Indonesia Negara Besar yang Malas Berinovasi, Bagaimana dengan Cina?

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Kalau ada yang cuma jualan kecap bahwa Indonesia akan menjadi negara maju, omong kosong. Kata-kata itu diucapkan paling ya cuma untuk bumbu-bumbu manis aja. Buktinya apa? Buktinya misalnya kita lihat dari Global Innovation Index yang beberapa waktu lalu pada akhir September lalu dirilis oleh WIPO atau World Intellectual Property Organization. WIPO ini adalah salah satu badan khusus PBB yang memiliki tugas untuk mempromosikan dan melindungi hak kekayaan intelektual.

Di urutan GII tahun 2022 tersebut, secara penilaian keseluruhan Indonesia berada pada urutan 75 dari 132 ekonomi yang mereka data. Kenapa 132 ekonomi dan bukan negara? Karena di situ ada Hong Kong dan Taiwan, jadi mereka sebutnya bukan negara, tapi entitas ekonomi. Sedangkan Cina, Cina lagi Cina lagi, lah iya lah, orang ini di segmen Cha Guan, hahaha. Cina menempati urutan ke 11 pada indeks tersebut.

Indeks Inovasi Global tersebut adalah sebuah laporan rutin tahunan yang dirilis oleh WIPO yang menggunakan pendekatan analisis dan pembuatan matriks dari beberapa pilar kunci seperti pilar institusi dalam inovasi, modal manusia dan riset, infrastruktur, kematangan pasar terhadap inovasi, kematangan bisnis terhadap inovasi, output pengetahuan dan teknologi, serta output kreatif.

Di dalam dokumen GII tersebut, WIPO juga menegaskan bahwa tujuan mereka melakukan penilaian dan rilis berkala ini adalah juga untuk membantu para pembuat kebijakan untuk melihat seberapa besar hasil dari kebijakan dan outputnya terhadap inovasi, sehingga lain waktu ada proses peningkatan dalam hal kebijakan-kebijakan itu tadi.

Menariknya, negara Nguyen yang digadang-gadang merupakan rival Indonesia di wilayah Asia Tenggara berada pada urutan ke 48 secara peringkat keseluruhan. Positifnya, menurut indeks yang sama di tahun 2015, Indonesia tadinya berada di peringkat 97, sedangkan Vietnam berada di urutan ke 52. Ya sama-sama menunjukkan peningkatan sih ya.

Ya kalau misalnya kita lihat tetangga kita yang lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand mereka berada pada peringkat ke 7, 36, dan 43 secara berurutan.

Jadi, masih percaya kalau Indonesia bakal jadi negara maju? Mungkin masih agak lama sih ya.

Hal-hal yang berkaitan dengan kemajuan suatu negara, tentu ada kuantifikasinya, bisa dihitung, ada parameter nya, ada prosesnya. Lah, kalo kita cuma bangga soal besarnya GDP yang itu pun juga karena populasi yang besar, apa kabar soal inovasi dan hal-hal lain yang menjadi karakter suatu negara yang maju? Mau itu Indonesia dibilang negara besar di tahun 2030 kek, 2050 kek, tapi kalau besar tapi hanya menjadi negara konsumen, buat apa?

Argumen ini juga sudah tertulis di laporan GII tersebut, di mana Indonesia menempati peringkat ke 36 untuk kematangan pasar. Artinya juga bahwa pola konsumsi untuk barang-barang berteknologi tinggi di Indonesia ya lumayan. Tapi, apa yang bisa dibanggain dari itu, karena ga ada added value yang bias disumbangkan ke negara atau ke generasi Indonesia kedepannya.

Misalnya lagi yang terkait dengan peringkat pertama dalam hal modal manusia dan riset, ditempati oleh Korea Selatan, dari segi inovasi dan institusi Singapura menempati peringkat pertama nya. Ya, walaupun Cina mereka dari beberapa pilar yang gue sebutin di atas tadi ga ada yang ranking pertama, tapi rata-rata hasil parameternya berada di kuartil best performers menurut WIPO. Dari segi modal manusia dan riset Indonesia berada di peringkat ke 90, lalu segi inovasi dan institusi Indonesia berada di peringkat ke 71.

Jadi, ketika temen-temen nonton drakor, mungkin aja temen-temen ga sadar kalo sedang membantu Korea Selatan untuk terus merangkak naik dalam hal inovasi. Karena tanpa sadar produk-produk teknologi asal Korea Selatan kan juga pasang iklan di banyak drakor. Mau itu HP nya, mobilnya, produk IoT nya, teknologi kuliner nya, dan lain sebagainya. Pihak industri dan pemerintahnya bergandengan tangan meningkatkan kualitas dan inovasi produk mereka, sedangkan drakor adalah salah satu medium promosinya supaya produk-produk inovatif mereka lebih diterima di pasaran, terutama Indonesia.

Menariknya, kalo temen-temen baca-baca juga laporan GII ini, secara kasat mata terlihat bahwa negara atau ekonomi yang mendominasi pada ketergantungannya terhadap sumber daya alam terutama para penghasil bruto minyak, gas, batubara dan sumber daya alam lainnya berada pada peringkat-peringkat yang kurang menyenangkan. Misalnya Rusia yang ada di peringkat ke 47, jauh dari US yang ada di peringkat ke 2, padahal mereka rival banget kan. Lalu ada Arab Saudi di peringkat 51, Peru di peringkat 65, atau yang agak drastis ada Angola negara kecil produsen minyak di urutan ke 127 dan Irak yang berada di urutan ke 131. Cuma mungkin Irak ada pengecualian karena sudah lama berada di masa-masa konflik.

Artinya, analisis cepet gue adalah apabila suatu negara atau ekonomi bergantung pada industri ekstraktif yang tidak ada sentuhan inovasi nya, maka itu akan selaras dengan kemalasan suatu negara atau ekonomi tersebut untuk berupaya berinovasi.

Kalau kita perhatikan juga, dari kuartil best performers pada urutan 1 – 33, rata-rata memang negara atau ekonomi yang ada di posisi atas adalah negara atau ekonomi yang rata-rata sudah menjadi negara atau ekonomi dengan tulang punggung inovasi, tidak lagi manufaktur. Sehingga, kalau Indonesia mau mengejar ketertinggalan, berarti ya tunggu dulu sampai ada kesadaran kolektif kolegial agar tulang punggung ekonomi Indonesia tidak lagi berpangku pada industri ekstraktif yang membuat kita malas berinovasi.

Sebagai penyegar kembali ingatan, tentu salah satu faktor yang utama adalah alokasi anggaran APBN negara-negara dan ekonomi dalam hal riset. Secara nominal 5 urutan teratas diisi oleh US, Cina, Jepang, India, dan Jerman. Secara alokasi nominal, Indonesia berada pada urutan ke 25. Tapi, kalo kita putar urutan nya ke urusan persentase APBN yang dianggarkan untuk riset, peringkat pertama ditempati oleh Israel, yang diikuti oleh Korea Selatan, Taiwan, Swedia, dan Jepang. Urutan 5 teratas tadi paling tidak mereka yang mengalokasikan APBN nya sebesar 4,9%, 4,6%, 3,5%, 3,4%, dan 3,2% secara berurutan. Sedangkan Indonesia harus pasrah berada di urutan ke 68 di mana kita tercatat hanya mengalokasikan sekitar 0,3% APBN kita untuk riset.

Salah satu contoh dari parameter GII ini adalah misalnya Cina menempati urutan pertama untuk pasar robotik dan otomasi dalam sektor industri. Dengan perkembangan yang pesat, WIPO mencatat ada sekitar 44% instalasi baru robotik dan otomasi di dunia terjadi di Cina. Sedangkan misalnya Jepang hanya 10%, Korea Selatan 8%, US 8%, dan Jerman 6%. Hal ini tentu juga merupakan insight yang penting bagi para perusahaan atau startup yang bergerak di bidang robotik dan otomasi supaya bisa tau kemana produk-produk teknologi canggih bisa dijual.

Sejalan dengan hal tersebut, tanggal 18 – 21 Agustus lalu diadakan pameran hybrid World Robot Conference di Beijing, Cina. Tujuannya selain memperkenalkan juga untuk memamerkan kebolehan yang dimiliki oleh para perusahaan lama atau rintisan bidang robotik dan otomasi Cina kepada dunia. Ya judulnya aja sih world conference, cuma itu maksudnya supaya dunia liat produk-produk mereka. Di pameran itu juga ditampilkan robot-robot selain untuk keperluan industri pabrikan besar, juga ada seperti robot fungsi kuliner, robot resepsionis, ataupun yang berfungsi sebagai robot hewan peliharaan.

Kematangan pasar yang juga merupakan parameter dari laporan GII ini juga ditunjukkan dengan misalnya Cina merupakan pasar yang tidak hanya besar tapi juga cukup matang sehingga ada 3,3 juta penjualan mobil listrik di Cina, paling engga itu data tahun 2021 ya. Artinya, seiring dengan peningkatan inovasi yang dilakukan oleh negara dan semua yang terlibat, pasar juga menyesuaikan dan penerimaannya juga bisa dilihat dari penjualan. Ga perlu tuh ada anak perempuan seumuran Greta Thunberg versi Cina turun ke jalan pimpin demo dan protes-protes sampe meme nya banyak beredar. Orang-orang di Cina juga tau kok kalo kota-kota mereka penuh polusi dan itu masalah yang besar buat mereka. Langkah kolektif sederhana nya ya beli mobil listrik tadi, dan jumlahnya besar kan.

Namun, produk atau output industri yang inovatif yang ada di Cina bukan berarti tidak membawa persoalan. Dengan perkembangan industri yang semakin banyak menggunakan tenaga robot dan penuh dengan otomasi, tentu tingkat pengangguran akan semakin meningkat. Namun, dari laporan GII ini sendiri bisa kita lihat upaya pemerintah Cina dalam melakukan pengimbangan antara penggunaan teknologi robotik dan otomasi supaya tidak terlalu berpengaruh besar pada tingkat pengangguran.

Menurut tradingeconomics dotcom, tingkat pengangguran di Cina pada Agustus tahun 2022 sebesar 5,3%. Tentu angka yang masih dapat diterima di saat banyak pabrik dan industri di Cina yang sudah tidak menggunakan pendekatan padat karya.

Beberapa hal yang mendasari pemerintah Cina persisten untuk terus meningkatkan inovasi untuk kepentingan dalam negeri mereka adalah bahwa bagaimanapun juga di setiap sektor ekonomi atau inovasi yang baru, ada kesempatan untuk tipe atau jenis angkatan kerja yang baru juga. Makanya di Cina mereka punya 11.300 sekolah vokasi yang estimasinya sekitar 10 juta orang lulus setiap tahunnya. Tinggal pemerintah mereka mensinkronisasi aja kurikulum sesuai dengan perkembangan jaman. Tada, jadi deh ramuan baru kerah biru yang inovatif.

Ngomongin soal vokasi, apakah kebijakan Menteri Nadiem Merdeka Belajar ini efektif untuk menjadi jalan pintas bagi kekurangan kemampuan vokasi dari SDM perguruan tinggi di Indonesia? Tapi ya mau gimana, nanti Presiden nya ganti, Menteri nya ganti, kebijakan nya juga bakal ganti. Mulai dari nol ya!

Berkali-kali dalam episode Cha Guan kita menyampaikan bahwa kita sih ga bangga terhadap apa-apa yang telah dicapai oleh Cina selama ini. Hanya saja apakah kita bisa belajar dari proses yang Cina telah lalui sehingga mereka bisa menjadi seperti saat ini.

Indonesia punya modal-modal utama perkembangan yang dahsyat kok. Jumlah SDM nya, sumber daya alam nya, lokasi yang strategis, ancaman bencana alam yang relatif kondusif, dan lain sebagainya. Tinggal gimana nih kedepannya. Gue sih tetap menyarankan kita ga usah berbangga akan menjadi negara besar tapi ya tetap gitu-gitu aja.

Leave a comment