Konflik Horizontal Membayangi Investasi Cina di Indonesia?

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Beberapa waktu lalu sempat terjadi kericuhan di salah satu kawasan pengolahan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Pada kericuhan itu juga sempat timbul korban jiwa baik dari WNI maupun WNA Cina. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat disayangkan oleh semua pihak.

Kenyataan dan kondisi di lapangan yang sering kali tidak mudah dicerna dan terlalu banyak informasi liar yang beredar. Dengan masif nya informasi yang dapat diakses masyarakat via media sosial, agaknya menjadi sumir antara pemberitaan dan hoax terkait dengan hal tersebut. Apalagi pemberitaan yang semuanya memiliki sudut pandang masing-masing. Ada beberapa kanal media yang menyalahkan investor, ada yang netral, dan ada yang menyalahkan kehadiran provokator pada peristiwa kericuhan tersebut.

Gue ga akan sebut nama perusahaannya, bisa temen-temen cek lagi beritanya soal itu. Salah satu yang agaknya membuat penyelesaian esensi masalah menjadi sulit adalah karena banyak isu yang berseliweran baik itu di ranah aparat penegak hukum, pengambil kebijakan, masyarakat, dan lain sebagainya memandang soal kehadiran investasi asal Cina di suatu daerah. Ada pihak-pihak yang menyoroti soal standar K3, soal kesenjangan penghasilan antara naker WNI dan WNA, namun menurut gue barang tentu ada juga terkait dengan gap pergaulan dan komunikasi antara naker lokal dan naker WNA.

Bisnis dalam sektor apapun memiliki potensi masalahnya masing-masing. Sektor padat karya dan ekstraktif seperti pengeboran minyak, batu bara, nikel, atau bahan tambang lainnya berpotensi terjadinya konflik ketika pengelolaan manajerialnya tidak dilaksanakan secara baik, terutama segi SDM.

Namun, untuk bahasan kali ini gue akan fokus ke beberapa hal aja. Pertama, dalam aspek K3 harus diperkuat pengawasannya oleh Dinas atau lembaga terkait. Apalagi karena kericuhan ini juga sempat muncul informasi terkait dengan kecelakaan kerja yang pernah terjadi, masih dari perusahaan yang sama. Para investor asal Cina sebaiknya jangan alergi ketika diaudit terutama bidang K3. Dari segi pengawasan internal sendiri juga harus lebih disiplin. Penerapan standar-standar ISO yang berkenaan dengan K3 juga harus menjadi acuan. Banyak dari investor atau calon investor asal Cina yang memandang K3 itu terlalu memakan biaya. Kalau begini terus caranya, tentu investasi perusahaan asal Cina model seperti ini akan menjadi kurang langgeng. Apalagi banyak perusahaan smelter yang berinvestasi di Indonesia juga termasuk ke dalam bagian dari Proyek Strategis Nasional, tentu dengan demikian harusnya implementasi standar-standar macam K3 dan lainnya menyesuaikan dengan kebesaran namanya tadi.

Kedua, soal aspek kesenjangan penghasilan. Hal ini memang dilema bagi para investor asing terutama asal Cina, karena bagaimanapun juga naker WNA asal Cina hitungannya adalah ekspatriat, dan otomatis secara kalkulasi memang memiliki perbedaan penghasilan dibandingkan dengan naker WNI. Hal ini sebetulnya sudah menjadi gerutu para bos perusahaan asal Cina yang berinvestasi di bidang nikel, karena mereka dipaksa untuk memboyong smelter yang tadinya sudah terbangun di Cina untuk dipindahkan ke Indonesia. Otomatis mereka tentu membutuhkan naker mereka untuk mengoperasikan berbagai macam alat dan perlengkapan yang gue yakin juga banyak manual nya masih dalam Bahasa Mandarin, bukan Bahasa Inggris. Tapi, kalau terkait dengan rasio jumlah naker WNA dan WNI, temen-temen juga bisa cek, misalnya di perusahaan yang kemarin sempat terjadi kericuhan itu, cuma sekitar 11 persen dari total naker yang bekerja di perusahaan tersebut.

Hal yang bikin gemas adalah memang iritnya komunikasi publik perusahaan-perusahaan seperti ini untuk menjelaskan atau paling tidak mengangkat poin-poin baik dari perusahaan yang telah dilakukan selama ini. Misalnya dari ya tadi itu, porsi WNA dan WNI, itu kan secara jumlah ada hitungannya, ada datanya, contohnya soal kontribusi lapangan pekerjaan, yang  kemudian berkontribusi bagi ekonomi masyarakat setempat, yang kemudian berkontribusi bagi daya beli masyarakat nya juga, karena adanya lapangan pekerjaan.

Cuma ya bakal susah kalau pakem public relations nya dia ngambil dari praktek-praktek PR-ing perusahaan-perusahaan seperti itu di Cina, yang memang mereka tidak memiliki kewajiban itu di Cina. Ya, tapi kan ini beda ladang bos. Lu mikirnya polos banget sih. Giliran kejadian kayak kemaren langsung grasak-grusuk kasih klarifikasi dll.

Ketiga, yaitu terkait interaksi dan komunikasi antara naker lokal dan WNA. Jangankan antara naker yang berbeda negara dan bahasa, isu soal naker asal daerah setempat dan yang berasal misalnya dari pulau Jawa saja di banyak perusahaan seperti perkebunan, pertambangan, dll yang padat karya semuanya berpotensi mendatangkan gejolak. Pola-pola semisal masyarakat lokal suatu daerah merasa iri dan merasa terpinggirkan ketika ada kelompok tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah atau luar pulau. Ini menurut gue juga refleksi keadaan psiko-sosial masyarakat daerah di Indonesia, walaupun tidak semua, tapi secara umum menolak persaingan dalam hal lapangan pekerjaan. Wah, kalo udah bahas soal ini, bisa satu episode lagi mungkin ya.

Yang jelas soal persaingan naker lokal setempat, mendatangkan dari luar pulau, atau dalam hal ini investasi Cina yang juga mendatangkan naker WNA, tentu bahasannya sudah multidimensi. Mulai dari regulasi Pemerintah Pusat, regulasi Pemerintah Daerah, pelaksanaannya, pengawasan, kesiapan sistem pendidikan kita sendiri, sampai pada pengelolaan SDM di setiap perusahaan, rumit ya.

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan isu soal persaingan antara naker WNI dan WNA perlu beragam upaya yang konsisten dan kontinyu supaya perselisihan tidak terjadi lagi. Kondisi di lapangan sepengalaman gue atau rekan-rekan yang kesehariannya di lapangan tentu merasakan memang agak ada perbedaan. Misalnya terkait dengan hal-hal teknis seperti menu makanan, lokasi kantin, lokasi tinggal, dan lain sebagainya. Menurut gue perlu banyak kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada penguatan hubungan sosial antara naker WNI dengan naker WNA. Kegiatan olahraga, kegiatan kebudayaan, kegiatan pengajaran bahasa dua arah, dan lain sebagainya.

Tapi gue sih yakin masih banyak kok perusahaan-perusahaan lain yang bisa dibilang menerapkan ‘good governance’ sehingga keseimbangan antara pengelolaan naker WNI dan WNA bisa berjalan secara harmonis. Ya mungkin kasus di perusahaan kemarin itu bisa dibilang kasuistik ya.

Selanjutnya, memang perlu adanya upaya-upaya peningkatan hubungan yang harmonis terhadap multi stakeholder yang ada di daerah, jangan cuma kalo bahasa gue, serok atas. Di Indonesia kita kudu serok atas, serok tengah, dan serok bawah. Karena kalau engga begitu, ya tetep aja akan ada gejolak dari pihak-pihak yang merasa tidak kebagian kue.

Ya gue dan rekan-rekan alumni Cina sih paham, bahwasanya kalau kita bisnis di Cina, ga perlu ada istilah serok atas, tengah, dan bawah begitu. Kalo ada, ya KPK nya mereka pasti udah langsung ciduk entah itu birokrat atau aparat yang mau diserok-serok begitu. Tapi, sekali lagi, karena ini di Indonesia, dan kita harus mengakui bahwa masih banyak kekurangan soal ‘good governance and clean government’, ya jadinya pinter-pinter deh diatur gimana enaknya. Hahaha.

Sebetulnya, misalnya kalau investor-investor yang baru dateng ke Indonesia itu mereka mau paham sedikit aja, tentu misalnya yang berkaitan dengan serok-serok ini ga semahal yang dibayangkan di awal. Justru kalau masalah udah kejadian, baru deh pontang-panting lobi sana lobi sini, ujung-ujungnya kita tau sendiri, duit yang keluar ga sedikit. Soal serok bawah ini memang butuh staf atau konsultan atau siapalah yang memang berpengalaman soal itu. Karena umumnya gejolak-gejolak itu biasanya terjadi di level masyarakat akar rumput. Sehingga misalnya program-program pembangunan komunitas dan pengelolaan hubungan komunitas, kalau dipupuk dari awal sebetulnya tidaklah juga mengeluarkan biaya yang besar.

Terakhir, dan ini memang yang agak rumit. Yaitu terkait faktor ndableg dari para investor-investor pemula asal Cina yang engga dengerin apa kata temen-temen nya yang sudah lebih lama investasi di Indonesia. Ya mungkin karena ego sektor industrinya lebih penting, misalnya soal nikel ini; terus mungkin mereka yang baru masuk Indonesia merasa bagian dari grup perusahaan yang lebih besar, atau merasa lebih kenal dengan pejabat-pejabat teras di Indonesia, dan lain sebagainya menjadikan para pemain baru dari Cina mentok ketika menghadapi masalah.

Jangankan untuk investor-investor yang baru masuk ke Indonesia, buat mereka yang bisa dibilang udah cukup lama investasi aja masih menghadapi masalah-masalah non-teknis di lapangan. Keengganan para investor-investor baru untuk konsultasi dan mendengarkan sesama kamerad mereka sendiri tentu menjadi faktor terjadinya isu-isu laten, yang terbukti menghasilkan perselisihan fisik beneran.

Maka barang tentu, dari sisi segenap regulator di Indonesia kedepannya juga harus lebih siap menghadapi masuknya lebih banyak lagi investor asing ke Indonesia. Sepengalaman gue ke lapangan, memang yang paling bisa membedakan kualitas hubungan antarnaker WNA dan WNI adalah bahasa. Oleh karena itu, baik dari sisi calon naker WNA dan calon naker WNI nya perlu diberikan suplemen bahasa baik itu Mandarin maupun Bahasa Indonesia. Gue sih yakin kalo soal skill teknis naker kita ga kalah jauh. Cuma ya tadi, karena episode ini bahasannya soal pengelolaan SDM WNA dan WNI, tentu jembatannya adalah bahasa.

Kebijakan soal misalnya native tutor exchange juga bisa dilakukan guna mengantisipasi masuknya naker WNA asal Cina. Tutor-tutor Bahasa Mandarin asal Cina disuplai ke Indonesia untuk memberikan pelatihan bahasa bagi klaster-klaster naker tertentu yang memang sudah disiapkan untuk menyambut investasi yang masuk di suatu daerah. Dan begitu pun sebaliknya tutor-tutor Bahasa Indonesia dikirim ke Cina untuk mengajarkan para calon naker dari grup-grup perusahaan yang sudah tau akan masuk ke Indonesia. Jangan karena ego sektoral Kementerian di Indonesia, hal-hal teknis seperti itu jadi justru menghambat kemajuan. Dan pada akhirnya permasalahan-permasalahan konflik horizontal akan terus membayangi investasi Cina di Indonesia. Semoga saja tidak demikian.

Leave a comment