Pengentasan Kemiskinan di Tiongkok, Cuma Propaganda?

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Buat kakak-kakak baik hati dan rajin menabung yang sedang menonton episode ini, plis, dengerin dulu penjelasan aku sampai selesai ya. Karena episode yang satu ini mungkin akan banyak yang berpikir bahwa konten ini adalah pesenan. Tapi, sayangnya ini bukan pesenan. Kami di Cha Guan sebetulnya tidak tertarik mempromosikan Tiongkok sebagai negara ya. Hanya saja tentu banyak hal yang bisa kita pelajari, terutama soal pengentasan kemiskinan di sana seperti apa. Silahkan untuk channel yang lain bisa bikin segmen tea house atau kedai teh atau apa gitu ya namanya, untuk bahas misalnya hal-hal apa aja sih yang menarik untuk dipelajari dari suatu negara, khususnya dari negara-negara yang sudah memiliki peradaban tua seperti Tiongkok.

Aku udah tau nih, kira-kira kakak-kakak yang budiman lagi berpikiran apa. Tentu aja dong Tiongkok akan dengan mudahnya mengatasi kemiskinan di negara mereka. Wong mereka itu kominis, komisaris, masinisss! Tapi, ayok juga dong kita lihat dari proporsinya. Kalau Tiongkok dengan 1,4 milyar penduduknya secara bertahap mereka turunkan angka kemiskinannya, Indonesia yang 260 juta harUSnya bisa lebih “gampang” dalam mengatasi kemiskinan. Itu kalo baru dari jumlah penduduk ya, kakak-kakak.

Memang betul, aku juga yang alumni S2 di Shanghai melihat faktor kemajuan di Tiongkok sendiri yang paling mendasar adalah karena tanah dimiliki oleh negara. Bukan dimiliki oleh pejabat-pejabat negara ya. He he he.

Kita ambil contoh kota Shanghai, waktu aku pertama kali ke sana, memang sih kota nya sudah canggih dan maju. Kalo temen-temen ke Shanghai, itu ibaratnya kita bukan lagi di Tiongkok. Ya karena stereotip pandangan banyak orang khususnya di Indonesia soal Tiongkok itu seperti gimana gitu kan.

Shanghai itu tidak akan bisa maju kalau tanah tidak dimiliki oleh pemerintah mereka. Kota Shanghai juga dikenal sebagai kota para lord sejak lama. Banyak pedagang internasional, bukan afiliator ya, haha, yang sejak adanya RRT juga merupakan orang Shanghai. Sehingga, banyak lahan yang para lord di Shanghai itu kuasai.

Namun akhirnya UU reformasi agraria Tiongkok tahun 1950 bisa mengambil itu semua dari para penguasa feodal. Baik itu di Shanghai, Beijing, Guangzhou, dan kota-kota besar utama lainnya yang tadinya pembangunan berjalan lambat, menjadi bisa dipercepat. Ingat ya, sebelum adanya RRT, sudah ada namanya Republik Tiongkok. Namun, di masa itu, walaupun partai Kuomintang itu kuat, namun, tetap saja banyak raja-raja kecil penguasa tanah. Dan bisa dibilang percepatan pembangunan di zaman Kuomintang banyak terkendala karena hal tersebut.

Coba kita geser dulu ya misalnya ke US. Karena kakak-kakak sekalian kan maunya Tiongkok dibandingin sama yang sepadan gitu ya. Di US sendiri dengan nafas hidup orang-orang di sana yang kapitalistik, juga tidak menjamin bahwa tidak ada kemiskinan. Walaupun secara indeks pembangunan manusia US di peringkat 17 dunia dan Tiongkok di peringkat 85, tapi di US sendiri ada sebesar 37,2 juta orang yang dikategorikan miskin pada tahun 2020. Itu kalau dari data UNDP dan BPS nya US ya.

Kalau Indonesia? Indonesia ada di peringkat ke 107 menurut UNDP untuk indeks pembangunan manusia. Masih butuh jiayou yang berlimpah ya biar paling tidak Indonesia di angka 90 an.

Membahas soal kemiskinan memang ini bukanlah persoalan yang sederhana. Banyak lembaga yang mengukur, penggunaan parameter dan indikatornya juga kadang-kadang bisa berbeda. Karena kalau kemiskinan hanya diukur dari berapa besar konsumsi per hari per individu, di Indonesia sendiri pun sulit ya verifikasi nya.

Misalnya kalau kita lihat ada artikel dari liputan6 dotcom di tahun 2018, iya banyak artikel lain, tapi aku kan ngambilnya yang ini, gapapa kan? Jangan nge gas dulu ya kakak.

Menurut artikel itu, misalnya parameter yang dimiliki oleh bank dunia adalah 1,9 USD per hari. Atau kalau mengikuti kurs per 20 maret kemarin, di posisi 14.342 Rupiah. Bila dikalikan dengan 1,9 USD tadi sebesar 27.249 Rupiah. Berbeda misalnya dengan parameter yang digunakan oleh pemerintah Indonesia yaitu sebesar 401 ribu Rupiah per bulan per orangnya. Artinya memang kalau dibandingkan dengan parameter yang bank dunia dan pemerintah Indonesia punya, itu saja sudah dibawah rata-rata kan. Jadi harus hati-hati juga nih kita mau cek data yang mana ya.

Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September tahun 2021 sebesar 26,5 juta orang atau sebesar 9,71 persen. Angka ini sudah cukup baik bila dibandingkan dengan di September 2020 lalu. Tapi memang, di Indonesia sendiri, angka kemiskinan agak sulit untuk mengukur parameternya. Selain soal tantangan verifikasi data nasional, ya yang kemaren dana bansos aja kena cashback kan. Bukan main!

Hai Pak, apa kabar di sana? Nonton Cha Guan juga pak? Sehat-sehat ya pak.

Anyway.

Ukuran ini juga menurutku agak sulit karena di Indonesia sendiri banyak sebetulnya orang-orang yang bekerja di sektor informal. Menurut dari laman Katadata dot id yang juga mengutip dari BPS, di februari tahun 2021, jumlah orang di Indonesia yang bekerja di sektor informal ada sebesar 78,14 juta orang. Nah, bayangin aja itu ngukur atau validasi nya gimana kan. Bukan hanya soal pendapatan, besaran daya beli, tapi misalnya yang mendasar kalau ada misalnya sensus ekonomi yang pernah dulu di tahun 2020, responden pekerja informal juga kurang bisa menjelaskan posisi berapa lama yang bersangkutan bekerja dalam 1 pekan.

Mudah-mudahan kedepannya ada startup bidang sosial yang bisa memfasilitasi BPS atau pemerintah-pemerintah daerah untuk bisa membantu validasi angka-angka seperti ini.

Selain soal ukuran karena sektor pekerjaan informal yang sedemikian banyak di Indonesia, dengan begitu setoran pajak ke negara yang notabenenya untuk membangun negeri, juga tentu jadi berkurang. Kalau sektor-sektor formal pengawasan perpajakannya juga enak, kan. Kalau informal mungkin banyak yang boro-boro mau bayar pajak, mungkin punya NPWP saja belum. Orang bijak taat pajak ya, temen-temen. Sip.

Bantuin Bu Sri Mulyani sedikit gapapa dong ya. Masa Cha Guan bantuin Kedutaan RRT mulu. Udah dibantuin, ga dibayar lagi. Hahaha.

Satu hal lagi di Indonesia, apalagi kalau kita yang tidak tinggal di kota-kota besar, sebetulnya dorongan untuk memiliki penghasilan yang besar juga bisa dibilang engga ada. Karena konsep harta itu kan adanya di orang-orang kota, ya ga sih? Misalnya aja di Jakarta, Surabaya, atau Medan. Di kota-kota itu mana ada taraf hidup? Ada nya kan gaya hidup ya? Ha ha ha.

Misalnya untuk yang hidup, aktivitas, dan tinggalnya masih di kawasan pedesaan yang rimbun, asri, mudah mendapatkan pasokan makanan dari ladang atau kebun sendiri, punya ternak walaupun ga banyak, suasana nya syahdu, itu surgawi banget ga sih. Kayak di Ubud gitu lah. Hashtag simple lyfe. Bisa juga mungkin kalau ada kakak-kakak di sini yang tinggal bukan di kota-kota hedon macam Jakarta dan sekitarnya, untuk menjelaskan kondisi realita hidup di daerah seperti apa. Aku tunggu ya di kolom komentar.

Okeh, balik lagi ke laptop!

Kalau menurut laman World Population Review dotcom, yang juga sudah mengkurasi banyak data dari PBB, OECD, Bank Dunia dll, RRT akan terlihat sangat kinclong kalau kita melihat data hanya dari persentase kemiskinannya. Menurut laman itu tahun 2019 terakhir data yang mereka kurasi, di Tiongkok ada cuma 0,6 persen penduduk miskin. Tapi, ya kalo dikalikan 1,5 milyar penduduk, banyak juga ya.

Atau misalnya kalau secara persentase yang paling besar, masih dari laman web yang sama, itu negara Equatorial Guinea yang memiliki persentase kemiskinan sebesar 76,8 persen, ini kalau dari data yang mereka bisa himpun di tahun 2006. Tapi kalau kita cek jumlah penduduknya cuma 1,4 juta jiwa.

Atau misalnya secara persentase, terbesar ke dua untuk angka kemiskinan, ada Sudan Selatan yang memiliki 76,4 persen di tahun 2016. Total populasi Sdan Selatan ada cuma 11 juta. Jadi, tetap saja misalnya kalau dihitung secara jumlah, tentu akan lebih pusing Presiden dan Perdana Menteri Tiongkok dibandingkan misalnya 2 negara yang barusan aku sempat sebut.

So, kesimpulan ku soal ini tetap sama. Kita jangan juga terlena melihat angka-angka cantik yang ada di statistik tanpa mendalami nya dulu ya.

Kalau kita melihat sumber-sumber dengan data yang absah, misalnya dari UNDP atau World Bank. Memang sepertinya para pemimpin Tiongkok habis makan buah gomu-gomu, bukan buah simalakama ya. Karena, pengentasan kemiskinan di Tiongkok seperti habis disihir, pake sulap, pake magic.

Misalnya aja data dari World Bank Povcal dot net, kemiskinan di Tiongkok tahun 1990 dengan populasi yang waktu itu juga sudah sebesar 1,13 miliar jiwa, ada sebesar 66% penduduk berada di garis kemiskinan ekstrim. Tahun 2000 yang lalu aja, kemiskinan ekstrim di Tiongkok di angka hampir 40%. Baru kemudian pada tahun 2010 sampai sekarang bisa ditekan di bawah angka 10 persen. Tapi inget ya, itu tadi soal kemiskinan ekstrim.

Tiongkok sendiri punya parameter garis kemiskinan yaitu 2.300 Yuan angka pendapatan per kapita per tahun, dengan harga-harga konstan. Kalau dikalikan 2.200 Rupiah, dan dibagi per bulan berarti threshold garis kemiskinan di Tiongkok berkisar di angka 421 ribu Rupiah. Masih merupakan angka ambang batas kemiskinan yang lebih tinggi 20 ribu Rupiah dibandingkan ambang batas angka kemiskinan di Indonesia ya.

Hal yang berkaitan erat dengan kemiskinan tentu adalah soal pendapatan. Dan kalau kita berbicara soal pendapatan di Indonesia, mungkin diskrepansi nya masih cukup luas ya. Ada daerah-daerah seperti kota bekasi, Kabupaten Karawang, dll yang memiliki tingkat UMK yang cukup tinggi. Namun kalau kita geser sedikit misalnya ke banyak daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya, mungkin angka umk masih bisa dibilang rendah. Memang, kalau berbicara umk di Indonesia, ini agak-agak ngejelimet gimana gitu ya.

Tapi kalau di Tiongkok, berbicara soal tingkat pendapatan juga belum bisa dibilang merata. Ya kalau data sederhana yang bisa kita sama-sama lihat di Wikipedia, misalnya ada kota Tanjin dan Shanghai tempat aku S2 dulu, itu rata-rata penghasilan orang-orang per jam nya di angka 48.400 – 52.800 kalau kita Rupiah kan. Atau misalnya di Beijing itu per jam nya rata-rata penghasilan di angka 52.800 – 57.200.

Memang sih, kalau dibandingin dengan misalnya gaji per jam di Swiss, Norwegia, Swedia, Belanda, Singapura, atau di US, angka-angka rata-rata penghasilan per jam nya Tiongkok tentu masih dibilang kecil banget ya. Cuma, Tiongkok sendiri sudah berada di level GDP per kapita 10.500 USD, itu kalo di tahun 2020. Indonesia sendiri masih harus puas dulu di angka 3.800an USD untuk GDP per kapita kita.

Hal yang sebetulnya cukup luput dari perhatian selain soal parameter dan indikator kemiskinan tadi, ya tentu lokasi kemiskinan itu sendiri. Hal yang bakal dibilang ajaib atau bikin ketar-ketir pengamat internasional, bahkan dibilang datanya dipoles, cuma propaganda dll, itu misalnya terkait dengan angka kemiskinan pedesaan.

Dari laman nya Xinhua ada artikel panjang kali lebar soal upaya pengentasan kemiskinan di Tiongkok yang mereka rilis di April tahun 2021 lalu. Antara lain bilang bahwa di tahun 2012 ada sebanyak 98,99 juta penduduk pedesaan yang merupakan masuk ke kategori miskin. Namun, angka itu bisa mereka tekan sehingga kemiskinan untuk penduduk pedesaan turun ke angka 43,35 juta penduduk di tahun 2016, dan mereka berani men-declare jumlah itu 0 di tahun 2020 untuk orang-orang yang hidup di angka kemiskinan pedesaan.

Ya kalau yang skeptis sih angka 0 itu bisa jadi representasi banyak hal ya. Hahaha. Aku ga komen deh soal itu. Tulis aja di kolom komentar ya, kakak-kakak yang baik hati.

Atau misalnya kalau berbicara kemiskinan dan lokasi, masih dari laman yang sama, Tiongkok mengklaim bahwa angka kemiskinan untuk di wilayah-wilayah yang kalo padanan nya sama kita itu kabupaten, atau Bahasa Inggris nya counties, itu bisa juga mencapai angka nol. Di tahun 2012 mereka bilang kalau ada 832 kabupaten di Tiongkok yang masuk kepada kategori kabupaten miskin. Ya sebetulnya itu masih masuk dengan angka kemiskinan pedesaan kan. Karena dari desa-desa yang penduduknya miskin, kan tinggal dilihat aja itu masuk ke kabupaten mana.

Tapi, kalau dilihat data tahun 2018, masih sama topiknya, ternyata ada penurunan signifikan untuk kabupaten yang memiliki kategori miskin, yaitu menurun menjadi 396 kabupaten aja. Dan bahkan tahun 2020 karena tadi aku juga udah sebutin angka nya nol untuk kemiskinan penduduk pedesaan, ya berarti yang kabupaten-kabupaten miskin ini mengikuti juga dong ya, nol juga.

Selain soal penguasaan tanah dan lahan milik pemerintah, pengembangan dan pemerataan infrastruktur teknologi, peningkatan kualitas infrastruktur pendidikan, penekanan angka korupsi, dan lain sebagainya, menurutku ada satu hal yang membuat Tiongkok itu bisa maju sedemikian pesat.

Misalnya kalau kita lihat berita di CGTN Bulan November tahun 2020 kemarin, ada Provinsi Hunan namanya, itu berhasil dengan bibit padi hibrida, menghasilkan yield panen 22 ton per hektar. 22 ton per hektar lho temen-temen. Coba bandingin dengan yield panen di Indonesia. Rata-rata kalau yang dikelola secara tradisional paling ga sampe 5 ton per hektar. Atau kalau yang betul-betul dibina dan diawasi metode pertaniannya, paling mentok juga 7 ton per hektar. Ini bisa 22 ton lho. Dan salah satu faktor utamanya adalah kultur dari dunia akademis di Tiongkok yang turun ke lapangan. Nama profesor yang mengembangkan padi hibrida tadi namanya Yuan Longping. Dia itu profesor, tapi masih turun ke sawah-sawah, kasih penyuluhan ke petani-petani. Ya, kita bandingin aja deh dengan yang terjadi di Indonesia ya.

Itu baru soal bagaimana angka kemiskinan yang dilihat juga dari keberhasilan pemanfaatan teknologi pangan, sehingga yield padi per hektar bisa melimpah dan paling tidak untuk para penduduk desa bisa terangkat status kemiskinannya dari ekstrim ke non ekstrim.

Atau misalnya yang menurutku penting untuk diamati adalah bagaimana fokus tulang punggung perekonomian itu betul-betul diterapkan. Yang penting fokus dulu. Jangan giliran ada jargon industry 4.0 lalu kita latah. Terus ada jargon society 5.0 nya Jepang, kita juga latah ikut-ikutan. Di Cina sendiri industry 4.0 ga digaspol sama pemerintah mereka. Kenapa? Karena mereka tau, yang namanya penerapan kebijakan industry 4.0 yang beneran akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja manusia dan lebih banyak penggunaan sistem otomasi, terutama di pabrikan-pabrikan manufaktur.

Jadi, kakak-kakak yang baik dan tidak sombong, ini ga kerasa kan kalo aku ngomong gini, padahal kalo di script udah 5 halaman lho. Kesimpulan, keributan, dan diskusinya bisa dilimpahin di kolom komentar aja.

Leave a comment