mao Zedong apalagi. Ketika banyak investasi masuk, waktu era keterbukaan, mereka yang biasa hidup di desa, ketika seketika daerah mereka jadi metropolitan, mereka pikir itu masih desa, jadi kelakuan tidak disesuaikan.
Kita coba geser sedikit ke Jepang. Jepang, bagaimana pun mereka bisa tertib, bersih, dan sebagainya itu, karena mereka dulu kalo ga salah ada yang disebut dengan sakoku, kanji nya kalau dibaca ke mandarin jadi 锁国, walaupun istilah begini ga dikenal di Cina ya. Iseng aja gue baca dalam mandarin. Nah, era isolasi negara itu pernah terjadi di Zaman Edo, tahun 1603 – 1868. Disinyalir di masa isolasi itulah terjadi, kalo bahasanya smart people, adalah yang dinamakan dengan kristalisasi kebudayaan itu. Tanpa campur tangan atau “kontaminasi” kebudayaan dari mana-mana, sudahlah Jepang juga merupakan negara kepulauan begitu, jadi betul-betul secara sosial budaya mereka rapih gitu, mereka coba tanamkan betul-betul apa yang terjadi dengan jati diri seorang Jepang itu seperti apa.
Nah, cuma, di Cina di masa-masa dinasti atau kerajaan-kerajaan dulu, mereka ga mengenal yang namanya periode isolasi begitu. Tempur terus, kalo temen-temen baca-baca singkat sejarahnya Cina. Jadi, boro-boro memang mau mengurusi masalah kebersihan itu apa sih konsepnya atau ngapain sih higienis-higienis amat. Itu sederhananya ga kepikiran.
Apalagi kalau di Cina sendiri memang tekanan hidup, baik itu pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya itu memang besar sekali. Sehingga, orang-orang di sana, ya misalnya mohon maaf nih ada yang kurang rajin gosok gigi kan ya, itu tau sendiri kayak naga lagi puasa 7 bulan dah baunya, itu kan masalah buat kita, tapi tidak menjadi masalah buat mereka. Karena mereka dari dulu memang ditempa terus hidupnya, kerja, kerja, kerja, bau napas, gitu lah kira-kira.
Apalagi kalau misalnya melihat faktor alam ya temen-temen. Tau sendiri buat kita yang juga misalnya punya atau pernah studi ke luar negeri, atau pernah exchange pas musim dingin di luar, pada jarang mandi kan orang-orangnya. Itu kan pengaruh banget. Mau di Cina, Jepang, Korea, Rusia apalagi mungkin ya, gue ga tau, musim dingin itu memang merubah pola hidup dan hal yang berhubungan dengan higienis atau engga nya seseorang. Terus kebiasaan itu kebawa sampe Musim Semi, pas Summer ya okelah karena lebih gerah gitu kan, jadi udah sering-sering cuci badan, pake parfum, dll, eeeh tapi pas ketemu musim gugur, udara udah mulai dingin lagi, jadi ga perlu mandi lagi deh.
Karena otomatis apa yang kita biasa lakukan sekarang ini kan akibat dari bagaimana kita habit kita itu terbentuk kan. Kalau di Indonesia ya karena gerahnya minta ampun, di negara-negara tropis lainnya juga, dan banyak dari sejarahnya nusantara ini misalnya mengenal sabun alami dari bahan-bahan nabati, sampo dari tanaman, dan lain sebagainya, sehingga kultur untuk membersihkan diri itu juga ada pendukungnya dari alam. Terus, juga kurang tekanan dalam hidup, bisa leyeh-leyeh, rebus jagung, makan ubi, singkong, nyeduh teh di tengah sawah, di pegunungan, aduhai banget kan.
Apalagi terkait ya tadi dengan nilai agama, kebersihan sebagian dari iman misalnya, itu udah ada di benak hampir semua orang di Indonesia, udah umum lah.
Tapi, di sini yang perlu gue sampaikan adalah, ya karena itu faktanya bahwa orang-orang yang kurang bersih, ga wangi, dan lain sebagainya itu ya mohon maaf, itu bukan orang-orang yang kelas atasnya gitu. Coba aja misalnya presiden Xi Jinping, ya masa dia ga mandi bro, masa Menteri-menteri itu ga mandi bro kalo mau adain rapat tingkat tinggi. Ntar malah setiap high-level meeting itu ada sponsor deodoran masuk lagi kan.
Maksudnya, di Cina itu level dan kelas masyarakatnya bukan ada 3, ini subjektif nih. Kalo yang kita tau kan misalnya kelas atas, menengah, dan bawah aja kan ya. Kalo di Cina ibaratnya kayak mungkin di negara-negara Eropa yang masih mengenal lord atau ada trah bangsawan-bangsawan nya gitu lah. Nah, di Cina itu ada yang istilahnya kelas elit, itu paling tinggi lah, sultan, walaupun pas pake hape juga pake kaos oblong dan sendal jepit aja kali ya di Mangga Dua nya Beijing, hahaha. Nah, habis kelas elit itu ada kelas atas. Atas-atas, atas-menengah, dan atas-bawah. Lalu baru menengah, itu pun juga sama dibagi menjadi 3, lau kelas bawah nya juga dibagi 3 lagi kayak pola tadi.
Di Cina itu memang paling kasihan kalau sudah yang kelas bawah-bawahnya banget.
Ini fenomena kedua, yaitu susah banget buat orang yang ada di kelas bawah untuk mereka bisa melakukan mobilitas sosial. Nah, apalagi nih kan mobilitas sosial. Bukan pansos ya gaes, itu mah ga ada teorinya, cuma fenomena aja. Intinya mobilitas sosial ini yang bisa menjadikan individu itu naik kelas. Mau itu dari segi pendapatannya, dari segi gengsi nya, dari segi wawasannya.
Ini kenapa? Ya karena tadi, semua yang terjadi di Cina, dengan pembangunan yang mengedepankan perekonomian banget dari, banyak orang yang ga punya waktu untuk mengenyam pendidikan, ga ada dana nya untuk lanjut kuliah, eh, tiba-tiba harga-harga udah naik, inflasi sudah berapa kali lipat. Mengutip dari website Trading Economics dotcom, inflasi tertinggi di Cina yang pernah tercatat terjadi di Februari tahun 1989, yaitu sebesar 28,4%.
Tapi kalo dibandingkan dengan Indonesia, masih cukup rekor kita ya tahun 1966 dulu, waktu inflasi kita di angka 653,3%. Itu kalo gw kutip dari Detik com.
Nah, balik lagi nih soal kelas masyarakat di Cina yang sebetulnya sangat amsyong buat orang yang memang sudah datang dari kalangan ekonomi bawah – bawah lagi. Jadi, gue berharap kita kalo ngeliat TKA Cina yang kerja di pabrik-pabrik atau di smelter itu, jangan ngecéngin mereka lah, kasihan. Mereka juga ga akan repot-repot ke luar negara mereka untuk adaptasi sana sini, kalo ga karena tuntutan pekerjaan. Mereka itulah yang kira-kira datang dari kalangan bawah – bawah, para pekerja migran.
Nah, untuk kelas masyarakat tadi, hubungannya sama citra orang Cina di Cina pada umumnya, itu karena kita ga bisa ketemu oleh mereka-mereka yang kalangannya elit. Yang sangat paham betul personal hygiene, sangat memerhatikan apa yang dia pake, klimis, perlente gitu-gitu. Kenapa? Karena mereka di kelas itu juga ga bisa kita temuin di jalan-jalan umum, di transportasi umum, atau di lokasi-lokasi ya yang memang bukan kelas mereka pergi.
Coba nanti kalo ke Cina, mau ke Beijing atau ke mana, yang agak eksklusif dikit itu temen-temen bisa ke ranch tempat berkuda di sana. Coba deh. Di situ ya dari mobil yang parkir aja udah ketahuan kelas konsumennya. Para staf juga tentu disesuaikan, ditatar, diajarkan, dimodalin baju bagus, parfum, yang glowing-glowing gitu staf nya. Itu contoh kecil ya.
Jadi, balik lagi sebetulnya beruntung lah kita kalau kita hidup di negara yang seperti Indonesia ini. Mobilitas sosial itu masih gampang banget dicapai, tapi ini mungkin temen-temen Sosiolog mungkin bisa bantah ya, ada teori atau penelitian apa, silahkan. Kalau di Cina, alasan lain kenapa susah sekali melakukan mobilitas sosial, yaitu karena negara yang ga berhenti-hentinya membangun, mereka juga kan perlu kelas pekerja nya biar supply nya itu tetap ada kan. Bayangin aja betapa pusingnya pemerintah mereka kalau kelas bawah masyarakatnya semuanya tiba-tiba mapan, terus, siapa yang mau kerja di pabrik?
Tapi, kalo terkait bahasan itu, mungkin di bahasan lain ya. Soalnya seperti di video yang sebelumnya gue juga bilang, Cina itu secara perekonomian mereka lagi shifting tulang punggung ekonomi nya dari yang berbasis manufaktur ke berbasis jasa.
Ketiga, pahit getir pembangunan di Cina itu banyak yang disebut ‘anak-anak yang tertinggal’. Ini juga amsyong banget. Karena urbanisasi yang tinggi, banyak orang tua yang masih di usia produktif, belum pensiun, yang meninggalkan anak-anaknya di kampung halaman. Dan itu karena tekanan-tekanan ekonomi tadi, orang tua mereka dua-dua nya kerja pergi ke kota-kota besar. Bahkan baru bisa ketemu anak-anak mereka literally, jujurly ya pas Imlekan aja. Biasanya ada juga anak-anak yang baru ketemu orang tua pas waktu Imlek aja kan ya, kayak kita di sini lebaran gitu; ini malah orang tua nya yang ga bisa ketemu anak.
Ya kalo abis itu ada yang nyeletuk, kenapa orang tua nya ga bawa anaknya kerja? Hemmm, berarti yang komentar begitu belum nikah atau punya anak deh. Jadi susah juga ngebayanginnya.
Kalo di artikel, jurnal penelitian, atau di YouTube itu kita bisa search fenomena ini ‘the left-over children of China’.
Keempat, banyak yang menjadi jomblo dan memutuskan untuk tidak memikirkan soal menikah di masa yang akan datang. Selain karena himpitan ekonomi, tekanan pekerjaan, tingginya harga properti, ini juga terjadi karena ada yang disebut istilah one child policy. Nah, one child policy ini walaupun hanya berlaku untuk suku han yang kalau secara demografis, ada sekitar 93% dari populasi, tapi kebijakan ini sangat berpengaruh secara nasional.
Hal yang terjadi tentu adalah kelahiran yang dipilih-pilih. Pembatasan kelahiran maksimal 1 anak, walaupun sekarang sudah berubah maksimal 2 anak, itu membawa dampak negatif yaitu banyak dari keluarga yang cuma menginginkan anak laki-laki. Kenapa, karena secara tradisional anak laki-laki dianggap lebih bisa kerja keras, kerja apa aja, dan bisa melanjutkan profesi orang tua mereka. Itu memang kondisi riil yang ada di sana.
Jadi, ya kalau kita mau bahas soal tingkat aborsi di Cina, wah, itu tentu tinggi. Tapi kita ga lagi bahas soal aborsi secara spesifik ya. Bisa disearch juga kok. Yang paling demen nulis begini ya CNN, BBC dan kawan-kawan lah.
Jadi, kalau tadi ada left-over children, kalau fenomena ini menghasilkan the left-over women. Menurut profesor Jiang Quanbao dari Xi’an Jiaotong University, seperti yang dilansir oleh South China Morning Post, dari tahun 1980 – 2020, kira-kira ada sekitar 30 – 40 juta orang laki-laki yang jomblo di Cina. Tapi di satu sisi banyak juga perempuan yang tidak ingin menikah dan punya anak. Wah, makin amsyong ya!
Sebetulnya kalau soal ini, masyarakat muslim Cina sebetulnya bisa lebih diuntungkan, karena mereka tidak terkena kebijakan 1 anak. Karena umumnya muslim di Cina itu tidak bersuku han. Ada Hui, Zhuang, Uighur, dan lainnya.
Poin yang kelima, tentu dengan adanya pembangunan yang besar-besaran, biasanya yang dikesampingkan dulu itu lingkungan alamnya ya. Di mana-mana kalau sektor industri yang masih berpatokan pada bahan bakar fosil, dan masih mengejar kuantitas dibandingkan kualitas, waktu dulu jaman revolusi industri di Eropa dan US tahun 1760 – 1840, dulu juga parah. Lalu, ketika tulang punggung ekonomi mereka bergeser ke jasa dan padat inovasi, maka angka polusi juga bisa ditekan.
Di Cina sendiri, terutama Beijing, sering terjadi kabut asap ketika musim dingin atau di musim-musim yang tidak banyak angin nya. Alhasil asap dari pembakaran batu bara dari pabrik yang ada di sekitar kota menyelimuti kota, dan kita itu kalau di Beijing misalnya, pake masker N95 atau yang merek 3M yang baru dikenal waktu pandemi, di sana sudah setiap tahun selama masa-masa polusi lagi tinggi, kita sudah pakai.
Deforestasi, pencemaran air laut, berkurangnya keanekaragaman hayati juga merupakan imbas dari pembangunan yang memang sedianya ditingkatkan oleh pemerintah Cina, terutama sejak era keterbukaan nya Deng Xiaoping tahun 1978.
Itu juga bukan soal dari segi policy ya. Dari segi masyarakatnya juga, terutama yang memiliki kapasitas penghasilan atau daya beli tinggi, dengan maraknya perdagangan ilegal untuk satwa liar dari luar Cina, gading gajah, cula badak, angka konsumsi sirip hiu, itu merupakan imbas dari salah satunya kemampuan konsumen Cina untuk spare uangnya lebih banyak lagi untuk barang-barang yang mungkin hanya dijadikan hiasan, atau misalnya ya sirip hiu, sebetulnya ga penting-penting amat kan makan sirip hiu, itu cuma gengsi aja. Sirip ikan gurame kalo digoreng krispi juga udah enak kan. Emang ga ada sih gurame di Cina. Hahaha.
Yah, gaes, the list goes and on and on and on ya sebetulnya. Cuma dari beberapa poin pahit getir pembangunan ekonomi di Cina itu aja, terutama yang permasalahan sosial, itu sebetulnya lebih menjadi bom waktu secara jangka panjang. Karena di mana-mana permasalahan sosial itu berlaku fenomena gunung es. 90% dari fenomena itu tidak tampak, dan itu justru yang lebih berbahaya.
Nah, soal bagaimana Cina itu menebus dosa-dosa akibat pembangunannya yang sangat menekankan perekonomian, tunggu episode selanjutnya ya!