Peran Gender dan Kemajuan Pembangunan Tiongkok

Tulisan ini merupakan script yang kami gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Sebagai bagian dari goal ke 3 dari program MDGs yang memiliki rentang waktu tahun 2000 hingga 2015, juga merupakan goal ke 5 dari program SDGs yang sedang berlangsung, pemberdayaan perempuan dan pemerataan gender merupakan agenda yang sangat penting demi terciptanya fondasi kemasyarakatan yang lebih kokoh guna menuju pembangunan nasional yang lebih baik.

Kalau kita berbicara soal MDGs dan SDGs, Indonesia sendiri mungkin terkait dengan ini masih perlu banyak daya dan upaya yang dilakukan. Terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender. Pengarusutamaan gender sendiri kalau kita lihat definisi nya adalah rangkaian strategi untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam pengembangan institusi, kebijakan dan program kerja, termasuk di dalamnya disain dan pelaksanaan kebijakan, program, monitoring, dan evaluasi, serta dalam kerjasama dengan pihak luar dan atau pihak eksternal.

Pada 19 Desember tahun 2000 silam, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000. Inpres ini misalnya, juga sudah menjadi landasan berbagai macam turunan keputusan menteri dan peraturan menteri masing-masing. Dengan begitu masing-masing kementerian dan lembaga dapat mengeksekusi hal-hal terkait dengan koridor-koridor teknis yang ada.

Namun, untuk hal-hal lain yang sifatnya non kelembagaan negara, tentu masyarakat madani Indonesia perlu melakukan pergerakan-pergerakan yang lebih memasyarakat lagi. Tapi, di video ini aku engga akan bahas soal UU TPKS yang kemarin itu ya, agak panjang kan nanti jadinya.

Kakak-kakak yang baik hatinya, kalau misalnya ada yang juga suka nonton series The Viking, di situ kelihatan sekali ya bahwa peran perempuan dalam sejarah Viking dulu sebegitu kuatnya. Bagaimana yang disebut dengan Shield Maiden itu ya hitungannya setara dengan para pejuang laki-laki Viking lainnya. Mungkin penggambaran soal peran perempuan di kebudayaan Viking menunjukkan paling tidak ada catatan sejarah yang menggambarkan terkait dengan keseimbangan peran gender pada masa lalu. Cuma sayangnya, hal itu masih dibilang sangat terbatas ya.

Di Tiongkok sendiri selain belum ada semacam series terkenal yang menggambarkan para pejuang wanita pada masa lalu, juga untuk menaikkan ketokohan perempuan di sana agak kurang menjadi perhatian atau gimana. Kalaupun ada jumlahnya juga tidak banyak. Sehingga, kurang sekali informasi yang bisa diakses oleh masyarakat internasional terkait dengan persona atau figur-figur wanita baik itu masa lalu maupun kontemporer asal Tiongkok.

Misalnya saja yang paling dikenal banyak kalangan adalah kisah hua Mulan, atau yang dikenal sebagai Mulan. Ada yang bilang bahwa kisah Hua Mulan ini adalah fiksi belaka, namun ada juga yang bilang bahwa kisah ini berdasarkan catatan di ballad of Mulan. Catatan Ballad of Mulan ini ditengarai merupakan catatan sejarah yang ditulis pada era Dinasti Wei Utara dan Era Dinasti Liu Song. Oleh karena itu masa-masa tersebut dikenal dengan sebutan era dinasti-dinasti utara dan selatan. Linimasa nya adalah pada sekitaran tahun 420 – 589 Masehi. Sudah lama banget ya.

Tapi, aktris film Mulan yang terbaru, Liu Yifei sempat menuai kontroversi ketika dia berkomentar mendukung polisi Hong Kong yang menindak keras para demonstran di September 2020 lalu.

Selain Mulan, merujuk web nya The Culture Trip, ada beberapa tokoh wanita lain yang bisa dibanggakan oleh Tiongkok. Salah satunya ada Wu Zetian, yaitu satu-satunya kaisar wanita yang ada di Tiongkok. Kaisar Wu Zetian dulu memiliki peran penting di Dinasti Tang yang eksis pada tahun 618 – 907 Masehi. Dinasti Tang merupakan salah satu dinasti besar di peradaban Tiongkok lama. Namun, kaisar Wu Zetian hanya berkuasa pada tahun 690 – 705 Masehi itu pun setelah berganti nama menjadi Dinasti Zhou. Walaupun secara teknis, ya itu masih Dinasti Tang. Wu Zetian sempat menjadi Permaisuri dan Ibu Suri di Dinasti Tang. Bahkan ketika menjadi Kaisar, posisinya Wu Zetian disebut Huangdi, Emperor kalau untuk laki-laki, Empress kalau untuk wanita. Kalau di Bahasa Indonesia, ada istilahnya, Maharani.

Okelah beberapa kisah di atas tadi terjadi di catatan-catatan sejarah. Banyak juga kisah yang kurang enak terkait dengan diskriminasi gender di Tiongkok. Walaupun aku juga engga mau terjebak untuk terlalu mensimplifikasi sejarah dan isu, tapi yang jelas bias gender di Tiongkok bisa diakui tetap ada hingga saat ini.

Hal yang paling menyedihkan yaitu pemilihan gender untuk kelahiran, dan ini salah satu dari dampak negatif atau pahit getir pembangunan ekonomi Tiongkok. Fenomena tersebut banyak terjadi ketika masa diberlakukannya kebijakan maksimal 1 anak. Namun, setelah tahun 2015, yang berlaku adalah kebijakan maksimal 2 anak, pemilihan gender justru mungkin berada di posisi terbalik. Yang tadinya rumah tangga di Tiongkok menginginkan anak laki-laki, sekarang mungkin menginginkan untuk melahirkan anak perempuan. Ya karena yang laki-lakinya udah ada kan jadi anak pertama.

Hanya saja, untuk isu-isu kontemporer terkait dengan gender misalnya di dunia kerja, catatan dari websitenya Bank Dunia, ada satu grafik menarik terkait dengan partisipasi tenaga kerja bila dilihat dari pembagian gender. Di Tiongkok sendiri menariknya tren keikutsertaan wanita dalam peran ketenagakerjaan menurun melandai sejak tahun 1990 sampai tahun 2019. Pada tahun 1990 persentase tingkat tenaga kerja wanita ada di angka 79,39 persen. Di tahun yang sama di Indonesia hanya ada 51,63 persen. Namun, angka ini menurun misalnya di tahun 2000 tingkat partisipasi wanita di dunia pekerjaan di Tiongkok menjadi sebesar 76,92 persen. Di tahun 2019 sendiri, angka tersebut juga turun menjadi 68,57 persen di Tiongkok. Sedangkan di Indonesia sendiri tahun 2019 ada 55,99 persen tingkat partisipasi wanita di dunia pekerjaan.

Ya bisa dibilang gap nya juga cukup besar kalau soal peran gender dan pembangunan suatu negara bila dilihat dari peran pekerjaan formal antara di Tiongkok dengan di Indonesia. Karena tidak bisa dipungkiri juga kan membangun bangsa dan peradaban juga membutuhkan dedikasi seorang ibu yang peran nya kalau di masyarakat kita sendiri memang sama sekali tidak bisa dipisahkan.

Dari yang aku alami dan pernah berkesempatan kerja di Shanghai juga, memang antara laki-laki dan wanita di Tiongkok itu sama uletnya, sama rajin nya, sama pekerja keras nya. Karena ya tadi ya, terkait dengan kelahiran yang dipilih-pilih, membuat generasi muda perempuan di Tiongkok yang tersadar memacu diri untuk bahkan lebih baik daripada laki-laki.

Ibaratnya, terutama generasi milenial di Tiongkok, khususnya di generasi milenial, mereka sudah melewati fase aufklärung nya. Misalnya sewaktu sempat kerja di shanghai atau waktu S1 di beijing dulu, aku banyak kok ketemu temen perempuan yang dia cita-cita untuk ambil S2 di US, UK, Aussie, Eropa. Karena rata-rata mereka melihat barat ya sebagai acuan juga untuk pendidikan yang tidak hanya sekedar menaikkan gengsi, tapi juga menunjukkan bahwa perempuan bisa mengenyam studi luar negeri yang tidak kalah dengan laki-laki.

Namun, walaupun di Tiongkok persentase partisipasi angkatan kerja wanita cukup tinggi, namun hal yang terkait dengan perbedaan tingkat penghasilan antara laki-laki dan wanita juga bukan hal yang bisa dianggap remeh. Paling tidak data terakhir tahun 2013 kalo dari Wikipedia, ada perbedaan atau gap sebesar 75,4 persen antara penghasilan yang diterima oleh laki-laki lebih tinggi dibanding wanita. Namun, isu gender wage gap ini kayaknya ada di semua negara juga ga sih?

Di Tiongkok sendiri, kalau kita bahas sedikit mengenai teknis merawat anak, karena biasanya di dalam 1 rumah itu dihuni oleh 3 generasi, jadi sang anak biasanya yang menjaga dan merawat itu adalah kakek-nenek nya, bukan orang tua. Karena orang tua juga semuanya kerja dan mengejar karir. Ya walaupun tentu alasan dorongan kebutuhan ekonomi juga ya sehingga paling tidak meringankan tugas laki-laki untuk mencari nafkah.

Tapi di Tiongkok, kalau untuk urusan biaya pendidikan, karena kedua orangnya sang anak sudah mati-matian bekerja, maka tidak peduli berapa pun biaya pendidikan anak, asalkan kualitasnya prima, pasti akan diusahakan oleh kedua orang tua mereka. Ya, kembali, di Indonesia juga ga satu dua ya kita temui soal bagaimana kisah-kisah jerih payah orang tua untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah berkualitas tinggi.

Hal lain yang misalnya mau aku angkat soal ini adalah terkait dengan penerima penghargaan Nobel asal Tiongkok yang merupakan perempuan. Adalah Tu Youyou yang pada tahun 2015 lalu berhasil mendapatkan penghargaan Nobel untuk kategori fisiologi. Tu Youyou sendiri merupakan satu-satunya wanita yang pernah menerima Nobel asal Tiongkok, dari total 3 orang kewarganegaraan Tiongkok yang pernah mendapatkan Nobel.

Tu Youyou sendiri merupakan seorang dokter senior di Tiongkok. Selain penghargaan Nobel, tu Youyou pernah mendapatkan penghargaan Lasker-Debakey Clinical Medical Research Award tahun 2011, Warren Alpert Foundation Prize tahun 2015, Highest Science and Technology Award Tiongkok tahun 2016, serta medal of the republic nya Tiongkok di tahun 2019.

Aktivitas riset kedokteran beliau juga meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kimia pengobatan, ilmu herbal Tiongkok, pengobatan antimalaria, dan riset-riset klinis.

Ya memang, penghargaan Nobel adalah penghargaan yang paling bergengsi di dunia, tapi aku sendiri sih yakin banyak baik itu peneliti, pebisnis, atau wanita lain yang berasal dari beragam profesi memiliki segudang prestasi sehingga juga membuat Tiongkok sebagai negara bisa maju seperti yang bisa sama-sama kita lihat.

Di Indonesia juga aku yakin ga kalah banyak ya daftar tokoh-tokoh perempuan yang sedari dulu zaman kerajaan-kerajaan nusantara, perang-perang kemerdekaan, tokoh-tokoh wanita setelah kemerdekaan, hingga saat ini.

Tapi, yang lebih penting dari sumbangsih tokoh-tokoh wanita itu adalah bagaimana kita sebagai generasi muda juga bisa menjadikan pengorbanan yang sudah mereka lakukan tidak hilang ditelan waktu begitu saja. Coba juga direfleksikan ke masing-masing diri kita tentang apa yang sedang kita lakukan masing-masing.

Terutama yang penting pembangunan sosial Indonesia juga harus bisa dilandaskan dari adanya keseimbangan gender, kebijakan-kebijakan yang non diskriminatif, hingga hal-hal yang terkait dengan lingkungan sosial yang berkaitan dengan peranan gender.

Leave a comment