Jas Merah Ala Tiongkok

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Jas Merah merupakan sebuah jargon yang mahsyur dan dikenal oleh semua kalangan,  dimana jargon tersebut diucapkan oleh praklamator kemerdekaan Indonesia dan juga presiden pertama kita yaitu insinyur Soekarno atau dikenal juga dengan Bung Karno. Jas Merah banyak diketahui merupakan akronim dari jangan sekali-kali melupakan sejarah. Namun itu salah. Yang betul adalah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Banyak yang keliru ya?

Menurut Rushdy Hoesein selaku sejarawan dan dosen di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, frasa itu diucapkan oleh Bung Karno di pidatonya tanggal 17 agustus 1966 pada pidato kenegaraannya yang terakhir.

Namun, apakah jargon itu masih relevan terkait dengan kepedulian generasi muda terhadap sejarah Indonesia sendiri? Mungkin upaya yang harus dilakukan tidak hanya sebatas kurikulum pelajaran wajib disekolah saja, harus ditekankan bahwa kita selaku warga negara memiliki tanggung jawab moral untuk mengingat jasa para pahlawan kita dan menurunkannnya ke anak cucu kita agar sejarah tersebut dapat abadi.

Bahasan ini mungkin akan menjadi suatu topik yang klise karena sebagian besar dari kita tentu akan memilih jalan lain untuk memahami sejarah dibandingkan dengan membaca tumpukan buku.

Belakangan ini, media sosial menjadi  sumber dari konten edukatif dan variatif yang sangat mudah di akses. Dimana, penting untuk memperhatikan sumber dari ilmunya, karena banyak sekali konten di sosial media yang hanya menceritakan kisah ataupun opini tanpa tertulis sumber yang jelas. Hal ini perlu diperhatikan agar pemahaman sejarah yang kita pelajari tidak keliru atau berbeda dari faktanya. Hal ini dapat mendorong hilangnya kepakaran pada platform-platform sosial media.

Salah satu hal penting yang menjadi tolak ukur dari bagaimana sejarah bisa diakses oleh semua kalangan yaitu dengan adanya museum. Memang pada realitanya, sesudah usia kuliah dan setelahnya semakin jarang pergi ke museum, ya mungkin selain yang mengambil bidang sejarah, antropologi, arkeologi atau jurusan lain yang berkaitan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kualitas layanan museum, daya tarik atau program-program yang dimiliki museum ataupun engagement museum seperti konten audiovisual yang kurang mumpuni. Hal ini sangat disayangkan ya, anggapannya museum hanya menjadi tempat penyimpanan barang. Padahal museum adalah tempat paing ideal untuk mempelajari nilai-nilai sejarah dengan cara story-telling.

Mari kita lihat dari jumlah angka museum. Mengutip dari laman kompas dotcom, artikel bulan oktober tahun 2021, memaparkan bahwa menurut data dari kemendikbud, hanya terdapat 439 museum di Indonesia. Itu pun tidak dijelaskan berapa persen museum yang masih layak dikunjungi dan berapa museum yang sudah tidak layak.

Jika kita bandingkan dengan jumlah museum di negara-negara maju lainnya, Amerika memiliki 33.082 museum, Jerman memiliki 6.741 museum dan Jepang memiliki 5.738 museum. Di Tiongkok sendiri memiliki 5.538 museum di seluruh negeri nya. Jika dilihat dari perbandingan jumlah museum dan jumlah penduduknya mungkin negara Tiongkok dapat terbilang kurang memiliki jumlah yang cukup seperti negara maju lainnya.

Namun kalau di Tiongkok, museum-museum tersebut dibuat dengan sangat luas dan biasanya terletak di kota-kota utama. Misalnya ada tiananmen yang biasa disebut kota terlarang atau the Forbidden City, Tiananmen ini bisa menampung sejumlah 5.000 pengunjung sekaligus dalam kapasitas full. Selain itu, museum-museum lain juga dirancang untuk menampung minimal 2.000 orang pengunjung sekaligus. Menurut statistik, pada tahun 2020 ada satu provinsi bernama Jiangsu yang total kunjungan ke museumnya ada sebanyak 53,96 juta. Tentu ini bukan angka kunjungan ke satu museum saja, kira-kira di seluruh Provinsi Jiangsu tersebut ada sekitar 30 museum.

Di Provinsi Jiangsu ini ada satu museum yang paling populer, dan ibaratnya jadi kunjungan wajib bagi orang-orang di Tiongkok, yaitu museum korban pembantaian penjajahan Jepang yang terletak di kota nanjing. Kalau temen-temen ke sana, memang betul-betul seperti museum holocaust versi Tiongkok. Angka tersebut kalau dirata-ratakan per hari, ada sekitar 150 ribu orang yang mengunjungi museum di provinsi jiangsu. Dibandingkan dengan Beijing sebagai ibu kota, hanya memiliki angka kunjungan museum sejumlah 8,19 juta orang pada tahun yang sama.

Walaupun di Tiongkok memiliki jumlah museum terbilang kurang dibandingkan dengan di Amerika ataupun beberapa negara maju, namun jumlah perpustakaan di Tiongkok jauh melampaui. Menurut laman Maps of The World yang mengutip juga data dari OCLC tahun 2016, di Tiongkok terdapat sekitar 51.311 perpustakaan umum. Jika dibandingkan, di us hanya terdapat 9.042 perpustakaan umum. Jadi, memang betul jika museum adalah tempat khusus untuk memamerkan artefak, diorama, ataupun patung-patung. Namun, peran perpustakaan umum juga penting untuk memperdalam pemahaman mengenai sejarah lebih akurat.

Kemendikbud negar Indonesia pada November tahun 2020 lalu sempat mengadakan sejumlah kegiatan yang bertujuan untuk mengubah museum-museum yang sudah ada untuk lebih diintegrasikan dengan kemajuan teknologi. Salah satunya adalah dengan program digitalisasi museum. Namun sayangnya pada waktu itu program digitalisasinya baru dilaksanakan untuk Museum Sumpah Pemuda, Museum Kebangkitan Nasional, dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Kabar terakhir mengenai program ini ada di November 2020 dan belum ada kabar lanjutan lagi mengenai program ini. Padahal, jika dilihat dari pola pembelajaran daring yang sudah dilaksanakan 2 tahun kebelakang dikarenakan pandemi, program digitalisasi museum dapat sangat membantu dan mendidik untuk masyarakat yang mobilitasnya masih sangat terbatas sehingga tidak dapat datang langsung ke museum.

Di Tiongkok, pada tahun 2016 lalu, mereka sudah sejak lama bekerja sama dengan museum-museum di Tiongkok untuk mendorong adanya government generated content atau GGC. Kalau yang biasa kita lihat di Tiktok itu namanya user generated content atau UGC. Mungkin sudah banyak iklan yang muncul, terutama iklan mobil, makanan, fashion dll, itu disebut corporate generated content atau CGC. Nah, di Tiongkok aplikasi Tiktok namanya Douyin, mereka bekerja sama dengan banyak museum dengan skema ggc tadi. Sehingga kalau kita sorot aplikasi Douyin tersebut ke patung terakota sebagai contoh, teknologi augmented reality atau kenyataan tambahan yang akan memproses misalnya patung atau lukisan tersebut dapat bergerak ataupun terdapat narasi dan cuplikan yang menjelaskan tentang patung atau lukisan tersebut. Sehingga membuat kesan bahwa benda-benda yang berada di museum tersebut menjadi tidak monoton.

Mungkin hal-hal seperti ini yang dapat dicontoh untuk museum yang ada di Indonesia agar lebih menarik dan mudah dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Namun, sebaik apapun dan sebanyak apapun museum ataupun perpustakaan di Indonesia, tidak akan ada gunanya jika manusianya sendiri enggan dan tidak tertarik dengan edukasi ataupun informasi mengenai sejarah bangsa dan negara sendiri.

Leave a comment